"Bi, siapkan air hangat. Aku mau berendam. Habis itu pijitin aku sebentar sebelum aku tidur," titah Sela pada Bi Lastri saat ia baru saja pulang tepat diwaktu makan malam. Sehingga Faiz sedang menikmati makan malamnya sendiri, sedangkan Nindy tengah memberikan susu untuk Arelia tak jauh dari meja makan. "Oh ya, ini sekalian ambilin tas aku bawa ke atas."Dari awal Faiz memang merasa tidak nyaman dengan sikap Sela terhadap Bi Lastri meskipun memang Bi Lastri bekerja sudah lama dengan keluarga Sela, yang itu artinya Bi Lastri sudah kenal betul bagaimana Sela. Namun terkadang sikap itu menggangu Faiz, ia selalu tidak enak hati pada Bi Lastri yang diperintah seenaknya dengan nada yang tidak baik pula."Bawa tas kan bisa sendiri sekalian kamu ke kamar," ucap Faiz tanpa melihat ke arah Sela."Tidak apa-apa, Tuan. Ini memang sudah jadi tugas Bibi. Makannya mau sekalian Bibi bawa ke kamar, Nyonya?""Mmm, gak usah. Aku makan di meja makan aja. Bibi ke kamar siapin air hangat."Sontak Faiz dan
"Bibi kalau libur jangan lama-lama. Cuman Bibi yang bisa ngurus aku. Cuman Bibi juga yang pijatannya enak banget," ucap Sela sambil memejamkan matanya dan menikmati setiap pijatan dari Bi Lastri selepas dia selesai berendam dan bersiap untuk tidur. "Iya, Nyonya. Tapi kan Bibi juga punya keluarga yang harus Bibi perhatikan. Sebenarnya kalau Bibi punya suami, mungkin Bibi juga gak bakalan lama kerja di keluarga Nyonya, Bibi bakalan pilih di rumah mengurus rumah dan anak.""Jadi Bibi nyesel kerja lama sama keluarga aku?""Dibilang nyesel ya pasti nggak juga, Nyonya. Kalau bukan karena kerja di sini, anak Bibi mungkin gak akan bisa kuliah. Tapi anak Bibi yang pertama itu bilang kalau dia sudah bekerja, Bibi harus berhenti bekerja dan istirahat di rumah sambil jaga si bungsu. Bibi bilang dari sekarang biar Nyonya gak terlalu kaget nantinya."Sela menoleh tanpa bangun. "Bibi mau berhenti kerja? Kok Bibi jahat sih?""Nggak sekarang juga, Nyonya. Anak Bibi baru aja masuk kuliah. Mungkin bebe
Alika mau tidak mau memaksakan dirinya untuk kembali masuk kampus. Kemarin dia tidak masuk karena merasa tidak enak badan, sekaligus rasa takut bertemu banyak orang di kampusnya.Belum sempat terjadi apa-apa saja, sukses membuat Alika merasa takut bertemu dengan banyak orang seusianya di kampus, apalagi jika sampai hal buruk terjadi. Mungkin saja Alika akan memilih untuk berhenti kuliah.Tepat di depan gerbang, Gery sudah menunggu kedatangan Alika. Sesuai dengan apa yang ia janjikan, bahwa dia akan melindungi Alika dari Sela yang sewaktu-waktu bisa berbuat hal diluar nalar kembali hanya untuk membuatnya merasa senang dan puas."Alika, ikut gue sebentar," ajak Gery dengan mencoba memegang tangan Alika yang langsung di tepis itu."Jangan ganggu aku, jangan dekat-dekat sama aku apalagi di kampus. Mata-mata Sela itu pasti banyak," ucap Alika dengan penuh ketakutan. "Kamu gak tau kan betapa kerasnya aku meyakinkan diri aku untuk kembali masuk kuliah meskipun aku gak mau karena rasa takut y
"Bagaimana sekarang?" tanya Alika dengan keputusasaan."Ada gue, lo gak usah khawatir. Gue udah tau gimana cara antisipasinya. Kalau Sela berani sebar foto lo biar beasiswanya lo dicabut, gue bisa balikin keadaan supaya dia kena akibatnya. Gue juga megang kartu AS Sela. Cuman gue gak bilang tadi pas ada Via. Meski gue yakin dia orang baik karena dia juga mau bantu gue, tapi kita harus tetap waspada. Gak semua rencana harus kita bilang sama dia.""Orang tua aku gimana? Sebenarnya aku gak masalah kalau harus mengundurkan diri dari kampus ini. Aku bisa kerja dan cari kampus lain tahun depan. Tapi aku mikirin orang tuaku. Ayah baru saja pulih pasca operasi jantung. Dan kesehatan ibu akhir-akhir ini gak menentu.""Selama lo percaya sama gue dan lo bersedia gue lindungi lo. Gak ada yang harus lo khawatirkan. Belajarlah seperti biasanya, biar gue yang ngurus. Paling nggak, belajar juga buat buka hati lo."Alika menatap Gery yang mengucapkan kalimat itu hingga terasa sekali ketulusannya. Namu
"Kamu kalau ada apa-apa itu cerita. Kamu juga bilang gitu sama kakak sampai akhirnya kakak ceritakan semua yang terjadi antara kakak sama Mas Faiz. Sekarang kamu malah menyembunyikan sesuatu sama kakak."Alika hanya terdiam. Sebenarnya ia memang ingin bercerita karena sebelumnya memang tidak pernah ada rahasia yang ia sembunyikan pada sang kakak. Namun entah mengapa untuk hal itu, Alika berat sekali untuk bersuara.Apalagi Alika tahu sendiri jika kakaknya juga tengah memiliki permasalahan yang tidak ringan, karena menyembunyikan rahasia demi menjaga kesehatan orang tua terutama sang ayah. Sehingga Alika tidak ingin menambah beban dipundak sang kakak.'Maaf, Kak Nin. Aku gak bisa cerita apa-apa. Urusan aku biarkan aku urus sendiri, ada Gery yang sudah berjanji mau mengeluarkan aku dari masalah dengan orang yang bernama Sela itu,' batin Alika."Kak Nin, aku itu cuman mau tau perbandingan kampus kakak dulu sama kampus aku sekarang. Bukan berarti aku ada masalah di kampus. Nggak ada, aman
"Hati wanita itu sebenarnya gampang luluh, kok. Waktu pasti bisa merubah segalanya. Sela pasti bisa lebih bersikap dewasa dan menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu."Ira masih saja yakin dengan keyakinannya untuk menutupi rasa bersalah pada sang anak akibat perjodohan yang sudah direncanakan dulu.Tadinya Ira berpikir bahwa anaknya akan bahagia dengan calon pilihannya. Namun nyatanya tidak dan ia sendiri menyaksikan bagaimana sang anak tidak diperlakukan dengan baik oleh Sela.Bak beras yang sudah terlanjur menjadi bubur, tidak bisa kembali menjadi beras karena ingin menjadi nasi. Semua hanya bisa dijalani saja. Pikir Ira."Sela itu tidak bisa berubah hanya karena waktu. Waktu gak akan bikin Sela berpikir kalau dia bukan lagi seorang gadis. Dia memang tidak ingin menjadi istriku, makanya juga dia tidak mau menyentuh Arelia. Mama ingin aku hidup seperti ini terus? Mama tidak ingin anak Mama hidup bahagia?"Ira terdiam."Sebelumnya aku tidak pernah mengeluh apapun, entah ma
"Yakin, karena ayah juga yakin gak bakalan jadi masalah. Jadi kamu gak perlu khawatir. Kita lihat besok semoga semuanya berjalan sesuai harapan kita, yang terbaik saja."Mendengar kabar itu, seharusnya Nindy merasa senang. Namun ia sudah bisa membayangkan bagaimana proses sang ayah untuk berbicara pada keluarganya. Dimana Nindy tahu sendiri bagaimana hubungan Roni dan keluarga itu tidaklah baik. Sehingga untuk mendapatkan itu pastinya Roni harus memohon-mohon."Tapi ayah gak sampai mohon-mohon sama keluarganya kan, Bu? Dari dulu kita kan paling menghindari meminta bantuan sama keluarga ayah karena perkataan mereka selalu menyakitkan. Masa sekarang dengan mudah mereka memberikan hak ayah jika ayah tidak memohon sama mereka.""Itu gak penting," ucap Lita berdalih sambil tersenyum. "Anggap saja sebagai penyambung hubungan ayah sama keluarganya agar tidak renggang. Bagaimana pun kita kan keluarga. Harus saling tolong menolong.""Benar, ayah pasti memohon-mohon. Kalau begitu gak usah, Bu.
"Gila harta? Sejak kapan ayah gila harta? Mending kalian jujur saja, sertifikat tanah hak ayah aku masih ada atau memang udah gak ada karena kalian jual?" Nindy tidak bisa lagi mengontrol dirinya."Nindy ...." Lita terus mencoba menahan anaknya untuk tidak meneruskan pembicaraannya."Bu, bawa Nindy masuk ke dalam," pinta ayah."Pantas aja minta-minta sertifikat tanah buat lunasin hutang, ternyata anaknya aja begini. Gak mau menanggung hutang orang tuanya sendiri. Maunya hidup enak.""Kamu disekolahkan yang tinggi bukan untuk melawan orang yang lebih tua. Apa berpendidikan tinggi itu tidak diajarkan tata krama? Sia-sia saja uang orang tua kamu kalau saat sudah lulus kamu jadi orang yang kurang ajar.""Bang Ron udah gagal mendidik anak. Sarjana pertama di keluarga kita konon? Tapi begitu sikapnya. Gak ada yang mesti dibanggakan. Buat apa sekolah tinggi-tinggi tapi malah bikin gengsian dan pilih-pilih kerjaan?"Orang yang bertamu, yang notabene adalah keluarga dari sang ayah, tentu itu a
"Bu, kalau misalkan rumah sama toko kita ada yang mau beli satu miliar, kira-kira ibu bakal jual nggak?" tanya Alika dihari ketiga ia diberikan waktu oleh Sela, baru kali itulah ia memberanikan diri berbicara pada ibunya.Lita tersenyum. "Jangan mengkhayal, gak akan sampai nilai jual rumah sama toko ini sampai satu miliar.""Ya, inikah cuma misal aja, Bu. Berharap sesuatu yang baik kan nggak ada salahnya. Jadi, gimana kalau ada yang mau beli satu miliar, ibu bakalan jual?""Kayanya semua orang gak ada yang gak suka uang. Ibu juga sama. Tapi gak semua hal bisa dinilai dengan uang meskipun nominal uang itu lebih besar dari nilai barangnya. Selain memang mustahil ada yang mau membeli rumah dan toko ini sebesar itu, semuanya terlalu berarti untuk ibu dan ayah. Mengingat dulu perjuangan kami berdua untuk memiliki rumah itu tidaklah mudah.""Tapi waktu itu pas kita lagi bener-bener butuh uang untuk biaya operasi ayah, ibu bilang mau gadaikan atau menjual rumah sama toko ini.""Itukan disaat
Malam tiba, Nindy sudah menunggu kepulangan Faiz sambil menggendong Arelia di depan. Sebelumnya Faiz mengirimi pesan singkat jika ia tidak akan lembur."Tuh, Papa pulang," ucap Nindy pada Arelia yang semakin hari semakin pintar merespon meski belum bisa berbicara. "Tumben gak lembur, Mas?" tanya Nindy pelan. Ia hanya ingin bermesraan tetapi harus tetap waspada agar tidak ada orang lain yang mendengarnya."Sekarang di rumah ini ada pria lain tinggal. Aku tidak tenang karena takut dia macam-macam sama kamu. Aku takut dia jatuh cinta sama kamu."Pipi Nindy merona karena tersipu malu. "Ish, Mas. Kayak anak ABG aja cemburunya. Lagian Rico kan sukanya sama Sela. Kalau aku gak akan mudah berpaling." "Tetap saja.""Ya sudah, ayo masuk. Mumpung Bi Lastri di belakang lagi sibuk nyiapin bahan masakan untuk dimasak buat makan malam. Kan porsinya jadi bertambah satu orang. Sela juga belum pulang, Rico baru berangkat tadi siang."Mereka berdua pun bersama-sama masuk ke dalam kamar Arelia."Tadi a
"Kita belum sempat berkenalan dengan serius," tanya Rico pada Nindy yang baru saja keluar dari kamar. Arelia sudah tidur siang, waktunya ia untuk beristirahat dan makan.Tadi pagi, ia tidak melihat Rico karena belum bangun. Pagi-pagi pula ia melihat Faiz dan Sela sudah berangkat bersama meski dengan mobil yang berbeda.'Tengah siang bolong begini baru bangun? Padahal yang punya rumah udah kerja dari pagi,' batin Nindy."Nama saya Nindy.""Kamu udah tau aku, kan?"Nindy hanya mengangguk saja tak merespon lagi. Dia tidak terlalu ingin berbincang panjang lebar dengan Rico yang sangat asing baginya. Apalagi Rico sudah jelas ada di pihak Sela."Arel tidur, kamu mau istirahat, kan? Ayo makan siang bareng. Aku juga mau makan, belum makan apa-apa dari pagi."'Gimana mau makan pagi, bangun aja siang!' batin Nindy lagi."Mas Rico silakan makan di meja makan saja, nanti Bi Lastri yang siapkan. Saya makannya di belakang, di dapur kotor.""Kenapa? Gak apa-apa, makan sama aku aja di meja makan. Nan
"Lo pikir, lo bisa ngerasa tenang karena Gery ngelindungi lo?" Sela dan kedua temannya, juga Alika yang ia incar, kini tengah berada di gedung aula serba guna di kampus mereka. Selama hidupnya, Alika belum pernah merasa yang namanya takut pada siapapun selagi ia tidak bersalah. Sehingga semasa sekolah Alika tidak pernah mengalami perundungan. Ia bahkan menjadi penyelamat teman-temannya yang bungkam tidak bisa mengadu pada guru atau orang tua.Lain hal dengan sekarang, dia lah yang mengalami langsung sebagai mahasiswi yang tengah dirundung atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia juga bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi pada orang yang lebih dewasa atau pada pihak yang bisa melindunginya, karena sebuah ancaman yang mengganggu dan ketakutan jika ancaman itu menjadi kenyataan."Aku sudah pernah bilang beberapa kali, kalau aku gak suka sama Gery."Meski sudah berkali-kali Alika mengatakan itu, Sela tidak puas. Karena ia juga tah
Karena sudah terlalu lama diluar, Faiz dan Nindy pun pulang. Berharap kasur yang mereka pesan juga sudah terkirim dan sampai di rumah. Tentunya agar tidak menimbulkan kecurigaan karena mereka sudah pergi cukup lama dari rumah. Meskipun sebenarnya kecurigaan itu sudah timbul dalam diri Sela.Sesampainya di rumah, benar saja. Kasur yang di pesan sudah sampai di diletakan di dalam kamar Arelia. Juga barang-barang Nindy yang ternyata sudah dikeluarkan dari kamarnya oleh Bi Lastri atas perintah Sela sewaktu keduanya pergi."Bibi yang keluarin semua barang-baranya Nindy?" tanya Faiz disaat Nindy diam terpaku melihat barang-barangnya tergelatak di lantai depan kamar Arelia. Rasanya seperti terusir dengan paksa sebab ia seolah tidak diizinkan untuk membereskan barangnya sendiri."Nyonya Sela yang meminta, Tuan," jawab Bi Lastri sambil menggendong Arelia yang baru saja ia buatkan susu."Ini tidak sopan, Bi. Bagaimana pun Nindy juga mempunyai privasi sendiri. Jadi harusnya biarkan dia yang memb
"Terima kasih, Pak.""Tolong langsung di kirim sekarang kasurnya ke alamat itu. Saya mau sudah sampai sebelum malam. Karena kasurnya akan digunakan untuk tidur malam ini."Faiz memastikan bahwa kasur yang baru saja dipesan untuk Nindy agar segera dikirim ke alamat yang sudah dia berikan. Sementara itu dia dan Nindy akan mencari makan sebelum pulang."Mau sekalian beli yang lain? Ada yang ingin kamu beli?"Nindy sekilas tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita cari makan saja."Setelah mendapatkan tempat untuk makan, pesanan mereka juga langsung dibuatkan oleh pelayan."Kayanya aku butuh kepastian kamu, Mas. Secepatnya," ucap Nindy yang sudah menahan dari tadi ingin segera membahasnya dengan Faiz."Aku pasti akan kembali sama kamu. Memang secepatnya sedang aku usahakan, Sayang.""Kapan tepatnya? Ibu aku sudah tau semuanya, awalnya memang ibu marah dan gak mau sampai aku kembali sama kamu lagi. Tapi, aku meyakinkannya dengan menceritakan semuanya tentang pernika
"Yakin gak apa-apa kamu pulang sendiri bawa baby Arel? Mama sama Papa ikut, ya. Nanti kami pulang dengan sopir. Mama khawatir baby Arel sendirian di kursi belakang.""Selagi tidurnya di car seat, aku yakin aman. Aku juga gak akan ngebut, Mah. Aku pulang," ucap Faiz berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pulang bersama Arelia saja.Pikiran Faiz tidak tenang jika ia hanya menunggu kabar dari Nindy yang tidak kunjung ada. Akhirnya ia putuskan untuk pulang, agar saat Nindy pulang nanti ia langsung bisa bertanya apa saja yang tejadi.Faiz berpikir jika di rumahnya hanya ada Bi Lastri karena Sela pergi entah ke mana dan dengan siapa. Dan kebiasaan Sela selalu pulang larut malam jika sudah keluar rumah disaat akhir pekan. Hal itu membuat Faiz ingin cepat pulang saja.Sesampainya di rumah, Faiz langsung menggendong Arelia yang tertidur saat di perjalanan. Beruntunglah Arelia tidak menangis karena itu pasti akan sangat merepotkan dirinya yang hanya seorang diri di dalam mobil.Baru saja menu
"Biar aku tanya, apa ibu bisa memaafkan laki-laki itu beserta keluarga setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu sama keluarga kita?" tanya Alika dengan tenang padahal dia sendiri memiliki permasalahan yang serius yang membuat dia tidak tenang setiap harinya, tetapi harus tetap bersikap biasa saja."Sebenarnya ibu hanya tidak suka dengan kesombongan keluarga, orang tua Faiz bukan dengan Faiznya. Kamu sendiri pasti setuju dengan ibu. Kita sudah kenal Faiz bertahun-tahun dan tau bagaimana baiknya dia selama ini pada kita. Tapi karena perbedaan diantara keluarga kita dengan keluarga dia, makanya orang tua Faiz tidak setuju anaknya menikah dengan kakakmu."Alika mengangguk. "Aku juga berpikiran yang sama seperti ibu. Tapi sebenarnya aku tidak bisa langsung mendukung keputusan kak Nin yang mau balik lagi sama kak Faiz. Meskipun kak Nin bilang dia percaya bisa kembali lagi sama-sama, tapi kita kan gak tau keluarganya apa bisa menerima atau menolak kita lagi untuk kedua kalinya. Ditambah
Rico mematung, ia seolah membeku disaat Sela meminta untuk mempraktekan apa yang sudah dia jelaskan.Lalu Sela tertawa kecil. "Bercanda, Kak. Aku cuman bercanda doang."Seketika Rico bisa bernafas dengan lega, ia sudah mencair karena ternyata Sela hanya bergurau saja. Padahal jika harus pun Rico mau melakukannya."Kak Rico ini tegang banget kaya belum pernah ciuman sama cewek aja," goda Sela yang merasa tidak puas dengan godaannya tadi.Sela memang orang yang cukup licik, ia akan memanfaatkan rasa suka Rico agar bisa tunduk dan membantu apapun yang dia perlukan. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membalas rasa suka itu karena Rico bukanlah laki-laki tipe idealnya. Bahkan dengan Faiz saja, secara sadar Sela pasti lebih memilih Faiz dari fisik juga latar belakang keluarga, tentu juga dengan kekayaannya."Memang tidak pernah."Sela terkejut. "Bohong banget! Udah mau 27 tahun tapi belum pernah ciuman sama cewek? Kakak di Bali ngapain aja sih? Aku aja ciuman pertama itu pas SMA," u