“Tuan Alex meminta kami untuk membawamu ke sini. Dia pikir untuk sementara waktu kau bisa berlibur dulu di sini,” ungkap Steven. Pengawal itu membantu Juna untuk memasukkan beberapa barang ke dalam bagasi mobil. Pada hari itu begitu banyak orang yang lalu-lalang di sekitar bandara. Dannis yang baru saja merasakan patah hati terasa terhibur sedikit ketika melihat kesibukan mereka semua. “Naiklah, kita masih punya banyak waktu sebelum pindah ke Inggris,” ungkap Juna sambil melemparkan senyuman. “Ah, kau benar. Sebaiknya kita berlibur di sini dulu.” Mulanya Dannis menolak, namun kini ia setuju untuk menetap sementara waktu di negara yang memiliki simbol singa berbuntut ikan itu. Mereka pun masuk ke dalam mobil. Kali ini Steven yang mengendarai. Juna duduk tepat di sampingnya, sedangkan Dannis duduk di belakang. Selama mobil melaju di jalan raya, begitu banyak pasang mata yang tertuju pada mereka. Maklum saja, mobil mewah keluaran negara jam Big Ben memang tidak pernah gagal membuat i
Jarak antara yang diburu dan pemburu sekitar tujuh meter. Steven berusaha untuk tetap tenang meskipun ujung selongsong pistol salah satu dari mereka telah mengarah padanya. Ia sama sekali tidak bisa mengelak bila peluru melesak cepat dari selongsong itu. “Hei-hei-hei! Apa kita tidak bisa bernegosiasi dulu? Aku bisa membayar kalian lebih banyak dari harga kepalaku,” ucapnya. “Maaf, tapi kepalamu dihargai lebih mahal dari yang kau pikirkan.” Salah satu pembunuh bayaran itu tampak tersenyum. “Memangnya berapa harga kepala seorang Verbannen?” Steven merasa penasaran. Kedua matanya tampak melirik ke sana-kemari. Ia mencoba mengulur waktu dan mencari langkah tercepat untuk kabur. “Kebebasan kami!” tegas salah satu dari mereka. Dengan cepat jari dari salah satu pembunuh bayaran menekan pelatuk pistolnya. Sebelum itu terjadi, Steven langsung menghindar ke kiri dan melakukan gerakan lompat harimau ke depan untuk meminimalisir luka. Dar!Suara letupan pistol terdengar begitu nyaring. Saya
“Ini pelabuhan?” Steven merasa bingung kenapa ia dibawa kemari. Kedua matanya terus melirik ke salah satu pemburu yang duduk disampingnya. Ia mencoba mencari celah lengah mereka agar bisa lari. “Kenapa kalian membawaku ke sini?” Steven coba mencari tahu. “Kita akan menyeberang ke negara seberang. Lalu kami akan membawamu ke hadapan Ryan Lewis Blutschild,” jelas salah satu pemburu. Pelabuhan itu hanyalah sebuah pelabuhan kecil. Kapal yang bersandar pun hanya berkategori kecil. Biasanya hanya digunakan untuk keperluan warga lokal untuk mencari ikan, atau sekadar pelabuhan untuk bersandar kapal-kapal kecil dari negeri seberang. Tidak ada gudang peti kemas yang terbengkalai, hanya sebuah jalan sepi yang langsung terhubung dengan para dermaga kecil. Steven yang baru saja diturunkan dari dalam mobil langsung dituntun oleh keduanya menuju ke ujung jalan. Lumayan jauh, mereka harus berjalan hingga satu kilometer untuk menggapai kapal yang sudah disewa. “Apa kita tidak bisa melakukan neg
Mereka bertiga berhamburan menuju ke arah ujung jalan sempit itu. Untungnya ketika pelatuk bazooka ditekan kembali, ledakan besar yang terjadi hingga menghancurkan sebagian kapal yang bersandar di dermaga itu tidak melukai Dannis dan yang lainnya. Mereka semua berpencar ke segala arah. Dannis terus menyusuri taman yang ada di pinggir jalan kecil, Juna terus lari menyusuri jalan sempit itu, sedangkan Steven naik-turun kapal dan dermaga untuk mengikuti kedua temannya. “Siapa sebenarnya mereka?!” Dannis begitu gusar. “Seenaknya menggunakan bazooka di sini!” Ia benar-benar kesal kepada kedua orang asing itu. Sayangnya, kedua pemburu itu tidaklah lelah ataupun menyerah. Mereka mengejar ketiganya dengan menyusuri jalan sempit yang berada di samping dermaga itu. Dengan emosi, Juna meminta kepada kedua temannya untuk mengikutinya. Teriakannya sampai terdengar oleh Dannis dan Steven. “Ikuti aku!” Mendengar hal itu, Dannis yang berada di kanan Juna pun bergabung dengan pengawalnya itu. Ia
“Kau mabuk sepanjang malam?” Dannis duduk di samping pengawal ayahnya. Ia menemani pria yang terlihat begitu sayup matanya. Kepalanya terus menunduk dan enggan untuk menoleh ke arah Dannis. Tepat di depan dirinya ada sebotol bir yang tersisa ⅓ saja. Steven merasa hancur ketika mengetahui target yang akan diincar oleh para pemburu itu adalah tuannya sendiri. Alex Kartanegara dan Diana Ningrat seharusnya sudah menjadi Verbannen II yang kebebasannya tidak boleh diganggu gugat oleh organisasi. Tapi sayangnya, Ryan Lewis Blutschild menyebut ketidakberpihakan kedua orang itu sebagai kejahatan dan pengkhianatan terhadap keluarga ke-12. “Aku masih berutang padamu untuk menjelaskan semuanya.” Steven tidak sanggup melirik anak bosnya. Ada hal yang harus ia sampaikan pada Dannis, dan itu menyangkut keterlibatan kedua orang tuanya. Ini akan menjadi beban untuknya. “Kalau begitu ceritakan. Aku juga ingin mendengarkan,” sahut Juna yang baru saja tiba. Mereka bertiga berada di balkon klub malam y
“Jadi, kita akan ke mana?” tanya Dannis. Pembicaraan di pagi hari yang begitu pelik dan kompleks itu telah selesai dari tiga jam yang lalu. Rapat tertutup yang dilakukan oleh mereka berempat saat ini akan menentukan pergerakan selanjutnya. Meski begitu, mereka harus berhati-hati karena begitu banyak pemburu bayaran yang berseliweran di jalan-jalan. “Tujuan utama kita kali ini adalah Ryan Lewis Blutschild. Aku menyarankan padamu untuk menghubungi sembilan Verbannen lainnya dan bersatu menyerang markas Ryan Lewis Blutschild. Kita akan mengajak setiap Verbannen I dan membentuk tim untuk memburu si ketua bajingan itu.” Reina telah menjelaskan rencananya. Ia juga telah memberitahu seluruh lokasi para Verbannen I yang tersebar di setiap negara Asia tenggara. “Sangat menarik. Tapi kita mulai dari mana dulu?” tanya Juna. “Verbannen peringkat ke-9. Dia yang paling dekat dengan kita saat ini. Dia ada di Perlis, Malaysia,” sahut Steven. “Kenapa dia ada di sana?” Dannis merasa heran. “Berse
“Apa dia tinggal di sekitar sini?” Dannis merasa seluruh tubuhnya pegal setelah duduk berhimpitan satu sama lain di mobil SUV. Ia menoleh ke berbagai arah untuk melihat adakah perumahan di dekat situ. “Kita harus jalan kaki dari sini. Masuk ke dalam bukit.” Reina menurunkan tiga buah ransel yang dikhususkan ketika melakukan pendakian gunung. Ia meminta kepada ketiga lelaki itu untuk membawanya. “Apa kita tidak bisa mencari hotel terlebih dulu? Pakaianku sudah bau sekali,” sahut Juna. Mereka berempat meninggalkan mobil SUV itu di pinggir jalan dengan keadaan bahan bakar yang menipis. Saat ini, mereka sedang berada di jalan provinsi yang terletak begitu dekat dengan bukit dan lautan. Reina mendapatkan kabar burung bahwa Verbannen ke-9 bersembunyi di sekitar daerah itu. Berdasarkan sumber informasinya, ia berada di bukit dan mengasingkan diri dari warga sekitar. Jarak antara jalanan dan bukit lumayan jauh. Perjalanan ini akan memakan waktu tidak sebentar. Apalagi hari kian gelap. Sud
“Verbannen ke-10? Sedang apa kau di sini?” Aden merasa heran dengan kemunculan seseorang yang mengaku sebagai buronan sepertinya. “Ada yang harus kau tahu tentang organisasi. Mereka sedang melakukan perburuan,” ungkap Steven. Mendengar hal itu, Aden menurunkan senjatanya. Ia mencoba mempercayai keempat orang yang tiba-tiba muncul di depan rumah kumuhnya tanpa meninggalkan kecurigaan. “Baiklah, sebaiknya kita bicara di dalam.” Aden mempersilahkan mereka untuk masuk. Penampakan rumah Verbannen ke-10 sangatlah tidak menarik. Dannis jadi teringat dengan kontrakannya dulu sebelum ia bertemu Juna. Kontrakan tempat ia tinggal setelah keluar dari panti asuhan sangatlah kumuh dan buruk, namun rumah Aden jauh lebih dari itu. Ini bisa dibilang tidak layak tinggal. Lantainya hanya beralaskan tanah. Tidak ada perabot elektronik. Semuanya hanya kayu. Bahkan untuk memasak pun, Aden menggunakan kayu bakar. Untuk ranjang tidur, ia memilih menggunakan ranjang kayu tanpa kasur busa ataupun kapuk. I
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba