Ini sama saja dua lawan satu. Aku menghadapi Ibu dan Alex.Ingatanku terlempar malam itu setelah cincin ini terselip di jari manisku. Tanpa memberi waktu menikmati kesenangan, Alexander langsung mengajukan pertanyaan.“Hari besok aku langsung perintahkan Tomo untuk mengurus semuanya.”Aku yang nyaman di dalam pelukannya langsung mengurai tangan. Memberi jarak dan menuntut jawab.“Mengurus apa?”“Banyak, lah. Karyawanku saja kalau akan menikah harus cuti karena mengurus surat, WO, akomodasi keluarga, dan__”“Siapa yang akan menikah?” tanyaku memotong bualannya.“Kita, lah.”Seketika kebahagiaan yang tadi melambungkan aku, sekejap luruh. Terganti dengan kegamangan yang hadir kembali.Aku memang menerima lamarannya. Tapi untuk bertunangan menunjukkan keseriusan. Bukan untuk menikah. Apalagi dalam waktu dekat. Terlebih yang mengerjakan Tomo yang terkenal kerja secepat kilat.“Kenapa?”Kedua manik hazel kekasihku itu menatapku lekat-lekat. Dan sekarang kedua tangannya menangkup kedua lenga
Pov AlexWanita itu mahkluk yang suka sekali keribetan. Aku pikir Raya yang dulunya suka sekali dengan ilmu pengetahuan akan tetap sejalan denganku. Dia berpikir praktis walaupun tidak garis keras sepertiku. Namun, kenama lama-lama dia seperti wanita kebanyakan?“Menikah itu tinggal di-sah-kan di mata agama dan pemerintahan, kan? Apa lagi?” tanyaku membaca daftar berderet persyaratan sebelum kami meresmikan hubungan.Aku tidak habis pikir, kenapa hal mudah harus dibikin kepala pusing? Yang harus meminta restu ke semua orang lah, mencari tanggal baik, dan apa ini aku tidak mengerti.Bukankah menikah itu, adalah melegalkan dan memanusiakan proses berkembang biak?“Kamu belum bertemu Eyang Jaya dan meminta restu beliau,” ucap Raya menyadarkan aku.Kalau ini aku mengerti kalau harus, walaupun tidak wajib. Yang penting kan restu orang tua kekasihku ini, Ibu. Ok lah, kalau ditambah dengan kakeknya Raya.“Iya, Nak Alex. Sekalian Ibu ingin pulang sebentar. Kangen dengan kampung,” timpal Ibu s
Pov Raya “Maaf, Tuan.” Suara terdengar lirih, sesaat sebelum keheningan hadir kembali.Malu sekali aku. Tertinggal aku yang menyelusup di dalam pelukannya. Sisa gemuruh di dada mulai mereda tergantikan dengan malu yang menebal. “Kamu, sih, Alex, menggodaku,” ucapku dengan tangan masih meremas ujung kemejanya.Dia justru terkekeh, mengacak rambutku, dan terpaksa aku mengangkat wajah yang masih menghangat.“Kok aku? Siapa suruh kamu menggemaskan,” serunya sambil mencolek ujung hidungku dan mengedipkan mata jahil.“Ck!” Aku beranjak menjauh. Ngeselin!“Eit! Mau kemana?” Tanganku yang melenggang berhasil dia tangkap. Langkah kaki yang akan menjauh pun terhenti.“Ada apa lagi? Kalau kita di sini lama-lama, apa yang dipikirkan Bik Suti? Kita berduaan di kamar.”Aku merengut dan berusaha menarik tangan ini. Alih-alih lepas, dia justru menyentakkan dan aku kembali berakhir dalam pelukannya.“Kamu tidak tahu kalau yang punya rumah ini aku? Mereka malah senang kalau aku akhirnya membawa calo
Tidak ada suara yang menjawab pertanyaanku. Langkahku berhenti dan membalikkan tubuh. Alex masih di sudut sana, menekuri foto ibunya saat mengandung dirinya.‘Ah, mungkin dia tidak menjawabku karena tidak mendengarku,’ pikirku dan bergegas menghampirinya.Aku terkesiap saat mendapati jari yang mengusap foto itu gemetar. Belum sempat usai keterkejutanku, air mata menetes tepat pada wajah yang tersenyum itu.“Alex ….”“Raya. Aku tidak mampu merasakan kasih sayang dan pengorbanan wanita ini untukku. A-aku melihatnya hanya sebagai sebuah gambar saja,” ucapnya sambil menangkup tanganku yang mengusap lengannya. “Padahal dia merelakan nyawanya demi melahirkan aku.”Suara yang mirip dengan rintihan itu akhirnya luruh, dan terganti dengan isakan di dalam pelukanku. Tubuh besarnya terguncang beberapa waktu. Aku hanya bisa menepuk-nepuk untuk meredakan itu.Aku mengerti apa yang dia rasakan.“Sering kali aku merasa iri dengan kebersamaan kamu dan ibu,” ucapnya setelah dia mereda. Kali ini kami
