Udara pagi kota Jakarta hari ini cukup bersahabat, matahari masih malu-malu memperlihatkan kegagahannya pada bumi. Mungkin karena masih pukul delapan, biasanya sekitar jam sembilan panas menyengat—membakar kalori.
Sosok tampan keluar dari bugatti veyron mansory vivere, mobil sport dari Ettero Bugatti yang dibanderol seharga 3,4 juta US dollar atau sekitar 47 miliar menyapa mata para manusia yang tengah berkeliaran di sekitar parkiran.
Beberapa mahasiswi yang bergerombol tampak menghentikan gibahannya dan memilih mengagumi keindahan yang begitu memanjakan mata.
Dimulai dari ujung kaki sampai ujung kepala bertemakan warna hitam. T-shirt polos dibalut dengan jaket kulit membuat tubuhnya terlihat atletis. Celana jeans press kaki berpadu dengan sepatu kulit di atas mata kaki. Rambutnya tidak diwarnai banyak, hitam masih mendominasi. Warna light golden brown
Duh suka banget deh Mas Daniel nggak mageran. Keren, kan, kalau gitu ih. Arlan mah lewat.
Matahari sudah di atas kepala, panasnya sangat menyengat kulit. Suara riuh terdengar dimana-mana, ada yang bergosip,mengerjakan tugas, duduk di koridor sambil tertawa haha, hihi dan ada pula yang mengambil kesempatan berpacaran di taman kampus.Jam istirahat sudah berlangsung sekitar sepuluh menit. Setelah Pak Taufik keluar, tanpa basa-basi, Ayana langsung minggat dari kelas. Namun sebelumnya, ia sudah memberikan sepucuk kertas pada Daniel yang berisi tentang tempat dimana mantannya itu harus datang menemuinya.Berdiri dengan gusar, sesekali matanya mondar-mandir melihat dari kejauhan. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya, tenggorokannya terasa kering. Dan cacing di perutnya mulai meronta meminta makan.Ayana kesal sekali, ia membanting tasnya kasar di sebuah kursi panjang yang terbuat dari besi dan dicat manis selaras dengan tanaman di sekitarnya."Sial! Apa dia berusaha kabur dariku?" Kepalanya tera
Seperti biasa, Ayana pulang saat langit sudah mulai gelap. Memasuki rumah minimalis bercat hijau, gadis itu langsung menuju dapur. Disimpannya terlebih dulu tas ranselnya di atas meja makan lalu kakinya mengayun ke lemari pendingin.Hawa sejuk dari kulkas menerpa kulitnya, cukup lama ia membiarkan suhu dingin menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ia memutuskan untuk mengambil sebotol air mineral dan menutup lemari es itu.Ayana membuka penutup botol mineralnya seraya ia duduk setelah menarik kursi. Diteguknya air itu hingga tandas. Bunyi air beradu dengan kerongkongannya seakan menyatakan gadis itu sangat haus. Ia lega setelah meminum airnya.Bersandar di jok kursi, suara langkah kaki membuat ia menoleh. Larissa baru saja masuk dengan tangan yang terlihat kewalahan menenteng keranjang. Cepat-cepat Ayana bangkit dan mengambil alih keranjang itu."Ibu dari pasar?" tanya Ayana. Ia membawa keranjang itu dan menempat
"Bersama hanya akan melukai kita berdua, Daniel."Baru saja Ayana ingin beranjak dari hadapan Daniel, lelaki itu langsung menarik tubuh istrinya itu hingga terjatuh di kasur.Posisi Daniel yang berada di atasnya membuat Ayana harus menahan napas. Intim, gadis itu bahkan dapat merasakan deru napas sang suami yang menerpa wajahnya.Perlahan tangan Daniel terulur menyentuh pipi Ayana, ia mengelusnya pelan lalu beralih menyingkirkan anak rambut yang menjuntai di wajah istrinya itu ke belakang kupingnya.Ayana tidak dapat bergerak sama sekali, tubuhnya terkunci. Daniel menindihnya dengan tatapan tak terbaca."Daniel," lirih Ayana saat lelaki itu sama sekali tidak ingin beranjak dari atasnya."Mmm...." Hanya itu yang diucapkan Daniel.Ayana semakin gelisah, mata Daniel terlihat memerah. Seperti ia sedang menahan sesuatu. Merasa akan terjadi sesuatu yang tidak di
