"Kau yakin di sini?" Dannis melirik dengan perasaan ragu. "Iya, di sini. Kenapa? Ada yang aneh?" Nina melirik balik sambil tersenyum kecil. Mereka berdua telah sampai di sebuah pasar malam yang berada di dekat pantai. Meski sudah jalan dari jam 5 sore, namun sesampainya di pasar malam tampak begitu banyak orang yang sudah berlalu-lalang. Mungkin hal itu karena ini adalah malam Minggu. Semuanya berharap untuk bersantai melepas penat mereka. "Kukira kau akan mengajakku ke restoran," pikir Dannis. "Aku bosan selalu di restoran. Sekali-kali kita cari makanan yang unik dan enak di sini." Nina memegang telapak tangan bosnya. Tanpa sadar, ia langsung menarik Dannis untuk mengikutinya. Dimanjakan oleh backsound lagu bertempo pelan yang bersumber dari speaker pasar malam dan tentunya ditambah oleh kehangatan tangan sekretarisnya, tampak Dannis begitu menikmati malam Minggu ini. Berbincang ringan tentang makanan yang ingin beli, berbisik menyindir beberapa pedagang, dan menertawai tingkah
"Baiklah, aku pesan yang enak-enak. Awas sampai tidak dimakan!" Dannis langsung memanggil pelayan kedai makanan. Lebih dari tiga menu yang dipesan oleh Dannis. Bahkan lelaki itu tidak ketinggalan memesan hidangan penutup yang lumayan besar porsinya. Namun ketika Dannis sedang sibuk dengan pelayan kedai, Nina tampak terus melirik ke arah jalan setapak yang sebelumnya mereka lewati. Ia menggunakan pantulan dari layar depan smartphone miliknya untuk menangkap posisi si orang asing yang membuntuti mereka. Tampaknya orang itu terus saja menjaga jarak dan bersembunyi di antara kerumunan orang. Hoodie, topi dan masker yang ia gunakan menutupi semua bagian kepalanya. Tidak ada celah untuk mengenali sosok asing itu kecuali dari sepasang matanya. "Siapa sebenarnya dia?" tanya Nina dalam hati. Bila dilihat dari tingginya, ia seperti pernah bertemu dengan seseorang yang sepantaran dengan pria itu. Namun karena keterbatasan informasi, Nina masih meraba siapa dia. "Bagaimana dengan kantor baru
Satu hari setelahnya, Dannis mulai merasa bila setiap gerak-geriknya mulai diawasi oleh seseorang. Nyatanya, ketika tadi ia keluar dari area apartemen hingga menyusuri jalan ibukota, tampak satu mobil sedan berwarna hitam yang terus menempel di dekatnya. Tidak lumayan dekat, namun pandangan Dannis terus tertuju pada mobil dan orang asing yang mengendarainya. "Ada apa, Pak?" Nina baru saja masuk ke dalam ruangan bosnya. Ia tampak penasaran ketika melihat wajah Dannis yang begitu lelah dan bingung. Perempuan itu memberikan beberapa berkas tentang bagian pemasaran selama kurun waktu satu tahun ke belakang. Tidak lupa, ia juga memberikan file dokumen yang menjelaskan tentang Arya Diningrat. "Penguntit itu masih membuntuti. Sepertinya dia ingin tahu ke mana saja aku pergi." Dannis mencoba melepas pikiran cemasnya dengan meminum segelas kopi susu hangat yang sudah tersedia di atas meja. "Aku juga mendapat kabar kalau Pak Gilang juga merasakan hal yang sama. Ia juga diikuti oleh orang as
"Pak, maskapai Kertanegara Air terutama bagian manajemennya diketahui mendukung Pak Andika. Akan sangat susah mengorek informasi dari mereka," pikir Edwin. Saat ini keduanya telah berada di gedung utama dari maskapai penerbangan Kartanegara Air yang letaknya tidak jauh dari bandara utama negeri itu. Setelah mendengar ucapan Edwin, direktur pemasaran itu tampak tidak gentar. Ia segera turun dari mobil dan berjalan menuju ke bagian lobi. Tidak ketinggalan, Edwin akhirnya ikut serta dan mengikuti Dannis dari belakang. "Selamat siang. Apa kau bisa memberitahukan CEO sementara dari perusahaan ini untuk menemuiku?" Dannis menghampiri meja resepsionis dan langsung bertanya ke tujuannya. "Maaf, Pak Dannis, 'kan? Dari kantor pusat?" Salah satu resepsionis tampak mempertanyakan identitas Dannis. "Iya, benar. Kenapa?" balas Dannis. "Saat ini Pak Rajiman, selaku CEO sementara, tidak berada ditempat. Beliau sedang mengunjungi beberapa cabang lainnya. Apa saya perlu menjadwalkan ulang pertemua
"Apalagi yang diperbuat bocah tengik itu?!" Adipati yang sedang berada di kantor merasa kesal. Seharusnya ia hanya perlu duduk diam seharian sambil menunggu momen bersama Airin di hotel langganannya. Namun kali ini ia harus berpikir lagi untuk membunuh satu kecoa yang terus saja mengganggu. Lelaki itu tampak menghubungi seseorang. Ia menelepon orang yang menguntit Dannis selama dua hari ke belakang. "Dengar baik-baik. Targetmu yang baru adalah Dannis Brata. Bunuh dia dan jangan sampai meninggalkan jejak. Lakukan malam ini juga. Bila ada yang menghalangi, bunuh saja!"["Baik, Pak. Saya akan laksanakan."]Secepat mungkin Adipati menutup teleponnya. Sambil melepaskan dasi yang melekat di leher, ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Di maskapai Kertanegara Air, setelah Dannis menyelesaikan urusannya di sana, ia langsung meminta kepada Edwin untuk kembali ke kantor terlebih dahulu. "Pak, apa Anda yakin? Saya bisa menjadi supir Anda," ungkap Edwin. "Ada hal yang harus kau lakuka
"K–kau?! Tapi kenapa?" Dannis tampak bingung. "Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau ucapkan?" Randy tampak tegas menodongkan senjatanya.Dannis memang merasa terkejut dengan sosok si penguntit yang ternyata adalah mantan musuhnya. Namun melawan pistol yang memiliki kecepatan luar biasa, ia pasti akan langsung tewas pada tembakan pertama. Otaknya lalu berpikir bagaimana caranya untuk memperpanjang waktu dan memberinya kesempatan untuk lari. "Randy! Apa kau tidak mengenalku? Atau kau pura-pura bodoh?!" Dannis mencoba memancing. "Siapa Randy?! Aku tidak kenal dengannya!" ungkap lelaki itu. "Apa kau gila?! Atau jangan-jangan kau hilang ingatan?" Niat awal ia bertanya adalah untuk mengulur waktu, namun ketika mantan musuhnya seakan lupa dengan identitas aslinya malah membuat Dannis merasa penasaran. "Aku adalah Samuel, bukan Randy," ucapnya."Dari kapan kau mengubah namamu? Itu aneh! Apa kau juga tidak mengenal daerah ini? Kau sengaja mendorongku waktu itu ke sana." Dannis mencoba
Dannis membawa tubuh Randy dengan menopang bagian pundaknya turun menuju ke tempat parkir. Butuh upaya yang keras darinya. Apalagi jalanan menurun ditambah dengan langit yang mulai gelap membuat kawasan hutan pendakian itu tampak menyeramkan. "Sial! Kenapa kau berat sekali!" keluh Dannis. Ia mulai mendengar suara dari serangga-serangga malam. Matanya tampak waspada dan enggan untuk menoleh ke belakang. Ia hanya ingin terus berjalan menuruni medan yang lumayan terjal untuk menuju ke mobilnya. "Kenapa aku merasa seperti sedang ada yang mengawasi?" Dannis merasa cemas. Bulu kuduknya berdiri dan membuatnya merinding. Sejauh ini, pengalaman berada di hutan inilah yang paling jauh atau tidak masuk akal. Bila dirasakan, embusan angin yang menerpa begitu dingin dari biasanya. Bukan karena langit mulai gelap, namun karena kabut yang mulai turun dan menyergap dirinya dan Randy. "Semoga tidak ada pocong atau kuntilanak yang main cilukba," ungkapnya. Ketika ia sampai di tempat parkir, Danni
"Lalu setelah itu kalian mengambil alih perusahaannya begitu saja?" tanya Airin yang sedang berada di situasi tidak terduga. Napasnya tersengal-sengal menahan gairah lelaki yang tampak membara. Ia harus menghemat energinya dan terus menanyakan beberapa hal yang ingin ia ketahui. "Tentu saja tidak. Kami mengancamnya akan memberitahukan kehamilan itu ke keluarganya. Kami tahu dia memiliki seorang putri yang begitu disayanginya. Dan kami juga mengancam untuk mengeluarkannya dari kampus," ungkap Adipati. Ia terlihat hanyut dalam tarian eksotis yang menyatukan dua raga mereka. Keringat dingin mulai membasahi perut six pack lelaki itu. Namun ia tidak berhenti. Ia terus menaikkan ritme permainannya hingga Airin tidak lagi kuat menahan suaranya untuk menjerit lirih. "Jadi, apa dia yang memberikan perusahaannya itu?" tebak Airin. Wajahnya tampak lelah, namun ia menikmatinya. Setelah berita mengenai kehamilan model itu, Arya Diningrat tampak stres ketika dirinya mendapatkan ancaman baru dar
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba