Wanita yang bernama Nurma itu berjalan mendekat ke arah namirah yang sedang menggendong bayinya."Hai tampan." Ucapnya pada bayi yang sedang terlelap di pangkuan Namira.Namira membiarkan Nurma mengelus pipi anaknya."Putramu sangat tampan Mira!""Terima kasih Nurma," sahut Namira tersenyum."Nurma, kenapa kau lama sekali sampai kemari?""Aku kan sudah bilang, jalanan macet dan aku tadi mampir ke supermarket untuk membeli hadiah pada keponakanku ini.""Tidak ada yang mencurigaimu kan?"Nurma menghembuskan nafas kasar."Huh! Kau benar Namira.... Cepat atau lambat aku pasti akan ketahuan.""Kapan kau akan kembali Hana!" tukas Aidan."Entahlah aku masih belum yakin." ujar Nurma yang tak lain adalah Hana."Fadil juga terlihat menyesal, dia hancur tanpamu. Kembalilah Hana. Sampai kapan kau akan seperti ini. Kasihanilah bayi yang ada dalam perutmu itu." seru Namira."Aku lelah hidup dalam kepura-puraannya Mas Fadil, mungkin saja dia juga masih berpura-pura dengan mencariku." terang Hana, wa
Fadil tersenyum. " Hem, ya.""Aku tidak menyangka Hana menikah denganmu. Tapi kenapa kau tidak menemaninya saat cek kandungan kemarin?"Seketika senyum di bibir Fadil pudar. Ekspresinya berubah, matanya kini membulat sempurna."Ma-maksudmu?""Aku kemarin bertemu dengannya di rumah sakit Permata Hospitals, untuk mengantar istriku yang memang sedang hamil. Disana aku bertemu Hana. Dia duduk seorang diri. Aku menyapanya. Tapi tidak melihat suaminya. Dan aku baru tau hari ini, jika suami Hana adalah dirimu... Fadil."Fadil shock mendengarnya. Hana berada di rumah sakit kemarin? batinnya tak percaya. Fadil mengulum bibirnya. Memikirkan langkah apa yang akan dia ambil untuk bertemu Hana. Hana masih saja bersembunyi darinya.Kini Fadil kembali yakin, bahwa Han semakin dekat dengannya. Buktinya saja sudah dua orang yang melihat keberadaan Hana."Fadil, kenapa?" tanya Adnan merasa aneh dengan sikap Fadil.Seketika lamunan Fadil terhadap Hana menjadi buyar."Kau kenapa? Apa kalian ada masalah?
Keesokan hari...Namira dan Aidan sedang berada di rumah sakit Permata Hospitals dimana Hana dan putrinya di rawat.Mereka datang untuk menjenguk Hana. Namira sengaja tidak mengajak Baby Arsya demi kesehatan bayi mungil itu. Namira menitipkan Arsya pada Bi Rima untuk menjaganya sebentar selama dia berada di rumah sakit.KREK! Pintu ruangan terbuka menampakkan Hana yang tengah berbaring dengan bayi di sampingnya. Namira dan Aidan masuk ke dalamnya.Melihat kedatangan Namira dan juga Aidan, Hana mencoba untuk bangun, namun Namira mencegahnya."Tidur saja, Hana! Kau pasti lelah begadang semalaman."Hana menjadi canggung, dia tetap bersikeras untuk duduk."Em, Hai Namira..."Namira tersenyum kemudian mendekat ke bibir ranjang."Bagaimana kabarmu Hana?""Aku baik Mira, dan kau sendiri?""Aku juga baik. Aku kesini ingin melihat teman anakku." ujar Namira sambil melirik ke arah Bayi mungil di samping Hana yang tengah terlelap."Bolehkah aku menggendongnya Hana?" "Tentu saja," balas Hana.H
Tak lama kemudiannya langkah kaki kecil menghampiri keduanya."Bunda..."Arini melepaskan pelukannya pada Hana, kemudian melihat ke arah sosok bocah perempuan di daun pintu.Arini menatap lekat bocah kecil yang berjalan mendekat.Pandangan Arini beralih pada Hana, mulutnya menganga namun tak ada sedikitpun suara yang keluar. Arini terperangah."Ha-Hana... Di-dia." tunjukknya pada Fatin yang telah sampai di dekatnya.Hana mengusap sudut matanya."Dia... Cucumu."Mata Arini membulat sempurna, kemudian memeluk Fatin yang berada di sampingnya. Berkali-kali Arini mencium kening Fatin. Mengungkapkan betapa besar kasih sayang nya."Cucuku!"Arini terus mencium Fatin. Fatin merasa risih diperlakukan seperti itu oleh orang yang tidak dia kenal."Bunda, dia siapa?"Fatin yang berbicara seperti itu, hari ini melepaskan pelukannya kemudian meminta anak untuk memberitahukan siapa dirinya. Anak mendekat ke arah Fatin kemudian mengusap kedua pundaknya."Sayang... Dia nenekmu.""Nenek! Jadi Fatin pun
"Aku butuh waktu."Hana segera pergi dari sana. Tak menghiraukan Fadil yang masih memandangi kepergiannya.Setiba di ruang rawat Arini, terlihat Hamid dan Arini sedang bermain bersama Fatin.Arini telah menceritakan segalanya pada hamid. Pria paruh baya itu telah mengerti. Jadi tidak perlu bertanya lagi pada Hana."Tuh Bunda sudah datang." seru Arini.Arini memperhatikan wajah Hana yang terlihat gusar. Sepertinya Hana tengah kebingungan. Entah pembahasan apa yang Fadil dan Hana bahas di luar. Yang jelas Arini yakin pada putranya. Pasti Fadil meminta Hana untuk kembali."Terima kasih Paman mama sudah menjaga Fatin.""Fatin ayo kemari Nak, kita pulang." ujar Hana.Fatin berlari menghampiri Hana."Hana.... Kau dan Fatin akan menemuiku lagi bukan?" tanya Arini, dia begitu takut setelah ini Hana akan pergi lagi.Hana tersenyum, kemudian mengangguk."Pasti Ma, aku dan Fatin akan menemui mama lagi."Arini meras hangat, dia ikut tersenyum mendengarnya."Baiklah, terimakasih Hana."Sebelum pam
20 tahun kemudian ....Seorang wanita melenguh panjang kala menikmati sentuhan pria yang sedang mengukung tubuhnya.Ia mencoba membuka mata untuk melihat siapa pria yang sedang menggagahinya itu. Wanita muda bernama Safira itu tak bisa melihat wajah pria tersebut dengan jelas, pengaruh alkohol membuat pandangannya menjadi kabur.Namun, persetan dengan itu semua. Safira pasrah, gairah dalam tubuhnya semakin membuncah. Dia tak perduli dengan kehormatan yang sudah terkoyak. Rasa nikm4t itu semakin membara. “Ahh ... si-siapa ka—” belum sempat Safira bertanya. Pria itu sudah membungkam mulut Safira dengan bibirnya.Terdengar suara des4han pria itu membuat tubuh Safira berdesir. Rasa nikm4t yang di ciptakan membuatnya hilang akal.“Akhh ...!” tubuh Safira melemas kala mendapatkan pelepasan berkali-kali. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa bagai di awang-awang.Baru istirahat beberapa menit, pria itu langsung menggempurnya lagi dengan lumat4n menggairahkan. Leher jenjangnya tak lepas
Pukul 4 sore ....Fadil--ayah Safira sudah pulang dari tempat kerjanya. Mereka semua telah bersiap untuk pergi ke kediaman Namira dan Aidan (sepupu)“Sudah semua?”“Sudah, Mas, barang-barangnya sudah aku masukkan kedalam bagasi.”“Bagus. Lalu, dimana Fira?”“Didalam ... nah, itu dia,”Safira keluar dari kediamannya. Dia tampak manis mengenakan gaun berwarna peach, dengan rambut yang di gerai indah.“Hmm, cantik banget anak, Bunda ...,”Safira tersipu mendengar pujian ibunya.“Ayo, Bun, Yah ... Fira udah siap.”“Baik, ayok,”*[Di dalam mobil]“Emang kita mau ngapain sih, ke rumah Bibi? udah lama tidak kesana. Terakhir waktu Fira masih SMA, dan tak pernah di ajak kesana lagi.”Hana tersenyum. “Lho, ternyata kamu masih inget.”“Masih, Bun.”“Gini, ya, Fira ... Bunda, Ayah dan kamu kesana hari ini, itu karena akan menghadiri pernikahan putra sulung Paman dan Bibi kamu.”“Maksudnya, Mas Arsya?”“Iya, lusa dia menikah.”“Bukannya Mas Arsya itu dingin ya,”Hana tertawa kecil melihat kepolos
Setelah kepergian Azka mereka semua mengobrol kembali. Pembicaraan mulai membosankan. Apalagi semua orang di sana membahas masalalu mereka.“Emm ... maaf, Fira izin ke kamar mandi.” ucap Safira. Semua mata memandang ke arahnya.Namira tersenyum. “Kamu tau kan, Sayang. Kamar mandinya dimana?““Iya, Bibi. Fira masih ingat, meskipun terakhir berkunjung lima tahun yang lalu.”"Baiklah.““Safira beranjak, dan segera pergi dari sana.”Huh!“Syukurlah. Aku bisa menghindari percakapan yang membosankan.“ ucapnya setiba di dalam kamar mandi.Fira teringat, dia harus menghubungi Dara--teman sekaligus sahabatnya. Safira ingin menanyakan tentang semalam. Kenapa dia bisa mabuk dan tak sadarkan diri di dalam kamar bersama pria asing. Safira mengeluarkan ponselnya. Kemudian menekan tombol nomor Dara, lalu menghubunginya.Panggilan tersambung. Safira langsung menodongnya dengan banyak pertanyaan.“Halo, Fir.““Dara, kenapa kamu tega membiarkan aku bersama pria asing di dalam kamar? Kamu tau, gara-gar
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi