“Maaf, jika aku mengganggu waktu kalian yang sedang berciuman.”Evelyn dengan cepat dan gugup mendorong dada Ethan, ketika Hubert sudah berada di ambang pintu. Hubert, menyandarkan sisi tubuhnya pada bingkai pintu sambil menatap ke arah Ethan dan Evelyn yang tampak salah tingkah.“Hmm… aku permisi,” ucap Evelyn kikuk. Dia melangkah menundukkan kepalanya dalam. Ethan menatap ke arah Hubert dengan pandangan serius. “Urus pria ini dan segera hubungi pengacara. Alberto sudah menyerukan peperangan kepada kita! Dan persiapkan semua saksi!” Titah Ethan kepada Hubert dengan suara yang tegas.Pria yang masih berdiri di ambang pintu itu pun menghormat. “Siap, laksanakan!” jawabnya. Ethan menyusul Evelyn yang sudah berjalan lebih dulu sambil memegangi bahunya yang terasa nyeri. Di luar kamar itu, Ethan menatap punggung Evelyn yang melangkah sambil kaki wanita itu sesekali menendang angin. “Evelyn…!”Wanita itu memutar kepalanya menatap Ethan dengan wajah malu-malu lalu tertunduk. Ethan berl
"Papa!" Raizel berlari dengan riang menyambut kedatangan Ethan dan Evelyn. Ethan berjongkok di ambang pintu utama sambil merentang kedua tangannya. Raizel, dengan girang melompat ke dalam pelukan Ethan. "Aakh!" Ethan meringis saat pelukan Raizel mengenai luka tembaknya. Raizel mendorong tubuhnya mundur, menatap heran kepada Ethan. "Papa, apakah Papa sakit?" tanya Raizel berwajah cemas. Ethan menggeleng. "Tidak, hanya bahu Papa sedikit terasa nyeri karena tadi terbentur saat bekerja," jawab Ethan berkilah. Wajar jika Raizel tidak tahu. Sebab, Ethan sudah mengganti kemejanya saat dirinya dan Evelyn pergi ke rumah sakit. Evelyn, ikut berjongkok. Dia mengusap pucuk kepala Raizel dengan sayang. "Rai, kenapa belum bobo?" tanya Evelyn. Evelyn mengenakan manset tangan sebelum pulang. Dia tidak ingin jika Raizel melihat pergelangan tangannya yang memar. Sebelum dirinya dan Ethan kembali, mereka sudah menyiapkan semuanya. "Rai dari tadi gelisah. Rai takut terjadi sesuatu kepada Mama dan
"Terima kasih, tapi aku hanya ingin minta maaf dengan sikapku yang tadi." Evelyn mencoba menolak untuk tidak masuk ke kamar Ethan. "Ya sudah, aku juga minta maaf. Seharusnya, aku tidak memberikan bunga seperti itu untukmu," jawab Ethan kikuk. "Hmm… tidak masalah, kalau begitu, aku… aku kembali ke kamar." pamit Evelyn. Ethan hanya mengangguk. Dia takut salah, dia sudah tidak ingin ada pertengkaran. Dia ingin memperbaiki semua. Dari itu, Ethan tidak menahan Evelyn. Evelyn memutar tubuhnya ragu. Mengingat luka Ethan yang mungkin saja masih sakit. Dia, kembali memutar tubuhnya. "Jika ada apa-apa, hubungi aku, ya. Aku takut jika lukamu terbuka—""Tolong temani aku." Ethan memotong ucapan Evelyn dengan cepat. Evelyn terdiam, ada keraguan dalam dirinya. Dia takut jika Ethan akan lepas kendali dan berakhir dengan peluh seperti yang sudah-sudah. Ethan yang menyadari atas keraguan Evelyn pun meraih tangan wanita di hadapannya itu. "Aku berjanji, aku tidak akan menyentuhmu sebelum kita men
"Ethan, apa yang terjadi? Kamu terlihat tidak baik-baik saja."Evelyn terbangun dengan kaget saat merasakan tubuh Ethan gemetar saat Ethan memeluknya. Dalam kepanikan, Evelyn segera bangun dan meraba dahi Ethan. Evelyn terkejut ketika merasakan panas di dahi Ethan. "Aku tidak apa-apa, Evelyn. Aku hanya merasa demam," jawab Ethan lemah dengan suara bergetar. Evelyn menatap khawatir. "Tapi suhu tubuhmu naik, Ethan. Aku takut kau kenapa-kenapa," ucap Evelyn.Mungkin karena efek anestesi yang hilang setelah Ethan mengalami luka tembak membuat suhu tubuhnya naik dan mengalami demam. Karena sebelum kembali ke kediaman, Ethan mengobati luka tembaknya di Rumah Sakit."Oh, jadi kamu benar-benar bisa merasakan apakah suhu tubuhku naik? Aku tidak tahu kalau kamu memiliki kekuatan super seperti itu." kelakar Ethan agar Evelyn tidak khawatir dengan keadaannya.Evelyn memandang serius. "Ini serius, Ethan. Kamu terlihat tidak sehat. Aku akan meminta pelayan untuk membuatkan bubur untukmu. Dan meng
Evelyn melangkah masuk ke perusahaan dengan langkah ringan dan wajah yang berseri. Senyum selalu terukir di bibir plumnya, karena Ethan akhirnya memberikan kepastian tentang hubungan mereka. Evelyn memasuki ruang kerjanya. Dan di dalam sana, Sudah ada Bella yang menunggu. Bella yang melihat kedatangan Evelyn, segera berdiri dan membungkuk. "Selamat Pagi, Nyonya," ucapnya memberi hormat kepada Evelyn. "Pagi Bella, silahkan duduk!" Evelyn duduk di kursi kerjanya. Dia menatap ke arah Bella yang berada di kursi sekretaris dengan posisi menyamping dari meja kerja Evelyn. "Oh… iya, Bella, kemarin, apa yang terjadi padamu?" tanya Evelyn saat dia mengingat insiden kemarin saat Alice mendatanginya dan membuat semua orang dalam satu perusahaan pingsan.Bella mengangkat wajahnya menatap ke arah Evelyn. "Aku juga tidak tahu, Nyonya. Saat aku keluar dan berjalan melewati koridor, tiba-tiba ada asap yang datang mengepul. Aku pikir, asap itu berasal dari petugas yang melakukan Fogging bulanan un
"Nyonya, kau menuduh tanpa bukti!"Tom berkilah. Dia tidak ingin mengakui apa yang sudah dirinya perbuat. Dengan mata yang liar, Tom berusaha mencari alasan untuk menutupi kejahatannya karena telah bersekongkol dengan pemimpin sebelumnya. "Tom, aku punya bukti. Jika kau tidak katakan yang sebenarnya, aku akan menyeret masalah ini ke jalur hukum!" sentak Evelyn melempar beberapa kertas data-data yang Evelyn bawa ke wajah Tom dengan berang. Tom tertunduk dengan gelisah. Dengan berat hati, Tom pun mulai mengakui apa yang dirinya perbuatan. Karena dirinya sadar, jika melawan pun tentu dirinya juga ikut terseret karena dia hanya mengikuti perintah atasan. "Itu semua ide Nyonya Alice! Tolong jangan diganjar hukuman yang berat," jawab Tom dengan gemetar.Lagi-lagi Alice, apakah dia tidak bosan membuat masalah? Sepertinya, wanita itu memang mencari perkara dan menyiksa dirinya sendiri dengan rencana dan masalah yang selalu wanita itu ciptakan. Satu alis Evelyn terangkat naik. "Alice?""Iya
Alice merasa marah begitu mendalam saat Elsa datang ke ruang kunjungan polisi hanya untuk menghinanya. "Kenapa kamu selalu datang hanya untuk membuat hidupku lebih buruk? Apa kau sengaja menyindirku?" ucap Alice dengan suara yang penuh amarah.Elsa tersenyum sinis, menatap Alice dengan tatapan tajam. "Itu kamu tahu jawabannya. Kok, balik bertanya?" Alice mencondongkan wajahnya lekat di wajah Alice dengan wajah yang begitu serius. "Kamu tahu, Alice, hari-harimu yang bebas akan segera berakhir. Ethan sudah memiliki bukti yang cukup untuk membuatmu berakhir di balik jeruji besi," kata Elsa dengan nada sombong.Dengan pertanyaan yang tajam, Alice membalas, "Apa yang kamu maksud dengan bukti itu? Apakah kamu berpikir aku akan membiarkanmu menghancurkan hidupku?"Alice merasa panas darahnya naik ke kepala, dan dengan gerakan yang penuh kemarahan, ia membuang buah yang diberikan oleh Elsa ke lantai. Buah itu berguling jauh dari tempatnya semula, menggambarkan betapa marahnya Alice pada saat
"Kau katakan, jika wanita menyukai bunga. Kenapa Evelyn mengamuk saat aku memberikan bunga, hah?" Ethan ingin mendapatkan jawaban pasti dari Kevin karena sudah membodohinya. Dia kesal dan begitu marah saat dirinya kembali mengingat Evelyn membuang semua bunga-bunga yang Ethan berikan. Kevin memegangi perutnya sambil menatap heran kepada Ethan. "Tu… tuan, jadi anda menendangku hanya karena bunga? Kenapa sampai Nyonya Evelyn bisa marah kepada anda, Tuan? Tidak mungkin hanya karena bunga, Nyonya bisa mengamuk!" "Itu dia, kenapa bisa? Padahal aku sudah mengikuti saranmu! Kau ingin membodohiku?"Kevin mencoba berdiri dengan tegak. "Nyonya mengamuk seperti apa? Yang aku tahu, Tuan, semua wanita itu menyukai bunga. Selain wanita itu alergi." pungkas Kevin. Ethan, mulai mengambil ancang-ancang bagaimana dirinya dimarahi oleh Evelyn dan meniru gaya Evelyn saat marah. "Kau mendoakanku mati, hah! Sialan! Brengsek! Bawa pergi semua bungamu!" Kevin mengulum tawa melihat Ethan seperti itu. Dia