Beranda / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 68: Bryan atau Zhafran?

Share

Bab 68: Bryan atau Zhafran?

Penulis: Ngolo_Lol
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-31 20:34:45

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30. Aku menutup kepala dengan topi hoodie warna kuning yang membungkus tubuh. Menyumpal sebelah telinga dengan headset, aku bersiap untuk pulang dari Klub Stari.

Ya, malam ini giliranku untuk pulang malam.

"Gue duluan, yah, guys!" seruku pada Kesya dan Angel yang sedang minum-minum.

"Lo nggak mau ikutan party, Nil?" Angel bertanya dengan setengah berteriak di samping wastafel.

"Enggak, deh, lain kali aja. Lagi enggak enak badan gue," ucapku berbohong.

Biasanya, kami akan selalu menghabiskan malam dengan berpesta pora di kamar Angel dan Kesya sambil menunggu ada pekerjaan. Namun, malam ini entah kenapa, aku sedang tidak ingin bergabung seperti malam-malam biasanya.

Setelah mendengar keterangan dari Angel dan Kesya soal pelelangan perawan di Klub Stari ini, terlebih lagi mendengar nama Zhafran juga sering ikutan membeli perawan tersebut, menjadikan aku melamun sepanjang waktu.

<
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
siapakah itu... zhafran apa bryan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 69: Bertemu Kembali. Mulai Ada Rasa

    Ibarat kata, pucuk dicinta ulam tiba, pria yang rencananya hari ini akan kudekati, tetapi malah hadir di hadapan. Tatapanku memindai pria yang dengan celana jeans hitam serta baju kaus berwarna senada, di balut oleh jaket kulit berwarna cokelat itu, melemparkan senyum termanisnya padaku. Tangannya melambai ke udara, menyapa diri ini. Aku yang masih tengah melamun dengan sosoknya itu, tetap menatapnya dalam diam. "Hey!" Sebuah jentikkan jari di depan wajah, membuyarkan lamunanku. "Bengong aja. Kaget yah, liat aku?" Pria itu cengar-cengir. "Eh, Kakak ...," ucapku seraya melepaskan earphones dari telinga. Aku menggaruk rambut berponiku yang kini mulai sedikit memanjang. "Gimana kabar kamu, Nil? Udah lama kita enggak ketemu," tanya Bryan sambil membelai tengkuknya. Terlihat dia sedikit canggung saat ini. "Baik," jawabku singkat. Aku kembali memakai earphones. Bersiap untuk melanjutkan jogging. "Tunggu, Nil!"

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 70: Tuan Burhan yang Dermawan

    Mobil Bryan terus melaju, menjauh dari depan gedung klub malam. Meninggalkan teriakkan gadis belia itu yang mulai memelan akibat jaraknya yang sudah menjauh. "Lagi ngeliatin apa, Nil?" tanya Bryan. Dia tetap fokus pada jalanan di depan. "Emm, bukan apa-apa, Kak," jawabku berbohong. Pikiranku teringat dengan ucapan Angel dan Kesya yang mengatakan akan ada pelelangan perawan di Klub Stari. Apakah gadis kecil tadi yang akan dilelang? Sungguh sangat disayangkan jika hal itu benaran terjadi. Diperkirakan umur gadis kecil itu baru menginjak 15 tahun. Dia masih sangat dini sekali. Bagaimana mungkin mereka tega menjual gadis sekecil itu hanya untuk lembaran uang. Apakah mereka tidak punya hati nurani? "Kamu kenapa, dari tadi diam mulu?" Bryan kembali bertanya. Sontak saja lamunanku terbuyar kala mendengar suara merdu Bryan menyapa telinga. Aku menatap Bryan dengan mata mengembun, mengingat bagaimana mirisnya nasib gadis k

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 71: Gadis Belia yang Dilelang

    Bryan memulangkanku kembali ke apartemen setelah acara amal dan jajannya selesai. Kami menghabiskan waktu dengan gembira selama di panti asuhan tadi. "Mau mampir dulu, Kak?" tawarku setelah turun dari mobil Bryan. Petugas kepolisian itu terlihat menimang-nimang sesaat sebelum menjawab. "Lain kali, deh, Nil. Aku ada urusan yang harus segera diselesaikan," jawabnya. "Baik, Kak. Hati-hati, yah!" Aku merentangkan jari-jari tangan, lalu mengayunkan ke kiri dan kanan. "Bye!""Bye, Nil!" seru Bryan. Lantas, mulai melajukan mobilnya pergi dari hadapan. Aku mulai mengayunkan kaki menuju lantai kamar apartemen-ku. Ketika keluar baru keluar dari lift dan menyusuri koridor, aku merasa seperti ada seseorang yang mengintaiku dari belakang. Segera aku membalikkan badan, memastikan apa yang kurasakan. Kosong. Tidak ada siapa pun di sepanjang koridor ini. "Hmm, aneh! Apa perasaan gue aja, yah?" Aku mengetuk-ngetuk dagu se

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 72: Melawan Para Bouncer

    Tangan besar si bouncer itu menarik dengan kasar lengan gadis kecil yang berada di belakangku. "Enggak! Aku nggak mau! Lepasin aku!" Gadis kecil bermata sipit itu memberontak, memukul-mukul lengan besar sang bouncer. Dalam sekerlip, gadis kecil itu menggigit lengan si bouncer. "Arrggh!" erang si bouncer melepaskan cengkeraman pada tangan gadis itu. Dia menatap gadis itu dengan nyalang, sedangkan si gadis kembali berlari ke belakangku bersembunyi. Tangannya memeluk erat pinggangku. Sangat terasa tangan gadis itu gemetar, bahkan aku juga bisa merasakan degup jantungnya yang kencang. "Kurang ajar, berani-beraninya lo!" Bouncer itu kembali menarik kasar lengan gadis kecil itu. Bahkan, tangan si bouncer terangkat tinggi ke udara hendak melayangakan tamparan ke wajah gadis itu. Aku tidak bisa tinggal diam lagi melihat ketidakmanusiaan di hadapan ini, segera aku mengangkat kaki dan menendang keras perut bouncer itu. Memb

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 73: Berusaha Menolong Gadis kecil itu

    Aku mundur beberapa langkah seraya menatap tajam pria tua itu. Ingin sekali rasanya aku melayangkan bogem mentah di wajahnya yang selalu memindaiku aneh. "Gimana? Kamu mau menggantikan gadis kecil tadi?" Pak Hengky kembali menanyakan pertanyaan yang sama dengan raut santai. Seakan-akan pekerjaan yang ditawarkankannya itu pekerjaan yang halal dan sangat menguntungkankanku. Aku mundur beberapa langkah sembari mengepalkan tangan hingga bergetar. Pikiranku rasanya mendadak tumpul. Bingung harus melakukan apa untuk bisa membebaskan gadis kecil yang bernama Aisyah tadi. "Kamu masih perawan, 'kan?" Pak Hengky bertanya lagi dengan seringai menjijikan. "Kalau kamu masih perawan, kamu bisa menggantikan posisi gadis kecil tadi.""Enggak, Pak, teman kami yang satu ini udah lama jebol, kok!" Angel tiba-tiba bersuara dan merangkul pundakku. "Maafin teman kami, yah, Pak. Kami akan pastikan anak ini nggak bakalan mengganggu bisnis Pak Hengky lagi!"

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-05
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 74: Semenjijikan itu!

    Bukan hanya Kesya, aku pun juga ikutan tertegun dengan mata membulat sempurna. Tidak pernah menyangka, jika Zhafran yang dimaksud oleh Kesya itu adalah Zhafran yang sama dengan pria berandalan itu. Tidak pernah menyangka, jika Zhafran-lah yang suka membeli perawan gadis belia. Penampilan Zhafran pada malam ini, sangat jauh berbeda dengan penampilan Zhafran kemarin yang seperti pria berandalan. Dia memang masih mengenakan anting-anting jelek itu, tetapi dia tidak mengenakkan pakaiannya yang robek-robek. Zhafran tampil dengan balutan kemeja hitam mengkilap lengkap dengan dasi panjangnya. Tidak bisa dipungkiri, hatiku terasa sakit sekaligus sesak mengetahui kebenaran ini. Napas pun rasanya tercekat di tenggorokan. Aku tidak habis pikir jika Zhafran semenjijikan itu orangnya. Tega sekali dia menjadikan gadis di bawah umur sebagai pemuas nafsu setannya. "Eh, dia mau kemari, mau kemari, mau kemari, tuh!" Kesya kembali berseru heboh kala melihat lang

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 75: Pelelangan Perawan

    Baru saja dua langkah masuk ke ruang lelang, bouncer yang berjaga di dalam berseru menghentikan kami. Serentak kami membalikkan badan, menghadap bouncer tersebut. "Ada apa, Om?" tanya Kesya dengan nada manja. Bouncer dengan tampang cambang tebal itu mengayunkan kaki mendekat pada kami bertiga. Dia menatap diri ini dengan tajam. Membuatku sedikit gugup. "Tuangin minuman buat gue! Haus banget." Bouncer itu mengusap-usap tenggorokannya. Aku mengganguk singkat, lalu segera menuangkan alkohol yang berwarna pekat itu dan memberikannya ke bouncer. Dia kembali ke tempatnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Aku mengembuskan napas lega, sempat berpikir bouncer itu mengenaliku. Pasalnya, dia bouncer yang sempat berduel denganku tadi. "Dasar bodoh, bagaimana dia bisa ngenalin lo Nilfan? Sedangkan lo sendiri makai topeng dansa ini!" gumamku merutuki kebodohan diri sendiri. "Ayo." Kesya menyenggol pelan lenganku. Kami melanjutkan langkah masuk ke ruang lelang lebih dalam lagi. Ruang l

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 76: Pelelangan Perawan ll

    "Baik, baik. Tapi setelah ini, lepasin saya, yah, Tuan!" pintaku masih tetap mempertahankan suara yang diberat-beratkan. "Hm!" Zhafran mengedikan sebelah alisnya singkat sambil menarik wajahnya menjauh. Aku segera meninum minuman keras itu. "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk!" Baru saja sekali teguk, aku sudah tersedak dengan rasa minumannya yang begitu pedis, pahit, dan mencakar tenggorokan. Air mataku langsung luruh kala meneguknya. Minuman keras ini berbeda dengan minuman keras yang biasanya aku minum bersama Angel dan Kesya. Rasa minuman ini jauh lebih keras dan berat dibanding minuman yang biasanya aku minum. "Kenapa? Menyerah? Lo nggak bisa bangkit dari pangkuan gue sebelum ngehabisin itu minuman!" Zhafran berujar dengan raut dingin. Aku kembali memaksa untuk minum minuman keras itu. "Uhuk, uhuk!" Walaupun terbatuk, aku terus memaksa untuk meminumnya sampai tandas. "Sudah, Tuan," ucapku lirih. "Tuang lagi!" perintah Zhafran kembali. Aku pun menurutinya. "Minum!" "Hah? Tapi, Tuan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07

Bab terbaru

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 106: Masalah Beruntun

    Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 105: Berubah

    Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 104: Dua Polisi yang Bekerja Sama

    Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m

DMCA.com Protection Status