Kaca mobil itu diturunkan sepenuhnya. Menampilkan seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas kantoran dengan sedikit uban di pelipisnya. Dia tersenyum manis kepada diri ini. Aku pun membalas senyumannya dengan sedikit kikuk. "Kamu mau ke mana?" tanya pria itu sambil membuka pintu mobil. Keluar dari sana. "Emm, saya ...." Aku menggantung kalimat seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ke mana?" Dia mendesak tidak sabaran. "Saya lagi nyari kerjaan Tuan Besar," jawabku berbohong. Tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang harus segera mencari pekerjaan, karena sekarang aku butuh makan juga tempat tinggal. "Owh, begitu." Ayah dari Bryan dan Zhafran itu manggut-manggut seraya terlihat sedang berpikir."Kalau kamu mau, kebetulan ada teman saya yang lagi nyari karyawan untuk tempat kerjanya ....""Mau, Tuan, saya mau. Apa pun pekerjaannya, saya mau. Yang penting halal," ucapku antusias menyela p
Aku menggenggam erat kalung titanium dengan liontin setengah hati itu. Mata ini mengembun menatapnya. Napasku rasanya tercekat di tenggorokan, melihat kalung sama persis dengan yang dipegang Zhafran waktu itu. Lebih tepatnya, ini kalung couple Zhafran waktu itu. Couple-nya ada pada Kak Naila. Mereka mempunyai kalung couple dengan bentuk hati. Apa sebenarnya hubungan antara Kak Naila dan Zhafran? Mengapa mereka sampai mempunyai kalung couple berbentuk hati? Apakah mereka pacaran? Apakah mereka pernah menjalin hubungan? Tadi juga Bryan sempat mengatakan kalau aku dan Kak Naila sama-sama menyembunyikan kelakuan bejat Zhafran. Apa maksud ucapan itu semua? Apakah mungkin bukan Bryan yang menghamili Kak Naila, tetapi Zhafran? Dan Kak Naila tidak mau mengakuinya, malah menyembunyikan kelakuan bejat tersebut. Apakah begitu? Kepalaku terasa pecah meluruskan benang kusut ini! "Nilfan! Kamu ada di sini? Apa kabar kamu, Nil?"Suara
Pak Ojol memberhentikan motornya di depan gedung yang menjulang tinggi. Sekitar 30 tingkat. Aku mendongak, menatap gedung bertingkat itu. Sambil menarik kedua tali tas punggung yang tersampir di samping badan, aku mulai mengayunkan kaki masuk ke gedung itu. Kelihatannya, gedung apartemen ini tidak semewah apartment Bryan. Namun, tetap saja aku ragu tidak bisa menyewa tempat tinggal di sini. "Mau ke mana, Mbak?"Ketika baru saja melangkahkan kaki masuk ke gedung apartemen, seorang petugas keamanan menahan langkahku.Pandangannya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Di mana aku masih mengenakan pakaian yang diberikan oleh Zhafran. Sweater hitam dan celana jeans selutut. Haish, seharusnya tadi aku mengganti pakaian dahulu sebelum datang kemari. "Saya mau cari tempat tinggal, Pak. Mau sewa apartemen di sini," jawabku berusaha percaya diri. Petugas keamanan bertubuh jangkung itu, menatapku ragu. Namun, beberapa
Mendengar tawarannya yang terkesan gila itu, sontak saja aku menggeleng cepat."Enggak, Pak, saya nggak mau. Saya mau kerja sebagai cleaning servis saja," tolakku sopan. "Coba dipikir lagi, kamu akan mendapat gaji yang lebih besar ketimbang hanya menjadi cleaning servis yang hanya beberapa juta, beda dengan penari yang gajinya mencapai puluhan juta. Kamu pasti akan menyukai pekerjaan ini!" Pria tua klimis itu masih memprovokasi agar aku menuruti saran bodoh yang dikatakanya. "Enggak, Pak. Saya nggak mau! Saya mau jadi cleaning servis saja!" tolakku lagi. Kini lebih tegas dari sebelumnya. Pria itu mengangguk sekilas. Dia menatapku sedikit sinis. "Baiklah." Pria itu kembali duduk di kursi kerjanya. "Jaki!" teriaknya. Tidak lama kemudian, seorang pria berkulit hitam manis datang tergopoh masuk ke ruangan. "Iya, ada apa, Tuan?" tanya pria yang bernama Jaki itu seraya menunduk hormat. "Bawa cewek itu
Tenggorokanku terasa dicakar disusul dengan rasa panas yang menusuk di indra penciuman. Sontak saja bulir air mata luruh bersamaan dengan diriku yang terbatuk-batuk kesakitan. "Astaga, ini anak ... lo kira itu jus jeruk apa? Main minum sekali teguk." Angel bangkit seraya mengusap-usap punggungku, sedangkan Kesya menggeleng-geleng melihat kebodohan diri ini. Aku mencengkeram erat gelas sambil menikmati sensasi alkohol yang meluncur ke dalam tubuh. Rasanya panas, lalu berganti hangat, setelah itu tubuh dan pikiran terasa ringan. Aku seperti mengambang di udara. Bunyi musik DJ yang tadinya mengganggu indra pendengaran, lama-kelamaan aku mulai menikmati alunan kencangnya. Kepalaku mulai mengangguk-angguk mengikuti suara bas yang jedag-jedug. "Wahh, mulai oleng nih anak!" Kesya tertawa sambil menenggak minumannya. "Sa ... saya, mau lagi!" lirihku dengan senyum mengambang. "Udah! Ntar lo tepar di sini lagi. Nyusahin kit
"Lebih tepatnya, sih, ini belakang gedung klub. Klub Stari menyediakan kamar untuk para staff-nya supaya mereka nggak terlambat datang bekerja," terang Angel. Aku hanya manggut-manggut merespons. Mulai lega. "Kalau lo mau, lo tinggal aja di sini bareng kita-kita. Biar tambah rame nih tempat," anjur Kesya dengan mata berbinar. "Ya, ide yang bagus. Kalau diliat-liat, lo asik juga anaknya buat jadi bahan bully." Angel dan Kesya kompak tertawa. "Hanya bercanda," lanjut Angel tersenyum tipis. Rupanya wanita itu biar terlihat sedikit galak, ternyata lembut juga. "Emm … ." Aku mengusap tengkuk yang masih terasa berat. "Tapi, saya sudah punya apartemen, dekat klub malam ini juga. Mana saya sudah bayar setengah lagi uang sewanya. Jadi, sayang aja kalau saya tinggalkan," jelasku panjang lebar. "Yah, udah nggak apa-apa. Dekat juga kan apartemennya. Kita bisa main ke sana juga kapan-kapan." Kesya berucap sambil mengambil handuk. Mau mandi s
Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30. Aku menutup kepala dengan topi hoodie warna kuning yang membungkus tubuh. Menyumpal sebelah telinga dengan headset, aku bersiap untuk pulang dari Klub Stari. Ya, malam ini giliranku untuk pulang malam. "Gue duluan, yah, guys!" seruku pada Kesya dan Angel yang sedang minum-minum. "Lo nggak mau ikutan party, Nil?" Angel bertanya dengan setengah berteriak di samping wastafel. "Enggak, deh, lain kali aja. Lagi enggak enak badan gue," ucapku berbohong. Biasanya, kami akan selalu menghabiskan malam dengan berpesta pora di kamar Angel dan Kesya sambil menunggu ada pekerjaan. Namun, malam ini entah kenapa, aku sedang tidak ingin bergabung seperti malam-malam biasanya. Setelah mendengar keterangan dari Angel dan Kesya soal pelelangan perawan di Klub Stari ini, terlebih lagi mendengar nama Zhafran juga sering ikutan membeli perawan tersebut, menjadikan aku melamun sepanjang waktu.
Ibarat kata, pucuk dicinta ulam tiba, pria yang rencananya hari ini akan kudekati, tetapi malah hadir di hadapan. Tatapanku memindai pria yang dengan celana jeans hitam serta baju kaus berwarna senada, di balut oleh jaket kulit berwarna cokelat itu, melemparkan senyum termanisnya padaku. Tangannya melambai ke udara, menyapa diri ini. Aku yang masih tengah melamun dengan sosoknya itu, tetap menatapnya dalam diam. "Hey!" Sebuah jentikkan jari di depan wajah, membuyarkan lamunanku. "Bengong aja. Kaget yah, liat aku?" Pria itu cengar-cengir. "Eh, Kakak ...," ucapku seraya melepaskan earphones dari telinga. Aku menggaruk rambut berponiku yang kini mulai sedikit memanjang. "Gimana kabar kamu, Nil? Udah lama kita enggak ketemu," tanya Bryan sambil membelai tengkuknya. Terlihat dia sedikit canggung saat ini. "Baik," jawabku singkat. Aku kembali memakai earphones. Bersiap untuk melanjutkan jogging. "Tunggu, Nil!"
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m