Share

Bab 113. Paklik Adi

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Paklik Adi memang meninggal saat aku kecil. Yang aku ingat hanya saat lebaran kami pulang kampung, dialah yang selalu memanjakan aku dengan mengendari sepeda gayung yang ada di foto itu.

“Naik sepeda seperti ini, kita akan lebih menikmati udara segar dan mengamati apa yang kita lalui. Tidak seperti naik sepeda motor yang akan melewati semua yang berharga.” Itu yang selalu dikatakan saat memboncengku.

Aku diajak berkeliling kampung dan dikenalkan dengan alam yang selama ini dilarang oleh bapak. Mungkin karena aku anak tunggal, apa yang menurutnya membahayakan harus dihindarkan. Yang takut kepleset lah, tenggelam, bahkan kawatir ketabrak motor.

“Bapakmu itu apa-apa tidak boleh. Wong main di sungai saja katanya dilarang. Bagaimana bisa mengenal alam kalau tidak pernah menyentuh. Jadi anak itu harus banyak tahu dan kuat. Ok?” ucapnya, menjadikan dia temanku untuk melakukan hal yang dirahasiakan.

Main air di sungai dengan berburu ikan dan mencari bunga liar yang indah. Dari Paklik Adi aku
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Defi Andriani
tapi sayanh jasmine nya paklik gak bahagia.
goodnovel comment avatar
Defi Andriani
semangat lanjut up lagi kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 114.  Cerita Ibu

    "Maafkan Ibu, Nduk. Maaf." Ucapan Ibu sebelum dia tergugu kembali. Guratan penyesalan terlihat lekat di wajah. Mata nya pun membengkak karena air mata yang mengalir tiada henti. Dari kamar mendiang Paklik Adi, tadi aku langsung ke kamar Ibu. Niatnya ingin membicarakan apa yang dikatakan Eyang Jaya dan buku harian yang aku sembunyikan di balik baju. Bau balsem, minyak kayu putih, dan semacamnya pun menyeruak. Saat aku masuk tadi, ada orangnya Eyang yang memijit ibu yang berbaring di ranjang. Setelah aku masuk, mereka pun tahu diri dan pamit keluar kamar.“Ibu salah,” ucap Ibu sambil berusaha untuk duduk. Aku membantunya bersandar di sandaran ranjang kayu berukir.Tangan ibu menangkap tanganku yang berniat melepas dari bahunya. Tatapan resah bercampur dengan mata yang tergenang basah. “Ibu menyesal. Kenapa harus memberitahukan foto itu kepada eyangmu. Harusnya tidak ibu lakukan.”Berganti aku menepuk punggung tangannya, menggenggam telapak tangan yang berkeringat dingin.“Tidak, Bu. I

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 115. Upaya Mereka

    Kalimat-kalimat menghibur diri dari mulut lelaki yang aku rindukan ini, bukannya membuatku tersenyum, tapi justru air mata mengalir tak tertahankan.Kenapa apa yang diucapkan seperti kata penghiburan untuk dia sendiri? Kata tenanglah, aku usahakan, dan sabar, bukankah seharusnya itu aku yang mengusahakan? Permasalahannya ada di pihakku, bukan pada Alex.“Memang kamu bisa?”Laki-laki ini justru melebarkan senyuman. “Rayaku, Sayang. Aku Alexander yang yakin dengan segalanya. Kamu tenang saja di rumah menemani Ibu. Jangan lupa makan dan jangan biarkan kamu sakit atau kepikiran hal ini. Tenang saja, biarkan aku yang berusaha.”“Kamu tahu apa yang terjadi?” tanyaku sambil menyusut air mata yang tersisa.Lagi-lagi dia menunjukkan senyuman, bahkan sorot matanya pun terlihat berbinar.“Tidak ada di dunia ini yang tidak bisi diupayakan selagi kita mau,” jawabnya sebelum menceritakan apa yang sudah dia lakukan.Dengan bantuan Tomo dan team yang dia percayai, dia menceritakan kalau penyelidikan

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 116. Mereka Bertiga

    POV Alex Ini misteri.Memang apa hubunganku dengan masa lalu? Aku saja belum lahir, kenapa harus bertanggung jawab dengan kelakuan mereka? Sudah, lah. Mungkin ini jalan-Nya untuk membukakan mata ini tentang sejarah keluargaku.Selama ini aku abai dengan tentang keluargaku, terpaksa kembali ke rumah. Semua orang kepercayaan Kakek Sebastian aku kumpulkan untuk menelisik apa yang sebenarnya terjadi. Tidak hanya itu, team yang dikelola oleh Tomo juga bergerak dengan segala cara. Aku tidak mau niatku tertunda gara-gara hal yang tidak aku ketahui.Mayoritas orang-orang yang aku panggil hanya pernah tahu tentang Eyang Jaya. Itu pun tidak mengerti benar.“Saya pernah melihat, Bos Alex. Itu teman Bos Besar yang kumisnya tebal. Setelah beberapa waktu kemudian tidak pernah melihat lagi.”“Betul. Apalagi semenjak kepindahan pabrik dari kota sebelumnya,” tambah rekannya. Mereka tidak tahu benar, karena saat itu masih karyawan baru. Sedangkan orang kepercayaan kakek sudah banyak yang menutup usia

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 117.  Menyodorkan Bukti

    “Apa ini?” Dahiku berkerut saat membaca berderet perjanjian yang tidak masuk di akal. Satu persatu mulai menjadi titik terang. Kejadian saat itu ternyata begini di atas kertas. Korban di hari itu bukan hanya Adi, tetapi anak si Naga Satria mengalami cacat permanen yang menyebabkan dia hanya memiliki satu kaki. Tidak hanya itu, pertikaian menyebabkan syaraf kepalanya tidak bisa pulih seperti semula. Dari perjanjian ini, Kakek Sebastian mengambil alih tanggung jawab kejadian itu yang dibayar dengan semua aset di kota itu. Termasuk rumah dan pabrik gula. Poin lainnya, si Naga Satria itu berjanji tidak akan mengusik ibuku lagi. Tidak hanya itu, tertulis juga nama Eyang Jaya sekeluarga yang akan terlindungi dengan perjanjian ini. Ini seperti penebusan dosa Kakek Sebastian karena sudah menyebabkan Adi kehilangan nyawa. Bos Naga berencana membalas dendam kepada Eyang Jaya dengan berencana memotong kaki anak Eyang Jaya yang itu dimaksudkan ibunya Raya. Hutang kaki dibayar kaki. Ngeri, kan

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 118.  Mendadak

    “Kamu tidak merekayasa ini, kan?” tanyanya sambil menunjukkan yang di tangannya. Aku yang dibatasi dengan meja kecil, berusaha menunjukkan senyuman.Mata yang dinaungi alis yang sudah memutih itu menukik ke arahku. Memaksa mata ini membalas untuk menyakinkan. Dengan disertai gelengan kepala, aku pun menjawab, “Tidak. Berkas itu saya temukan di ruang kerja kakek.”Satu sudut bibir tertarik ke atas. Sesaat pandangannya teralih ke arah lain, kemudian kembali mengintimidasi meskipun tidak tertangkap api kemarahan seperti saat di halaman tadi.“Anak muda. Yang di depanmu ini memang orang tua yang tidak mengikuti teknologi. Apa yang tidak bisa dipalsukan di zaman sekarang ini?” ucapnya diakhiri tertawa kecil.Ucapan tidak dipercaya, bukti di atas kertas pun masih diragukan. Aku harus mencari cara. Bukan Alexander Dominic kalau tidak berjuang sampai akhir. “Bagaimana saya bisa melakukan hal memalukan itu? Sedangkan hidup dan kebahagiaan menjadi taruhanya? Tolong Eyang Jaya melihat semua i

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 119. Tahan

    “Kedip, Nduk. Malu,” bisik Ibu sambil menyenggol lenganku.Aku buru-buru menundukkan kepala dan mengikuti arahan mbak perias untuk duduk di kursi yang dibalut kain satin putih. Namun, sebesar usahaku untuk mengikuti ucapan Ibu, tapi mata sialan ini tetap kurang ajar melirik lelaki di sampingku.Bagaimana tidak, mendapati lelakiku mengenakan peci hitam dan berkalung rangkaian bunga melati. Rambut kecoklatan yang sedikit panjang menyebul kontras dengan warna peci. Siluet wajah yang sempurna, sungguh memaksa mata ini enggan berkedip.“Nduk.” Sekali lagi tepukan terasa di lenganku.‘Ck! Ibu ini, lo,’ gerutuku dalam hati, dan menghadapkan diri ke depan. Penghulu dan team mulai mengambil posisi. Begitu juga Eyang Jaya yang duduk di seberang meja, tepat di depanku.“Baik kita mulai, ya,” ucap Pak Penghulu sembari mengulurkan tangan dan disambut oleh Alexander. Ruangan hening seakan menunggu suara yang akan dikumandangkan.Seketika tubuh ini seperti tidak menapak di bumi. Ini seperti mimpi.

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 120. Akhirnya

    Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 121.  Kembali

    “Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”

Bab terbaru

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 122. Membiasakan Diri  

    “Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 121.  Kembali

    “Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 120. Akhirnya

    Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu

DMCA.com Protection Status