Kepercayaan diri kami semakin tebal. Ini membulatkan keyakinan kalau semesta memang sudah mendukung kebersamaanku dengan Alex dari sebelum aku lahir. Buktinya, kakek kami berdua ternyata bersahabat dari muda.Bukankah itu sebuah kebetulan yang langka?“Wah kalau begitu Ibu ngomong dengan Eyangmu lebih gampang. Tidak usah dijelaskan, Eyang sudah tahu benar bebet, bibit, bobotnya Nak Alex,” seru Ibu dengan suara gembira.“Kalau begitu, semua bisa dibilang lancar, ya, Bu?” Alex menimpali dengan senyuman mengembang, senang.“Jelas, dong.”Aku mengambil foto dari tangannya, memastikan bahwa itu memang benar Eyang Jaya.“Kumisnya memang sama, Bu. Tapi … memang ini Eyang?” tanyaku ragu.Yang ada di foto itu pemuda pribumi yang tampan, bukan sangar seperti eyangku yang di kampung. Walaupun sudah termakan usia, seluruh kampung tunduk dengannya. Karenanya, setelah kejadian gagalnya pernikahanku dulu, aku yang ibu memilih kembali ke kampung. Tinggal bersama Eyang Jaya, menjadikan ibu tidak kepik
Sinar keemasan menyelusup di sela-sela pohon tinggi di kanan kiri jalan luar kota. Setelah tadi istirahat sebentar di masjid saat kumandang azan subuh, kami pun melanjutkan perjalanan yang katanya tidak jauh lagi.Di sisa perjalanan ini, ibu meminta pindah ke depan. Katanya ini pengurangi rasa pusing yang mendera. Padahal mobil yang kami kendarai nyaman dan Tomo mengemudi dengan tidak ugal ugalan.“Tidak apa. Kan aku yang senang bisa duduk di sebelahmu,” bisik Alex sambil menggerakkan kaki disentuhkan ke lutut ini. “Harusnya sedari semalam.”“Serakah,” sahutku sambil mendelik ke arahnyaWalaupun awalnya ngotot, tapi kepala ini berakhir bersandar di pundaknya. Aku kembali merajut mimpi menghabiskan petang yang berujung pada sapaan oleh sang surya. Mata yang masih sepat dipaksa terbuka oleh silaunya sinar pagi.Dengan malas aku menarik diri, kawatir ketahuan ibu dan menjadi bahan omelan nantinya. Aku melongokkan kepala ke depan, ibu pun masih terlelap dengan bersandar di jendela yang di
“Harus begini?” tanyaku merasa keberatan. Aku pelakunya merasa biasa, mereka kok yang super repot. “Iya, lah. Ini permintaan Ibu ke Eyang Jaya. Kamu kan tahu Nak Alex itu gantengnya tidak ketulungan. Kalau kamu menyambut dengan keadaan ‘glubut’ dan lusuh, wah merusak pemandangan,” cerocos Ibu tidak menerima alasanku. Begitu kok ya memberi argumen yang jujur. Sedikit membela anaknya sendiri, kenapa? Seakan membungkam mulut ini, ibu masih bicara lagi. “Ajining diri itu dari busono, dari penampilan. Penampilanmu sekarang itu mewakili nama keluarga Jaya Adinugroho. Ini itu acara yang sudah kita tunggu lama. Jangan sampai terabaikan hanya gara-gara kamu tidak mau didandani!” “Ibu ini, lo.” Namun mata Ibu yang melotot, memaksaku pasrah di depan meja rias. Kaget juga tadi. Sudah siapkan pakaian saja, aku sudah sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Eyang Jaya. Ini malah didatangkan perias salon untuk mempersiapkan aku. “Aku tidak mau menor, ya. Tipis-tipis aja. Ini lo hanya acara pert
Semua mimpi yang menjadi kenyataan kandas tanpa sisa asa. Pun keinginan yang sudah di tangan, hilang tanpa tersisa. Aku berdiri menatap jejak pesta, dengan kaki yang sudah tidak berasa.Keadaan sekarang memang sudah hening, tapi teriakan Eyang, “Bubarkan!” masih begitu lekat. Menjadikan rasa bingung ini semakin pekat.Pesta dipaksakan usai tanpa penjelasan. Kemarahan Eyang bersautan dengan teriakan Ibu yang menuntut jawab.“Bapak! Ada apa? Kenapa Bapak bersikap seperti ini tiba-tiba? Apa salah kami!” Suara Ibu seakan tenggelam dalam perintah-perintah Eyang Jaya untuk melenyapkan semuanya. Para anak buah dan undangan yang tahu benar watak kakekku ini, melakukan tanpa ada pertanyaan.Tuntutan Ibu benar-benar diabaikan, bahkan saat dia tidak sadarkan diri dan digotong ke kamar dalam diam. Eyang Jaya tetap bergeming pada pendiriannya. Dengan baju lurik yang sudah disingsingkan, tangannya mengacung ke arah pintu keluar.Tidak ada yang dikatakan selain pengusiran Alexander dan rombongan se