*Happy Reading*
"Ayah …."
Senyum di bibir Sean langsung tercipta dengan lebar. Kala seruan itu memasuki gendang telinganya, bertepatan dengan hadirnya sang buah hati yang baru saja turun dari sebuah mobil Van hitam di halaman Rumah.
Keandra Mateen Setiawan
Putranya bersama Rara, namun kini lebih dikenal sebagai putra Dokter Kenneth Putra Setiawan. Suami Rara yang baru, juga pria baik hati yang menggantikan Sean menjaga mereka berdua saat keegoisan masih menyelimuti Sean.
Untuk yang belum tahu kisahnya. Bisa baca di buku pertama series ini yang berjudul Istri Nomor Dua.
"Hai, Boy. Apa kabar?" Sean menyambut kehadiran Keandra dengan suka cita. Berjongkok agar putra semata way
*Happy Reading*"Bunda! Sini!"Ina hanya tersenyum manis. Lalu mengibaskan tangannya ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Tanda menolak ajakan Kean."Kalian aja," sahut Ina, masih dengan senyuman lembutnya.Kean terlihat kecewa sebentar, tapi selanjutnya pria kecil itu sudah tampak riang kembali, dan melanjutkan permainannya dengan sang ayah.Sebenarnya, Ina bukannya tidak mau bermain bersama Kean, anak sambungnya yang sangat menggemaskan itu. Hanya saja, Ina tidak ingin mengganggu momen bahagia Sean dan Kean.Memang, sih, Sean tidak ada melarangnya bermain dengan Kean. Pria itu hanya diam, diam, dan diam. Namun, justru bagi Ina kediaman Sean itu membuatnya ketar ketir. Sebab Ina tidak tahu, apa yang dia lakukan itu di mata Sean benar atau tidak?Takutnya salah, yee kan? Nanti kalau sampai di omelin lagi, gimana? Apalagi kalau diomelinnya di depan Kean. Tengsin dong, dia."Kenapa gak gabung? Padahal kami sengaja membawa Ke
*Happy Reading*"Jangan ganggu mereka!"Sean pun urung melanjutkan langkah, saat larangan itu memasuki pendengarannya. Pelakunya adalah Rara, yang hadir begitu saja dari samping Sean, demi menghentikan langkah pria galak itu yang ingin menghampiri Putranya yang sedang bersama Ken."Tapi Ra--""Kalau Kakak ingin mood Kean segera membaik. Maka biarkan dia bersama dengan Ken dulu. Karena hanya Ken yang bisa membujuk Kean jika merajuk seperti ini," terang Rara kemudian. Membuat Sean terdiam di tempatnya.Entah kenapa, mendengar penuturan Rara barusan. Sean merasa ada yang mencubit sisi hatinya, juga rasa cemburu yang tiba-tiba menyusup di sana.Tidak, Sean memang kerap kali cemburu jika melihat kedekatan Ken dan Putranya. Karena sebagai ayah kandungnya, justru kehadiran Sean seperti tak memiliki kesan apapun pada dirinya.Namun, sejurus rasa iri itu hadir. Saat itu juga kenyataan menamparnya, tentang bagaimana sikap dan apa yang sud
Ina menghilang. Kabar itu membuat heboh rumah Kediaman Abdillah di pagi hari. Berawal dari Mbok Darmi yang hendak membangunkan Ina untuk meminta menemaninya ke Pasar. Mbok Darmi pun menemukan kamar Ina kosong, dengan sang pemilik yang tidak ditemukan dimana pun. Mbok Darmi sudah mencari di dalam kamar tersebut, seluruh penjuru rumah, bahkan sekitar rumah karena masih berbaik sangka mengira Ina hanya jalan-jalan saja. Namun jika dipikir lagi. Itu bukanlah kebiasaan gadis itu. Lagi pula, Ina mau jalan-jalam kemana? Ina kan tidak punya kenalan disini, dan tidak mengenal tempat-tempat yang ada disana. Sejak Ina datang, Ina hanya pernah keluar dua kali saja. Yaitu saat Sean membawanya berbelanja dan saat ikut pemakaman Nyonya Sulis. Selain itu, Ina tidak pernah kemana pun.
*Happy Reading*"Tidak lihat, Pak.""Begitu, ya? Terima kasih."Sean kembali ke dalam mobil, kemudian melajukan kembali benda besi itu setelah untuk kesekian kalinya berhenti, hanya demi menghampiri kerumunan orang dan bertanya tentang keberadaan Ina."Ina kamu di mana, sih?" geram Sean, mulai kesal pada keadaan ini.Ini sudah menjelang sore, tapi keberadaan Ina masih belum dia temukan. Padahal, dia sudah berkeliling Jakarta, juga di bantu orang-orang kepercayaannya dalam mencari istrinya yang kabur itu.Semuanya nihil! Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menemukan Ina. Terlebih, minimnya informasi tentang Ina, juga tidak adanya media yang bisa membantu mereka melacak Ina dengan cepat.Ina bukan hanya tidak punya uang, tapi juga tidak punya ponsel. Karena itulah, mereka sulit melacak keberadaan Ina. Seharian ini pencarian itu hanya berbekal sebuah photo, yang sebenarnya agak blur, karena di ambil tanpa adanya kesiapan
*Happy Reading* "Sebenarnya apa saja kerja kalian? Kenapa mencari seorang gadis saja tidak bisa?! Payah!" maki Sean lantang, sambil menggebrak meja, saat lagi-lagi mendapat laporan tidak sesuai harapanya. Ini sudah hari ke lima belas sejak Ina menghilang. Semua orang-orangnya, polisi, bahkan detektif swasta sudah dia kerahkan dalam mencari istrinya. Namun, semuanya masih nihil! Tidak ada satu orang pun yang bisa menemukan gadis itu, dan semuanya seakan menemukan jalan buntu dalam pencariannya. Kemana Ina sebenarnya? Kenapa susah sekali mencarinya? Gadis itu tidak ditelan bumi, kan? Atau diculik makhluk asing, dan sebagainya? "Maaf, tuan. Tapi kami sudah mengerahkan segala cara untuk mencari Nona Zaina. Bahkan, tim terbaik pun sudah kami turunkan. Tapi--" "Alasan!" bantah Sean tegas. "Kalau kalian memang sudah melakukan yang terbaik, lalu di mana hasilnya? Di mana istri saya? Kenapa masih belum ditemukan?" cecar Sean kemudian.
*Happy Reading*"Istri anda memang bukan yang pertama dalam kehidupan anda, tapi tidak harusnya dia dijadikan bayangan Istri sebelumnya? Coba anda bayangkan jika anda di posisi istri anda yang sekarang. Apa anda akan baik-baik saja hidup dalam bayangan masa lalu?""Saya tidak tahu atas dasar apa anda menikah dengan istri anda yang sekarang. Tapi apapun alasannya, seharusnya saat anda mengucapkan janji pada Tuhan atas namanya, anda sudah meninggalkan masa lalu dan bersiap melangkah maju dengan orang baru.""Sejatinya masa lalu. Harusnya di simpan dibelakang. Jangan dilihat lagi, apalagi terus diingat. Karena kita hidup untuk masa sekarang dan masa depan. Jangan sampai, karena masa lalu yang belum selesai, anda kehilangan masa depan yang harusnya berakhir indah.""Masa lalu itu ada untuk pembelajaran diri, bukan untuk membelenggu diri.""Selain itu, apa anda yakin Almarhumah ingin anda terus mengingatnya, dan terpuruk dalam kenangan terus menerus? Sa
*Happy Reading*"Ya ... Mau gimana lagi? Dari dulu sampai sekarang, semua barang yang ada di sini kan milik Mama Sulis dan Audy. Tidak ada jejak Ina sama sekali, bahkan ... photonya saja tidak ada satu pun. Padahal, harusnya dia memiliki tempat, meski hanya sedikit di rumah ini, karena dia sekarang nyonya besar di rumah ini."Antara lega dan kesal, tangan Sean pun mengepal kuat di sisi tubuhnya tanpa dia sadari. Karena di sisi lain, dia merasa tertohok dengan ucapan Ken barusan.Kemarin Kairo, sekarang Ken. Dua kembar ini ternyata sangat berbakat dalam menyerang mental seseorang. Kata-kata yang mereka ucapkan selalu tepat sasaran, dan sukses menamparnya berkali-kali."Maksud anda apa? Kenapa seenaknya bicara seperti itu, padahal anda sendiri tidak tinggal di sini?"Sean masih membela diri.Sayangnya, bukan persetujuan yang Ken berikan. Melainkan senyum miring dengan alis terangkat satu, yang sangat menyebalkan di mata Sean."Saya memang tidak
*Happy Reading*Kiranya, setelah mendapat teguran dan beruntun dari Ken dan Kairo. Sean akan benar-benar berubah, bahkan langsung membuang semua barang kenangan di Rumahnya.Sayangnya, yang terjadi malah pria itu hanya kembali ke ruang kerjanya setelah Ken pergi, dan lagi-lagi berpikir untuk semua masalah yang tengah dia hadapi.Entah apalagi yang dipikirkan Sean. Yang jelas, Sean masih terus berpikir keras dan malah larut dalam lamunannya, hingga hari berganti keesokannya tanpa melakukan tindakan apapun.Ibarat pelajaran, Sean itu sudah paham teorinya, tapi tidak mau praktek. Itulah bodohnya Sean. Karena apalah arti teori tanpa adanya pembuktian."Den, Makanan sudah siap." Pemberitahuan itu membuat lamunan Sean buyar, saat lagi-lagi larut dalam lamunan pagi itu.Mendesah panjang sekali lagi, Sean kembali menatap photo berbingkai emas di tangannya, sebelum kemudian meletakkannya kembali ke atas meja kerja.Tenang. Ka
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu