Seketika, Annisa mendongak. Matanya mengerjap, dengan degup jantung yang berdebar.'mau apa dia?' batinnya.“Em, a--apa, mandi?”"Iya, memangnya kamu tidak gerah berpakaian seperti itu seharian? Apa tubuhku tidak lengket?”Bukannya mengerti, Annisa malah semakin membulatkan matanya. “Iya, aku tau. La--lalu, setelah itu ... ngapain?”Arsya terdiam, kemudian melangkah maju ke arah dimana Annisa berada. Sudut bibirnya terangkat, ternyata wanita yang beberapa jam lalu sah menjadi istrinya itu sangat lucu.Melihat hal itu membuat Annisa sedikit ketakutan. Degup jantungnya tak beraturan. Sedangkan Arsya malah semakin dekat, ia mencondongkan wajahnya kedepan, membungkuk di hadapan Annisa. “Apa kamu mau melakukannya? Aku sama sekali tak keberatan. Meskipun, aku belum mencintaimu. Aku bisa melakukannya dengan lembut.”Mata Annisa menatap lekat lelaki tampan dengan rahang tegas di depannya. “Ah, ti--tidak! Aku belum siap. Kumohon jamban memaksaku untuk melakukan itu sekarang.” ucapnya, dengan
Setelah bertemu dengan Reno, Safira pulang dengan hati yang hampa. Dia merasa sebagai wanita yang paling bod*h. Entah siapa pria di malam itu, bahkan dia tak tau sedikitpun bentuk wajahnya. Safira hanya mengingat sedikit potongan-potongan adegan panas itu, dan kini membuat darahnya sedikit berdesir.Dia mendesah pelan, kemudian mencari taksi di pinggir jalan. Suasana mulai gelap, tak ada bulan dan juga bintang di langit, awan hitam mulai terlihat. Sepertinya, sebentar lagi akan turun hujan. Dia segera mencegat taksi yang lewat, namun beberapa di antaranya tak ada satupun berhenti.Safira tergugu di tempat, dia segera mengaktifkan kembali ponselnya yang sempat di matikan tadi. Baru saja ponsel itu menyala, sudah ada notifikasi beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya.“Huh, Mama ....,”Safira lekas pergi dari sana. Mencari kendaraan yang lewat. Tak berselang lama, deru suara mobil mendekat. Kemudian stop di depannya. Seorang pria segera keluar dari sana.Safira terdiam melihat Azka
[Pagi hari]Sudah 2 hari Arsya tinggal di rumah orangtuanya. Pagi ini dia memutuskan untuk mengajak Annisa untuk pindah. Arsya butuh beradaptasi dengan kehidupannya setelah menikah. Begitu juga dengan Annisa, dia pasti butuh privasi. Sebagai seorang suami, Arsya memikirkan hal itu.Arsya sibuk memasukan pakaian miliknya dari lemari ke dalam koper. Annisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Dia menatap Arsya dan koper secara bergantian.“Kenapa semua pakaianmu di masukkan ke dalam koper?” tanya Annisa.Arsya menoleh sekilas, kemudian fokus kembali memasukan baju miliknya. “Kita akan segera pindah.““Kemana?” Annisa menautkan alis.“Ke rumahku.” jawab Arsya tanpa menoleh.“Ru--rumah?”“Iya, kita akan tinggal berdua di sana. Tidak enak, setelah menikah masih menumpang di rumah orang tua.“Annisa mengulum bibir, kemudian mengangguk pelan.Baginya, itu jauh lebih baik daripada harus tinggal di rumah mertua. Tok tok tok!Terdengar suara pintu diketuk membuat kedu
“Tunggu dulu, Ren, Jangan keluar!” pekiknya saat melihat seseorang yang dia kenal di loby hotel.Reno gegas menoleh ke arah Safira. “Ada apa?!”“Lihatlah! Ada Ayahku di sana.” tunjuk Safira.“Apa!” Reno lekas mengikuti arah telunjuk Safira, dan benar Ayah dari temannya itu ada di sana.Fadil terlihat sibuk berbicara dengan seseorang. Entah sedang Ayahnya itu disana?Safira lekas menunduk saat Fadil berjalan melewati mobil Reno, dia lekas masuk ke dalam mobilnya.“Sedang apa Ayahmu di sini?” tanya Reno.“Aku nggak tau, Ren, kayanya Ayah lagi nemuin klien-nya. Gitu sih yang aku denger waktu dia ngomong sama Bunda.”“Oke, ayok kita turun. Ayah kamu udah pergi jauh mobilnya, jadi dia gak bakal liat kamu.”Safira mengangguk, mereka lekas masuk ke dalam hotel tersebut.“Gimana, Ren?”Reno terlihat gugup, “Em, kita tanya sama resepsionis dulu.”“Ada yang bisa kami bantu?” tanya sang resepsionis.“Begini, Mbak. Teman saja tempo lalu pernah menginap di hotel ini. Em ... ada beberapa kejadian
“Azka!”Rasanya tak percaya apa yang dilihat oleh Safira, Azka adalah pria dimalam itu. Meskipun wajahnya tak terlalu jelas, Safira yakin itu adalah Azka--anak dari Bibi-nya. Pria dingin dan kasar.Tapi kenapa, Azka bersikap baik-baik saja setelah kejadian malam itu. "Apa dia mabuk juga?" batin Safira, tapi dia meyakinkan diri bahwa Azka tidka mabuk. Di dalam rekaman itu juga tak menunjukkan bahwa Azka--pria itu berjalan sepoyongan.Tubuhnya Safira terasa melemas, setelah mengetahui kebenarannya. Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini? Tapi pria itu harus tetap bertanggung jawab.“Pak, apa aku bisa meminta bukti rekaman ini? Em, salinannya?”Pria setengah baya itu bergeming, berpikir sebentar.“Baiklah, saya akan memberikan salinan rekaman cctv ini untukmu, tapi saya mohon jangan beritahukan pada siapapun. Ini hanya antara kita bertiga. Bagaimana?”Safira melirik ke arah Reno, dan pria itu langsung mengangguk, tanda setuju.“Baik, aku berjanji tidak akan membocorkan hal ini pada
Hari ini, Arsya pulang lebih cepat. Dia tak mengabari siapapun. Dia sangat senang karena harus pulang sore. Jadi, punya banyak waktu untuk mengurus yang lainnya dirumah. Meskipun itu adalah perusahaan Ayahnya. Arsya sangat disiplin tak pernah terlambat dan tak pernah protes.Setiba dirumah, dia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Arsya memindai sekitar, sepi. Entah dimana wanita yang berstatus istrinya itu berada?Arsya menghempaskan bobot tubuhnya, duduk di sofa ruang tamu.“Hmm, sepi sekali.” gumamnya.“Sepertinya, aku harus mencari asisten rumah tangga untuk tinggal disini.”Arsya bangun dari duduknya saat merasa tenggorokannya haus. Dia langsung berjalan ke arah dapur. Sesampai di sana, Arsya terdiam mematung melihat seorang wanita yang sedang memakai handuk. Berdiri, membuka pintu kulkas.Arsya menelan ludah saat melihat punggung dan paha yang polos, begitu putih dan mulus. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.Ekhhm!Arsya berdehem. Membuat sang empu menoleh. Meliha
Di dalam mobil Safira mencoba menghubungi seseorang. Setelah panggilan tersambung dia lekas menyapanya. “Halo, Ren, jadi kan?” tanya Safira, pada Reno.“Iya, aku lagi dijalan. Kamu udah sampai?”“Belum, aku juga masih di jalan.”“Baikalh, kalo kamu yang sampai dulu, tunggu aku.”Safira memindai sekitar. Sejak tadi mobil taksi yang dia tumpangi tak kunjung jalan. “Kaya-nya kamu duluan deh, Ren, soalnya disini macet.”“Yaudah, hati-hati, ya, Ra.”“Iya.”Panggilan di tutup. Reno dan Safira telah janjian di 'cafe gemilang' di sana mereka ingin membahas tentang mata kuliah yang belum selesai.Selama satu minggu ini, Safira berusaha melupakan kejadian yang menimpa. Dia berharap, kejadian malam itu tak membuatnya hamil. Dia masih muda dan masih ingin bebas.Safira lebih dulu sampai di cafe gemilang. Dia duduk disana seraya memerhatikan sekitar. Masih sepi hanya ada beberapa orang disana.Dia memanggil pramusajinya untuk mencatat pesanannya. Tak lama, hanya menunggu beberapa menit, pesanan y
“Lama banget Safira, kemana dia? Apa jangan-jangan dia pulang meninggalkanku seorang diri? Ah, nggak mungkin, Fira bukan orang yang seperti itu.” gumam Reno seraya menutup laptopnya. Reno memindai sekitar, mencari keberadaan Safira.Reno telah mencari Safira selama beberapa waktu.Mereka telah sepakat untuk bertemu di sebuah kafe, tetapi dia tidak terlihat di mana pun.Reno mengamati kafe yang ramai itu, tetapi Safira tidak ada di sana.Merasa khawatir, Reno memutuskan untuk memeriksa kamar kecil untuk melihat apakah Safira ada di sana. Saat dia mendorong pintu hingga terbuka, dia mendengar suara isak tangis pelan dari salah satu bilik. Hati Reno mencelos saat menyadari itu adalah Safira.Rena memutuskan untuk kembali menunggunya di meja, tempat mereka duduk tadi.Tak berselang lama Safira datang setelah sebelumnya mencuci wajah agar tak tampak habis menangis di depan Reno.“Maaf, Ren. Tadi aku mules.” kilahnya. Safira menoleh ke belakang, tempat di mana Azka duduk. Di sana sudah koson
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi