"Apa aku harus bertepuk tangan sekarang?" bisik Dannis yang menghubungi pengawalnya kembali.
Ia tampak tersenyum dan tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. Rasanya seperti ada kebun bunga yang baru saja mekar secara instan di dalam hatinya ketika melihat betapa cemasnya Pak Sinaga dan istri saat melihat video itu.Bukan hanya itu, Randy yang melihat monitor besar tampak terdiam. Mulutnya terbuka sangat lebar. Ia mendengar dan melihat percakapan antara ayahnya dengan para pejabat lainnya."Cepat matikan!" Pak Sinaga menyeret salah satu panitia untuk segera mematikan sambungan video yang terhubung dengan monitor.Sontak saja panitia yang lainnya pun terlihat panik. Mereka yang berperan di bagian multimedia berupaya mencari sumber kesalahan itu.Namun sayangnya, seluruh penonton dan bahkan donatur telah terlanjur menonton video memalukan itu. Jelas sekali korupsi yang dilakukan oleh Pak Sinaga bersama istrinya"Ja–jauhkan mereka semua dariku! Cepat!" Randy segera berbalik arah dan kembali masuk ke dalam gedung. Ia terus melangkah masuk sambil menutupi wajahnya dari kerumunan mahasiswa yang sudah tumpah ruah. Untungnya tidak ada satupun mahasiswa yang sadar akan keberadaan Randy. Ia berhasil lolos dari mereka semua dan keluar melalui pintu belakang gedung Balairung. "Bangsat! Kenapa jadi begini!" AAAARGH!!!Ia berteriak keras. Meluapkan semua amarahnya yang sempat tertahan di pintu masuk. Pikirannya semakin kacau ketika rasa cemasnya kian tumbuh. Ia terus menanyakan nasib kedua orang tuanya di dalam hati. Salah satu kuku di ibu jarinya terlihat terus digigit olehnya. Rasa cemas dan gelisahnya mulai berubah wujud menjadi rasa takut. "Ternyata kau bisa setakut ini?" Luna mendatangi lelaki itu sambil bertolak pinggang. Raut wajahnya tampak datar. Ada sedikit rasa kesal yang dipendam oleh perempuan itu.
"Maafkan … ayah …." Ia baru saja pulang dari kampus. Namun air matanya langsung mengalir deras ketika melihat ayahnya seperti itu. Bahkan ibunya tidak bisa berbuat banyak ketika melihat darah segar mengucur dari nadi tangan kanan suaminya. Luna sempat menjatuhkan tas yang ia bawa. Terduduk di posisinya dengan pikiran yang kalut. Tak lama dari itu, kesadaran Pak Arya Diningrat mulai goyah. Bibirnya yang semula merah merekah telah berubah menjadi begitu pucat. Dan akhirnya, tubuhnya tumbang ke lantai dengan darah kental masih mengucur di salah satu pergelangan tangannya. "Ayah!" Istrinya berteriak sangat keras. Ia mendatangi tubuh suaminya dan memeluknya erat. Jeritan dan tangis melengkapi rasa pilunya. Dengan cepat supirnya Luna menelepon ambulan dan mengabarkan salah satu pasien dalam keadaan darurat. "A–Ayah …?" Luna melongo dalam bingung. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak menghampiri tubuh ayahnya. Terle
"Akh! Kepalaku sakit sekali!" Lelaki itu berusaha untuk duduk kembali setelah jatuh lumayan tinggi. Ia menopang tubuhnya untuk bangun dengan kedua tangannya. Terlihat luka gores yang lumayan parah di kedua lengan, kaki, pergelangan tangan, dan juga kepala. "Apa dia sudah mati?" Randy menoleh ke arah Dannis yang masih tergeletak di dekatnya. Lelaki itu masih tidak sadarkan diri. Parahnya, darah segar mengucur dari pelipis kanannya. Sepertinya kepala dari Dannis membentur sesuatu. Randy juga melihat tubuh musuhnya itu tergores di beberapa bagian. Namun kurang ajarnya, ia justru tidak mempedulikan semua itu. "Mampus! Sekalian saja kau mati di sini!" Ia menyumpahi Dannis sambil tersenyum kecil. Tepat di bawah jurang yang telah menjadi gelap, Randy berusaha menopang tubuhnya yang terluka untuk menyusuri semak-semak di depannya. Ia ingin melarikan diri dari Dannis dan menghilang secepat mungkin. Karena menurutnya kali ini, Dannis mungkin benar-benar telah tewas.Terlihat langit sudah b
["Kita tidak bisa mendarat di sekitar lokasi! Terlalu banyak pepohonan! Tidak ada tempat yang kosong!"]Suara keras dari salah satu petugas Tim SAR yang dikerahkan oleh Gilang terdengar sampai ke tempat Juna. Sorot lampu dari helikopter menembak dirinya dan juga Dannis. Sudah sekitar dua jam berlalu sejak Juna sampai di lokasi dan menemukan bosnya tergeletak tidak sadarkan diri. Ia akhirnya memberanikan diri untuk turun dan mencoba menghentikan pendarahan dari kepala bosnya dengan peralatan P3K seadanya. "Juna! Kami akan turun!" teriak Gilang dari helikopter yang menggunakan megaphone.Beberapa Tim SAR dan juga petugas medis yang dibawa langsung dari rumah sakit milik Dannis akhirnya perlahan turun menggunakan tali pengaman. Satu persatu mereka mulai menghampiri Dannis yang tampak tidak berdaya. Petugas medis yang didatangkan segera melakukan pertolongan pertama dengan alat seadanya. Ada satu orang yang menangani Dannis. Ia mencoba untuk menutup beberapa luka untuk sementara waktu
