Malam ini, Ervan dan Gea sudah menempati rumah baru mereka. Ervan sengaja memboyong Gea ke rumah yang baru dibelinya beberapa bulan lalu agar orang tuanya tidak banyak bertanya jika kehamilan Gea nanti membesar. Jadi, Ervan berbohong pada Bagus tentang apartemen itu. Ia justru sudah membeli rumah sendiri yang ukurannya cukup besar dengan pekarangan yang luas.
Ada tiga kamar di rumah itu. Di lantai bawah kamar asisten rumah tangga, walaupun Ervan belum mempekerjakan siapa-siapa. Sedangkan di lantai dua, ada kamar utama dan kamar tamu."Kamu tidur di kamar tamu," ucap Ervan."Kok di kamar tamu? Nggak di kamar utama?" tanya Gea yang sedikit protes dengan keputusan Ervan.Ervan menatap Gea dengan tajam. "Ini rumah siapa?""Rumah Mas Ervan.""Terus, yang punya hak buat nentuin kamar siapa?" tanya Ervan lagi."Mas Ervan," jawab Gea ketus."Yaudah. Nggak usah protes," ujar Ervan."Ma!" teriak Ervan saat tiba di rumah. "Mama!"Mbok Erni tampak lari tergesa-gesa menghampiri Ervan di ruang tamu. "Ada apa, Den?""Mama mana, Mbok?" tanya Ervan."Oh, Mamanya Aden lagi pergi ke butik langganannya. Baru lima menit yang lalu, Den," ujar Mbok Erni.Ervan meremas kertas yang dipegangnya. Kesal sekali Ervan hari ini. Apalagi Mamanya hanya dimanfaatkan oleh Irma untuk membesarkan butik itu. Bahkan toko itu dibeli menggunakan uang Nurma. Ervan sebagai seorang anak tentu tidak terima orang tuanya dimanfaatkan seperti itu.'Ngapain sih Mama dateng ke sana lagi? Males banget nyusulnya.'Mbok Erni masih setia menunggu perintah lanjutan dari Ervan. "Aden mau Mbok bikinkan kopi?""Nggak usah, Mbok. Aku mau nyusul Mama," pungkas Ervan. "Aku pergi dulu, Mbok.""Iya, Den."Ervan kembali ke mobil dan melaju kencang menuju butik Irma. Malas sekali jika harus
Sore hari, sepulang dari shopping, Intan terkejut melihat Irma sedang membereskan seluruh isi butik. Beberapa pakaian yang biasanya dipajang di manekin, kini sudah masuk ke dalam kardus khusus.Intan langsung meletakkan belanjaannya di atas meja kasir, lalu mendekati Irma."Ma, kenapa ditaruh kardus?" tanya Intan heran.Irma melengos setelah menatap Intan dengan sinis. Bahkan enggan menjawab pertanyaan anaknya yang menjadi penyebab semua kekacauan ini. Jika Intan tidak ngotot ingin berbalikan dengan Ervan, mungkin sampai detik ini, Irma masih bisa memanfaatkan Nurma dan menempati butik tersebut."Ma, kalau ditanya itu dijawab dong!" kesal Intan."Mending kamu diam deh!" sewot Irma sambil membanting kardus yang dipegangnya. "Ini semua gara-gara kamu! Dasar nggak becus jadi anak! Bisa-bisanya kamu gagal hancurkan pernikahan si Ervan! Sekarang, dampaknya ke Mama!"Intan mengernyit. Masih belum bisa mene
Selepas maghrib, Gea duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Menatap langit yang gelap dan tidak ada satupun bintang di sana. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.Gea mengusap perutnya yang masih rata. Tiba-tiba saja ia menginginkan sesuatu. Mangga muda."Ya Allah, lagi ngidam mangga muda. Tapi, takut mau nyuruh Mas Ervan," gumam Gea pelan.Hembusan napas lelah pun terdengar. Gea mencoba mengubur dalam-dalam keinginannya itu. Ia juga tidak mungkin meminta tolong pada Sherly karena dirinya belum memberitahu soal kehamilan itu.Beberapa hari lalu, Sherly sempat menanyakan alasan Gea resign dari kantor."Kok lo resign tiba-tiba, Ge? Kan sayang banget," ucap Sherly waktu itu. "Kalau lo kerja, kan lo bisa awasi suami lo yang mesumnya nggak ketulungan itu.""Gue cuma mau fokus ngurus rumah aja, Ly. Kasihan Mas Ervan kalau gue kerja," dusta Gea saat itu."Kan bisa panggil asisten r
Beberapa saat setelah membeli keperluan dapur dan mangga muda, Gea berjalan keluar pasar menuju taksi online yang ia pesan tadi. Taksi itu berada di parkiran. Sang sopir membantu Gea memasukkan barang belanjaan ke mobil.Saat hendak masuk, dari belakang Gea ditarik paksa oleh seseorang. Sampai hijab yang dikenakan hampir terlepas. Gea sontak menoleh ke belakang dengan wajah merah padam karena marah.Tapi siapa sangka? Orang yang menariknya adalah Intan. Entah sejak kapan wanita itu ada di belakangnya."Mbak, apa-apaan sih? Main tarik-tarik orang sembarangan," protes Gea sambil merapikan hijabnya."Dasar pelakor kamu!" tunjuk Intan tiba-tiba ke wajah Gea. "Kamu enak-enak hidup sama pacar orang! Kamu lupa sama ancamanku, hah?!""Ancaman?"'Apa jangan-jangan, nomor yang waktu itu …?'"Iya! Aku pernah kirim pesan ke kamu! Dan kenapa kamu nggak jauhi Mas Ervan, hah?! Kamu pikir ancamanku main-main?!" cerocos Intan tanpa malu.'Oh, ternyata bener dugaanku,' batin Gea.Padahal beberapa orang
Intan yang baru saja kembali ke apartemen dikejutkan dengan semua barang yang ada di depan pintu apartemennya. Matanya membulat ketika sosok pria yang pernah menjadi kekasihnya muncul dari balik pintu.Secara kebetulan pula, Ervan menoleh ke arah Intan yang masih diam mematung, tak jauh dari tempatnya berdiri.'Target muncul,' batin Ervan diiringi senyuman licik di sudut bibirnya.Kedua tangan Ervan masuk ke dalam saku celana dan berjalan elegan mendekati Intan."Aku udah berbaik hati buat ngemasin barang-barang kamu. Sekarang, kamu boleh pergi dari sini," ucap Ervan to the point."Apa maksud semua ini, Mas?" tanya Intan penuh penekanan.Ervan mendecih pelan lalu mengambil dokumen yang dipegang anak buahnya. Dokumen itu berisi data lengkap kepemilikan apartemen, berikut kwitansinya. Untungnya Nurma cerdas. Apartemen yang dibeli itu tetap atas nama Nurma, bukan nama Intan ataupun Irma."
"Wah, nongol lagi lo, Van!" seru salah satu teman kuliah Ervan bernama Fahri."Yoi!" balas Ervan.Sepulang kerja, Ervan memilih untuk singgah ke bar yang biasanya ia kunjungi. Itulah tempat tongkrongannya bersama Fahri. Padahal Wahyu sudah mengingatkan Ervan untuk meninggalkan kebiasaan lama itu. Tapi Ervan enggan menuruti ucapan Wahyu."Mana nih cewek-ceweknya?" tanya Ervan."Sabar dong. Bentar lagi juga nongol," ucap Fahri.Ervan meneguk satu gelas vodka dalam satu tegukan. Setelah itu, ia menuangkan lagi dan meminumnya. Ervan sangat baik dalam minum alkohol. Satu botol vodka saja kadang belum mampu menghilangkan tingkat kewarasan Ervan."Masih kuat lo?" tanya Fahri."Masih dong. Lo kan tahu sendiri," ujar Ervan bangga.Fahri hanya manggut-manggut sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.Suara dentuman musik terus terdengar. Ervan pun menikmati kebiasaan buru
Sudah seminggu Ervan pergi dan tak pulang ke rumah. Tak ada kabar apapun dari Ervan. Hal itu membuat Gea sedikit cemas dibalut rasa curiga. Mungkinkah suaminya memiliki selingkuhan lain di luar sana? Pikir Gea.Gea terus mondar mandir di kamarnya. Sesekali menatap layar ponsel dan tidak ada notifikasi apapun. Untunglah keluarga Ervan maupun keluarganya sendiri jarang berkunjung ke rumah. Jadi, Gea tidak perlu pusing memikirkan alasan lain untuk berbohong."Aku telpon aja kali ya," gumam Gea sambil berpikir.Ibu jari ingin menyentuh nomor ponsel sang suami di daftar riwayat panggilan terakhir. Tapi setelah beberapa saat, niat itu diurungkan."Ck! Males ah. Entar gue diomelin lagi. Terus dibilang pengganggu," cerocos Gea. "Dia juga nggak peduli sama gue. Bini lagi hamil malah ditinggal. Dikira dia tuh hamil enak. Huh! Dasar cowok! Mau enaknya aja."Baru saja Gea berhenti mengoceh, tiba-tiba dari arah depan, terdenga
Lastri masih diam. Menunggu jawaban dari Gea. Sedangkan Gea masih diam menunduk sambil menangis. Ia bingung sekaligus takut. Takut Lastri pingsan dan sakit. Gea tidak siap dengan semua resiko itu.Lastri yang bosan, lantas berkata tegas, "Jawab sekarang atau kamu nggak Mama anggap sebagai anak lagi!"Seketika kepala Gea terangkat untuk menatap Lastri. "Jangan gitu dong, Ma. Aku mohon, kasih waktu buat jelasin ini semua. Kalau sekarang aku belum siap," ucapnya lirih."Nggak. Kamu harus jelasin sekarang."Dengan berat hati, Gea mulai menceritakan awal mula kenapa perjanjian itu dibuat. Gea bercerita sambil menangis. Entah berapa lembar tisu yang ia pakai untuk menghapus air mata dan ingusnya.Sedangkan Lastri mencoba mengendalikan diri agar tidak emosi setelah mendengar semua kejujuran Gea. Terbongkar sudah kebohongan putrinya. Ternyata dugaan awalnya benar. Gea sedang hamil dan pria yang menghamilinya adalah Ervan.
Delapan tahun kemudian....“Papa!”Iqbal berseru riang saat melihat sang ayah sudah menunggunya di parkiran mobil. Saat ini, Iqbal sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang cukup terkenal dan bonafit di Semarang. Iqbal baru saja selesai ulangan matematika dan mendapatkan nilai terbaik. Ia tidak sabar ingin menunjukkan hasil ulangannya pada sang ayah.Iqbal berlari-lari kecil menghampiri ayahnya. Setelah hampir sampai, Iqbal tersandung batu dan hampir terjatuh. Untunglah sang ayah dengan sigap menangkap tubuhnya.“Astaga, Iqbal. Kamu tuh jangan suka lari-lari. Hampir aja jatuh kamunya. Kalau sampai ada yang luka, Papa yang dimarahi Mama,” ucap Ervan.Iqbal justru tertawa lalu meminta maaf pada Ervan. “Iya maaf ya, Pa. Soalnya aku semangat banget mau nunjukin hasil ulangan matematika aku ke Papa.”“Kamu ada ulangan matematika hari ini?” tanya Ervan.“Iya, Pa. Ini hasilnya.”Iqbal menyodorkan selembar kertas ulangan pada Ervan. Ervan pun dengan senang hati menerimanya dan memeriksa hasil ul
Dua tahun kemudian, Ervan tampak disibukkan dengan toko sembakonya yang semakin hari semakin ramai pembeli. Padahal ia sudah memiliki tiga orang pekerja, namun dirinya masih harus membantu jika sudah ramai pesanan. Belum lagi ada pesanan yang berasal dari beberapa toko kelontong yang harus diantar. Ervan benar-benar kewalahan, namun tetap bersyukur karena kios sembakonya selalu ramai pembeli.Hingga malam pun tiba, Ervan bergegas masuk ke kamar untuk tidur setelah menghitung keuntungan hari ini. Saat masuk ke kamar, ia melihat istrinya masih belum tidur. Sedangkan Iqbal sudah tidur di kamar satunya.“Sayang, kok belum tidur?” tanya Ervan sambil memeluk istrinya yang berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar.“Aku belum bisa tidur, Mas. Tadi udah minum susu hangat, tapi belum ngantuk juga,” jawab Gea. “Oh iya, gimana keuntungan hari ini, Mas?”“Alhamdulillah makin meningkat, Sayang. Aku kayaknya butuh dua karyawan lagi deh, Yang. Soalnya setiap hari pembeli makin ramai. Kadang
Seminggu setelah kepergian Intan, Ervan dan Gea memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya. Mulai dari permasalahan awal dengan Intan dan Irma, sampai merembet ke masalah Wahyu yang dendam karena kematian Jelita. Bahkan sampai menyeret beberapa orang, termasuk Restu. Mereka sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan akan memulai kehidupan baru bersama-sama.Dan pagi ini, mereka berniat melihat kondisi terkini Irma dan juga Dira. Mereka berada di RSJ yang sama. Namun, mereka hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Kondisi Irma dan Dira sangat buruk dan sulit untuk dikendalikan, terutama Irma yang terkadang berteriak bahwa dirinya adalah orang paling kaya di muka Bumi ini. Obsesinya menjadi orang kaya memang masih sangat melekat di pikirannya, sehingga membuatnya depresi ketika keinginan itu tak tercapai.Setelah selesai melihat kondisi Irma dan Dira, mereka memutuskan untuk berkunjung ke makam Wahyu dan Intan. Hanya sebentar karena mereka sekeluarga berencana untuk liburan ke tempat rekreas
Fahri berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Ervan malam ini. Pagi tadi, ia ditugaskan Ervan untuk mengunjungi para pelaku yang sudah mengganggu kehidupan Ervan. Hanya sekadar mengetahui keadaan mereka masing-masing. Kalau Restu, Ervan sendiri sudah mempekerjakannya lagi mulai besok, dan itu atas permintaan Gea. Ervan juga sudah bisa memaafkan kesalahan Restu, mengingat kondisi Restu saat itu sedang terdesak.Ervan yang melihat keberadaan Fahri langsung melambaikan tangan. Posisi duduknya memang sedikit ke belakang area kafe karena lebih sepi dari bagian depan. Untung saja Fahri bisa menyadari lambaian tangannya dan bergegas menghampirinya.Fahri duduk di hadapan Ervan. Wajahnya tampak murung setelah mengunjungi Intan, Irma dan Dira. Ervan bisa merasakan aura tidak enak dari tatapan mata Fahri.“Ada apa, Ri?” tanya Ervan.Sebelum berbicara, Fahri menghela napas terlebih dulu. Helaan napasnya terdengar sangat berat sekali. Kemudian, Fahri berkata, “Van, gue puny
Gea melambaikan tangan ketika mobil Bagus sudah melaju meninggalkan rumahnya. Senyum bahagia Gea tak luntur sedetikpun. Hatinya sangat-sangat lega sekarang. Bagus kembali bersikap seperti biasanya dan justru menerima putranya sebagai cucu.Hingga tak lama kemudian, suara Ervan terdengar jelas di telinganya. Gea menoleh dan ternyata Ervan sudah berdiri di sampingnya.“Loh, ini kado dari siapa, Yang?” tanya Ervan sambil mengernyit heran.“Dari Papa, Mas.”Ervan melongo mendengar jawaban Gea. “Hah? Papa?”“Iya, Mas.”“Papa kesini?” tanya Ervan lagi.Gea mendengus dan hanya mengangguk. Sementara Ervan mencoba menepuk pipinya. Ia merasa sedang bermimpi. Namun hal itu justru membuatnya terlihat lucu di mata sang istri, sampai membuat istrinya tertawa.Ervan lantas menatap istrinya dengan alis yang tertaut samar. “Kok kamu ketawa, Yang?”“Ya soalnya kamu lucu,” jawab Gea apa adanya.“Lucu kenapa?”“Itu tadi, tepuk-tepuk pipi.” Gea menekan pipi Ervan yang tampak sedikit berisi. “Kamu itu lagi
“Ma, makasih banyak udah kasih pencerahan Gea. Berkat Mama, dia sekarang jauh lebih tenang dan nggak jadi pergi,” ucap Ervan lega.“Iya, Van. Mama ngelakuin ini demi kebahagiaan kalian. Jangan sampai kalian berpisah hanya karena ocehan dari tetangga. Memang pernikahan kalian terjadi atas dasar kesalahan. Tapi, bukan berarti mereka berhak menilai kalian seenaknya.”Saat ini, Ervan dan Lastri sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Gea dan Iqbal sudah tidur di kamar. Mereka masih mengobrol sambil menikmati segelas teh yang dibuat oleh Lastri.Ervan benar-benar lega sekali ketika hati Gea luluh oleh nasehat Lastri. Ia tidak menyangka, ucapan Lastri sangat berpengaruh pada keputusan Gea. Hingga akhirnya, Gea membatalkan keputusannya untuk pergi meninggalkan Ervan.“Ehm, atau kami pindah aja ya, Ma. Ke Semarang lagi. Soalnya tetangga di lingkungan sana baik-baik banget, terutama sama Gea. Beda sama tetangga di sini,” ujar Ervan.Lastri tersenyum dan berkata, “Van, mau kalian keliling dunia p
Semenjak Gea berkata seperti itu kemarin, Ervan terus memikirkan hal tersebut sepanjang hari. Bahkan ia tak fokus lagi membantu Nurma untuk menyiapkan acara syukuran. Fokusnya hanya tertuju pada Gea dan juga anaknya, Iqbal Zubayr Pratama. Bahkan Ervan sampai menghampiri para tetangga yang kemarin sudah menghujat istri dan anaknya. Abdi yang memberitahukan siapa saja tetangga itu.Ervan tidak segan membentak para tetangganya karena sudah berani mengusik ketenangan keluarganya. Karena ucapan mereka, Gea yang masih sangat sensitif pasca melahirkan pun memutuskan hal yang menyakitkan bagi Ervan.“Jadi orang itu jangan suka usik urusan orang lain! Kalian itu nggak tahu apa-apa tentang keluarga kami! Saya udah pernah kasih peringatan sama kalian. Siapapun yang menghina istri saya, kalian akan berurusan sama polisi! Tapi kalian nggak ada kapoknya! Gara-gara kalian, istri saya jadi stres!”Dan karena dilabrak langsung oleh Ervan, para ibu-ibu itu pun tampak ketakutan. Ditambah lagi suami-suam
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Gea diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Rencananya, besok Ervan dan Gea akan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadiran buah hati mereka.Ervan sendiri tampak semangat sekali mempersiapkan segala sesuatunya, dibantu oleh Fahri, Herman, Nurma dan Lastri. Sementara Gea hanya duduk di ayunan taman sambil menggendong bayinya yang sedang terlelap. Dipandanginya wajah sang anak yang telah ia kandung selama 9 bulan itu.Gea tersenyum bahagia. Bayi yang tadinya tak ia harapkan ternyata berhasil ia pertahankan sampai lahir ke dunia. “Wajah kamu mirip banget sama Papa, Nak,” ucapnya pelan.Saat sedang sibuk mengamati wajah anaknya, tiba-tiba dari arah gerbang rumah, para tetangga julid itu muncul lagi. Mereka melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan yang ditujukan pada Gea.“Tuhkan ibu-ibu, bener dugaan kita. Pasti itu anak di luar nikah.”“Iya, Bu. Ya ampun, nggak nyangka ya. Mukanya polos, tapi kelakuannya memalukan.”“Percum
Menjelang kelahiran, Gea tiba-tiba mengalami serangan panik. Ia khawatir jika dirinya akan meninggal dunia setelah melahirkan. Itu semua karena Gea baru saja menonton sebuah video tentang seorang wanita yang meninggal dunia setelah melahirkan, di salah satu media sosialnya. Gea mulai memikirkan hal-hal buruk itu, sehingga membuatnya tidak nafsu makan.Ervan yang melihat perubahan sikap istrinya seketika bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”“Nggak papa, Mas.”“Kalau nggak papa, kenapa nggak mau makan? Mukanya juga murung terus. Ada apa? Nggak mau cerita sama suami sendiri?” tanya Ervan dengan suara lembut.Gea menghela napas berat, dan menatap Ervan. Ia pun berkata, “Mas, aku takut.”Mendengar pernyataan Gea, dahi Ervan mengernyit heran. “Takut? Takut kenapa, Sayang? Masih takut soal Papa? Kan belakangan ini Papa udah nggak ganggu kita.”Memang benar yang dikatakan Ervan. Semenjak peristiwa pertengkaran dengan Lastri, Bagus sudah tidak pernah lagi mengganggu kehidupan Ervan dan Gea. Bahkan