Setelah selesai dengan penyambutan di lobi bawah, keduanya memutuskan untuk segera menuju ke kamar masing-masing. Tampak Dannis membuat jarak ketika berjalan di samping Nina. "Aku akan menunggumu di lobi bawah." Nina segera membuka pintu kamarnya setelah selesai berbicara dengan Dannis.Kedua kamar mereka saling berhadapan satu sama lain. "Um … aku mengerti." Lelaki itu segera masuk ke dalam kamar setelah memberi jawabannya. Tampak wajahnya begitu lelah karena masalah yang ia hadapi di pesawat. Pertama kali menggunakan transportasi udara membuat dirinya terlihat seperti orang udik. Padahal ia adalah seorang CEO dan pewaris Alex Grup. "Lelah sekali …." Ia memilih untuk duduk sesaat di sofa. Memejamkan kedua matanya untuk mengistirahatkan pikirannya. Pertemuan yang akan dilakukannya nanti telah mengambil sebagian pikirannya. Ia tampak sedikit stres. "Sebaiknya aku mandi, sebelum sekretaris itu memanggilku lagi," pikir Dannis. Tanpa berlama-lama, Dannis memutuskan untuk segera men
"Maaf, kau siapa?" Sejujurnya Dannis belum pernah bertemu dengan Andika Kartanegara, si paman pertamanya. Ia terkejut dengan sosok asing yang tiba-tiba langsung memeluknya. "Kau tidak mengenalku? Oh, maaf, bodohnya aku. Kukira CEO Alex Grup sudah belajar banyak tentang keluarga Kartanegara," sindir Andika Kartanegara.Nina langsung menyela, "Pak, dia adalah Andika Kartanegara, anak pertama dari tuan Aji Kartanegara, CEO utama dari Kartanegara Grup." Mendengar ucapan perempuan di sampingnya, Dannis tampak gugup. Ia tidak menyangka bila orang yang ada di depannya adalah paman pertamanya sendiri. Dannis merasa beberapa ucapan pria di depannya sangatlah tajam menusuk. Ia sempat berpikir untuk menghindarinya, namun posisi penting yang dimiliki Andika Kartanegara malah membuat Dannis tidak bisa menyingkir darinya. "Apa kau sekretarisnya?" tanya Andika Kartanegara."Benar, saya sekretarisnya," ungkap Nina. Ia menjawab
"Bagaimana? Apa kau mau melakukannya?" tanya Nina. "Baiklah, aku akan mencobanya." Dannis menyerah. Akhirnya tanpa adanya pilihan, ia mengikuti rencana gila Nina. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore, sedangkan acara makan malam yang akan dihadirinya sekitar pukul 8 malam. Dannis yang baru mengunjungi pulau Dewata berpikir untuk mencari camilan ringan di sepanjang jalan. "Anda ingin langsung kembali hotel, Pak?" tanya Nina. "Tidak … aku ingin mencari makanan khas daerah sini. Aku mau bebek betutu. Kau mau ikut atau mau menunggu di hotel?" tanya Dannis balik. "Kau langsung ingin makan sekarang? Lalu saat makan malam bagaimana?" Nina sampai menggelengkan kepalanya. "Aku bisa mencicipi sedikit makanan di acara nanti. Lagi pula kedatanganku ke sana hanya untuk memenuhi undangan paman, bukan untuk menumpang makan seperti di acara hajatan orang," pikir Dannis. Akhirnya mereka berdua masuk ke dalam mobil. Mini Van yang sedari tadi menunggu mereka selesai mengobrol telah terpark
"Kau sudah siap?" tanya Nina.Perempuan itu mengulurkan tangannya. Tampak ia mengenakan gaun putih bergaya dress panjang yang dikombinasikan dengan kalung mutiara yang tersemat di lingkar lehernya. Tak ketinggalan, ia juga mengenakan sepasang anting berlian dan terlihat rambutnya tergerai panjang ke bawah. "Aku siap," balas Dannis. Lelaki itu tampak menghela napas pendek untuk menghilangkan rasa canggung dan gugupnya. Dannis terlihat mengenakan setelan jas abu-abu kehitaman yang dipadukan dengan aksesoris berupa jam tangan mewah berwarna silver di tangan kanannya. Tak ketinggalan, ia juga mengenakan sepatu mewah limited edition yang dibuat khusus untuk dirinya. Sejujurnya, semua barang yang dikenakan oleh mereka berdua disponsori langsung oleh Gilang dan Juna. Meski begitu, uang yang digunakan tetaplah milik Dannis. Intinya, mereka hanya mensponsori soal tempat pembelian barang dan juga fashion yang harus dikenakan.
"Sebenarnya apa isi dari perjanjian ini? Maksudku, apa yang kau ingin aku lakukan untukmu?" tanya Dannis. Ia tampak bingung ketika disodorkan hard cover hitam yang berisi begitu banyak kertas dengan sub judul 'pasal-pasal' layaknya di buku undang-undang. "Sebenarnya simpel saja. Aku ingin kau menandatangani kontrak perjanjian itu. Isinya adalah bahwa kau akan menyerahkan saham kepemilikan Alex Grup kepadaku. Dan timbal baliknya adalah, aku akan memberikanmu jabatan abadi di Kartanegara Grup," ungkap Andika Kartanegara. Ia tampak santai ketika melontarkan semua perkataannya. Tanpa memilah setiap kata, ia bahkan tidak berminat untuk mengetahui apakah Dannis tampak tersinggung atau tidak. "Kau ingin aku apa …?" Dannis tidak habis pikir dengan sikap pamannya. "Maaf, Pak Andika. Kami tidak bisa menerima perjanjian kontrak yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Kami menolak!" Nina angkat bicara. Ia mengambil hard cover dari tangan Dannis dan mengembalikannya lagi ke pria yang berada
"Apa? One night stand?!" Kedua mata lelaki itu hampir saja keluar ketika mendengar ucapan Airin. Dan benar saja. Ketika pintu lift terbuka, kedua telinganya langsung mendengar suara yang lumayan keras dari beberapa kamar. "Kau mendengarnya, 'kan? Itulah one night stand yang kumaksud." Airin segera keluar dari lift sambil menarik kerah baju lelaki itu. Di sepanjang lorong, Dannis tampak gelisah karena terganggu oleh suara-suara yang terdengar dari beberapa kamar yang ada di sisi kiri dan kanan lorong hotel. Sesekali ia mencoba untuk menutup telinganya. "Ada apa? Apa kau baru pertama kali mendengar suara mendesah?" Perempuan itu merayu Dannis dengan menempelkan bibirnya ke telinga dan berbisik lirih. "Jangan dekat-dekat!" Spontan saja Dannis mendorong tubuh Airin agar menjauh dari dirinya. Setelahnya, ia melewati perempuan itu dengan wajah kesal. Dalam hatinya, ia pasti akan memilih untuk kembali
"Juna? Apa menurutmu aku sudah keterlaluan?" ["Kau sedang berada di mana? Entahlah … kurasa apa yang kau lakukan sudah sesuai porsinya."] "Aku sedang jalan-jalan santai sambil menunggu Nina."["Sebaiknya kau tunggu Nina di satu tempat yang ramai. Kau tahu, daerah situ sangatlah rawan ketika malam tiba."]"Aku mengerti, bye …."Panggilan telepon yang dilakukan oleh Dannis akhirnya berakhir. Saat ini ia sedang menyusuri gelapnya jalan yang berada di pinggiran kota. Dan bila dilihat di sisi kiri dan kanan jalan, hanya ada lampu jalan yang menjadi penerang di sepanjang jalan itu. Tampak terasa udara malam yang lumayan dingin mulai menusuk kulit lelaki itu. Saat keluar dari hotel sebelumnya ia masih mengenakan setelan jasnya, namun saat ini Dannis memilih untuk mencopotnya. Ia bahkan membuka salah satu kancing kemejanya untuk merasakan embusan angin yang lewat. Setelah berjalan lumayan jauh dari hotel, tampak sebuah cahaya memantul hingga ke bahu jalan. Dari kejauhan Dannis melihat cah
"Siapa kau?" tanya Dannis.Ia tampak bingung ketika langkahnya dihentikan oleh seorang bocah yang terlihat masih berada di bangku kuliah. Meski ia memiliki warna kulit yang lumayan putih, tatapan mata tegas, bibir merah muda kecil, rahang yang tegas, serta potongan rambut belah tengah ala artis Korea, namun gerak-geriknya tampak mencurigakan. Dannis sampai menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ada perasaan curiga kalau lelaki muda yang ada di depannya adalah sindikat penipu. Lihat saja dari wajahnya, tampan bagai artis Korea, namun hanya menggunakan hoodie lusuh berwarna abu-abu bergambar Mickey mouse, kaos oblong berwarna putih dan celana denim yang tampak robek-robek. "Ikut denganku, aku ingin bicara." Ia langsung berbalik dan menuju ke dalam hotel. Namun sebelum hendak memasuki pintu utama, langkahnya dihentikan oleh suara Nina."Hei! Apa kau tidak punya sopan santun?! Tidak memperkenalkan diri, namun langsung menyuruh orang untuk mengikutimu? Apa itu etika yang sopa
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba