"Mel... kok aku lihat mobil Rizal di parkiran?" Kara bertanya saat keduanya tengah berada di toilet kantor."Hh? Ngapain?" Imel buru-buru mencuci tangan lalu mengeringkannya dengan alat pengering."Ngapelin kamu, kali," goda Kara. Imel berdecak lalu merogoh ponsel di dalam saku. Ada lima pesan masuk dan satu telepon tak terjawab, keduanya dari Rizal. Imel mengusap layar, ia lalu membaca pesan itu. Isinya, Rizal mau bertemu untuk ambil pesanan kue.Imel pamit ke parkiran kantor untuk bertemu Rizal kepada Kara, wanita itu terus menggodanya sedangkan Imel hanya tersenyum tipis. Tiba di lobi, Rizal ternyata sudah berdiri di teras gedung, ia melihat ke sekeliling memegang ponsel di tangan, berniat menghubungi Imelda pada awalnya."Mas," sapa Imel. Rizal berbalik badan. Ia tersenyum menatap Imelda yang melihat ke arahnya bingung."Kuenya, ‘kan, besok, bukan sekarang," tutur Imelda sembari bersedekap, ia menatap Rizal dengan kepala sedikit mendongak karena tubuh Rizal tinggi tegap."Lho... b
"Ayah, yakin?" Dewa menoleh, menatap lekat Rizal yang sudah duduk di posisi penumpang depan."Yakin, ayo, jalan. Matic ini mobilnya, kamu naik motor bisa, mobil pasti bisa. Ayo, pelan-pelan dulu," ucap Rizal yang sengaja cuti di hari jumat itu demi mengajarkan Dewa belajar nyetir mobil. Rizal mendadak menjemput Dewa di sekolah setelah putranya mengatakan jika hari itu tak ada pelajaran, karena hanya persiapan try out minggu depan.Dewa membaca doa, lalu kaki kanannya menginjak pedal gas. Rizal mengarahkan dengan santai tapi serius, layaknya laki-laki dan Rizal mengarahkan langsung ke jalan utama menuju ke area komplek perumahan mereka dulu, di sana lebih lega jalanannya dan sepi, memudahkan Dewa untuk terbiasa dengan pedal gas rem."Jangan tegang, Bang, santai aja, sama kayak naik motor, kok, cuma bedanya kalau mobil perhitungan kamu aja harus lebih cepat dan teliti, karena body mobil gede, kan." Rizal melirik ke spion kiri."Oke, Yah," jawab Dewa."Rem, Bang. Pelan-pelan coba kamu ra
Araska duduk di kursi meja makan di apartemen Imelda. Bocah itu sudah mandi dan tampak menikmati sarapan yang Imel hidangnya."Ibu, kata Ayah, Raska tinggal di sini sekarang?" Pandangan bocah itu mengekor ke Imel yang mondar mandir sedang mempersiapkan diri hadir di acara reuni sekolah."Iya. Sementara kok, Ka, nanti kalau Ayah nggak sibuk, Araska pulang lagi ke rumah." Imel menjawab sembari mengusap kepala bocah itu pelan. "Buah apelnya mau Ibu potongin sekarang?" tawar Imel. Araska mengangguk."Bu, Bang Dewa ke mana? Kak Ardan juga?" Araska memang tak mendapati dua kakaknya sejak ia bangun tidur pukul delapan pagi tadi."Kak Ardan latihan basket, Bang Dewa di gym yang ada di lantai bawah. Mereka kalau hari sabtu, suka olahraga," jawab Imel. "Sebentar lagi juga pulang. Raska nonton TV dulu, ya, Ibu mau siap-siap sebentar," lanjutnya kemudian masuk ke kamar. Tak lama terdengar suara Ardan dan Dewa pulang, kedua pemuda itu menyapa Araska yang sedang makan buah apel."Bu...," panggil Ar
"Kasih aku kesempatan kedua, Mel, juga yang terakhir, ya ...." Rizal masih menggenggam jemari tangan sang mantan istri. Imel kemudian melepaskan genggaman tangan itu perlahan. Rizal tak bisa berbuat apa-apa lagi."Ayo kita ke dalam lagi, aku takut temen-temen cariin kita," ajak Imel. Rizal menarik tangan Imel lagi. Ia segera menangkup wajah Imel, menghapus sisa bulir air mata. Mau tak mau, Imel menatap lekat mata Rizal yang begitu sendu."Mas...," Imel memundurkan wajahnya. Rizal menghela napas, ia mengusap pelan kepala Imel begitu lembut."Maaf, aku tetap berharap kita rujuk, aku nggak bisa hilangin perasaan aku ke kamu, Mel. Tolong pikirin dan pertimbangan permintaan aku ya, dan, jangan dekat sama siapa pun, aku cemburu. Aku egois minta ini dari kamu," tukasnya. Imel tertawa pelan."Benar, kamu egois, Mas Rizal, sangat." Lalu Imel berjalan lebih dulu, Rizal mengejarnya dengan cepat, ia meraih jemari tangan Imelda, digenggam erat."Aku egois, dan cemburu, aku serius, Mel. Tadi kamu d
Imel terkejut saat ia membuka kedua matanya, di dapati sang mantan suami tidur satu ranjang dengannya. Araska bahkan memeluk pinggang Rizal sambil tertidur pulas.Di luar kamar, terdengar suara gaduh di dapur, Imel tau, ini ulah Dewa yang sedang membuat sarapan. Jam menunjukkan pukul lima pagi, Imel beranjak pelan, masih terasa sedikit pusing pada kepalanya. Gerakannya yang turun dari ranjang, membuat Araska tergeliat, Imelda memberikan guling untuk di peluk Araska sambil mengusap punggungnya hingga kembali tidur.Harum masakan sudah tercium, Dewa terkejut melihat ibunya sudah berjalan mendekat ke arah meja makan kecil di dapur."Ibu..., masih pusing?" Dewa memegang kening Imelda. "Nggak demam," lanjutnya lagi."Masih pusing sedikit, Bang. Bang... kok, itu... Ayahmu–" Imel menggantung kalimatnya."Semalem Ibu pingsan, Abang sama Ardan akhirnya telpon Ayah. Ayah kecapean dan ngantuk banget kayaknya, jadi tidur di kamar Ibu." Dewa tampak santai menjelaskan kenapa Rizal bisa ada di kamar
Rizal pamit, memang seharusnya ia pulang, kan, karena tak bawa pakaian ganti dan tidak niat ada di sana. Araska asik main PS bersama Ardan, Imel mengantar hingga ke ambang pintu. Jelas sekali kesedihan Rizal, Imel hanya bisa tersenyum saat Rizal pamit dengan melambaikan tangan. Pintu tertutup, Imel memejamkan kedua matanya. Biarkan mantan suaminya itu pergi, tenggelam bersama kesedihan juga rasa bersalahnya.Siang menjelang, Imel sudah jauh lebih baik, Araska tak mau berenang, ia justru minta ke toko buku, ia minta dibelikan crayon dan buku gambar. Hal itu disambut Dewa senang, lagi-lagi, gen Rizal yang juga senang berada di toko buku entah membeli novel, komik, atau buku bacaan lainnya, menurun di dua anaknya itu, jika Ardan, mendadak pusing melihat jajaran buku di rak, mirip Imel.Mereka bersiap pergi ke mal yang ada di pusat kota. Supaya tidak saling mengganggu kegiatan masing-masing, Dewa bersama Araska ke toko buku, sementara Imel dan Ardan belanja bulanan ke supermarket."Bu...,
"Jangan buru-buru, biar Rizal kapoknya lebih lama." Kesal ibunda Rizal yang sedang duduk di kursi ruang tamu bersama Imel juga Tata. Para lelaki asik di lantai dua, main PS lagi, tak jauh-jauh dari game jika sudah kumpul."Kak Imel, emang yakin, mau kasih kesempatan kedua Mas Rizal? Ya... kelihatan sih, emang dia ngarep kalian rujuk." Tata menyerahkan piring puding ke tangan ibunya lalu Imel."Nggak tau, dan emang masih... ragu, Ta." Imel menghela napas. Ibu mengusap bahu Imelda lembut."Jangan buru-buru intinya, ya, Mel. Kalau kalian masih ada jodoh, pasti suatu saat dimudahkan jalannya. Rizal memang terburu-buru, kelihatan dari gerak geriknya." Ibu menyendok puding lalu mulai menikmatinya."Iya, Bu. Maaf ya, Bu, kalau kesannya Imel mainin perasaan Mas Rizal, Imel butuh berpikir lebih serius, Bu," lanjutnya."Nggak papa, Nak. Ibu malah malu kalau mendadak, cepat-cepat, kalian rujuk. Ibu malu sama keluargamu, dua adikmu juga butuh pembuktian kalau Rizal memang berubah, kan? Belum lagi
Rizal termenung di ruang kerjanya, ia menatap bingkai foto yang setia berada di atas meja kerja sejak belasan tahun lalu, foto saat ia masih menikah dengan Imelda, juga foto dua anaknya yang masih kecil kala itu. Sudut bibir Rizal tertarik melengkung ke atas, ia menjadi senyum-senyum sendiri mengingat acara makan malam bersama anak-anak dan mantan istri malam sebelumnya.Harapannya begitu tinggi bisa kembali dengan Imel, rencana lain ia rancang. Jika memang Imel masih menolak, Rizal yakin tak lama akan luluh juga."Permisi, Pak, ini... baju untuk Bapak dan keluarga," ujar stafnya yang menyerahkan pakaian pesanan Rizal."Makasih, ya," jawab Rizal. Ia segera menerima plastik warna putih itu. Tak lama, ia mematikan laptop, lalu bersiap pulang. Pekerjaannya sudah selesai, tapi, malam nanti ia akan ada meeting virtual dengan beberapa kepala unit area yang ia pimpin, perhelatan acara ulang tahun bank tempatnya bekerja, memang tak main-main, ia harus memastikan semua karyawan di bawah pimpin
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda