Ardan juga Sahila, menyembunyikan Reno sementara waktu, tak mau membuat ketentraman keluarga lain terusik. Kamar tamu sudah ditempati Reno dan mau tak mau Sahila tidur di ranjang yang menjadi saksi bisu kelakuan Ardan.Padahal, tadinya malam itu mereka belum mau menempati apartemen, tapi apa boleh buat, kehadiran Reno secara mendadak membuat rencana keduanya buyar.Pagi tiba, Sahila sudah membuat sarapan lezat, ia membuat roti kismis sejak pukul tiga pagi. Harumnya menyebar ke seluruh ruangan apartemen."Reno," sapa Sahila saat melihat bocah itu sudah tampak rapi dengan seragam. "Masih jam lima pagi, kok sudah siap?""Sudah biasa," jawabnya singkat. Reno meletakkan tas sekolah di lantai samping kursi, tak langsung duduk, ia mendekat ke arah kitchen set. "Cangkir ada di mana, Tante, Reno mau bikin teh manis," ucapnya."Ada di sini, tapi Tante Ila udah bikinin susu hangat, ada di meja," tunjuk Sahila. Reno menoleh, menatap ke arah meja makan."Reno biasa minum teh manis aja kalau pagi,"
Sahila duduk menatap Reno yang tidur meringkuk di atas ranjang kamar tamu, tubuhnya demam, ia juga mengingau. Efek memar pada tubuhnya membuat hal itu terjadi. Ardan melangkah pelan, ikut duduk di sebelah Sahila yang mengusap kepala Reno. "Aku mau tes DNA, La," lirih Ardan. Sahila mengangguk setuju, tak tega rasanya. "La ... kenapa jalan hidup aku ulang kesalahan Ayah? Apa ini ... karma?" Ardan tertunduk. "Kalau Reno anak aku, aku bersalah banget, La.""Mas Ardan, jangan sesali yang sudah lewat. Lihat ke depan dan berdoa terus, supaya keturunan kita nantinya nggak ada yang seperti ini. Jalan hidupnya jauh lebih baik." Tangan Sahila menggenggam jemari Ardan. Tatapannya berubah terlihat penasaran akan sesuatu. "Ada apa? Mau tanya sesuatu?" tukas Ardan. "Iya. Ehm ... Ibunya Reno, mantan pacar kamu yang mana, Mas? Sepertinya aku nggak kenal selain Kania?" Ardan menatap istrinya lekat, lalu mencium keningnya. "Sebenarnya bukan mantan pacar, hanya dekat, karena dulu aku--""Terkenal
Mereka masih menutupi keberadaan Reno, bahkan saat keduanya menjenguk Gadis yang baru melahirkan di rumahnya, Reno ditinggal di apartemen seorang diri. Bocah itu tak akan ke mana-mana, Ardan juga sudah menitipkan pada sekuriti."La, jangan sampai keceplosan, ya," bisik Ardan saat mereka tiba di depan rumah Dewa dan Gadis."Iya, tenang aja." Sahila merapikan tatanan rambutnya, Ardan yang suka jail sengaja mencuri ciuman di pipi sang istri, hal itu membuat Sahila menyipitkan mata menatap Ardan namun direspon ciuman di bibir."Om! Tante!" teriak si sulung. Putri pertama Dewa dan Gadis membuka pagar rumah."Hai cantik," sapa Sahila setelah turun dari dalam mobil."Hai Tante Ila cantik," balasnya. Sahila mencium pipi gadis kecil itu, lalu berjalan ke dalam rumah. Ardan mengekor setelah menutup pagar dan mengusap kepala keponakannya."Bang," sapa Sahila ke Dewa yang sedang merapikan tas koper dari rumah sakit, mereka baru tiba malam hari sebelumnya."La, duduk. Apa kabar?" Dewa memeluk Sahi
Reno masih sesenggukan, pelukan erat terus Ardan berikan untuk putranya. Test DNA rasanya tak perlu, karena jelas sekali anak itu darah dagingnya. "Reno, maafin Papa, ya," lirih Ardan. "Reno bingung," ucapnya masih terus membalas pelukan Ardan. "Nggak perlu bingung, kamu anak Papa, Papa yakin. Papa urus semuanya, kamu pindah sekolah ke tempat yang kamu bisa nyaman, Papa nggak akan paksa kamu. Maafin Papa ya, Nak." Jiwa kebapak-an Ardan muncul natural. Sahila berdeham, sejak tadi ia sudah duduk di sofa, memperhatikan dua lelaki beda usia itu saling berderai air mata. "Reno, sini duduk ... Tante Il-- mmm ... Mama Ila mau kasih tau sesuatu." Sahila mengulurkan tangan. Reno berjalan perlahan, mendekat lalu duduk bersisian dengan wanita cantik itu. "Reno jangan sedih lagi, kalau Kakek dan Nenek Reno masih belum terima, pelan-pelan nanti pasti bisa. Reno sabar ..., Papa dan Mama, nggak akan tinggalin atau lepasin Reno." Reno mengangguk. Sahila menoleh ke Ardan yang masih menghapus air
Sahila dan Ardan bertemu muka dengan Meli, ibu kandung Reno saat wanita itu kembali dari luar kota. "Reno resmi jadi anak kami. Aku mohon, mulai sekarang ... setelah resmi semua dokumen Reno selesai, kita jalani hidup masing-masing. Kami akan membesarkan Reno dengan cara kami." Ardan sudah membuat keputusan, Meli tak bisa apa-apa selain mengangguk paham. "Reno tetap anak Kak Meli, jangan khawatir." Sahila tersenyum. Reno memalingkan wajah, ia tampaknya tak suka dengan ibu kandungnya sendiri. "Saya tau. Kalian akan sangat menjaga baik Reno, karena saya ... tidak sanggup. Saya--" Mendadak lidah Meli kelu, rasanya berdosa sekali jika ia berkata dirinya tak bisa berhenti bekerja sebagai pelacur kelas kakap. Apa pun kelasnya, pelacur tetaplah pelacur. "Di mana lagi saya harus tanda tangan lagi? Saya nggak bisa lama-lama, karena saya harus pergi ke Sulawesi." Begitu enteng lidahnya bicara, seperti tak ingin terbeban dengan urusan Reno. "Cukup. Kalau memang nanti saya butuh tanda tangan
Suasana acara 7 bulanan Sahila terasa hikmat, Ardan yang semula tidak menerima kehadiran si jabang bayi di dalam perut wanita itu, kini justru begitu bahagia saat hendak menjadi ayah dari anak keduanya.Kedua mata Sahila terpejam saat Ardan mencium keningnya lekat, sambil mengusap perut buncitnya. Setelan beskap jawa juga dengan kebaya cantik warna ungu muda, membuat pasangan itu terlihat gagah juga anggun.Reno berdiri menjauh, merasa takut untuk mendekat ke arah orang tuanya. Sahila yang tau ada salah satu anggota keluarganya yang kurang, mencari keberadaan putranya."Mas Ardan, Reno ajak ke sini," pinta Sahila sambil menatap Ardan. Suaminya menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan Reno yang berhasil ia dapati berdiri di balik tembok garasi."Reno, sini!" panggilnya. Reno yang juga memakai beskap warna senada dengan Ardan tampak berjalan begitu pelan, kepalanya tertunduk, sesekali melirik ke arah Rizal dan Imelda yang menatap tajam ke arahnya.Dewa menggandeng tangan Reno untuk me
Sahila merapikan tempat tidur yang baru dibeli. Ia bisa tersenyum karena ranjang ini singgasana bersama Ardan."Mau sampai kapan kamu senyum-senyum begini, La?" suara itu terdengar menggoda, ditambah pelukan dari belakang yang dilakukan Ardan. Telapak tangan besar suaminya mengusap perut buncit yang bergerak pelan dari dalam."Happy," jawab Sahila. Ardan mengeratkan pelukan. Mencium aroma vanila dari tubuh wanita yang dulu ia anggap adik, kini menjadi istrinya."Mama sakit, Mas, apa aku boleh ke sana?""Yakin? Masih ingat bahasa Thailand?" godanya. Tak lupa jemari tangan Ardan lainnya menyatukan rambut panjang Sahila lalu memindahkan ke sisi kiri bahu. Bibir Ardan bergerak dari pipi kanan menuju ke leher.Kecupan basah ia berikan, Sahila memejamkan mata. "Masih ingat. Aku orang yang susah melupakan apa yang sudah mendarah daging.""Termasuk ... perasaan cinta kamu ke aku?" bisiknya lalu mengecup bahu mulus Sahila."Ya. Itu salah satunya." Sahila tak ragu lagi. Untuk apa, disaat Ardan
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda