Pintu rumah Rumi berderit pelan saat Hanan mendorongnya. Dia sudah biasa datang pagi-pagi seperti ini, tetapi setiap kali melihat Rumi, hatinya selalu berdesir dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Rumi sudah siap dengan hijabnya, duduk di sofa dengan senyum tipis yang menyembunyikan kegelisahan.“Assalamualaikum,” sapa Hanan sambil tersenyum.“Waalaikumussalam,” balas Rumi.“Sudah siap?” Hanan berjalan ke arah Rumi dengan senyum yang terlukis indah di bibirnya.Rumi mengangguk pelan, tetapi ada sedikit keraguan dalam sorot matanya. “Sudah, Mas.”Ekspresi Rumi menarik atensi Hanan. Lelaki itu mengerutkan alisnya, menatap sang istri penasaran. “Kenapa? Kamu kelihatan tegang banget.”Jari-jemari Rumi saling meremas. Entah sejak kapan telapak tangannya terasa kaku dan dingin. “Aku … gugup, Mas,” jawabnya jujur.Hanan duduk di sebelah Rumi, menatap sang istri dengan penuh perhatian. Senyum yang dia tunjukkan menawarkan kehangatan, namun seolah tak mampu menembus kegelisahan Rumi.“Kamu n
“Baru pulang? Sibuk banget, ya, kayaknya hari ini. Sampai-sampai nggak sempat ngabarin istri kalau mau pulang telat,” sindir Aida sambil berdiri di dekat sofa. Tatapannya tajam, seolah menantang Hanan untuk menjelaskan dirinya.Hanan, yang baru saja melepas sepatu, memandang istrinya dengan wajah lelah. “Aida, aku nggak punya tenaga untuk ini sekarang. Tolong, jangan cari masalah,” katanya sambil berjalan menuju ruang tamu.Namun, Aida tidak membiarkannya pergi begitu saja. Wanita itu mengikuti Hanan, langkahnya cepat dan penuh emosi. “Masalah? Jadi sekarang kamu anggap aku ini biang masalah?”“Nggak gitu, Da ….”“Enggak apanya?” Aida mengeraskan wajah. “Aku cuma mau tahu kenapa kamu belakangan ini sering pulang telat! Aku ini istrimu, Han! Apa susahnya memberi kabar?” suaranya meninggi.Hanan berhenti di depan meja kecil, mengambil segelas air untuk meredakan panas di tenggorokannya. “Aku capek, Da. Bisa nggak kita bicarain ini besok saja?” ujarnya dengan suara yang terdengar datar t
Tangan Aida masih gemetar. Dokumen-dokumen yang baru saja dia baca tergeletak di meja kerja Hanan. Napasnya pendek-pendek, dadanya terasa sesak, dan lututnya hampir tak mampu menopang tubuh sendiri. Dia bersandar ke kursi, mencoba mencerna apa yang baru saja dia temukan. Bukti transaksi rumah dan penggadaian vila Anggrek Putih membuat pikirannya berputar liar. Yang lebih menyakitkan, tanggal transaksi menunjukkan waktu ketika Hanan sedang mengalami masalah keuangan.“Untuk apa semua ini?” bisik Aida pada dirinya sendiri, meski dia tahu tidak akan ada jawaban.Keputusan untuk mencari tahu lebih lanjut tumbuh seiring dengan kekecewaannya. Aida menutup map itu, menggenggamnya erat, lalu keluar dari ruang kerja Hanan dengan langkah yang masih goyah.Di depan rumah, Aida memanggil Ahmad, sopir keluarga. Dia tidak akan bisa mengemudi sendiri dengan kondisinya yang seperti ini.“Pak Ahmad,” panggil Aida.Lelaki berusia empat puluhan tahun itu berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arah Aida yang
Rumi terdiam di ambang pintu, matanya melebar melihat siapa yang berdiri di depannya. Tubuhnya yang masih lemah setelah sesi kemoterapi terasa semakin lunglai, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap tegak. Di hadapannya, Aida berdiri dengan tatapan tajam yang menghujam, matanya memeriksa Rumi dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Mbak Aida,” cicit Rumi.“Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku, Rum?” suara Aida bergetar, menahan tangis. “Kamu bilang, kamu nggak bisa pulang karena harus bantu-bantu di panti. Aku percaya sama kamu, Rum. Tapi apa balasan kamu?” Air mata Aida menetes meski tak ada isak tangis. Namun, suaranya yang parau cukup menunjukkan seberapa dalam sakit yang dia rasakan.Rumi ingin memberikan penjelasan, tetapi entah mengapa mulutnya seakan-akan terkunci rapat. Susah payah Rumi menelan ludah, mencoba berkata sesuatu, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Dia merasa tersudut, dan tidak tahu harus menjawab apa.“Bu Aida, tolong tenang. Ini tidak seperti yang Bu A
Hanan melangkah masuk ke rumah dengan wajah yang sulit dibaca. Rumi terduduk di ruang tamu, wajahnya basah oleh air mata. Sedangkan Salma memeluknya erat, mencoba menenangkan gadis itu meski terlihat jelas bahwa dirinya juga diliputi kekhawatiran. Ketika Hanan muncul, Rumi langsung melepaskan diri dari pelukan Salma dan bergegas menghampiri sang suami.“Mas, gimana Mbak Aida? Kita harus menjelaskan semuanya,” suara Rumi terdengar penuh harap, meski nadanya rapuh.Hanan tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewati Rumi dan duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Tangannya mencengkeram rambut, seolah ingin menyembunyikan kegundahan yang menyiksa.Rumi berdiri beberapa langkah di depannya, memandang si lelaki dengan tatapan penuh rasa bersalah dan keputusasaan. Dengan langkah ragu, dia mendekat dan berlutut di hadapan Hanan.“Mas, aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau Mas Hanan sedang mengalami masalah keuangan. Kalau aku tahu, aku nggak akan setuju Mas Hanan membeli rumah ini,” sesal Rumi.
Kenan melirik ke arah Aida yang terbaring lemah di kursi mobil, wajahnya pucat dan tubuhnya sesekali meringis menahan sakit. Tangan Aida mencengkeram lengan Kenan dengan lemah, seolah mencari pegangan untuk membuatnya tetap kuat. Kenan membalas genggaman itu, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya sendiri diliputi kecemasan.“Tahan sebentar lagi, Da. Kita hampir sampai,” bisik Kenan dengan suara yang bergetar.Aida hanya mengangguk pelan. Matanya setengah tertutup, tetapi bibirnya terus menggumamkan doa-doa yang terdengar samar. Namun, tiba-tiba Aida merasakan cairan hangat mengalir di sela kakinya. Ketika dia menunduk untuk melihat, matanya langsung melebar.“Kenan!” panggil Aida dengan nada panik.Lelaki itu menoleh, membagi konsentrasinya dengan jalanan di depan.“Darah, Ken.” Aida menunjuk darah yang mengalir di kakinya sambil terisak, takut.Kenan tak kalah panik melihat wajah Aida pucat pasi dengan darah yang merembes di kaki. Sampai-sampai dia tak tahu apa yang harus dilakuk
Hanan melangkah tergesa di lobi rumah sakit, Rumi terbaring di ranjang dorong yang dibawa cepat oleh dua perawat. Wajahnya pucat seperti kertas, napasnya nyaris tak terdengar. Hanan menggenggam tangan Rumi yang terasa dingin. “Bertahanlah, Rum. Kamu harus kuat,” bisiknya pelan, meski suaranya sendiri penuh dengan kegelisahan.Seorang dokter mendekat saat mereka sampai di ruang gawat darurat. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil memeriksa kondisi Rumi dengan cepat.“Dia pingsan di rumah. Tadi pagi dia baru menjalani kemoterapi,” jawab Hanan dengan suara gemetar.Dokter memandang Hanan dengan tatapan yang menyiratkan penegasan atas ucapan sebelumnya.Hanan lantas berkata, “Leukemia. Dia sedang menjalani sesi kemo kedua.”Dokter mengangguk, wajahnya tampak serius. “Kami akan segera melakukan pemeriksaan. Silakan tunggu di luar.”Hanan melepaskan tangan Rumi dengan enggan. Dia berdiri di depan pintu ruang pemeriksaan, tubuhnya seolah terpaku di tempat. Pikirannya berkecamuk antara rasa ber
Hanan menghela napas panjang. Dia berdiri di tengah lingkaran keluarganya, merasa semua mata tertuju padanya. Kenan duduk bersilang tangan di sudut ruang tunggu, tatapannya tajam. Rifkah, ibunya, menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan dan kekecewaan. Laila berdiri diam, mencoba mencerna situasi yang tampak semakin rumit.“Ini semua salahku,” suara Hanan pecah oleh beban emosinya. Dia menunduk, meremas kedua tangannya. “Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku.”Rifkah menyentuh bahu Hanan, memberikan dorongan lembut. “Bicaralah, Nak. Jika kebenaran itu sangat membebanimu, maka katakanlah. Jangan menyimpannya sendiri, karena itu tidak hanya akan menyakiti orang-orang di sekitarmu, tetapi juga akan menghancurkanmu dari dalam.”Hanan mengangkat wajah, matanya merah dan berkaca-kaca. Dia begitu lelah menanggung semua beban ini sendirian. “Rumi sakit, Ma,” kata lelaki itu pada akhirnya. “Dia kena leukemia, stadium akhir.”“Ya Tuhan ….” Laila menutup mulutnya dengan telapak ta
Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany
“Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet
Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal
Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu