"Dia...""Rekanku."GLEK!Napas Hana tercekat di tenggorokan. Bulir bening menganak sungai."Mengapa sesakit ini rasanya tidak di anggap." ucapnya dalam hati. Namun Hana berusaha untuk tetap tersenyum di depan rekan kerja Fadil."Oh saya pikir dia istri anda Pak Fadil, saya lihat dari kejauhan kalian terlihat mesra sekali."Fadil tersenyum getir."Baiklah Pak Fadil, saya permisi. Istri saya telah lama menunggu." ujarnya.Fadil mengangguk."Sampai jumpa."Pak Zainal menunduk pamit dan pergi dari sana.Fadil melirik ke arah Hana, dan Hana berusaha untuk terlihat baik-baik saja."Aku akan mengurus pembayaran untuk ini. Kau sebaiknya pergi dulu, tunggu aku di mobil."“Mm, maaf Pak Fadil, saya izin ke toilet sebentar.”Hana merasakan kesedihan yang mendalam di hatinya saat dia berjalan ke kamar mandi, air mata mengalir di matanya.Begitu berada di dalam kamar mandi, Hana menangis tersedu-sedu sambil bersandar ke dinding, merasa benar-benar sendirian dan tidak dihargai oleh suaminya. Tangis
Hana masuk ke dalam ruangan itu,namun pikirannya melambung pada kata-kata Fadil baru saja."Halo Bu Hana, apa kabar?" sapa seorang Dokter kandungan wanita."Saya baik, Dok." balas Hana tersenyum manis.Hana duduk di sebrang meja sang dokter, Fadil setia menemaninya dengan duduk di sebelahnya."Oh iya, apa masih ada keluhan pusing, mual, atau sebagainya Bu Hana?""Hem tidak ada, Dok. Oh iya Dokter, apa bisa sekarang kami tau jenis kelamin anak kami?""Bentar ya saya cek dulu." Dokter wanita itu mulai mengecek usia kandungan Hana, dari Buku catatan."Usianya memang sudah cukup untuk mengetahui jenis kelamin janin, namun ke akuratannya masih 60%,""Baiklah Dokter, tidak apa, kami hanya tidak sabar saja." balas Hana dengan senyum yang terpaksa.Fadil hanya memperhatikan dari jauh saat Dokter wanita itu membawa Hana duduk di ranjang, disana terlihat layar USG(Ultra sonografi) untuk melihat janin di dalam perut.Dokter itu menuang gel di atas perut Hana kemudian mulai menempelkan alat pada
Pagi hari Fadil terbangun, dia mengucek matanya. Berusaha cepat beradaptasi dengan cahaya mentari yang masuk melalui jendela. Namun saat retinanya mulai melebar, Fadil tak mendapati sosok Hana di sebelahnya."Hana!" Fadil menurunkan kakinya, duduk sebentar di tepi ranjang.Hening. Tidak ada sahutan dari si pemilik nama. Kamar itu benar-benar senyap."Hana, sayang!" panggil Fadil kembali.Fadil berjalan ke arah kamar mandi, dia berdiri di depan pintu."Hana kau di dalam?" tanya Fadil.Tak ada sahutan membuat Fadil membuka kamar mandi tersebut.Kosong.Tak ada siapapun disana."Kemana dia?" gumamnya sendiri.Secarik kertas yang tertindih handphone miliknya tergeletak di atas nakas tiba-tiba menarik perhatiannya.Ya, sebelum pergi Hana sempat menulis surat untuk suaminya. Lalu menempatkannya di atas nakas. [Untukmu... Fadil suamiku.Esok pagi jika kamu membaca surat ini, itu artinya aku sudah tak ada lagi di sampingmu.Terimakasih untuk luka yang kamu beri, untuk semua kebohongan yang k
Fadil pulang ke apartemen setelah banyak bercerita dengan sang ibu. Dia berjalan gontai menuju kamarnya.Hening.Kamar itu menjadi senyap. Kehangatan yang dia rasakan dua bulan terakhir lenyap begitu saja dengan kepergian Hana.Sampai saat ini dia tidak tau pasti dimana Hana berada. Fadil merebahkan t u b u h nya di ranjang. Dia menoleh ke arah sisi ranjang yang kosong.Fadil tidak menyangka, betapa kehilangannya dia akan sosok Hana. Di usapnya sisi itu. berharap jejak Hana masih tertinggal. Namun yang ada dirinya malah semakin merindukan Hana."Hana... Kamu dimana?" lirihnya, kemudian dia terisak."Aku mencintaimu Hana... Kembalilah!"Dua bulan kemudian...Selama dua bulan itu Fadil tak bisa menemukan Hana. Semua orang yang dia minta bantuan untuk menemukan istrinya itu menggeleng lemah. Keberadaan Hana tiada yang tahu. Bahkan Fadil sempat mengecek bandara, saat Hana baru pergi. Tak ada namanya yang terdaftar. Itu artinya Hana masih di sekitar sana. Keberadaan Hana tidak bisa terciu
Wanita yang bernama Nurma itu berjalan mendekat ke arah namirah yang sedang menggendong bayinya."Hai tampan." Ucapnya pada bayi yang sedang terlelap di pangkuan Namira.Namira membiarkan Nurma mengelus pipi anaknya."Putramu sangat tampan Mira!""Terima kasih Nurma," sahut Namira tersenyum."Nurma, kenapa kau lama sekali sampai kemari?""Aku kan sudah bilang, jalanan macet dan aku tadi mampir ke supermarket untuk membeli hadiah pada keponakanku ini.""Tidak ada yang mencurigaimu kan?"Nurma menghembuskan nafas kasar."Huh! Kau benar Namira.... Cepat atau lambat aku pasti akan ketahuan.""Kapan kau akan kembali Hana!" tukas Aidan."Entahlah aku masih belum yakin." ujar Nurma yang tak lain adalah Hana."Fadil juga terlihat menyesal, dia hancur tanpamu. Kembalilah Hana. Sampai kapan kau akan seperti ini. Kasihanilah bayi yang ada dalam perutmu itu." seru Namira."Aku lelah hidup dalam kepura-puraannya Mas Fadil, mungkin saja dia juga masih berpura-pura dengan mencariku." terang Hana, wa
Fadil tersenyum. " Hem, ya.""Aku tidak menyangka Hana menikah denganmu. Tapi kenapa kau tidak menemaninya saat cek kandungan kemarin?"Seketika senyum di bibir Fadil pudar. Ekspresinya berubah, matanya kini membulat sempurna."Ma-maksudmu?""Aku kemarin bertemu dengannya di rumah sakit Permata Hospitals, untuk mengantar istriku yang memang sedang hamil. Disana aku bertemu Hana. Dia duduk seorang diri. Aku menyapanya. Tapi tidak melihat suaminya. Dan aku baru tau hari ini, jika suami Hana adalah dirimu... Fadil."Fadil shock mendengarnya. Hana berada di rumah sakit kemarin? batinnya tak percaya. Fadil mengulum bibirnya. Memikirkan langkah apa yang akan dia ambil untuk bertemu Hana. Hana masih saja bersembunyi darinya.Kini Fadil kembali yakin, bahwa Han semakin dekat dengannya. Buktinya saja sudah dua orang yang melihat keberadaan Hana."Fadil, kenapa?" tanya Adnan merasa aneh dengan sikap Fadil.Seketika lamunan Fadil terhadap Hana menjadi buyar."Kau kenapa? Apa kalian ada masalah?
Keesokan hari...Namira dan Aidan sedang berada di rumah sakit Permata Hospitals dimana Hana dan putrinya di rawat.Mereka datang untuk menjenguk Hana. Namira sengaja tidak mengajak Baby Arsya demi kesehatan bayi mungil itu. Namira menitipkan Arsya pada Bi Rima untuk menjaganya sebentar selama dia berada di rumah sakit.KREK! Pintu ruangan terbuka menampakkan Hana yang tengah berbaring dengan bayi di sampingnya. Namira dan Aidan masuk ke dalamnya.Melihat kedatangan Namira dan juga Aidan, Hana mencoba untuk bangun, namun Namira mencegahnya."Tidur saja, Hana! Kau pasti lelah begadang semalaman."Hana menjadi canggung, dia tetap bersikeras untuk duduk."Em, Hai Namira..."Namira tersenyum kemudian mendekat ke bibir ranjang."Bagaimana kabarmu Hana?""Aku baik Mira, dan kau sendiri?""Aku juga baik. Aku kesini ingin melihat teman anakku." ujar Namira sambil melirik ke arah Bayi mungil di samping Hana yang tengah terlelap."Bolehkah aku menggendongnya Hana?" "Tentu saja," balas Hana.H
Tak lama kemudiannya langkah kaki kecil menghampiri keduanya."Bunda..."Arini melepaskan pelukannya pada Hana, kemudian melihat ke arah sosok bocah perempuan di daun pintu.Arini menatap lekat bocah kecil yang berjalan mendekat.Pandangan Arini beralih pada Hana, mulutnya menganga namun tak ada sedikitpun suara yang keluar. Arini terperangah."Ha-Hana... Di-dia." tunjukknya pada Fatin yang telah sampai di dekatnya.Hana mengusap sudut matanya."Dia... Cucumu."Mata Arini membulat sempurna, kemudian memeluk Fatin yang berada di sampingnya. Berkali-kali Arini mencium kening Fatin. Mengungkapkan betapa besar kasih sayang nya."Cucuku!"Arini terus mencium Fatin. Fatin merasa risih diperlakukan seperti itu oleh orang yang tidak dia kenal."Bunda, dia siapa?"Fatin yang berbicara seperti itu, hari ini melepaskan pelukannya kemudian meminta anak untuk memberitahukan siapa dirinya. Anak mendekat ke arah Fatin kemudian mengusap kedua pundaknya."Sayang... Dia nenekmu.""Nenek! Jadi Fatin pun
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi