Keesokan harinya, sejak pagi buta, Raditya kembali sibuk di depan layar laptopnya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan pesan misterius yang muncul semalam. Dengan keahliannya, ia mulai melacak alamat IP yang mencoba menyusup ke dalam sistemnya.
"Aku menemukan sesuatu," gumam Raditya dengan mata tetap fokus pada layar.
Alya yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. "Apa itu?"
Raditya mengetik cepat, lalu menampilkan hasil pelacakannya. "IP ini berasal dari jaringan yang dimanipulasi, tapi aku berhasil menembus lapisan enkripsinya. Ini berasal dari Reinhardt."
Alya menghela napas panjang. "Jadi memang dia... Apa yang dia coba lakukan?"
"Dia mengamati pergerakan kita, terutama siapa yang mengakses kode Elvaretta. Dia ingin tahu siapa yang mencoba menjalankan kode ini," jawab Raditya. "Dan sekarang... dia mulai menyerang."
Tiba-tiba, layar laptop Raditya dipenuhi oleh serangkaian notifikasi ancaman. Serangan cyber besar-besaran sedang berlangsung
Raditya mengatur strategi dengan cepat. Ia tahu bahwa Reinhardt bukan lawan sembarangan, tetapi ia juga memiliki keunggulan sebagai hacker nomor satu di dunia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, memasukkan kode yang akan menjadi pukulan telak bagi lawannya.Jantungnya berdegup cepat, tetapi bukan karena takut- melainkan karena adrenalin yang membakar semangatnya. Ia menikmati tantangan ini."Aku akan menyerang inti sistemnya," kata Raditya dengan penuh keyakinan. "Jika aku bisa masuk ke pusat kendali mereka, aku bisa menonaktifkan seluruh jaringan yang mereka gunakan," terang Raditya.Alya mengangguk, mempercayai setiap langkah suaminya. Namun, dalam hatinya ada kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan. Ia menggigit bibir, berharap Raditya tidak meremehkan lawannya."Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar meski ia berusaha terdengar tegar.Raditya tersenyum tipis, mencoba menenangkan Alya. "Pantau respon mereka. Jika ada peru
"Aku tidak menyangka dia masih punya nyali untuk melawan," ujar Alya sambil menyeruput teh hangatnya, matanya tak lepas dari layar laptop Raditya.Raditya tersenyum tipis, jari-jarinya kembali menari di atas keyboard. "Orang seperti Reinhardt tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku sudah memperkirakan ini.""Jadi, apa rencanamu sekarang?" Alya menatap suaminya dengan penuh rasa ingin tahu.Raditya menghela napas ringan. "Aku sudah memasang sistem pertahanan yang lebih kuat. Kali ini, aku tidak hanya akan menunggu serangan. Aku akan bergerak lebih dulu."Alya menyipitkan matanya. "Kamu mau menyerang balik? Bukankah itu berisiko?"Raditya menoleh ke arah Alya, jemarinya menyentuh lembut pipi istrinya. "Risiko selalu ada, tapi aku tidak bisa hanya bertahan. Jika kita ingin menyingkirkan Reinhardt sepenuhnya, aku harus membuatnya tidak punya kesempatan untuk kembali."Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku percaya padamu. Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?"Raditya tersenyum pen
Malam semakin larut di mansion Raditya. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan napas Alya yang terdengar di ruangan itu. Raditya menatap layar dengan penuh konsentrasi, jari-jarinya bergerak cepat menulis barisan kode yang akan menjadi pukulan terakhir bagi Reinhardt."Radit, mereka sedang mencoba reboot sistem mereka," lapor Alya.Raditya mengangguk. "Bagus. Itu berarti mereka masih mencoba bertahan. Aku sudah menyiapkan kejutan terakhir. Kali ini, aku akan benar-benar mengakhiri semuanya."Alya mengamati layar dengan seksama. "Apa yang kamu rencanakan?"Raditya tersenyum tipis. "Aku akan menyusup ke server utama mereka dan menanamkan worm yang tidak hanya akan melumpuhkan AI mereka, tetapi juga menghapus seluruh jejak digital mereka. Semua data, semua koneksi- akan musnah dalam hitungan detik."Alya mengangkat alisnya. "Kamu yakin tidak akan ada yang tersisa?"Raditya mengangguk. "Aku tidak akan memberinya kesempatan lagi. Kali ini, Rei
Siang itu, Kakek Bakhtiar, Alya, dan Raditya berjalan menuju ruang perawatan Nenek Aiko di rumah sakit. Wajah Nenek Aiko terlihat lebih segar dari sebelumnya, meski masih terlihat lelah."Bagaimana perasaanmu hari ini, Nek?" tanya Alya lembut sambil menggenggam tangan Nenek Aiko.Nenek Aiko tersenyum tipis. "Jauh lebih baik, sayang. Apa kita benar-benar akan pulang hari ini?"Kakek Bakhtiar mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah siapkan semuanya. Kita akan pulang ke mansion."Raditya membantu merapikan barang-barang Nenek Aiko. "Kami sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa di rumah, Nek.""Sesuatu yang istimewa?" Nenek Aiko menatap mereka dengan bingung."Nanti juga Nenek akan tahu," kata Alya dengan senyum penuh arti.Setelah semua siap, mereka meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Nenek Aiko terlihat lebih bersemangat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Mobil yang membawa mereka melaju dengan tenang di jalanan kota
Alya menarik napas dalam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia harus mengatakannya. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin lembut dari luar jendela yang berbisik pelan. Dengan suara pelan namun tegas, ia mulai berbicara, “Nenek, Kakek, Bunda, sebenarnya kami ingin kembali ke Nusant.”Ruangan mendadak membeku. Semua mata tertuju padanya. Clarissa yang tadinya masih menggenggam tangan Nenek Aiko terdiam, sementara Kakek Bakhtiar mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud Alya lebih dalam. Nenek Aiko, yang baru saja merasakan kebahagiaan bertemu kembali dengan putrinya, kini menatap Alya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan.“Sayang, kenapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sini?” tanya Nenek Aiko dengan suara penuh harap, sedikit gemetar.Alya menggeleng, senyum lembut tetapi sendu terukir di wajahnya. “Bukan begitu, Nek. Aku sangat bahagia bisa
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Bakhtiar terasa berbeda. Setelah perbincangan serius siang tadi, Kakek Bakhtiar akhirnya mengambil keputusan."Kita akan bertemu dengan Haruto nanti malam di ruang khusus," ucap Kakek Bakhtiar dengan suara mantap. "Rei, pastikan dia dalam kondisi yang pantas untuk berbicara dengan kita. Suruh dia mandi dan bersihkan diri. Aku yakin keadaannya sekarang tidak baik-baik saja."Rei mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya."Beberapa jam kemudian, Rei memasuki ruang bawah tanah tempat Haruto ditahan. Haruto tampak duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lelah, dengan wajah yang penuh dengan bekas luka dan kotoran. Rei melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan ekspresi netral."Bangun. Tuan Bakhtiar ingin bertemu denganmu malam ini. Tapi sebelum itu, kau harus mandi dan membersihkan diri. Pakaiannya sudah disiapkan."Haruto mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mat
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga terasa hangat. Alya dan Raditya bersiap untuk berangkat honeymoon ke salah satu daerah di Jepang, tepatnya ke Shirakawa-go, desa tradisional dengan pemandangan salju yang romantis. Mereka berpamitan kepada Kakek Bakhtiar, Nenek Aiko, dan Bunda Clarissa."Kalian hati-hati di sana. Nikmati bulan madu kalian, jangan lupa kabari kalau sudah sampai," ujar Kakek Bakhtiar."Raditya, jaga Alya baik-baik. Jepang itu indah, tapi tetap waspada, ya," kata Nenek Aiko.Raditya menggenggam tangan Alya erat, "Tentu saja, Nek. Aku nggak akan membiarkan Alya sedikit pun terluka," jawab Raditya.Bunda Clarissa tersenyum lembut, "Alya, sayang. Jangan terlalu manja sama Raditya, nanti dia makin posesif," ujar Bunda Clarissa.Alya yang mendengarnya otomatis tertawa kecil, "Sudah terlanjur, Bun. Radit memang posesif dari dulu," kata Alya.Raditya hanya menatap Alya dengan mata tajam penuh arti, membuat Alya tersipu.**
Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai membuat Alya menggeliat pelan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam panjang yang mereka lalui semalam. Ia merenggangkan kedua tangannya di atas kepala, mendesah pelan. Raditya yang duduk di tepi ranjang hanya tersenyum, merasa istrinya begitu menggemaskan."Sayang, kamu sudah bangun?" suara serak Alya terdengar manja.Raditya mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi istrinya. "Sudah dari tadi. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita."Alya membuka matanya perlahan, menatap Raditya yang sudah tampak segar. "Apa itu?"Raditya tersenyum kecil. "Bathup sudah aku isi air hangat. Aku tahu kamu butuh merilekskan tubuh setelah..." ia berhenti sejenak, menatap Alya dengan penuh arti, "setelah gemuranku semalam, bahkan kita semalam sama- sama mencapai pelepasan tiga kali, apa kamu ingat sayang?" goda Raditya.Alya yang masih dalam keadaan setengah sadar langsung memerah wajahnya. Ia menarik selimut m
Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai membuat Alya menggeliat pelan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam panjang yang mereka lalui semalam. Ia merenggangkan kedua tangannya di atas kepala, mendesah pelan. Raditya yang duduk di tepi ranjang hanya tersenyum, merasa istrinya begitu menggemaskan."Sayang, kamu sudah bangun?" suara serak Alya terdengar manja.Raditya mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi istrinya. "Sudah dari tadi. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita."Alya membuka matanya perlahan, menatap Raditya yang sudah tampak segar. "Apa itu?"Raditya tersenyum kecil. "Bathup sudah aku isi air hangat. Aku tahu kamu butuh merilekskan tubuh setelah..." ia berhenti sejenak, menatap Alya dengan penuh arti, "setelah gemuranku semalam, bahkan kita semalam sama- sama mencapai pelepasan tiga kali, apa kamu ingat sayang?" goda Raditya.Alya yang masih dalam keadaan setengah sadar langsung memerah wajahnya. Ia menarik selimut m
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga terasa hangat. Alya dan Raditya bersiap untuk berangkat honeymoon ke salah satu daerah di Jepang, tepatnya ke Shirakawa-go, desa tradisional dengan pemandangan salju yang romantis. Mereka berpamitan kepada Kakek Bakhtiar, Nenek Aiko, dan Bunda Clarissa."Kalian hati-hati di sana. Nikmati bulan madu kalian, jangan lupa kabari kalau sudah sampai," ujar Kakek Bakhtiar."Raditya, jaga Alya baik-baik. Jepang itu indah, tapi tetap waspada, ya," kata Nenek Aiko.Raditya menggenggam tangan Alya erat, "Tentu saja, Nek. Aku nggak akan membiarkan Alya sedikit pun terluka," jawab Raditya.Bunda Clarissa tersenyum lembut, "Alya, sayang. Jangan terlalu manja sama Raditya, nanti dia makin posesif," ujar Bunda Clarissa.Alya yang mendengarnya otomatis tertawa kecil, "Sudah terlanjur, Bun. Radit memang posesif dari dulu," kata Alya.Raditya hanya menatap Alya dengan mata tajam penuh arti, membuat Alya tersipu.**
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Bakhtiar terasa berbeda. Setelah perbincangan serius siang tadi, Kakek Bakhtiar akhirnya mengambil keputusan."Kita akan bertemu dengan Haruto nanti malam di ruang khusus," ucap Kakek Bakhtiar dengan suara mantap. "Rei, pastikan dia dalam kondisi yang pantas untuk berbicara dengan kita. Suruh dia mandi dan bersihkan diri. Aku yakin keadaannya sekarang tidak baik-baik saja."Rei mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya."Beberapa jam kemudian, Rei memasuki ruang bawah tanah tempat Haruto ditahan. Haruto tampak duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lelah, dengan wajah yang penuh dengan bekas luka dan kotoran. Rei melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan ekspresi netral."Bangun. Tuan Bakhtiar ingin bertemu denganmu malam ini. Tapi sebelum itu, kau harus mandi dan membersihkan diri. Pakaiannya sudah disiapkan."Haruto mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mat
Alya menarik napas dalam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia harus mengatakannya. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin lembut dari luar jendela yang berbisik pelan. Dengan suara pelan namun tegas, ia mulai berbicara, “Nenek, Kakek, Bunda, sebenarnya kami ingin kembali ke Nusant.”Ruangan mendadak membeku. Semua mata tertuju padanya. Clarissa yang tadinya masih menggenggam tangan Nenek Aiko terdiam, sementara Kakek Bakhtiar mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud Alya lebih dalam. Nenek Aiko, yang baru saja merasakan kebahagiaan bertemu kembali dengan putrinya, kini menatap Alya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan.“Sayang, kenapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sini?” tanya Nenek Aiko dengan suara penuh harap, sedikit gemetar.Alya menggeleng, senyum lembut tetapi sendu terukir di wajahnya. “Bukan begitu, Nek. Aku sangat bahagia bisa
Siang itu, Kakek Bakhtiar, Alya, dan Raditya berjalan menuju ruang perawatan Nenek Aiko di rumah sakit. Wajah Nenek Aiko terlihat lebih segar dari sebelumnya, meski masih terlihat lelah."Bagaimana perasaanmu hari ini, Nek?" tanya Alya lembut sambil menggenggam tangan Nenek Aiko.Nenek Aiko tersenyum tipis. "Jauh lebih baik, sayang. Apa kita benar-benar akan pulang hari ini?"Kakek Bakhtiar mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah siapkan semuanya. Kita akan pulang ke mansion."Raditya membantu merapikan barang-barang Nenek Aiko. "Kami sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa di rumah, Nek.""Sesuatu yang istimewa?" Nenek Aiko menatap mereka dengan bingung."Nanti juga Nenek akan tahu," kata Alya dengan senyum penuh arti.Setelah semua siap, mereka meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Nenek Aiko terlihat lebih bersemangat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Mobil yang membawa mereka melaju dengan tenang di jalanan kota
Malam semakin larut di mansion Raditya. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan napas Alya yang terdengar di ruangan itu. Raditya menatap layar dengan penuh konsentrasi, jari-jarinya bergerak cepat menulis barisan kode yang akan menjadi pukulan terakhir bagi Reinhardt."Radit, mereka sedang mencoba reboot sistem mereka," lapor Alya.Raditya mengangguk. "Bagus. Itu berarti mereka masih mencoba bertahan. Aku sudah menyiapkan kejutan terakhir. Kali ini, aku akan benar-benar mengakhiri semuanya."Alya mengamati layar dengan seksama. "Apa yang kamu rencanakan?"Raditya tersenyum tipis. "Aku akan menyusup ke server utama mereka dan menanamkan worm yang tidak hanya akan melumpuhkan AI mereka, tetapi juga menghapus seluruh jejak digital mereka. Semua data, semua koneksi- akan musnah dalam hitungan detik."Alya mengangkat alisnya. "Kamu yakin tidak akan ada yang tersisa?"Raditya mengangguk. "Aku tidak akan memberinya kesempatan lagi. Kali ini, Rei
"Aku tidak menyangka dia masih punya nyali untuk melawan," ujar Alya sambil menyeruput teh hangatnya, matanya tak lepas dari layar laptop Raditya.Raditya tersenyum tipis, jari-jarinya kembali menari di atas keyboard. "Orang seperti Reinhardt tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku sudah memperkirakan ini.""Jadi, apa rencanamu sekarang?" Alya menatap suaminya dengan penuh rasa ingin tahu.Raditya menghela napas ringan. "Aku sudah memasang sistem pertahanan yang lebih kuat. Kali ini, aku tidak hanya akan menunggu serangan. Aku akan bergerak lebih dulu."Alya menyipitkan matanya. "Kamu mau menyerang balik? Bukankah itu berisiko?"Raditya menoleh ke arah Alya, jemarinya menyentuh lembut pipi istrinya. "Risiko selalu ada, tapi aku tidak bisa hanya bertahan. Jika kita ingin menyingkirkan Reinhardt sepenuhnya, aku harus membuatnya tidak punya kesempatan untuk kembali."Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku percaya padamu. Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?"Raditya tersenyum pen
Raditya mengatur strategi dengan cepat. Ia tahu bahwa Reinhardt bukan lawan sembarangan, tetapi ia juga memiliki keunggulan sebagai hacker nomor satu di dunia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, memasukkan kode yang akan menjadi pukulan telak bagi lawannya.Jantungnya berdegup cepat, tetapi bukan karena takut- melainkan karena adrenalin yang membakar semangatnya. Ia menikmati tantangan ini."Aku akan menyerang inti sistemnya," kata Raditya dengan penuh keyakinan. "Jika aku bisa masuk ke pusat kendali mereka, aku bisa menonaktifkan seluruh jaringan yang mereka gunakan," terang Raditya.Alya mengangguk, mempercayai setiap langkah suaminya. Namun, dalam hatinya ada kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan. Ia menggigit bibir, berharap Raditya tidak meremehkan lawannya."Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar meski ia berusaha terdengar tegar.Raditya tersenyum tipis, mencoba menenangkan Alya. "Pantau respon mereka. Jika ada peru
Keesokan harinya, sejak pagi buta, Raditya kembali sibuk di depan layar laptopnya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan pesan misterius yang muncul semalam. Dengan keahliannya, ia mulai melacak alamat IP yang mencoba menyusup ke dalam sistemnya."Aku menemukan sesuatu," gumam Raditya dengan mata tetap fokus pada layar.Alya yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. "Apa itu?"Raditya mengetik cepat, lalu menampilkan hasil pelacakannya. "IP ini berasal dari jaringan yang dimanipulasi, tapi aku berhasil menembus lapisan enkripsinya. Ini berasal dari Reinhardt."Alya menghela napas panjang. "Jadi memang dia... Apa yang dia coba lakukan?""Dia mengamati pergerakan kita, terutama siapa yang mengakses kode Elvaretta. Dia ingin tahu siapa yang mencoba menjalankan kode ini," jawab Raditya. "Dan sekarang... dia mulai menyerang."Tiba-tiba, layar laptop Raditya dipenuhi oleh serangkaian notifikasi ancaman. Serangan cyber besar-besaran sedang berlangsung