Hawa dingin benar-benar dirasakan oleh Dira. Banyak tanda tanya muncul di benaknya, apa arti kata yang barusan diucapkan Abi. "Kak Abi apa maksud Kakak barusan?" tanya Dira saat Abi tak bergeming. "Apa kamu pura-pura tidak paham? Apa begini cara kamu merayu para mangsamu?" tanya Abi yang semakin membuat Dira kebingungan. "Kakak bicara apa? Aku sama sekali tidak paham," ulang Dira yang benar-benar tidak mengerti akan maksud ucapan Abi. Abi bangkit menghampiri Dira yang masih setia berada di depan pintu masuk. Pelan-pelan tapi pasti langkah itu hampir saja sampai di dekat Dira. Gadis cantik yang sudah sah menjadi istri dari Sander Abidin itu, merasakan tubuhnya panas dingin saat bola mata berwarna hitam pekat itu seperti menghunus jantungnya. Bukan apa-apa terakhir kali pandangan itu Dira dapatkan saat di rumah sakit yang berakibat dirinya mendapatkan kekerasan. Apakah kali ini dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu lagi, terpental ke dinding? Semakin lama langka Abi semaki
Malam semakin larut, seharusnya menjadi waktu yang bagus untuk mengistirahatkan tubuh. Namun, tidak dengan Abi. Lelaki itu masih berjalan mondar-mandir di kamarnya memikirkan ucapan Dira terakhir kali sebelum wanita itu masuk ke dalam kamar. "Pikirkan apa saja yang Kakak mau, karena dengan begitu Kakak akan mengingatku seumur hidup Kakak." Potongan ucapan itu seperti kutukan yang membebani benak Abi."Dump it! Pergi!" Teriak Abi meminta suara itu tidak lagi mengganggu dirinya. Namun, sekuat dia mengusir suara Dira terus menerus yang dia dengar. "Sudah cukup Abi. Tiga bulan kamu bisa menganggap dia layaknya orang asing. Kali ini hanya butuh satu setengah bulan, berhenti memikirkan apa yang terjadi pada wanita itu. Lagi pula sebentar lagi kamu akan hidup bersama orang yang kamu cintai, Nadya Sabit. Tidak akan ada nama Andira Sabit lagi!" ucap Abi untuk bisa menenangkan dirinya sendiri.Abi menghentikan kakinya. Dia langsung mendudukkan pantatnya di pinggir ranjang. Bola matanya sekil
Suara dering ponsel perlahan-lahan terdengar di gendang telinga Dira. Itu bukan dering telepon atau bunyi notifikasi pesan melainkan bunyi alarm yang sudah disiapkan Dira agar tidak bangun kesiangan. Perlahan-lahan kelopak mata itu terbuka. Seperti biasanya Dira merasakan pening di kepalanya yang langsung menimbulkan rasa malas pada dirinya agar tetep berada di atas kasur. Namun, saat Dira mengingat jika dirinya memiliki perjanjian dengan Abi, wanita itu mau tidak mau harus memaksakan diri untuk bisa bangkit dari kasur itu. "Aku benar-benar malas untuk bangun," gumam Dira sembari mematikan alarm. Dira tanpa melihat sekeliling kamarnya dia langsung berjalan menuju kamar mandi. Sesampainya di dalam kamar mandi Dira mengingat kejadian semalam saat Abi menuduh dirinya seperti wanita murahan lalu berkahir menyendiri di kamar mandi. Tidak hanya itu karena sulit untuk tidur akhirnya dia minum obat tidur. "Ternyata hidupmu masih miris, Dir. Dan anehnya masih bisa bernapas," gerutu Dira
Dira baru saja mempertanyakan bagaimana perasaan Abi padanya setelah lelaki itu mengambil ciuman pertamanya. Namun, rasanya Dira sudah menemukan jawaban dari pertanyaan itu tanpa harus mendengar langsung dari mulut Abi. "Wah, aku tidak menyangka kamu sekarang sudah menyajikan makanan untuk Kak Abi, tapi apa Kak Abi mau memakan hasil masakan yang kamu buat?" ucap Nadya. Beberapa saat yang lalu, Nadya baru saja tiba di apartemen dengan pakaian ala pekerja kantoran. Dari sana Dira sudah bisa menebak jika sang kakak dan sang suami membuat janji temu untuk ke kantor bersama dan itu artinya perasaan Abi masih untuk Nadya seorang."Aku istrinya, tentu saja dia akan memakan apa yang aku sajikan. Kakak tidak perlu khawatir," ucap Dira tanpa melihat wajah Nadya yang kini mulai berubah warna. "Heh, aku rasa itu tidak akan pernah terjadi. Lagi pula kamu kenapa harus bersikap seperti ini pada Kak Abi jika di luar sana kamu menggoda lelaki lain?" cetus Nadya membalas ucapan Dira. Menggoda lelak
Gadis itu tidak bisa mengehentikan senyum yang terus tercetak di bibir mungilnya, selama tiga bulan lamanya dia menunggu waktu ini, di mana Dira tersingkir dalam kehidupan Abi dan kini sudah tiba waktu itu. "Terima kasih Tuhan semua doa yang aku panjatkan kini Engkau mengabulkannya," ucap Nadya. Jemari gadis itu langsung memegang benda pipih untuk memberikan kabar pada sang ibu. Tidak membutuhkan waktu lama bagi sang ibu mengangkat telepon darinya. "Bu," sapa Nadya pada wanita yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan itu. "Ada apa Sayang. Dari nada bicaramu sepertinya kamu sedang bahagia," ucap Lita yang berada di seberang sana. "Iya, Bu. Aku senang sekali, karena Kak Abi sudah mengusir Dira dari apartemen," ucap Nadya memberikan informasi pada Lita. "Benarkah, selamat Sayang. Sebentar lagi kamu akan menjadi Nyonya Sander. Tapi Ibu penasaran bagaimana bisa Dira diusir Abi?" Tanpa basa-basi lagi Nadya langsung menceritakan semua yang terjadi pada Dira dan dirinya. Tanpa me
Abi baru saja tiba di apartemen miliknya. Bola mata lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Dia mengakui jika apartemen itu benar-benar bersih meskipun terlihat sangat sepi.Abi ingat kejadian tadi pagi saat dirinya mengusir Dira. "Apa dia sudah pergi? Atau dia masih bertahan di apartemen ini?" Abi mencoba untuk mendekati kamar Dira. Ada setitik harapan di hati lelaki itu jika Dira akan memasang muka tebal untuk tetap tinggal di apartemen miliknya ini. Namun, sayangnya saat lelaki itu membuka kamar Dira, dia menemukan jika kamar itu kosong. "Apa yang kamu harapkan Abi, tentu saja dia akan pergi bersama dengan lelaki itu," gumam Abi memasang muka kecewa. Sesaat kemudian lelaki itu mencoba lagi untuk mengecek lemari, berharap jika sang istri hanya belum pulang di jam seperti ini. Dia ingat ucapan sang istri jika sudah mendapatkan pekerjaan. Namun, lagi dan lagi Abi nampak kecewa dia menemukan isi lemari itu kosong yang artinya Dira memang sudah pergi dari apa
"Hallo, Sayang. Apa kamu merindukan aku?" tanya Nadya yang baru saja menerima panggilan dari Abi. Sejak tadi Abi sudah memutari jalanan ibu kota guna mencari Dira. Namun, sayangnya nihil, Abi sama sekali tidak menemukan petunjuk dimana Dira kini berada. Hingga akhirnya dia menghubungi Nadya. "Iya, aku sangat merindukanmu. Rasanya baru saja berpisah, tapi aku selalu memikirkan dirimu," ucap Abi sedikit berbasa-basi. Dia tahu jika dirinya langsung pada tujuannya untuk menanyakan apakah Dira pulang ke rumah, tentu saja sang kekasih akan murka."Kamu kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini? Baiklah apa yang kamu inginkan, Sayang?" tanya Nadya yang tahu karakter Abi. Kini dalam benak wanita itu timbul rencana untuk dia bisa mendapatkan tanda tangan yang tadi sempat tertunda. "Tapi sebelum aku mengabulkan apa yang kamu inginkan bisakah kamu memberikan tanda tangan pada dokumen klien kita. Aku tadi memperhatikan dirimu sama sekali tidak konsentrasi," imbuh Nadya sebelum Abi menjawab pe
Di luar ruangan Abi masih setia menunggu kabar dari dokter yang menangani Dira. Lebih tepatnya kabar dari musuh bebuyutannya. "Argh, sial! Kenapa dari sekian banyak dokter harus dia yang menangani Dira?" umpat Abi yang masih tidak rela jika Rico yang memberikan pelayanan untuk istrinya itu dan bodohnya dia tadi kenapa menerima saja. Abi kini bangkit dari tempat duduknya. Kaki jenjang lelaki itu kini berjalan mondar-mandir seperti tidak tenang. "Awas saja kalau dia main-main," ucap Abi mengepalkan kedua tangannya. Beberapa saat berlalu kini Rico baru saja keluar dari tempat di mana Dira mendapatkan perawatan. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Abi dengan nada acuh tak acuh. "Apalagi kalau bukan kecapekan. Namanya juga penyakit tunawisma kan? Ah, iya. Setelah selesai perawatan aku akan menampung Dira," balas Rico. Jujur saja lelaki itu ingin memberitahu keadaan Dira yang sesungguhnya. Namun, lagi dan lagi Dira tidak ingin ada yang mengetahui tentang penyakitnya ini. Rico ing
Abi merasa sangat bersalah ketika hidung yang ia tarik tadi bukan hanya merah tapi juga mengeluarkan cairan berwarna merah. Seketika itu Abi langsung membawa Dira ke rumah sakit. Lelaki itu berdecak sebal saat di rumah sakit justru dokter yang menangani Dira lagi dan lagi adalah Rico. "Sudah selesai belum? Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" seru Abi saat melihat Rico yang kini membersihkan darah dari hidung Dira yang tak kunjung berhenti. "Bawel amat! Ini juga karena perbuatan dirimu. Aku heran kenapa wajah Dira penuh memar apa kamu melakukan KDRT?" tuduh Rico. "Jangan sembarang bicara! Sudahlah lebih baik panggil dokter yang lain. Aku mampu membayar tiga kali lipat," ujar Abi kesal dengan tuduhan Rico tadi. Dahi Rico mengkerut sembari menatap penuh tanya pada Dira. Lelaki itu berharap Dira dapat memberikan jawaban yang kini mengganjal di benaknya. Iya, pertanyaan apa kira-kira hubungan Dira dan Abi kini sudah membaik? "Aku sudah tidak apa-apa. Ini juga akan segera b
Dira tercengah saat mengetahui hal penting yang ingin dilakukan Abi. Setelah kepergian Miranda, Abi langsung menghubungi Zain pengacara yang mengurusi perjanjian yang kemarin dibuat untuk kedua belah pihak. "Jadi ini hal penting yang Kakak maksud?" tanya Dira menatap wajah tampan sang suami yang kini berada di sampingnya."Iya, ini hal penting yang harus segera kita selesaikan." Abi memegang tangan Dira lalu menautkan tangannya, "aku sudah bilang padamu jika aku akan memulai dari awal denganmu. Dan langkah pertama yaitu membatalkan perjanjian konyol yang sudah kita buat." Bola mata Dira berbinar di ujungnya ada tumpukan cairan yang hampir saja keluar dari bendungan. Dira sama sekali tidak menduga hal sepele seperti ini tak luput dari pemikiran Abi. "Kamu menangis?" Tangan Abi yang menganggur kini menghapus air bening yang sempat mengalir. Kedua bola mata keduanya kini saling bertatapan seakan tidak ada habisnya Abi langsung meletakkan kepala Dira di pundaknya. Tentu saja Zain yan
"Jadi ini alasan kamu tidak pulang?" cetus seorang wanita paru baya yang tak lain adalah Lita. Iya, sejak tadi ia mengikuti Nadya. Sebagai seorang ibu iya tahu persis apa yang dialami sang anak yang tiba-tiba berubah. Lalu fakta yang barusan ia dapatkan jika Indra sang suami justru memberikan ide gila pada sang anak guna memiliki Abi dan menyelamatkan gudang. "Bu, aku bisa menjelaskan ini semua," ucap Indra yang langsung menghampiri Lita yang kini masih berada di pintu masuk. "Penjelasan apa? Ini semua sudah cukup jelas bagiku. Kamu membuatku hidup bak ratu dengan cara seperti ini?" pungkas Lita tak terima. Tidak! Lebih tepatnya ia membohongi dirinya sendiri, dia senang hidup bak ratu karena itu semua adalah hal yang paling ia inginkan sejak dulu, hidup miskin dengan banyak kekurangan tak mampu ia hadapi ditambah dengan kelahiran Dira sebagai mana janin itu sama sekali tidak ia inginkan. "Lalu aku harus bagaimana? Omset kita semakin hari semakin menurun. Bahan yang kita dapatkan t
"Di—Dira, kenapa kamu ada di sini?" tanya Nadya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah Dira. Wanita itu juga merasa sesak di dadanya saat melihat Dira keluar dari kamar Abi. "Kak Nadya." Mulut Dira bergerak menyebut nama sang kakak. Entah apa yang terjadi pada Dira saat ini setalah ia melihat bola mata sang kakak penuh dengan kebencian saat menatap dirinya. Seolah Dira kini sudah menghancurkan hati sang kakak, tidak heran dan hal itu disadari Dira terlebih ia sudah tidur dengan Abi. Sementara itu, Nadya langsung menghampiri Dira, wanita yang kini memiliki status sebagai kakak Dira itu ingin memberikan tanda merah di pipi sang adik. Namun, sayangnya saat tangannya hampir melayang ke pipi mulus sang adik tertahan di udara. Nadya langsung melirik pada sosok lelaki yang kini memegang pergelangan tangannya. "Kak Abi." "Jangan pernah kamu melakukan kekerasan lagi pada Dira, Nadya. Jika kamu melakukan itu lagi aku akan membuat kamu menerima akibatnya." Ancam Abi sembari melepaskan
"Selamat pagi, Ma," sapa Abi pada Miranda yang kini terduduk di meja makan. Tersirat dengan jelas wajah cemas wanita paru baya itu, tak kala ia tidak melihat Dira. "Abi, mana Dira? Kamu tidak melakukan apapun kan padanya?" cecar Miranda sembari berdiri lalu menggeser Tubun Abi berharap wajah sang menantu berada di balik punggung sang anak. "Ada Ma, Dira di kamar katanya lagi gak enak badan," jawab Abi. "Gak enak badan?" Miranda mengulang kalimat terakhir Abi, setelah wanita itu sadar ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. "Mama mau kemana?" Abi menarik tangan Miranda guna mencegah wanita paru baya itu tidak melihat keadaan Dira. Abi sedikit menyesali perbuatannya, akibat ia sudah tidak bisa menahan hasratnya saat di kamar mandi, lelaki itu mengulangi kejadian semalam hingga membuat Dira lemas dan seluruh tubuhnya yang putih penuh dengan tanda kemerahan. "Mama ingin melihat Dira, Abi. Mama yakin keadaan Dira semakin memburuk, kita harus ke rumah sakit." Miranda ingat kead
Dira tersenyum miris, berulang kali suara Abi yang menyebutkan nama Nadya terus terdengar di gendang telinganya. Wanita yang kini sudah tidak bisa dikatakan sebagai seorang gadis lagi langsung mengubah posisinya memunggungi sang suami. Perlahan tapi pasti kali ini ia tidak sekuat biasanya yang dapat menahan butiran air bening saat bersama dengan Abi. Rasa sesak di dada wanita itu sudah tidak bisa ia tahan hingga menimbulkan suara isak kan. Tentu saja isakan yang dikeluarkan Dira didengar oleh Abi. Lelaki yang kini masih mengatur napasnya mulai sadar mungkin ia sudah salah berbicara. "Dira apa kamu menangis?" tanya Abi yang langsung mengubah posisinya menatap punggung Dira. Dira diam saat mendengar pertanyaan Abi, haruskah disaat menyedihkan seperti ini ia menjawab pertanyaan Abi yang menurutnya sedang mempermainkan dirinya."Dira, kali ini aku benar-benar dalam keadaan sadar. Aku tahu selama ini aku sudah bersikap keterlaluan padamu, aku sudah melimpahkan semua kesalahan padamu. S
Dira sama sekali tidak menyangka jika Abi benar-benar menginginkan dirinya. Namun, ada hal yang mengganjal di indra penciumannya bahwa kini ada bau aneh yang dicium Dira dari napas Abi. Apa ini alkohol? Dira mencoba menebak sebab ia sama sekali tidak familiar dengan bau itu, tapi jika dipikir-pikir Abi tidak akan meracu tidak jelas dengan menginginkan dirinya jika lelaki itu sadar. "Kak, apa Kakak sadar dengan apa yang Kakak katakan barusan? Aku ini wanita murahan yang sama sekali tidak pernah kamu inginkan, lebih baik Kakak bersihkan diri agar Kakak kembali sadar," ungkap Dira yang kini berani menyentuh tangan Abi yang masih berada di atas aset berharga miliknya. "Selama ini aku menuduh dirimu sebagai wanita murahan, harusnya kamu membuktikan jika dirimu bukanlah wanita seperti itu kan? Selain itu aku tetap masih suamimu tidak masalah jika aku menuntut hak sebagai seorang suami," sahut Abi terkesan memaksa ia tidak ingin ada penolakan. Hasratnya kini sudah menggebu, apa di umurnya
Abi mendorong kuat tubuh beraroma parfum jasmine yang digunakan Nadya, saat ini Abi sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Hampir saja jemari lentik miliknya menelusuri setiap jengkal pangkal tubuh Nadya. "Nad, bawa aku pulang," rengek Abi pada Nadya. "Kak, aku ini kekasihmu. Jika Kakak menginginkan aku, ayo, tunggu apa lagi," ucap Nadya mencoba merayu Abi. "Jika kamu tidak mau mengantar aku pulang aku bisa cari taxi," ancam Abi. Sungguh lelaki itu ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada Nadya. Bisa-bisanya wanita yang sudah ia percayai membuat ia merasakan hal menjijikkan seperti ini. Jika Abi lelaki bejat mungkin ia akan sangat senang bersentuhan dengan siapa saja, tapi dia memiliki prinsip yang sama sekali sudah tertanam kokoh di benaknya. Selain itu ia juga ingin menjaga kehormatan Nadya, kenapa wanita itu sama sekali tidak paham akan niat baiknya?"Iya, aku akan mengantar Kakak pulang," ucap Nadya. Nadya sebenarnya kesal dalam keadaan seperti ini Abi masih saja menola
Nadya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati di mana pintu itu menjadi pembatas antara dirinya dengan sosok di dalam sana. Perlahan-lahan Nadya memutar gagang pintu itu lalu menyembulkan kepalanya diikuti seluruh tubuh guna bisa masuk ke dalam. "Selamat pagi Pak Abi, hari ini jadwal Anda tidak terlalu padat. Anda hanya memiliki beberapa berkas yang harus di periksa dan ditandatangani, untuk meeting di luar yang sudah dijadwalkan dibatalkan oleh pihak mereka," jelas Nadya yang kini sudah berada tepat di depan Abi hanya ada pembatas meja diantara mereka. Tentu saja ini semua bukan kebetulan semata, karena Nadya yang sudah membatalkan semua jadwal Abi. Ia ingin membuat Abi memiliki banyak waktu agar apa yang ia rencanakan berjalan dengan lancar.Sementara itu, Abi menautkan kedua alisnya, sangat jarang koleganya membatalkan janji terlebih mereka sangat ingin bekerjasama dengan perusahaanya. Namun, jika ia memikirkan lebih jauh tidak ada salahnya para kolega membatalkan janji karen