"Bagaimana, Dok?" Luna menatap lurus dengan penuh tanya. Dokter yang baru saja keluar dari ruangan terlihat begitu lemas. Kedua matanya terus menunduk ke bawah. Ketika hendak bicara, seakan ia merasa ada beban berat yang membuatnya enggan untuk bicara. "Dok? Bagaimana?" tanya Luna lagi. "Maaf … kami sudah berjuang sekeras mungkin untuk menyelamatkan ayah Anda. Namun sepertinya beliau sudah kehilangan begitu banyak darah. Ditambah lagi, saat diruang operasi, beliau mengalami kejang yang luar biasa." Dokter tampak menjelaskan dahulu apa yang terjadi di dalam ruangan. Namun jawabannya tidaklah sesuai dengan apa yang Luna inginkan. "Lalu ayah saya bagaimana?!" Luna balik bertanya lagi. "Beliau … sudah meninggal. Tepat satu menit yang lalu. Pasien bernama Arya Diningrat meninggal dunia," ungkap Dokter. Sontak saja Luna mundur ke belakang. Mulutnya terbuka dan kedua matanya melotot. Ucapan dokter itu
"Sepupu pertama? Apa maksud ucapan kalian berdua?" Dannis tampak bingung. "Ada hal yang belum aku ceritakan padamu. Ini sehari sebelum kau terjun dari jurang. Cucu pertamaku, alias sepupumu, ia mendatangiku dan bilang baru saja mengakuisisi sebuah perusahaan. Ia mengatakan dengan jelas nama pemiliknya adalah Arya Diningrat," ungkap Aji Kartanegara."Bila sepupu pertama adalah dalangnya, maka kita harus berhati-hati. Mungkin saja ada udang di balik batu," tambah Gilang. Dannis benar-benar bingung. Ia tidak mengira bila keluarga besarnya akan menambah beban pikirannya. Ia tidak bisa berkata lagi. Wajahnya tertunduk, menatap pola di selimutnya dengan pikiran yang kosong. Ada rasa khawatir di hatinya bila Luna tahu siapa pelakunya. "Juna, apa kita bisa pergi ke acara pemakaman ayahnya Luna?" tanya Dannis."Kau ingin pergi? Lihat keadaanmu! Kau seperti mumi kucing yang penuh perban!" sahut Gilang. "Aku harus bertemu dengan Luna. Bila dia sampai salah paham dengan keluarga Kartanegara,
"Bos, kau tidak apa-apa?" Juna merangkul kembali lengan Dannis dan membantunya berdiri lagi. "Jun, dia bilang akan memutuskan hubungannya denganku." Dannis tertunduk ke bawah. Pikirannya dihebohkan oleh semua ucapan Luna. Perempuan itu berhasil membuat Dannis terpuruk dalam waktu beberapa menit saja. Bahkan ia tidak bisa menoleh ke makam ayahnya Luna untuk memberikan salam perpisahan. "Apa salahku? Apa ini karena kebohonganku, atau karena perusahaan ayahnya?" Dannis terus saja bertanya-tanya dalam benaknya. "Hentikan. Kau hanya salah dibagian berbohong padanya soal statusmu. Namun untuk persoalan perusahaan, sudah jelas bila orang lain yang salah. Ditambah lagi, saat ini Luna masih dalam keadaan terguncang hebat. Masalah kecil akan menjadi besar bila dia tidak bisa mengontrol emosinya sendiri," pikir Juna. "Jelaskan padaku siapa sebenarnya sepupu pertama itu. Ulik semua informasi mengenai dirinya. Dan aku mem
"Bagaimana wisudanya? Apa menarik?" tanya Juna. Ia duduk dibawah pohon bersama dengan beberapa orang lain. Mereka semua adalah keluarga dan kerabat para mahasiswa yang sedang wisuda."Lumayan … sayangnya aku hanya mendapat IPK 3,00 saja," balas Dannis. Lelaki itu duduk di samping Juna, di tempat yang kosong dekat tong sampah. Melepas topi hitam wisudanya dan melonggarkan baju hitam yang ia kenakan saat upacara. Juna memberikan sebotol air mineral kepadanya. Terlihat Dannis begitu lelah hingga ia menghabiskan seluruh air di dalam botol itu."Sudah sekitar dua bulan berlalu, bagaimana menurutmu? Yang tersisa dari musuh dan temanmu hanyalah dirimu sendiri." Juna menyindir kembali, sebuah kisah di saat pemakaman ayahnya Luna."Entahlah … mungkin saat ini Luna sedang berbahagia di negara pizza bersama dengan ibunya. Aku bersyukur bila dia benar-benar bahagia. Karena dia pantas mendapatkan hal itu," ungkap Dannis.
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba