"Halo."Jeremy sedang duduk, begitu mendengar suara Thasia, sorot matanya sedikit bergetar, dia berkata dengan suara serak, "Aku merindukanmu."Seketika Thasia memegang ponselnya dengan lebih erat, dia tidak bisa berkata-kata.Hari ini Thasia hampir diculik, dia sedang merasa ketakutan, di samping rumahnya juga ada Kent, entah dirinya saat ini aman atau tidak. Dia berpikir berbicara dengan Jeremy bisa mengalihkan perhatiannya.Jadi Thasia bertanya padanya, "Kamu ada di mana?"Jeremy melihat di luar ada orang sedang berlatih, suara mereka juga sangat kencang, jadi dia menutup jendela. "Di luar kota.""Kamu ke luar kota?" Thasia teringat saat terakhir kali mereka bertemu, Jeremy sepertinya ada urusan.Namun, Thasia tidak tahu kalau dia sampai ke luar kota."Ya, ada urusan."Jeremy tidak bilang ada urusan apa.Dia tidak ingin Thasia berpikir yang tidak-tidak.Jeremy bertanya lagi, "Bagaimana kabarmu? Apakah kamu makan tepat waktu?"Pria itu sangat perhatian pada Thasia.Thasia berpikir se
Sabrina membawa banyak barang.Saat Thasia melihat Sabrina, dia seperti melihat dewa, seketika dia memeluknya. "Untung ada kamu, kalau nggak malam ini aku nggak akan bisa tidur.""Ada apa?" Sabrina bertanya, "Pantas saja Jeremy menyuruhku datang mencarimu, ternyata memang terjadi sesuatu."Jeremy yang menyuruhnya datang mencari Thasia, maka pasti ada sesuatu di baliknya.Sabrina khawatir padanya, jadi dia segera datang."Dia meneleponmu?" Thasia merasa terkejut.Sabrina berkata, "Jeremy nggak bisa datang, jadi dia yang menyuruhku menemanimu."Sabrina mengelus wajah Thasia. "Lihatlah dirimu sampai pucat begini, apakah terjadi sesuatu padamu?"Thasia menarik tangannya Sabrina, dia langsung berkata, "Aku juga nggak tahu aku telah menyinggung siapa, pokoknya aku hampir diculik.""Apa?" Sabrina merasa sangat terkejut. "Kenapa kamu nggak kasih tahu Jeremy? Kalau dia tahu dia pasti akan menolongmu, nanti orang yang menculikmu akan ditangkap. Kenapa dia mau menculikmu? Coba kamu pikirkan kamu
"Kak Lisa baik-baik saja." Siti berkata, "Akhir-akhir ini Kak Lisa sedang sibuk, jadi dia nggak bisa bertemu denganmu.""Sibuk, ya." Yasmin merasa cukup kecewa, tapi dia malah berkata, "Baguslah kalau kerjaannya banyak, dia itu artis terkenal, ke depannya namanya akan semakin populer. Kalau banyak kerjaan berarti masa depannya bagus, aku merasa senang mendengar ini.""Kalau begitu aku ingin kerja dulu, Bibi Yasmin," kata Siti padanya."Oke." Yasmin tidak berhasil bertemu Lisa, dia menatap termos di tangannya, lalu menyerahkannya pada Siti. "Aku sudah membuatkan sup ayam untuknya, dia sekarang sedang sibuk pasti nggak ada waktu buat makan. Bawa ini, saat sedang senggang suruh dia makan."Siti menerimanya. "Oke, aku akan memberikannya nanti."Setelahnya Siti berjalan masuk.Yasmin berdiri di pintu cukup lama, dia tidak bisa bertemu dengan Lisa.Yasmin di sana cukup lama untuk melihat keadaan, saat merasa tidak akan bisa bertemu Lisa, dia baru pergi dengan mobilnya.Siti berjalan ke ruang
"Dasar berengsek!" Mata Yasmin memerah, dia menggertakkan giginya. "Waktu itu kalau bukan demi dirimu, mana mungkin aku menikah dengan Vazon. Alfred, kamu berutang budi padaku!"Alfred mengingat bantuannya itu. "Aku ingat."Setelah mengatakannya, Alfred terdiam sejenak sebelum berkata, "Tapi kalau aku keluar, hal itu ada baiknya juga untuk putrimu."Yasmin malah terlihat tidak senang. "Setelah kamu keluar, kamu urusi hidupmu saja. Jangan cari aku, juga jangan cari Lisa lagi, hal ini nggak baik untuk masa depannya, itu adalah kebaikan terbesar baginya!"Yasmin sudah tidak membutuhkan pria ini lagi.Hanya berharap Alfred tidak memengaruhi masa depannya Lisa.Lisa sudah susah-susah sehingga keadaan menjadi seperti ini, Yasmin tidak akan membiarkan semuanya hancur.Yasmin juga berpikir, menyerahkan Lisa pada pria ini, pasti hidupnya Lisa tidaklah bahagia.Dalam beberapa tahun ini Lisa pasti merasa menderita.Hal itu membuat Yasmin merasa lebih bersalah lagi.Alfred hanya tertawa, dia menat
Tubuh dokter itu menegang sejenak. "Nona Thasia, apa maksudmu? Kamu sedang meragukan kemampuanku?"Thasia memegang tangannya dengan kencang. "Seorang dokter nggak boleh memakai kuteks, sedangkan kukumu begitu panjang, juga tercium aroma parfum dari tubuhmu, mana mungkin kamu seorang dokter."Dokter itu pun merasa panik, dia segera menarik tangannya.Thasia memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari ke depan.Melihat Thasia berlari, dokter tadi segera menangkap tangannya. "Mau lari ke mana kamu?"Saat Thasia sudah sampai di pintu, rambutnya dijambak oleh dokter itu.Gerakannya sangat cepat, Thasia tahu orang ini pasti orang terlatih, dirinya tidak akan bisa melawannya. "Tolong ...."Baru berbicara setelah, dokter itu sedang mencekik lehernya, lalu menyuntikkan sesuatu di sana.Jarum itu adalah jarum yang ingin dia gunakan tadi.Thasia merasa sakit hingga mengerutkan keningnya, dia mencubit pahanya, pandangan Thasia seketika menjadi kabur.Saat melihat Thasia sudah tidak melawan, dokter i
Terdengar sangat putus asa.Juga sangat menyedihkan.Ada sepasang tangan hangat yang memegangi tangan Thasia, berkata di samping telinganya. "Jangan takut, aku akan membawamu keluar."Kemudian ada sepasang tangan yang dingin menyentuhnya, orang itu bertanya, "Pernahkah kamu melihat matahari? Perasaan seperti apa itu?"Wajah mereka tidak terlihat jelas.Di ruangan yang begitu gelap, dia tidak bisa melihat wajah mereka.Hanya bisa mendengarkan suaranya."Thara ... aku akan membawamu melihat cahaya matahari.""Lisa ...."Thasia membuka matanya lebar-lebar dengan ketakutan, dia bernapas dengan kencang, kedua tangannya menggenggam dengan erat, seluruh tubuhnya ditutupi oleh keringat. Saat siuman dia baru sadar dirinya berada di dalam ruangan kecil dan gelap.Seluruh tubuhnya bergetar, dia memeluk kepalanya sambil berteriak, "Jangan ...."Mobil tiba-tiba berhenti.Teriakan Thasia tadi terdengar oleh orang di dalam mobil, mereka seketika menghentikan mobilnya.Redly kira dirinya salah dengar.
Sedangkan Jeremy adalah ketua tim mereka.Walaupun Jeremy sudah bukan anggota tentara lagi, mereka tetap memanggil Jeremy dengan sebutan ketua.Sejak merasa ada yang tidak beres pada Thasia saat di telepon, Jeremy sudah curiga terjadi sesuatu padanya, jadi dia segera pulang malam itu juga.Tidak disangka saat dia datang benar-benar ada orang yang ingin menculik Thasia!Mana mungkin dia melepaskan orang-orang ini."Kejar terus." Jeremy berkata dengan tegas, "Ada orang lain di mobil mereka, hati-hati!"Kalau ingin membuat mereka berhenti tinggal tembak saja keempat roda mereka.Namun, ada Thasia di dalam mobil mereka, dia tidak bisa melakukan hal ini.Kalau terjadi kecelakaan pada mobil mereka, Thasia juga akan berada dalam bahaya, apalagi dia sedang hamil.Jadi Jeremy hanya bisa mengejar mereka dengan kecepatan.Kebetulan mereka melewati jembatan.Asistennya Redly berkata. "Sudah hampir tiba, selama kita berhasil melewati jembatan ini, maka kita aman."Redly melihat mobil tentara itu ma
Redly menatap Thasia, dia menggertakkan giginya. "Maaf!"Tangan Redly dengan perlahan terlepas, Thasia tidak ingin melepaskan tangannya, dia masih ingin hidup.Tiba-tiba Redly meletakkan tangannya di sebuah pagar.Thasia tertegun melihat Redly.Redly berkata, "Semua tergantung nasib, aku hanya bisa membantumu sampai sini."Thasia memegang pagar itu dengan kuat, kakinya tidak ada penyangga, dia merasa kesulitan dan sebentar lagi akan jatuh."Thasia!"Jeremy melihat Thasia bergantung di sana, dia segera berlari mendekat."Ketua, di sana sangat bahaya!"Ada orang yang menghalangi Jeremy, tidak membiarkannya mendekat.Namun, Jeremy saat ini hanya memikirkan Thasia, mana mungkin dia peduli akan bahaya, dia ingin ke sana, kalau tidak Thasia akan jatuh.Kemudian dia akan mati!Jeremy menepis tangan mereka, lalu berlari mendekat.Anzar, yang melihat keadaan ini pun mendengus, dia melihat sepertinya ada peluang.Redly dan asistennya berlari dengan cepat.Mereka sudah sampai di wilayah kekuasaan
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak