Hari-hari pengantin baru terusik dengan masalah yang dibuat Ardan, mau tak mau, sebagai kakak tertua, Dewa ikut turun tangan juga. Ardan yang segan dengan Dewa membuat Imel meminta bantuan putra sulungnya menasehati sang adik. “Udah makan?” tanya Dewa saat Ardan baru tiba di rumahnya. “Udah tadi.” Pertanyaan itu dijawab Ardan dengan sedikit lesu. Satu minggu sudah ia diabaikan Imelda, apalagi saat ia tak sengaja membuat kegaduhan dengan adu argumen juga. Sahila yang kala itu masih ada di sana, terkejut melihat Ardan pergi meninggalkan rumah dan Imel marah-marah. Karena tak mau mengganggu Dewa yang sedang bulan madu satu hari setelah hari pernikahannya, jadi lah suasana di rumah itu memanas. Ardan yang pergi, baru kembali ke rumah dini hari. Jelas membuat Imel untuk pertama kalinya mendiamkan anaknya. Selama ini tak pernah ia lakukan itu, namun karena Ardan keterlaluan, hal itu terjadi. “Ibu masih cuekin lo?” “Gitu, deh,” jawab Ardan santai diakhiri helaan napas panjang. “Di rumah
Ardan kembali pulang, setelah memarkirkan kendaraan roda dua miliknya, bergegas ia masuk ke dalam rumah. Pandangannya dikejutkan dengan Imelda yang duduk di ruang makan seorang diri. “Ardan,” panggilnya. Pria itu menoleh, menatap ibunya sambil berdiri di samping sekat yang memisahkan ruang TV dan ruang makan. “Sini …, Ibu mau ngomong,” lanjutnya. Ardan mengangguk pelan, masih terlihat raut wajah tak enak hati juga segan dengan Imel. Ditariknya kursi perlahan, ia duduk bersisian dengan ibunya. “Apa kamu bisa janji sama Ibu, untuk nggak berbuat diluar batas norma agama dan sosial kita?” To the point, tak perlu Imel basa basi–sifatnya memang seperti itu. “Maafin Ardan, Bu,” tuturnya. Imel mengangguk. “Tolong pegang kata-kata kamu, ya, Nak. Ibu kecewa sama kamu, jangan sampai kamu ulangi lagi kesalahan kayak gini apa kamu mau Ibu benar-benar marah?” “Nggak, Bu. Ardan, salah dan khilaf.” Kepala Ardan tertunduk. Imel mengulurkan tangan untuk mengusap kepala sang putra kedua. “Yaudah,
9 tahun kemudian. Suara tombol kode kunci apartemen mewah itu berbunyi dua kali, seorang pria memegang gagang pintu kemudian mendorong pelan ke arah dalam. Ia melepaskan sepatu dan berganti sandal dalam ruangan. Dilemparnya sembarang tas kerja miliknya ke atas sofa besar. Ia beralih ke wastafel, mencuci tangan lalu wajah. Rutinitas yang sudah hampir lima tahun ia jalankan. Sendirian. Hal selanjutnya, ia membuka kulkas, meraih minuman bersoda lalu meneguknya hingga setengah kaleng, tangan lainnya menekan tombol di layar ponsel kemudian meletakan di atas meja dapur. Bokongnya ia sandarkan di depan bak cuci piring yang jarang digunakan. “Ardan, Ibu sama Ayah mau ke luar kota, acara nikahan sepupu. Di kulkas udah ada makanan ya, ‘nak, kamu panasin pake microwave aja. Bang Dewa, Gadis, sama Syafia ke tempat kamu besok. Gadis mau bawain salad buah, sama katanya Syafia mau ketemu Om Ardan. Satu lagi, Araska tanyain kamu, dia mau diskusi tentang tugas kuliahnya, tolong video call ya. Nanti
Ardan mengeluarkan sandal baru untuk digunakan Sahila, wanita itu selalu tersenyum ramah setiap Ardan berlaku sesuatu kepada dirinya. “Kamar kamu itu, Kakak rapikan dulu, belum dipasang sprei karena kamar itu jarang dipake.” “Iya, Kak. Aku bantu pasang spreinya,” tukas Sahila sambil berjalan ke arah kamar. “Nggak usah. Kakak aja, kamu istirahat dulu.” Ardan masuk ke dalam kamar, menyalakan AC lalu mulai mengambil sprei di lemari berwarna putih yang ada di kamar itu. Sahila memindai semua ruangan, apartemen dengan nuansa warna hitam, abu, putih dan emas itu begitu elegan. “Kakak sendirian di sini? Pacar Kak–” Sahila menggigit bibir bawahnya, kenapa juga ia bertanya tentang hal itu. “Maksud ku … itu, Kak–”“Kakak tinggal sendirian.” Ardan begitu tegas menjawab, Sahila mengangguk. Ia berjalan mengelilingi ruangan, membuka tirai putih yang dibaliknya tersimpan pemandangan kota Jakarta dengan gedung megah berdiri kokoh di sekelilingnya. Sahila tersenyum, karena Jakarta memang tak jauh b
Sahila merasa jika ini kesempatannya menunjukan perasaan yang dimiliki. Ciuman pertama yang dicuri Ardan, membuatnya gede rasa. Hal yang wajar walau ia terkejut dengan lelaki itu yang memiliki rahasia ‘menjijikan’ bagi beberapa wanita. Namun, Sahila mencoba memaklumi dengan menganggap hal itu wajar, apalagi, di negara tempat asalnya juga hal itu sudah dianggap biasa bagi beberapa orang. Ia baru saja berbicara dengan maminya melalui sambungan telepon, wanita dengan ketegaran luar biasa yang sama seperti Imelda, mau merawat juga menyayanginya layaknya ibu kandung padahal Sahila lahir dari seseorang yang hampir menghancurkan rumah tangga Prasert dan sang istri. Tangan Sahila lincah memotong sayuran segar, ia akan membuat hidangan makan malam khas masakan Thailand, salad pepaya seafood. Namun, ia tak memakai bahan makanan mentah, ia ganti seafood mentah dengan udang dan ayam rebus sebagai protein. Rasa masam, manis, segar dari perasaan jeruk nipis, sedikit cuka, asam jawa juga air gula
Makan malam selesai, mereka kini duduk di ruang TV, tapi dengan Ardan yang fokus menatap layar laptop sambil memakai earphone. Beberapa kali percakapan dengan bahasa inggris juga diucapkan. Sahila hanya memperhatikan sesekali, sebelum beranjak untuk menghidangkan buah potong untuk Ardan. Ia membeli melon orange dan apel. Ia sudah seperti berperan menjadi seorang istri dengan baik. Kembali senyuman merekah saat melihat gerakan Ardan yang meregangkan kedua tangannya ke atas tubuh, terlihat seksi dan membuat Sahila jingkrak-jingkrak dalam hati. Bagusnya Ardan tak melihat hal itu, bisa malu jika tertangkap basah ia semakin mengagumi kakak angkatnya itu. Setelah mengatur degup jantungnya, ia baru berjalan ke arah Ardan dengan mangkok di tangannya. “Kak, ini buahnya,” ucap Sahila kemudian kembali duduk berjarak dari lelaki itu walau masih di atas sofa ukuran besar yang sama. Ardan melirik, lalu tersenyum. Begitu tampan dan manis senyumannya, membuat Sahila tak kuasa membalas dengan senyum
“Ila!” teriak Imelda saat ia tiba di apartemen Ardan dan mendapati anak kandungnya sedang memeluk putri angkatnya. Ardan langsung melepas pelukannya, ia terkejut melihat Imelda berdiri di dekat dapur, saking asiknya bersama Sahila, ia tak mendengar suara bunyi kode pintu terbuka. “B–bu,” jawabnya gugup. Sahila menunduk, ia menghampiri Imelda dengan berjalan perlahan. Tangannya meraih jemari ibu sambungnya, ia genggam erat dengan tatapan tertunduk. “Jelasin ke Ibu!” tegas Imelda yang jelas sekali tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Ardan mengusak rambutnya, kemudian menghampiri Imelda yang menatap dengan wajah penuh rasa kesal. Wanita itu tak memberi celah untuk putranya sekedar mencium pipi. Imel duduk di sofa, bersama Sahila di sebelahnya. Putra keduanya tampak bingung, tak tau harus menjelaskan dari mana, karena memang ia tak menyangka juga tak siap hal ini justru ketahuan Imelda lebih cepat diluar rencana. “Bu … Ardan–”“Sahila pulang sama Ibu sekarang. Sebelum terjadi sesua
Hati seorang ayah sejatinya sama dengan ibu yang memiliki feeling kuat tentang anaknya. Hanya saja, seorang ayah tidak akan berbicara lantang mengutarakan isi hatinya. "Ila, lagi bikin apa?" tukas Rizal sambil mengintip dari balik bahu sang putri angkat. "Ibu minta Ila bikin dumpling, tadi Ibu bikin adonan kulit, Ila bikin isinya. Ayam dan udang.""Pakai kecap asin nanti, 'kan untuk sausnya?" lanjut Rizal. "Iya," jawab wanita cantik itu. Rizal tersenyum, ia menyeret kursi meja makan kemudian duduk. Pria itu menatap sendu ke Sahila yang memunggunginya. "Ila, tau kalau Kak Ardan mau dijodohkan dengan anak teman Ibu?" Tak bisa menutupi, Rizal blak blakan bicara. Tangan Sahila berhenti melakukan kegiatannya sejenak, kedua matanya terpejam, sedetik kemudian ia mengangguk. "Nanti malam acara makan malamnya, Ila bisa ikut, 'kan?" "Bisa," jawabnya sambil menoleh kebalik bahu untuk menatap ayah sambungnya. Sahila sadar diri, ia mulai menutupi lagi isi hatinya karena tak ingin mem
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda