“Hei Kamu! Ngapain di sana! Nguping!”
Suara teriakan kekasih Kinanti membuat Ardhan terkejut. Begitu mesin motornya menyala, Ardhan segera angkat kaki dari tempat itu. Untung saja dirinya tahu jalan alternatif menuju rumahnya. Dalam waktu yang singkat Ardhan sudah sampai rumahnya.
“Baru pulang, Boss? Abis meeting sama Tuan Takur ya?” sindir sang Ibu ketika ia membuka pintu rumah. “Salesman biasa kok pulang malam terus. Apa sih yang kamu lakukan di kantor? Lembur terus tetapi duitnya nggak ada. Heran.”
Ardhan mengabaikan omelan ibunya yang masih berlanjut. Ia langsung merebahkan punggungnya di ranjang ketika sudah berada di dalam kamar. Lelaki itu memejamkan mata, banyak pikiran yang bermunculan. Terutama tentang kekasih Kinanti, jika tebakannya benar maka ia harus bersiap menghadapi lelaki tersebut.
Membayangkan bekerja sama dengan pria seperti itu saja membuat lelaki itu frustasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, dengusan kesal keluar begitu saja dari mulutnya. Ardhan tak ingin berlarut dalam fantasinya sendiri, ia mencoba mengatur napas dan bersikap tenang. Lama kelamaan ia masuk ke dalam alam mimpi.
Rasanya baru sebentar lelaki bertubuh tinggi itu tidur namun ia harus mengakhirinya karena alarm berbunyi dengan nyaring. Ardhan membuka matanya dengan cepat kemudian berdiri dengan cepat menuju kamar mandi. Hari ini sebuah tugas penting menunggu dirinya.
Dalam waktu yang singkat ia siap untuk pergi ke kantor, pagi ini motornya juga tidak mogok lagi sehingga perjalanannya menuju kantor lancar. “Ardhan, ikut saya ke ruang rapat dulu,” kata Pak Bobby ketika mereka bertemu di koridor kantor.
“Baik Pak.”
Ardhan mengekor atasannya menuju ruangan yang terletak di ujung lorong. Di dalam ruangan besar tersebut hanya ada mereka berdua dan beberapa tumpukan berkas yang harus Ardhan bawa ketika bertemu dengan klien-nya.
“Kamu pelajari sebentar setelah itu pergilah ke proyek. Temui klien kita untuk membahas kelanjutan kerjasama ini. Laporkan apa saja yang terjadi di sana,” titah Pak Bobby. “Satu lagi, hati-hati dengan Prama ya Dhan.”
“Hati-hati kenapa, Pak?” tanya Ardhan penasaran. Tetapi Pak Bobby enggan memberitahu anak buahnya itu, pria berkacamata tebal tersebut pergi begitu saja. Ardhan duduk seorang diri di ruangan seluas itu, pikirannya kembali dipenuhi berbagai pertanyaan.
Karena terlalu memikirkan tentang Prama, ia sampai tak sadar jika ada seseorang yang masuk ke ruangan rapat tersebut. “Hei Dhan, ngapain di sini? Sales sok-sokan duduk di ruang rapat,” tegur Jundi.
“Masih pagi jangan cari perkara,” usir Ardhan, ia masih berbicara santai dengan musuhnya itu. “Pergilah, aku sedang pusing.”
“Jika kau tidak sanggup maka berikanlah kepada orang lain, masih banyak pegawai yang mumpuni kok,” kata Jundi.
"Oke, aku akan memberitahu Pak Bobby dan staff lainnya jika kau memintaku untuk mundur dari proyek ini,” kata Ardhan sembari membereskan semua berkas.
“Tung –tunggu dulu Dhan,”ucap Jundi panik. “Kamu salah paham, aku tidak menyuruhmu mundur. Aku hanya mengatakan jika ada orang lain yang lebih mumpuni dibanding dirimu,” jelas lelaki itu.
“Siapa orang itu?” tanya Ardhan.
“Siapa saja, bisa pegawai junior yang lain bisa juga pegawai berprestasi seperti aku.”
“Baik, aku akan mengatakan pada Pak Bobby jika kau pantas menggantikanku,” timpal Ardhan, ia segera berjalan menuju pintu ruangan tersebut. Jundi mencoba menahannya, ia mengatakan jika Ardhan salah paham dengan perkataannya.
“Aku pergi dulu, selamat bertugas,” ucap Jundi sembati berjalan menuju pintu keluar. Ardhan terkekeh geli melihat tingkah laku pegawai tersebut. Setelah selesai mempelajari semua berkas, Ardhan lalu pergi menuju proyek untuk bertemu dengan klien-nya.
Lokasi proyek yang dituju oleh Ardhan ternyata tak jauh dari posisinya semalam. Prama dan temanya sudah tiba lebih dahulu. “Maaf Pak, saya terlambat,” kata Ardhan seraya berjabat tangan.
“Tidak Pak Ardhan, anda tidak terlambat. Kami memang berangkat lebih awal,” sahut Prama tersenyum simpul.
Mereka lantas berjalan menuju ke sebuah ruangan dan mulai melakukan rapat kecil. Ardhan menyampaikan apa yang tertulis di berkas dan sebagai perwakilan perusahaan dirinya harus melaporkan hasil rapat tersebut.
Ardhan tak bisa berkonsentrasi penuh karena terganggu dua hal, satu pesan atasannya dan satu lagi bola mata Prama. “Seharusnya berwarna merah bukan jingga,” batinnya.
“Kenapa Pak Ardhan? Ada sesuatu yang ingin disampaikan?” tanya Prama, wajahnya tampak serius menatap lelaki itu.
“Oh tidak Pak Prama, tidak ada,” sahut Ardhan yang panik.
Rapat kembali diteruskan hingga sebuah kesepakatan pun tercapai. Setelah itu mereka semua keluar menuju proyek yang sedang dikerjakan oleh karyawan perusahaan Prama. Ardhan tetap berada di sana untuk mengawasi sampai waktu makan siang tiba.
“Mari makan siang dulu Pak Ardhan,” ajak anak buah Prama.
“Silakan Pak, duluan saja. Saya akan menyusul nanti,” tolak Ardhan karena dirinya masih membuat laporan untuk diberikan kepada atasannya. Begitu juga dengan Prama yang masih berkutat didepan komputer jinjingnya.
Kegiatannya keduanya terhenti karena ponsel Prama berdering dengan kencang, Ardhan terus memperhatikan lelaki yang duduk tak jauh darinya, tiba-tiba saja Prama menendang kursi di dekatnya lalu berjalan keluar ruangan.
Tentu saja hal itu membuat Ardhan terkejut, pria yang selalu bersikap ramah padanya berubah menjadi pria pemarah. Karena penasaran, Ardhan lalu mengikuti langkah Prama. Boss besar itu rupanya pergi ke tempat parkiran, lebih tepatnya menuju ke sebuah mobil berwarna putih.
Dari dalam mobil tersebut keluarlah seorang perempuan yang dikenalnya. Tebakan Ardhan semalam benar, Prama adalah kekasih Kinanti. Pria itu menghampiri kekasihnya, mereka bicara empat mata. Ardhan berniat untuk meneruskan pekerjaan namun ia urungkan karena mendengar suara teriakan Prama.
“Jangan membuatku lebih marah ya!” pekik Prama. “Sudah kubilang berkali-kali jangan datang ketika aku bekerja!”
“Aku datang baik-baik, tidak bermaksud mengganggumu lagipula ini –“
Ucapan Kinanti terhenti karena ia melihat kekasihnya sudah mengangkat tangannya, hendak memukulnya. Tanpa sadar Ardhan memajukan langkahnya, ia tergerak untuk menolong Kinanti.
“Pukul! Kenapa berhenti pukul saja!” teriak Kinanti sembari menangis. “Bukankah sudah biasa kamu memukulku, ayo pukul!”
Ardhan membulatkan matanya, ia tak menyangka jika Prama juga melakukan tindak kekerasan kepada kekasihnya. Ardhan pun mengurungkan niatnya untuk kembali bekerja, ia ingin memastikan jika Prama tak meneruskan perlakuan buruknya.
Saat sedang mengawasi pertengkaran kedua sejoli tersebut, sebuah panggilan masuk dari sang atasan memaksanya untuk menjauh dari lokasi tersebut.
“Halo Pak,” sapa Ardhan, ia berusaha setenang mungkin.
“[Dhan, bagaimana keadaan di sana? Kenapa kamu belum mengirimkan laporan?]”
“Baik Pak Bobby, sebentar lagi akan saya kirim,” jawab Ardhan.
“[Keadaan di sana baik-baik saja ‘kan, Dhan? Tidak ada kendala, semua sepakat dengan syarat dari kita?]”
“Iya Pak, semua beres,” ujar Ardhan.
“[Baguslah kalau begitu, kamu memang bisa diandalkan. Cepat selesaikan laporannya, kirim segera padaku.]”
Setelah panggilan telepon tersebut berakhir Ardhan mencari keberadaan Prama dan Kinanti namun mereka berdua sudah tak ada di tempat begitu pun dengan kendaraan putih tersebut. Posel Ardhan kembali berdering, ia menerima sebuah pesan singkat dari Prama. Seketika tubuhnya menegang.
“Mati aku!”
Ardhan menghela napas panjang setelah membaca pesan singkat tersebut. Belum selesai tugas dari kini Prama ikut memberikan titah padanya. Lelaki itu ingin Ardhan untuk menyambut investor atasannya yang datang ke lokasi pembangunan proyek mereka.Lelaki itu melangkah secepat mungkin untuk kembali bekerja, menyelesaikan tugas dari Pak Bobby. Setelah itu, Ardhan mempersiapkan diri untuk menyambut tamu mereka. Namun tamu yang ditunggu tak kunjung datang.“Pak Prama, apakah tamu kita tidak jadi datang?” tanya Ardhan pada Prama ketika lelaki itu kembali.“Saya sudah bertemu dengan investor kita tadi, kami makan siang bersama. Maaf karena saya lupa memberitahu Pak Ardhan,” jelas Prama.“Oh begitu,” timpal Ardhan singkat. Entah mengapa muncul rasa kecewa dihatinya. Ia sudah mempersiapkan diri tampil sebaik mungkin. Nyatanya tamu yang ditunggu sudah bertemu dengan Prama. “Untuk apa tadi menyuruhku untuk menyambut tamu,” batinnya.Kedua lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Ardhan kembali
Ardhan tercekat ketika mendengar pertanyaan dari sosok dihadapannya, suara yang cukup familiar menggema di telinganya. Kedua lelaki itu saling menatap. “Apa maksud Pak Ryan bertanya seperti itu? Ini file perusahaan saya, ini milik saya,” jawab Ardhan serius. “Tenang Pak Ardhan, saya tidak bermaksud untuk –“ “Permisi Pak, saya harus segera pergi,” sela Ardhan, ia melanjutkan langkahnya. “Pak Ardhan, mau ke mana?” tanya Prama ketika melihat rekan bisnisnya itu berjalan cepat menuju parkiran. Ardhan mengabaikan pertanyaan tersebut, ia tetap pada tujuan awalnya. Prama tak menyerah ia menghampiri Ardhan saat memakai helm-nya. “Mau ke mana, Pak? Ada sesuatu yang penting?” “Saya hanya mau mengantarkan berkas kepada atasan saya, beliau ingin tahu apakah ada kecurangan atau tidak,” jawab Ardhan setenang mungkin padahal hatinya bergemuruh. “Kecurangan?” tanya Prama, air wajahnya berubah. “Ah maksud saya kesalahan Pak,” kata Ardhan. “Saya tulis angka atau salah melaporkan hal lainnya.” “Pa
“Di mana??” tanya Ardhan dengan nada agak tinggi. Ia sedikt kesal karena perempuan itu seperti mengerjainya.“Aku perlu tahu dulu, untuk apa kamu menemui kakekku,” sahut wanita itu. “Mau beli kacamata lagi?” lanjutnya. “Ya iyalah ya, kacamata yang kamu pakai itu sama dengan kacamata baca lansia.”“Beli kacamata? Kakekmu jualan kacamata?”“Benar, kakekku jualan kacamata di pasar pagi,” jawabnya santai. Ardhan mengehal napas kasar, ia tak percaya sudah dipermainkan oleh seorang wanita asing. “Beli kacamata kakekku yang banyak ya,” imbuhnya.Ardhan tak tahan lagi dengan perempuan itu, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, ia memikirkan tentang perkataan gadis asing itu. Ia berniat untuk mendatangi lapak kakek tersebut. Barangkali kakek gadis itu adalah kakek misterius yang ia cari selama ini.Perjalanan panjang selama 45menit akhirnya terlewati, lelaki itu sudah sampai di rumahnya. Seperti biasa sang Ibu tak pernah absen untuk menceramahi dir
“Pacar Pak Prama,” ucap Ardhan mengulangi pertanyaan lawan bicaranya. “Yang benar saja Pak, mana pernah saya bertemu pacar bapak.”“Besok kalau ketemu pacar saya, bapak tanya sendiri apakah saya pernah berbuat seperti itu atau tidak.”Ardhan hanya menganggukkan kepalanya untuk merespon perkataan lelaki itu. Sekaligus mulai menerima salah satu sifat pemilik bola mata jingga tersebut. Percakapan kedua berakhir karena baik Prama dan Ardhan ingin segera pulang.Seperti biasa Prama meninggalkan lokasi kerja ebih dahulu disusul pekerja yang lain dan yang terakhir pasti Ardhan dengan si butut hijau. Lelaki penyuka warna biru itu tampak senang karena akhir pekan ini dirinya bisa pulang lebih awal.Motornya tidak mogok dan juga tak ada kemacetan yang berarti, hanya perlu waktu 45 menit untuk sampai di rumahnya. “Tumben pulang cepat,” tegur sang ayah.”“Kerjaannya sudah beres semua,” sahut Ardhan sembari masuk ke dalam.“Tumben nggak pulang malam,” tambah sang ibu. “Biasanya lembur terus.”“Pul
“Dijual?” ujar Ardhan tak percaya.“Pasti dia mau bayar mahal. Karena beliau sangat menginginkan kacamatamu.”“Kacamataku tidak dijual Bu, berapa pun harganya,” ucapnya tegas.“Kamu ini gimana sih Dhan, diajak bisnis kok nggak mau. Kacamata kayak gitu kan banyak di optik,” sambung wanita paruh baya itu.“Kalau begitu suruh Pak Romli saja cari ke optik. Pokoknya kacamataku ini tidak dijual, titik.”Ardhan kemudian masuk ke dalam kamar, ia memilih untuk menelpon kekasihnya dan meneritakan semuanyaa kepada perempuan yang sudah dicintainya sejak tiga tahun yang lalu. Puas bercerita tentang harinya, Ardhan melanjutkan kegiatannya untuk tidur hingga malam hari.Ia baru bangun ketika merasa perutnya lapar, tangan kekarnya menarik gagang pintu. Begitu pintu coklat itu terbuka, matanya bergerak mencari keberadaan sang Ibu. “Kenapa kamu ngintip-ngintip begitu, Dhan?”Lelaki itu terkejut karena aksinya ketahuan ayahnya. “Siapa yang ngintip,” elaknya“Kamu cari keberadaan ibu ‘kan? Ibumu sedang p
“Gimana maksudnya, Pak?” tanya Ardhan memastikan apa yang baru saja didengarnya.“Anak saya ini menderita silinder dan kebetulan saya tidak suka bentuk kacamatanya jadi saya akan –““Belum tentu besrnya silinder saya dengan anak bapak ini sama,” jelas Ardhan dengan pelan dan sikap tenang meskipun dalam hatinya ia ingin mengamuk.“Ayah ini kenapa suka sekali memaksa, aku tidak mau ganti kacamata,” tolak anak remaja itu seraya berlari pulang menuju rumahnya.“Yasudah kalau begitu Mas, saya permisi pulang dulu,” ujar Pak Romli menahan rasa malu. Ardhan tak menjawab salam yang diucapkan lelaki itu, ia masuk ke dalam dengan emosi yang tertahan.“Jangan datang lagi ya Pak,” gerutunya.“Dhan, sebenarnya ada apa dengan kacamatamu itu. Kenapa Pak Romli sangat ingin memilikinya,” tanya pria paruh baya itu penasaran.“Ayah saja bingung apalagi aku.”Percakapan mereka terputus karena masing-masing masuk ke dalam kamar. Ardhan tak merasa senang ataupun kesal, ia lebih merasa was-was karena bisa sa
“Mmm maaf mbak, bukan maksud saya ..” sahut Ardhan bingung.“Memangnya ad yang salah dengan kontak lensa saya Pak? Warnanya jelek ya,” lanjut gadis itu.“Kontak lens?” tanya Ardhan kaget. Pegawai itu mengangguk dengan cepat. “Jadi kamu pakai kontak lensa ya.” Ardhan lalu mencopot kacamatanya, ia menatap pegawai tersebut degan mata kosong dan memang benar tak ada bedanya. Ia kemudian beralih memandang benda misterius yang ada di tangannya.Sepanjang rapat Ardhan tak memakai kacamata tersebut, ia kembali ke tampilan dirinya yang semula. Pak Bobby menyuruh Ardhan untuk menimpali presentasi yang dilakukan oleh atasan mereka. Tiba-tiba saja Ardhan merasa keberanian menghilang, ia sulit merangkai kata-kata. Ia bingung harus berbuat apa.Ardhan sedang dilema antara memakai kacamatanya lagi atau tidak. “Pak Ardhan, ada yang mau dikatakan?”“Kenapa Pak,” tanya Ardhan bingung, terkejut karena namanya tiba disebut. Matanya seketika menoleh ke arah Pak Bobby yang tersenyum lebar. Pria gendut itu
“Maksudnya gimana ya Pak?”“Maksud saya, bagaimana kesan Pak Ardhan setelah bertemu pacar saya,” kata Prama menjelaskan.“Mbak Kinanti orang yang baik Pak, dia lembut. Kalian pasangan yang serasi,” jawab Ardhan, ucapannya berbeda dengan isi hatinya.“Ungkapan Pak Ardhan barusan seperti orang yang sudah akrab dengan Kinanti,” ujar Prama. Ardhan bisa merasakan jika rekan bisnisnya itu sedang cemburu.“Kamu ini apa sih sayang,” ujar Kinanti sembari menepuk pundak kekasihnya.“Yasudah kalau begitu Pak, saya permisi kembali ke perusahaan. Jam makan siangnya sudah hampir habis,” kata Ardhan berpamitan. Ia tak mau urusan percintaan ini mengganggu kerjasama perusahaan mereka. Begitu juga dengan Prama yang langsung kembali ke proyek sedangkan Kinanti pulang naik taksi.Spanjang jalan menuju kantor, Ardhan merasa kasian dengan Kinanti. Lelaki itu tidak habis pikir bagaimana bisa perempuan sebaik dia bisa menjadi kekasih Prama. Namun Ardhan harus segera meninggalkan urusan Kinanti dan Prama kare
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s