Ayana membayar ongkos taksinya, lalu turun dari kendaraan itu setelah mengucapkan terima kasih pada sang supir. Ia mendongak sedikit, melihat apartemen yang menjulang tinggi. Gadis itu bisa menebak jika gedung ini lebih dari dua puluh lantai.Menyaksikan gemerlap lampu menerangi halaman apartemen dengan beberapa orang nampak berlalu lalang meski waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua, mata Ayana menangkap sosok lelaki yang telah membawanya ke tempat itu.Daniel datang menghampiri, lalu memberikan sebuah pelukan dan kecupan singkat di kening. Lelaki itu tersenyum seraya tangannya mengusap surai Ayana dengan lembut.“Kupikir kamu tidak akan datang, Ay. Aku sedikit terkejut saat menerima pesanmu dan meminta alamat apartemen Mark,” ucapnya lembut.Ayana juga tidak mengerti kenapa tubuhnya seakan terhipnotis untuk mendatangi Daniel saat lelaki itu mengatakan tidak bisa tidur. Ia memang menolak tadinya, karena
Bagaimana perasaan kalian saat menemukan tempat tinggal yang selalu rapi, tenang dan asri kini berubah bentuk menjadi kapal pecah? Mark tengah berpikir keras, baru saja ia membuka pintu. Masuk ke dalam apartemennya diiringi senandung kecil.Lalu matanya yang cerah tiba-tiba disuguhi pemandangan di ruang tengah yang acak-adul. Kepalanya sampai menggeleng tidak percaya dengan apa yang terjadi.Langkah Mark terayun pelan, memunguti satu persatu benda yang berserakan di lantai. Bantal sofa tergeletak begitu saja diikuti taplak meja, vas bunga yang sudah terpisah dengan bunganya. Untung saja terbuat dari plastik, jadi saat jatuh tidak akan pecah.Dan, astaga. Antara ibu jari dan telunjuk menjepit sebuah kain yang sangat tidak biasa. Ia mengangkat benda keramat itu dengan tatapan antara jijik dan tercengang.Bra siapa ini?"Mark."Suara serak khas bangun tidur menyapa Mark, l
Diam membeku, membisu, napasnya seakan tercekat. Udara di sekitarnya seakan menipis, dadanya seperti ditekan. Bulir keringat mulai mengucur di keningnya.Ia menunduk, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak mendongak pada sosok yang tengah memelototinya dengan sorot tajam."Jadi kau benar-benar ingin bungkam dengan keberadaan Daniel?"Mark meneguk ludahnya kasar, tercengang di tempat. Suara Hamilton tidak terdengar membentak, tapi kenapa rasanya terdengar sangat menakutkan?Ayah bosnya itu tiba-tiba menelpon dengan suara setenang mungkin saat ia sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan.Awalnya Mark santai saja, meski sedikit ada keraguan bahwa Hamilton ingin bertemu dengannya hanya sekedar basa-basi.Disuguhi secangkir kopi, setoples kue kering. Hamilton benar-benar tidak menunjukkan gelagat aneh, namun saat ia hampir menyelesaikan tegukan kopinya. Hamilton tanpa pem
Mark tidak pernah segemetaran ini membuka pintu, melirik sembunyi-sembunyi.Dehaman Hamilton membuat jantung lelaki itu seperti ingin copot."Kenapa membuka pintu sangat lama, Mark?" Hamilton mulai jengah, pasalnya sudah sekitar 20 menit pria paruh baya itu berdiri di depan apartemen bawahan anaknya itu.Namun bukannya segera membuka pintu, Mark malah terdiam dan hanya menggantungkan kartu akses membuka pintunya di tangan.Apa ada ritual yang Mark lakukan sehingga membuka pintu saja memakan waktu bermenit-menit? Bukan bagaimana. Meski terlihat tubuhnya sangat bugar, usia tidak akan membohongi bahwa kakinya sudah tidak terlalu kuat untuk berdiri lama.Dilain sisi, saat Hamilton terus mengomel. Keringat dingin mulai dirasakan oleh Mark. Jika saja tidak ada dua manusia dimabuk cinta di dalam apartemennya. Ia tidak akan sepanik ini.Ia takut saat Hamilton masuk dan melihat semua kekacauan di d
Hujan di luar sedang sangat deras, jika biasanya bintang masih terlihat dari jendela kaca kamar Ayana. Benda angkasa itu harus tertutup awan gelap. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, seharusnya ia sudah tidur sekarang. Namun nyatanya, keberadaan Daniel di kamarnya membuat gadis itu harus menahan rasa kantuknya.Ia tidak habis pikir dengan suaminya itu, kenapa berkunjung ke rumahnya harus selarut itu? Padahal ia bisa datang saat sore tadi dan tidak harus terjebak di kamarnya dengan dalih bahwa hujan menahan lelaki itu."Jadi, kau tidak akan pulang?" tanya Ayana dengan mata memicing.Daniel nampak acuh, bahunya terangkat. Seolah ia mengatakan, 'aku sedang tidak ingin pulang'."Hujan terlalu deras!" Akhirnya lelaki itu bersuara. Ia tidak melihat ke arah Ayana. Karena posisi mereka yang saling berjauhan.Daniel rebahan di kasur Ayana, sementara istrinya itu berdiri di dekat jendela. Sungg
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny
Jika tak ada makanan di meja, mejanya yang kau makan. Bukan lagu Bunda Rita Sugiarto, hanya mirip saja. Baru diciptakan dari perasaan lelaki yang baru terbangun dari tidurnya. Berniat mengisi perut yang kosong melompong, cacing menari-nari, tenggorokan seret.Mark merasakan kekecewaan saat menghampiri meja makan, namun yang ia temukan hanya kekosongan. Mirip sekali dengan perasaan hampa di hatinya tanpa sosok mahluk dengan lekuk tubuh indah.Hidup sendiri, meski dulu ada sang adik yang menemaninya. Mila bersikeras untuk melanjutkan pendidikannya di Aussie, katanya ia bosan berada di Indonesia. Ingin mempelajari budaya berbeda daripada mengurusi perjaka tingting yang gila kerja seperti kakaknya.Berusia 16 tahun, Mark sudah ditinggalkan oleh sang ayah karena sel kanker yang menyerangnya. Lalu setahun kemudian, ibunya menyusul sang ayah.Mark benar-benar terpuruk saat itu, perusahaan ay
Lesu, lemah, lunglai, mungkin itu gejala anemia. Minum sangobion, salah satu vitamin dan zat besi penambah darah yang sering nongkrong di layar televisi.Cerita ini bukan sedang disponsori oleh obat sangobion, namun gejala yang sedang dialami lelaki bernama Daniel sama persis dengan sakit anemia.Wajah Daniel pucat tak karuan, kantung mata melebar. Rambut acak-acakan dan baju yang tak serapi seperti biasanya. Tidak terurus, lelaki itu lebih cocok menjadi gembel yang berkeliaran di jalan.Berjalan dengan langkah malas dan sedikit terseok-seok. Daniel memasuki kediaman mewahnya, disambut dua asisten rumah tangga berpakaian seragam hitam putih. Suami Ayana itu seakan abai saat keduanya tertunduk memberi hormat."Tuan, Anda sudah pulang?" Kepala pelayan, Margaret datang menghampiri Daniel membuat lelaki itu menghentikkan langkahnya dan berbalik pada Margaret."Ayahku di mana?" Daniel memang datang
Hujan di luar sedang sangat deras, jika biasanya bintang masih terlihat dari jendela kaca kamar Ayana. Benda angkasa itu harus tertutup awan gelap. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, seharusnya ia sudah tidur sekarang. Namun nyatanya, keberadaan Daniel di kamarnya membuat gadis itu harus menahan rasa kantuknya.Ia tidak habis pikir dengan suaminya itu, kenapa berkunjung ke rumahnya harus selarut itu? Padahal ia bisa datang saat sore tadi dan tidak harus terjebak di kamarnya dengan dalih bahwa hujan menahan lelaki itu."Jadi, kau tidak akan pulang?" tanya Ayana dengan mata memicing.Daniel nampak acuh, bahunya terangkat. Seolah ia mengatakan, 'aku sedang tidak ingin pulang'."Hujan terlalu deras!" Akhirnya lelaki itu bersuara. Ia tidak melihat ke arah Ayana. Karena posisi mereka yang saling berjauhan.Daniel rebahan di kasur Ayana, sementara istrinya itu berdiri di dekat jendela. Sungg