Bab72"No, please. Jika kamu terus seperti ini, Jeremy akan curiga.""Kenapa curiga? Aku dan kamu tidak memiliki hubungan apa- apa.""Lalu mengapa kamu seperti ini?" tanya Khan dengan heran.Deslim White mengulas senyum tipis. "Hanya sebatas rekan kerja.""Bukan begini konsepnya.""Aku ingin mengenang masa lalu, masa dimana kita masih bersama dulu."Khan Wilson menghela napas. "Aku ingin ditemani seseorang yang membuat hariku selalu gelisah. Dan aku, ingin menghabiskan waktu bersamanya."Wajah Deslim White berubah masam, mendengar penuturan tegas dari Khan Wilson."Khan," lirih Deslim. "Apakah ada wanita lain?"Tanpa ragu, lelaki tampan itu mengangguk. "Ya, wanita yang mengisi hati yang kosong ini."Entah mengapa, hati Deslim terasa sakit, mendengar ucapan Khan Wilson yang begitu ringan."Apakah ini yang namanya luka, tapi tidak berdarah?" lirih Deslim White."Sudahlah," ucap Khan Wilson, sembari melepaskan pegangan tangan Deslim di lengannya."Aku pergi," lanjutnya sambil mengusap pe
Bab71"Datanglah kemari," tegas Case di telepon. "Hhmm, baiklah my baby."Khan Wilson mematikan sambungan telepon dan bergegas meraih sweaternya yang terletak di atas sofa. Lelaki itu sedikit terburu- buru, karena begitu mengkhawatirkan sosok wanita mungil yang telah lama mencuri hatinya itu.Sesampainya Khan Wilson di halaman depan apartemen Case, lelaki itu pun memarkirkan mobil, dan keluar dengan sangat terburu- buru, menaiki lift menuju lantai dua apartemen Case.Di depan apartemen Case yang terbuka lebar, terlihat sepatu high heels, juga sepatu laki- laki kantoran.Pelan, Khan Wilson melangkah, menuju pintu utama apartemen Case."Saya tidak akan meminta maaf pada Eric White maupun Jesica," tegas suara Case, membuat langkah Khan Wilson terhenti."Oh ya? Rupanya kamu tidak tahu keluarga besar kami.""Tentu saja aku tidak tahu, kurasa kalian juga tidak terkenal," jawab Case."Minta maaflah kepada Eric, atau kamu akan saya tuntut ke Pengadilan Negeri Fantasy."Gelak tawa Case terde
Bab72Tidak akan Khan Wilson biarkan, Jeremy berani menyentuh perusahaan keluarganya.Lelaki itu kemudian menatap lekat wajah Case yang terdiam."Ada apa?" tanya Case heran. Kemudian wajah Khan Wilson tersenyum."Kamu manis," ucap Khan, membuat wajah Case bersamu merah."Hhhmmm." Hanya itu yang terdengar dari mulut Case."Bagaimana kalau kita keluar?" tanya wanita itu kepada Khan."Kemana?" "Kemana pun, hanya untuk menghibur diri. Kurasa, aku terlalu lelah dalam berpikir akhir- akhir ini," lirih Case.Keduanya pun memutuskan untuk pergi jalan- jalan menuju pantai. "Biasanya aku pergi, menikmati pemandangan laut seorang diri. Hati hampa memang tiada obatnya, meski sudah pergi ketempat yang paling ramai sekalipun," lirih Case, sembari memejamkan kedua matanya, menikmati deburan angin laut yang sejuk."Hhmm, miris sekali," gumam Khan Wilson."Ya, miris sekali," ulang Case terkekeh."Tapi hari ini kau bersamaku," seru Khan Wilson, berjalan ke arah belakang Case. Sejurus kemudian, tanpa
Bab75"Ada apa?""Tidak," sahut Case, berniat untuk beringsut dari kasurnya. Namun Khan Wilson gegas menahan wanita itu, dengan mencengkram lengannya.Case terdiam, bayangan kasar perlakuan Joe malam itu, sedikit mengganggu pikirannya."Maaf, jika aku telah lancang dan menyinggungmu.""Oh tidak. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan luka lama itu dengan baik," jawab Case datar. "Hhmm, aku mengerti. Pergilah mandi, " ucap Khan Wilson.Lelaki itu pun bangkit dan melangkah menuju keluar kamar. Case terdiam membisu, menatap punggung kekar itu meninggalkan kamarnya.________"Jeremy, bukankah pembagian warisan sudah jelas?" ucap Aluna Welas, ketika CEO muda itu datang berkunjung ke Negerti Fantasy.Istana mewah dan megah milik Welas itu membuat takjud mata Deslim memandangnya."Itu warisan dari Ayah. Seharunya, Ibu juga memberikanku, sebagai kompensasi, telah meninggalkanku begitu saja," jawab Jeremy.Aluna Welas mengernyit. "Apakah kehidupanmu buruk? Ketika kamu tinggal bersama Ayahmu?""
Bab76"Jeremy! Aku memang bersalah di masa lalu, meninggalkan kamu begitu saja. Tapi setidaknya, hidup dan pendidikan kamu terjamin. Berbeda dengan Case, dia hidup dengan kesulitan bersamaku."Deslim mendengkus. "Sungguh ucapan yang tidak penting. Kami datang kemari, hanya untuk pembagian warisan, bukan untuk mendengarkan curhatan Ibu," tegas Deslim, sembari menatap tajam wajah Aluna.Menantu tidak ada akhlak memang.Aluna kembali tersenyum. "Rupanya pendidikan tinggi, tidak membuat seseorang memiliki etika dan adab dalam berbicara. Jeremy, entah bagaimana kamu bisa menikahi wanita sepertinya, sungguh sangat menyedihkan," ejek Aluna, menatap jijik ke arah Deslim."Heh," bentak Deslim. "Cukup!" teriak Jeremy ke arah Deslim."Bisakah kamu jaga sikapmu itu?" tanya Jeremy yang sudah mulai tersulut emosi.Deslim merasa malu dan kesal, dibentak Jeremy di depan wanita yang sangat dia tidak sukai.Tidak perduli meski Aluna Welas mertuanya. Yang Deslim terus percaya, bahwa Aluna Welas, hanyala
Bab77Di ranjang rumah sakit, Deslim dan Jeremy di tangani.Aluna Welas terisak, melihat kondisi anaknya yang terbaring lemah. Sedangkan Deslim kini telah sadar dan masih dalam tahap pemulihan.Aluna Welas kini dilema, memandangi kondisi Jeremy. Dengan lembut, wanita itu menggenggam tangan anak lelakinya. Tangan yang sangat dia rindukan selama puluhan tahun."Masih di sini?" tanya Deslim, ketika memasuki ruangan Jeremy. Wanita itu menaiki sebuah kursi roda, dengan seorang wanita paru baya dibelakangnya yang membantu Deslim mendorong kursi roda tersebut."Hhmmm ...." Hanya itu sahutan Aluna Welas. Wanita itu masih fokus memandangi wajah putranya yang kini diperban."Pergilah! Biarkan nanti anak buahku yang menjaganya," seru Deslim pada Aluna.Aluna tidak menggubris ocehan wanita itu."Apakah anda mendengarkan saya? Saya keberatan, jika suami saya bersama anda," ucap Deslim kembali.Aluna menoleh ke arah wanita itu tajam. "Hentikan omong kosongmu itu, sebelum kamu menyesal," ancam Alun
Bab78Case tersenyum malu, sehingga membuat Khan Wilson bergerak cepat, membuai napsu keduanya.Dengan sedikit brutal, Khan Wilson menghujani Case dengan berbagai ciuman nakal.Hingga tangan Khan Wilson begitu berani, melepaskan baju yang Case kenakan dan hanya meninggalkan baju dalamnya."Indah sekali," gumam Khan Wilson, sembari menelan saliva, melihat kemolekan payudara Case yang seksi.Case terbuai, dia menutup mata dan merasakan kenikmatan permainan tangan dan bibir seksi Khan Wilson pada tubuhnya.Hingga lelaki itu kembali dengan berani, melepaskan rok mini yang Case gunakan, juga melepaskan semuanya.Case, wanita itu kini bugil tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh montoknya. Dengan rakus, Khan Wilson terus memainkan gunung kembar Case dan menghisapnya lembut.Berkali- kali Case mengerang nikmat, ketika tangan telunjuk nakal milik Khan Wilson, bermain- main di alat vital Case."Kau suka? Ini nikmat bukan, jika kamu melakukannya dengan lembut dan juga dengan cinta," bisik Khan
Bab79"Jeremy," lirih Aluna. "Pergi!" bentak Jeremy. "Untuk apa kalian di sini? Aku tidak butuh kalian, aku hanya butuh Deslim," lanjut lelaki itu.Kini napasnya turun naik, Jeremy seakan tahu dengan kondisinya saat ini."Dari tadi kuminta kalian hidupkan lampu, tetap saja kalian matikan lampu ruangan ini," desah Jeremy yang mulai yakin, bahwa kondisinya tidak baik- baik saja.Semua terdiam, tanpa ada yang bersuara."Wanita sialan," lirih Case, ketika tidak terlihat wajah Deslim sama sekali di ruangan Jeremy."Dimana wanita itu?" tanya Case pelan pada Aluna.Aluna tidak menjawab, hanya terfokus pada kondisi Jeremy yang sangat malang.Jeremy kembali diberikan suntik penenang, agar lelaki itu tidak kembali mengamuk. Hingga 4 jam berlalu, terdengar suara high heels seseorang, mendekati ruangan."Jeremy ...." Terdengar suara Deslim, disusul pintu ruangan yang dibuka lebar.Wanita itu, masuk dengan santainya, membawa buket bunga dengan wajah yang teramat ceria."Oh, masih di sini rupanya,
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku