"Aku masihlah Samuel. Aku bukan Randy yang kau kenal dulu," ungkap lelaki itu. Wajahnya tampak menunduk ke bawah. Ada rasa kecewa di dalam dirinya. Ia tidak mengerti dengan takdir yang terus saja mempermainkan dirinya. "Bila kau merasa kalau dirimu bukanlah Randy, maka jadilah Samuel yang kau yakini saat ini. Kami akan mengingatmu sebagai Randy, lalu ingatlah dirimu sebagai dirimu yang sekarang saja." Luna telah selesai dengan peralatan P3K-nya. Perempuan itu memilih untuk ikutan bersandar bersama Randy sambil menatap ke langit malam yang tampak bertaburan bintang dan bulan purnama. Luna merasakan lelah yang teramat luar biasa. "Kau tidak menolong Dannis? Lengannya masih terluka, 'kan?" Randy menoleh. "Oh, benar juga. Aku lupa," sahut Luna dengan wajah konyol. Akhirnya ia pamit sebentar. Luna langsung menghampiri Dannis di ruang kemudi. Tampak terlihat lelaki itu begitu menikmati perannya sebagai nahkoda amatir. Memegang kemudi kapal sambil melihat jauh ke depan hamparan ombak l
"Tentu saja. Kau harus menjadi orang yang tidak bisa diprediksi. Jujur saja, aku tidak suka diriku dikalahkan dengan mudah," ungkap Aji Kartanegara. "Tuan, bila Anda melakukan hal ini, Anda tidak akan memiliki hak lagi dengan Kartanegara Grup." Notaris itu tampak ragu untuk memproses permintaan Aji Kartanegara. "Jangan ragu. Akan lebih berbahaya bila aku dibunuh atau mati terlebih dahulu sebelum sempat mewariskan semuanya ke para cucuku," pikir Aji Kartanegara. "Baiklah, kami akan urus semua ini." Pengacara akhirnya setuju. Meski begitu, ia sangat menyayangkannya. "Urus paling lama dua hari. Aku ingin bebas sebelum rapat pemegang saham." Setelah itu, Aji Kartanegara pun pergi meninggalkan keduanya. Didampingi oleh pengawalnya, pria tua itu hendak menuju ke tempat lainnya. Di lain tempat, jam di layar smartphone milik Dannis sudah menunjukkan pukul 00.00. Mereka bertiga masih terombang-ambing di tengah laut dengan keadaan kapal mati. Ditambah lagi, perut mereka tidak bisa mentoler
"Dasar bajingan! Kenapa bisa dirampok?!" Jared yang kala itu sedang menunggu helikopter sewaannya untuk menyusul ke tengah laut malah harus menerima kabar pahit. Kamera tersembunyi yang dikhususkan di kamar rahasia yang sengaja disembunyikan oleh Andika rupanya menangkap rombongan Dannis yang sedang mengacak-acak lemari besi berisikan berkas rahasia. Jared mendapatkan beberapa cuplikan video dari anggotanya yang sudah terlebih dulu sampai di sana. Wajahnya tampak geram ketika melihat wajah-wajah yang tidak asing baginya. Ditambah lagi, ada beberapa wajah baru seperti Anya dan Edwin yang tampak asing baginya. "Bos, helikopternya sudah datang." Salah seorang prajurit melapor. "Suruh pilotnya untuk mengubah lokasi tujuan kita!" Jared yang kesal langsung memerintahkan setengah timnya kembali ke ibukota. Ia meminta untuk mencari tahu siapa saja orang-orang yang tertangkap oleh kamera tersembunyi. Setelah membagi tim, Jared pun naik ke dalam helikopter bersama empat orang saja. Ia pun
"Halo?"["Dannis Brata?"]"Iya, ini saya sendiri. Maaf, ini siapa?"["Aku baru tahu kalau perampok di masa sekarang sangatlah sopan. Aku tahu kau baru saja merampok beberapa berkas rahasia dari rumah bosku, Andika. Sebagai balasannya, aku juga menculik dua orang dari geng perampokmu."]"Apa maksudmu?! Siapa kau?!"["Temui aku di lokasi yang sudah aku share ke smartphone-mu. Dan… jangan lupa bawa semua berkas yang kau curi untuk ditukar dengan nyawa satu bocah dan satu karyawan teladan Kartanegara Grup."]"Halo? Halo?!"Panggilan telepon tiba-tiba terputus. Dannis yang saat itu masih berada di kapal dan hendak berlabuh langsung merasa panik dan cemas. Ia menerima beberapa pesan singkat di aplikasi chat miliknya. Ada lokasi bertemu dengan si penjahat, lalu ada dua video berdurasi pendek. "Ada apa?" tanya Juna. "Ada yang menelepon dan bilang kalau dia menculik dua orang. Sebentar, aku lihat dulu videonya." Dannis pun memutar dua video itu secara bergantian. Di sampingnya, Juna ikut men
"Apa tempatnya di sini?" Dannis mengintip dari kaca depan mobilnya. Saat ini ia sudah berada di depan pintu masuk dari gudang peti kemas yang sudah terbengkalai. Ia menggunakan mobil sedan mewah yang merupakan mobil anti peluru. Bersamanya ada Juna yang menyetir, lalu ada Gilang, Airin dan Randy di kursi belakang. Setelah Juna mendapatkan izin untuk melewati pintu gerbang utama oleh para penjaga berseragam, ia pun segera memacu mobilnya untuk jalan kembali. Di sepanjang bangunan dan beberapa tempat yang berada di kedua sisi jalan tampak begitu banyak prajurit berseragam hitam dan bersenjata lengkap yang terus saja berjaga. "Kami sudah masuk ke dalam. Apa kau sudah menyebar tim sniper?" ["Mereka sudah berpencar ke setiap titik yang sudah disepakati. Ingatlah, kalian hanyalah berlima. Upayakan jangan memantik perang terlebih dulu."] Juna tampak menghubungi Rangga melalui alat komunikasi kecil yang disematkan di telinganya. Saat ini, hanya dirinya dan Randy yang memiliki pengalam
Randy langsung menghajar orang yang mencengkeram tubuh Dannis. Ia mengeluarkan stun gun miliknya sendiri. Tidak lupa dirinya menggunakan flashbang untuk mengacaukan penglihatan para orang-orang berseragam itu."Argh! Sial!" Para prajurit itu tampak buta sementara ketika melihat cahaya dari flashbang. Namun tidak lama berselang, ketika Randy mencoba membawa Dannis yang sudah tidak sadarkan diri, tiba-tiba terdengar suara tembakan secara serentak.Dar! Dar! Dar!Tubuh Randy yang semula begitu kuat untuk menopang tubuh temannya itu perlahan tumbang ke bawah. Ia sampai melepaskan genggamannya dari tubuh Dannis. Luar biasanya, ternyata suara tembakan itu berasal dari para prajurit yang berada di atas gudang dan yang berada di atas container crane. Sekitar lima orang menembakkan senjatanya ke arah Randy secara bersamaan untuk melumpuhkan lelaki itu. "Randy!" Gilang berteriak ketika melihat lelaki itu tumbang ke bawah. Saat para prajurit itu mulai mengambil ancang-ancang kembali untuk men
"Bajingan!" teriak Jared. Lehernya berlumuran darah. Ia berusaha untuk menghentikannya, namun kesadarannya mulai goyang. Sontak saja ia memerintahkan kepada seluruh anak buahnya untuk menghujani Juna dan yang lainnya dengan peluru. Dengan cepat, mereka yang berada di belakang Edwin dan Saka, serta yang berada di dalam gudang peti kemas dan mereka yang berada di atas gudang terbengkalai, semuanya tumpah ruah di jalan. Juna yang baru saja membunuh lima sniper Jared langsung meminta kepada Airin dan Gilang untuk bersembunyi di belakangnya. "Kita terkepung," ungkap Airin. Matanya terus saja bergerak. Melihat ke arah kanan-kiri untuk menyembunyikan tubuhnya di belakang Juna, namun sayangnya para pasukan Jared telah mengepung mereka dari empat arah sekaligus. "Apa kau punya ide?" Gilang ikut menodongkan pistol miliknya ke arah para prajurit berseragam hitam itu. "Tiga orang, dua senjata dan satu wanita. Apa yang kau harapkan dari itu untuk melawan puluhan orang-orang berseragam dan be
"Dia benar-benar sudah gila. Sebegitunya menginginkan takhta hingga menyingkirkan anak dan karyawannya," pikir Aji Kartanegara.Pria tua itu sedang duduk santai di belakang meja kantor yang berasal dari kayu mahoni. Sambil menikmati teh hangat buatan asisten rumah tangganya, ia melihat berita terbaru di televisi. "Kebakaran hebat yang terjadi di salah satu perusahaan milik Andika Kartanegara ini diduga karena adanya konsleting listrik. Saat ini sekitar dua puluh mobil pemadam kebakaran sedang berupaya keras untuk memadamkan api yang justru kian membesar."Salah satu reporter berita nasional melaporkan langsung secara Live di lokasi. Banyak dari warga setempat dan reporter dari stasiun berita lainnya yang ikut menyiarkan kebakaran itu. Namun ketika Andika dimintai keterangan di rumah singgahnya yang berada di ibukota, ia tidak menunjukkan dirinya. Setelah pulang, ia langsung mengunci rapat-rapat rumah mewah yang setara dengan delapan ratus milyar itu. "Mengenai korban dari aksi Jared
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba