Tin... Tin... Tin.
Terdengar bunyi klakson bersahutan, membuat Daniel sedikit terkejut karenanya. Gara-gara memperhatikan gadis itu, hingga Daniel tidak sadar jika lampu merah sudah berganti hijau.Daniel bernafas lega. Ia merasa sedikit tenang hatinya hanya dengan melihat pemandangan sederhana itu. Entah kenapa, senyum gadis tadi menularkan senyum di wajahnya.Hingga saat ia tiba di kantor. Daniel berjalan lebih ringan dari sebelumnya ia keluar dari rumah. Dan semua berkat gadis dengan senyum manis berhati malaikat yang membuat kagum padanya.__________Daniel memasuki ruang rapat, di mana semua orang telah menunggu kehadirannya. Dan pertama yang ia lihat adalah Ayahnya dengan senyum menyebalkan yang ia berikan tadi dari rumah.Daniel menghela napas lalu duduk di samping sang Kakek."Baik, rapat hari ini kita mulai," ucap Sanjaya menatap semua orang yang hadir dalam ruangan itu.Starlight hotel dan Resort adalah sebuah perusahaan yang didirikan bersama para Saudara dan keluarga dekat Sanjaya Abyakta.Namun, sepertinya sekarang Sanjaya telah menyesal karena kurang kolektif dalam memilih partner kerja dalam perusahaannya. Karena sekarang semua orang sedang haus kekuasaan dalam perusahaan itu."Daniel masih terlalu muda. Dan lagi, dia baru saja menyelesaikan pendidikannya. Rasanya, dia kurang pengalaman dalam masalah perusahaan," ucap Benny, adik Sanjaya."Bukankah, semua bisa dipelajari lebih dulu. Dan lagi, Daniel mahasiswa yang pintar, jadi menurutku, dia akan cepat bisa menyesuaikan dengan kinerja perusahaan," sanggah Sanjaya membela cucunya."Dia masih terlalu muda serta belum memenuhi persyaratan menikah. Aku rasa kami semua belum bisa mempercayakan padanya," sahut Doddy Sepupu Sanjaya, anak dari Kakaknya yang sudah meninggal.Saat ini Daniel bisa membaca situasi dari orang-orang yang selalu tidak setuju dengan pendapat Kakeknya. Membuatnya sedikit paham, kenapa Kakeknya sangat ingin mengangkat dirinya memimpin perusahaan ini."Apa yang dikatakan Kakek, benar adanya. Saya bisa cepat belajar tentang perusahaan ini. Saya sudah mempelajari sedikit demi sedikit seminggu sebelum diadakannya rapat ini. Dan untuk masalah pernikahan, kalian tunggu saja undangan pernikahan saya dalam waktu dekat. Bukan begitu, Kek?" ucap Daniel tegas dengan menatap kakeknya.Sanjaya tersenyum, ia tahu Cucunya sangat pintar. Karena itu dia memilihnya menggantikan Ayahnya yang sudah tidak becus Memimpin perusahaan.Keenam orang yang hadir dalam rapat tersebut mendengus kesal. Padahal mereka ingin menggulirkan Sanjaya sebagai komisaris perusahaan. Karena, bagi mereka, Sanjaya sudah terlalu tua untuk masih terjun ke dalam perusahaan Starlight Hotels and Resort.Pok ... Pok ... Pok.Terdengar tepuk tangan keras serta tawa dari Arkanta. Ia berdiri dan memberikan tepuk tangan pada putranya itu."Hahaha, good job, Boy! Kau persis sepertiku, tegas dan terlihat percaya diri. Hahahaha!" ucap Arkanta yang menurut Daniel itu hanyalah sebuah sindirian baginya. Sekuat hati, ia menahan amarah agar tidak tersulut emosi dalam ruang rapat yang masih berlangsung."Jaga bicaramu, Arkanta!" geram Sanjaya melihat sikap putra semata wayangnya itu."Kau selalu tidak salah dalam memilih, Yah! Seperti kau dulu memilihku. Dan saat kau sudah tak cocok lagi dengannya, kau akan membuangnya!" ucap Arkanta lirih namun penuh penekanan. Serta tatapan matanya tajam seakan marah pada Ayahnya itu.Tentu saja Arkanta marah. Dia tak lagi memiliki jabatan di sana. Dan lagi, ia terancam di hapus dari ahli waris Ayahnya.Sret!Selena telah selesai mengikat tali sepatunya. Tali sepatu yang kencang, membuat Selena bersemangat menghadapi harinya.Ia menatap pantulan dirinya dari cermin. Memasang seulas senyum tipis pada wajahnya. Seperti pesan Alvaro padanya, jika kekasihnya itu tak mau melihat Selena bersedih.Selena menghela nafas. Lalu keluar untuk sarapan bersama Ibunya serta perawat yang menjaga Ibunya."Rani, hari ini aku mulai bekerja. Aku titip Ibu, ya?" ucap Selena sembari bertekuk lutut di depan Ibunya yang duduk di kursi roda dan sedang di suapi makan oleh perawatnya.Selena merasa sangat bersyukur. Entah keajaiban darimana, hingga ia menemukan seorang perawat yang mau menjaga Ibunya saat ia diterima bekerja. Apalagi dengan bayaran yang terbilang sangat murah.Selena tidak tahu saja, jika perawat itu adalah seseorang yang disuruh Alvaro untuk merawat Ibu Selena. Hanya saja, Alvaro tidak ingin mengatakan pada Selena karena takut di tolak pertolongannya."Ibu, Selena berangkat kerja dulu, ya? Selena janji akan cari uang yang banyak untuk kesembuhan Ibu. Agar Ibu bisa berjalan lagi. Oke?" ucap Selena menggenggam jemari Ibunya.Ibunya hanya menggenang air mata. Dalam sadarnya, ia merasa kasihan pada putri satu-satunya yang harus merawat dirinya dan bekerja seorang diri. Namun, alam bawah sadar Ibu Selena, ia masih bersedih dan berduka atas kepergian suaminya, Ayah Selena."Rani, aku pergi dulu," ucap Selena yang kemudian ia benar-benar pergi setelahnya."I love you too, Al. Aku menunggumu. Kau cepatlah kembali," gumam Selena setelah menatap ponselnya, melihat pesan terakhir dari Alvaro.Sudah dua hari kekasihnya itu pergi. Dan pesan terakhir itu yang selalu ia pandangi. Berharap Alvaro menghubunginya lagi. Namun, belum juga ada kabar darinya.Selena berlari masuk ke dalam hotel yang sudah menjadi tempat kerjanya. Kemarin ia sudah melakukan wawancara dan sekarang saatnya masuk kerja karena semalam ia mendapat notifikasi bahwa dirinya diterima bekerja. Ya, meskipun hanya sebagai housekeeper di hotel yang megah ini.Tapi, mendengar nominal gajinya, Selena tak akan menyiakan kesempatan baik yang ada di depannya.Bruk!"Arrghhh!""Aw!" pekik Selena sambil mengusap bokongnya yang perih karena terhempas setelah bertabrakan dengan seseorang."Hey! Kamu?!!" ucap Daniel terhenti saat melihat wanita di depannya. Rasa marah karena bertabrakan dengan seseorang tiba-tiba hilang saat menatap seorang wanita yang ada di depannya."Maaf, Pak! Saya buru-buru. Maafkan saya!" ucap Selena menundukkan kepala pada Daniel tanpa menatap dengan benar dengan orang yang ada di hadapannya.Selena kembali berlari karena ia takut telat di hari pertamanya bekerja."Hey!" panggil Daniel lagi. Namun, Selena sudah berlari dan menghilang dari pandangan Daniel."Padahal aku mau tanya namanya," lirih Daniel merasa kecewa karena wanita yang menularkan senyum beberapa hari lalu ternyata bertemu dengannya hari ini."Maaf, Pak. Apa anda mengatakan sesuatu?" tanya Sandy, teman sekaligus asisten pribadinya."Aaa. Itu, ... Tidak ada apa-apa," jawab Daniel terbata dan kembali berjalan yang kemudian diikuti oleh Sandy.Selena mengatur nafas sebelum memasuki ruangan bertuliskan "Room Division," di sana."Selamat pagi, Bu. Maaf saya terlambat!" ucap Selena tegas dan keras sambil memejamkan mata.Terdengar suara tawa dan cekikikan dalam ruangan itu, membuat Selena segera membuka matanya.Ia membuka mata lebar, saat menyadari ternyata di sana sudah banyak orang dan menertawakan dirinya sekarang."Kau pegawai baru itu kan?" tanya kepala bagian Room Division, dingin."Benar, Bu!" jawab Selena."Bagaimana bisa seorang karyawan baru datang terlambat?! Apa kau lupa pemberitahuan yang kau terima semalam? Bukankah tertulis dengan sangat jelas, untuk datang tepat waktu?!" ucap Monica, sebagai atasan Selena sekarang.
"Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Pagi ini Bus sangat sesak dan berjalan sangat lama," jawab Selena menunduk takut. "Saya tidak mau mendengar alasan apapun! Saya tidak suka dengan orang yang tidak disiplin waktu! Kau bisa putuskan sekarang. jika kau tidak bisa bekerja dengan baik, kau bisa mundur dan akan digantikan orang lain!" ucap Monika dengan menatap tajam ke arah Selena. Selena segera mengangkat kepalanya dan menggeleng menatap atasannya itu. "Maafkan saya, Bu. Besok saya akan berangkat lebih pagi dan tepat waktu!" jawab Selena tegas. Terdengar dengusan kasar dari atasan Selena yang ia lihat seperti guru matematikanya dulu yang killer saat sekolah menengah atas."Aku beri kesempatan sekali lagi. Jika besok kau terlambat, tidak perlu kukatakan kalau kau di pecat, kau harus sadar diri untuk angkat kaki dari hotel ini!" ucap Monika tegas menatap tajam ke arah Selena. Selena memejamkan mata dengan sedikit terkejut, ia hanya mengangguk cepat dan segera masuk ke
Selena menghela napas lelah. Ia sudah membersihkan sepuluh kamar dalam waktu tiga jam tanpa henti dan tanpa istirahat. Ia mengusap keringat yang membasahi keningnya. "Kalau saja kau di sini, Al. Kau pasti sudah membawakanku air minum dan sandwich coklat untukku," gumam Selena sembari berdiri melamun di pantry. Ia sedang mengisi botolnya dengan air minum. Kemudian mengulas senyum karena mengingat tentang Alvaro. "Airnya sudah penuh!" seru seseorang memperingati Selena. Membuat gadis itu terkejut dan menyadari bahwa airnya sudah tumpah dari botolnya karena terlalu penuh. "Aahh! Maafkan saya, saya sudah lalai!" pekik Selena kaget. Ia mendapati seorang pria yang berhadapan dengannya. Selena tertegun sejenak, melihat pria tampan di depannya. "Kau baik-baik saja?" tanya pria itu. "A, ... Ya, aku baik-baik saja," ucap Selena terbata dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Selena kembali terkejut, saat merasakan tangannya diusap kain lembut dari pria di depannya. "Apa yang kau, ..
"Hah?! Kau ini bicara apa, Lily? Mana mungkin dia menyukaiku. Kenal saja tidak. kau ini ada-ada saja," elak Selena menanggapi ucapan temannya itu. "Sudah kubilang. Kau ini terlalu cantik, Selena. Tidak ada yang tidak menyukaimu," ucap Lily menyusul Selena berjalan lebih dulu. "Sudahlah. Tak usah berbicara hal-hal aneh seperti itu. Sebaiknya, kita kembali bekerja," ucap Selena dengan senyum cantiknya."Aku berani bertaruh, pria tadi pasti menyukaimu," ujar Lily keras kepala. Selena hanya menggelengkan kepala menanggapi ocehan temannya itu. **********Daniel masuk ke dalam ruangannya. Ia mulai bingung dan merasa cemas. Sandy yang duduk di sofa ruangan Daniel menatal curiga ke arahnya. "Kau kenapa?" tanya Sandy penasaran. Daniel hanya melirik sekilas ke arah Sandy. Kemudian duduk dengan menghela napas panjang. "San. Sepertinya aku telah membuat masalah," gumam Daniel yang masih terdengar jelas oleh Sandy. "Masalah? Masalah apa?" tanya Sandy curiga. "Sepertinya, nanti sore aku tidak
"Al!" pekik Selena. Seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian kasualnya berjalan ke arahnya. Lalu, menurunkan kacamata yang bertengger di kepala."Maaf, anda berbicara dengan saya?" tanya pria itu membuat Selena terdiam. Pria itu bukan Alvaro. Hanya seseorang yang terlihat mirip sepertinya. "Maaf, sepertinya saya salah orang," ucap Selena membungkukkan badan. Pria itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya. "Sekalian saja kita berkenalan. Siapa namamu, Nona Cantik," tanya pria itu. Namun, seseorang di balik tembok mengepalkan tangan menyaksikan hal itu. Selena hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan pria itu tanpa berkata apapun. Membuat seseorang di balik tembok itu bernapas lega.Selena kembali ke pantry dan tersenyum. Lalu meminum minuman coklat itu. "Siapapun kamu, terima kasih untuk coklatnya. I like it," ucap Selena sembari menengok kanan kiri lagi.Seseorang tersenyum dibalik tembok yang tak terlihat oleh Selena. Ia tersenyum mendengar ucapan Selena yang mengucap terima k
Selena menghentikan langkah, saat ia hendak keluar. Ia berbalik dan menghadap Daniel."Sebenarnya apa maumu?!!!" pekik Selena geram. "Tidak usah berteriak! Orang-orang akan mendengar dan mengira di sini sedang terjadi sesuatu, nona," ucap Daniel memperingatkan. Seketika Selena menatap sekelilingnya. Ia merasa di bodohi. Mana mungkin hotel berbintang lima ini, apalagi suite room akan terdengar dari luar. Yang jelas setiap kamar di hotel ini kedap suara. "Jangan membuatku marah, Tuan! Berikan aku hukuman, tapi tidak dengan itu!" ucap Selena dingin dan sedikit memelas. "Aku tak benar-benar menikahimu, Nona. Hanya kontrak untuk beberapa bulan saja," sambung Daniel membuat Selena kembali menatap pria di depannya. "Anda jangan gila, Pak! Apa kau pikir, pernikahan itu sebuah permainan?!""Lalu? Apa kau mau sebuah pernikahan sungguhan? Oke, tidak masalah bagiku," jawab Daniel enteng dengan mengedikkan bahunya. Dan hal itu sukses membuat Selena semakin menganga tidak percaya."Maaf! Aku t
Alvaro menarik napas panjang. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya di tempat yang sudah beberapa kali ia pijakkan kakinya di sana. Namun, kali ini ia berada di negeri orang sendirian. Tanpa ada seseorang yang ia kenal, tanpa kakaknya, tanpa kakeknya yang selalu ia mintai sesuatu jika ia kurang sesuatu. Ah, sebenarnya ia tak benar-benar sendiri. Karena kakeknya itu sudah mengutus dua pengawal serta satu asisten rumah tangga untuk merawat rumahnya yang akan ia jadikan tempat tinggal selama ia melanjutkan study di sini.Hari pertama ia berada di negeri orang, ia ingin berjalan-jalan sendiri sekitar komplek rumahnya. Mungkin, karena ini hari libur bagi semua orang yang bekerja dan belajar. Yah, ini weekend semua orang sehingga pagi ini masih terasa sepi.Alvaro juga tak mengijinkan dua pengawalnya, karena ia ingin berjalan-jalan sendiri. Cekrek! Cekrek! Cekrek!Alvaro memotret beberapa tempat bagus yang akan ia tunjukkan pada Selena. Sedari ia turun dari pesawat memang belum mengabari
"Daniel, tunggu!!" pekik Sandy, lalu mengejarnya. Sedang Daniel sudah bertanya pada semua pegawai yang ia temui."Dia tidak masuk," ucap Daniel menghela napas panjang sembari duduk di pantry. Sandy melihat gurat sedih di wajah Daniel."Tadi aku mau mengatakan hal itu. Kalau, Selena tidak masuk hari ini," ucap Sandy menyesal karena baru mengatakannya sekarang. "Kau?!" Daniel terlihat marah. "Aku rasa, kau sudah benar-benar mencintainya," kata Sandy. "Pcckkk. Sudah berapa kali aku bilang. Aku hanya, ...""Niel. Mencintai itu tidak salah. Itu wajar dan sah-sah saja. Apa kau takut orang-orang mengataimu kalau kau mencintainya?" ucap Sandy membuat Daniel bungkam. Daniel juga masih belum tahu jelas tentang hal itu. Ia pikir, ia hanya ingin memanfaatkan Selena untuk kepentingannya. Tapi, ia juga tidak memungkiri bahwa ia juga menyukai gadis itu sejak pertama kali melihat. Daniel menghela napas panjang. Ia kembali berdiri dan berjalan menuju ruangannya. Diikuti Sandy di belakangnya. "Da
"Siapkan mobil!" titah Daniel yang diangguki Sandy dengan senyum. Untuk kali ini, entah kenapa Sandy sangat mendukung temannya mengejar gadis bernama Selena. Seperti semesta sudah mendukung Daniel."Kenapa jadi begini, Bu? Jangan membuatku takut. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu," ucap Selena sembari menggenggam tangan Ibunya. Ibunya sedang dalam keadaan tidak sadar diri karena percobaan bunuh diri dengan menyayat nadinya sebelah kiri. "Kita harus membawa Ibumu ke rumah Sakit, Selena. Perawatan luka dariku tak akan mampu mengobati sepenuhnya. Aku takut, lukanya akan menjadi infeksi atau hal buruk lainnya," ucap Rani memberi tahu Selena. "Aku benar-benar sudah tak ada uang lagi, Ran. Sudah banyak barang-barang yang kujual untuk membeli obat Ibu dan keperluan kita sehari-hari," kata Selena dengan terus memandang Ibunya sedih."Kau bisa memakai uangku dulu. Saat kau sudah gajian, kau bisa mengembalikannya.""Aku tidak mungkin melakukan itu, Ran. Aku saja tak bisa membayarmu.
Apa?!" Begitulah jika Selena ada maunya. Ia akan memanggil Daniel dengan sebutan 'Sayang', karena tahu suaminya itu tidak akan menolak. "Ya, baiklah. Besok aku akan mengurus semuanya," jawab Daniel meski dalam otaknya sudah pusing memikirkan segalanya. Bahkan, pagi-pagi sekali Daniel menghubungi dokter kandungan yang biasa menangani Selena. Sebenarnya, saat check up sejak sebulan yang lalu, dokter sudah bisa memprediksi jenis kelamin bayi Selena dan Daniel. Namun, Selena mengatakan agar tidak mengatakannya. Ia bilang, agar menjadi surprise saat bayinya lahir. Namun, siapa yang menyangka, jika keinginan istri Daniel mendadak berubah?Dokter sudah menuliskan jenis kelamin anak Selena dan Daniel dalam sebuah kertas yang digulung pada sebuah tabung plastik. Lalu memasukkannya ke dalam sebuah balon besar. Karena acaranya begitu mendadak, jadi Daniel tak bisa berpikir untuk melakukan ide rencana yang lebih baik. Untuk itu, ia hanya mengadakan acara seperti pada umumnya. Jika saja Dani
Waktu terus berlalu. Bahkan musim telah berganti. Segala masalah yang mereka lewati pun telah menjadi hal yang hanya bisa diingat. Kita tak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi. Bahkan kesulitan yang kita alami juga datangnya dari Yang Maha Kuasa, semata hanya untuk memberi kemudahan setelah kita bisa melewatinya. Meninggalnya kedua orang tua Selena, pernikahan kontrak yang dilakukan Daniel dan Selena, bahkan harus rela berpisah dengan Alvaro yang notabene adalah kekasihnya. Kemudian meninggalnya sang kakek, kejadian Alvaro di luar negeri dengan Nick, atau kembalinya sang Mama yang membuat Alvaro dan Daniel menangis haru. Serta cinta yang perlahan tumbuh di hati Selena untuk Daniel ataupun sikap rela menerima Alvaro yang mau bertanggung jawab atas Jessica, semua sudah tak luput dari campur tangan Tuhan. Lalu, kini keluarga yang sedang berbahagia itu, sedang riuh menanti kelahiran seorang bayi yang sudah ditunggu sejak sembilan bulan lamanya. Alvaro menangis haru, saat per
Setelah drama sesenggukan Jessica di kamar rias, kini sepasang mempelai pengantin itu sedang berjalan menuju altar. Tentu saja Jessica sudah diperbaiki make upnya. Karena air matanya tentu membuat riasan Jessica sedikit rusak. Daniel mengundang semua rekan kerjanya, serta para karyawan di seluruh cabang Jaya Group. Membuat pesta pernikahan Alvaro terasa sangat meriah. "Kenapa kau memandangnya seperti itu?" tanya Daniel ketika Selena menyaksikan Alvaro dan Jessica sebagai raja dan ratu hari ini. Selena hanya memutar bola mata malas. Ia tahu, suaminya itu pasti dalam mode cemburu. "Sayang, aku punya mata. Dan kau sangat tahu apa gunanya mata, kan? Untuk apa punya mata, jika tak digunakan dengan baik?" jawab Selena sehalus mungkin. "Tapi, memandang seperti itu, apakah itu cara yang baik?" protes Daniel kembali membuat Selena menarik napas panjang. Apa salahnya melihat pasangan yang menikah itu sedang berbahagia? "Apa aku tak boleh melihatnya? Apa aku harus ke kamar saja?" kesal Sel
Selena mengeratkan pegangannya pada gelas. Ia sudah menduga bahwa Daniel akan berpikir demikian. Salahnya sendiri, kenapa ia menampilkan sikap yang aneh. "Daniel... Aku tidak...""Aku tidak apa-apa, Selena. Aku sangat tahu hatimu. Wajar saja jika kau...""Aku tidak cemburu, Daniel. Aku hanya heran saja, mereka,... Alvaro sangat cepat dekat dengan Jessica. Juga, Jessica..."Selena menggantungkan ucapannya. Ia menyadari jika maksud dari ucapannya juga masih mengandung maksud yang dikatakan Daniel. Daniel segera menangkap kegelisahan istrinya itu. Ia menghampiri Selena, dan meletakkan gelas yang dibawa olehnya. "Tak perlu kau menjelaskan, aku sudah paham. Aku tahu. Sangat tahu. Memang tidak mudah melupakan seseorang yang pernah mengisi hati kita. Namun, harus selalu kau ingat, bahwa ada aku, di sisimu," ujar Daniel meletakkan sebelah tangan Selena di dadanya. Selena tersenyum lega. Sebelumnya ia takut, jika Daniel akan salah sangka padanya. Namun, siapa yang menyangka jika suaminya s
"Daniel?! Kau?! Bagaimana kau bisa ada di sini?" pekik Alvaro yang segera beranjak dan berhadapan dengan Daniel. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Al?!""Kau pun tak menghiraukan pertanyaanku, Niel!" kesal Alvaro kemudian. Keduanya mendengkus kesal bersamaan. Membuat Daniel tersenyum geli melihatnya. Ia sadar, dirinya dan adiknya adalah dua orang yang hampir sama memiliki sifat. Yaitu tidak sabaran, dan mungkin mau menang sendiri. "Oke, fine! Tadi aku mengikutimu dari belakang karena...""Dasar penguntit!" kesal Alvaro dan Daniel tercengang mendengarnya. "Dengarkan aku dulu, Adik laknat!" maki Daniel yang terpancing kesal. Alvaro hanya mendengus kasar dan membuang muka. Ia enggan bertatap muka dengan kakaknya itu. "Aku hanya menghawatirkanmu. Jadi aku mengikutimu. Apa aku salah?" "Salah! Karena kau plin plan dengan ucapanmu!" ketus Alvaro beranjak keluar dari kamarnya. Ia tak ingin istirahat Jessica terganggu. "Plin plan? Apa maksudmu?" tanya Daniel heran. Ia mengikuti langkah a
Sejak kepergian Alvaro saat mereka berpisah di Bandara, sejak itu pula Jessica merasakan kegelisahan. Gelisah karena sepertinya perutnya mulai mengalami rasa tidak nyaman seperti beberapa terakhir yang ia alami. Namun, kembali Jessica mengingat apa yang diucapkan Alvaro tadi, ia memejamkan mata dan mengingat pelukan Alvaro serta mengingat aroma tubuh calon Ayah dari anaknya itu. Sungguh, dia bukan wanita mesum selama ini. Namun, entah kenapa pikirannya tentang Alvaro sedikit membantu mengusir rasa tidak nyaman seperti mual yang ia alami. "Huufftt. Bagus, seperti itu Jessica. Kau pasti bisa," gumam Jessica terus menerus mensugesti dirinya sendiri agar tak menuruti rasa mualnya. Setibanya di apartemen Alvaro, Jessica menemukan kamar Alvaro dengan khas aroma laki-laki itu. Membuatnya merasa senang karena sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Alvaro di sini. "Aku akan tidur di kamar ini, Anna. Bolehkah?" tanya Jessica sedikit takut. "Tentu saja, Nona. Tuan Alvaro memberiku pesan unt
Daniel memutar tubuhnya dan memeluk erat tubuh Selena. Ia seakan siap membiarkan pisau yang dipegang Angel untuk menusuk tubuhnya. Namun, sepersekian detik, ia masih tak merasakan apapun juga."Alvaro!" histeris Selena. Sontak membuat Daniel menoleh ke belakang.Ia terkejut melihat adiknya terkulai lemas dan melihat darah dari punggungnya. Daniel tercengang. Ia masih tidak percaya bahwa Alvaro menggantikan dirinya ditikam oleh Angel. Segera ia menghampiri tubuh Alvaro dan menopangnya. "Tidak! Boy? Kau tidak apa-apa, kan?" ucap Arkanta yang juga segera menghampiri Alvaro. Darah yang terlihat di tangan Daniel membuat amarahnya mencuat. "Brengsek!" Daniel menarik kerah baju Arkanta dan...Bug"Lihat ulahmu, Brengsek!" Arkanta jatuh tersungkur akibat pukulan keras dari Daniel. Bahkan, laki-laki itu lupa akan status Arkanta yang sebagai Ayahnya. Namun, Daniel sudah tidak peduli. Bahkan, bertahun-tahun lalu ia sudah tak menganggapnya sebagai seorang Ayah.Setelah melukai dan mengurung
Dua insan yang sedang dimabuk gairah itu sedang berada dalam ruangan dan tengah memadu kasih layaknya pasangan suami istri. Lenguhan, desahan terdengar hebat menggema di ruangan yang cukup besar milik Arkanta. Untung saja, Arkanta membuat ruangan itu kedap suara, karena memang itulah tujuannya ia mendirikan kamar itu. Kegiatan panas Arkanta dan Angel terhenti ketika ketukan pintu terdengar keras dan menuntut untuk segera dibuka. Bahkan, Arkanta menggeram marah dan berjanji akan membunuh siapa saja yang mengganggu aktifitasnya. "Brengsek! Apa yang kalian lakukan!" marah Arkanta saat telah membuka pintu kamarnya. Bahkan, ia tak sempat memakai pakaiannya, hanya sehelai handuk yang menutupi bagian bawah. Arkanta benar-benar marah. Bagaimana tidak, gairahnya sedang diubun-ubun, tapi semua harus terhenti karena pengawalnya datang."Bos! Ada yang datang menyerbu markas kita!" seru salah seorang pengawal membuat Arkanta mendelikkan mata tidak percaya."Apa?!" Deru napas Arkanta makin membur
Dulu, saat Selena dan Alvaro masih menjadi sepasang kekasih, hanya dengan isyarat mata saja mereka seolah mengerti maksudnya. Seperti saat ada kuliah yang terasa membosankan, Alvaro hanya mengisyaratkan mata pada Selena dengan maksud keluar dari kelas. Mereka sangat terpingkal setelah keluar dari kelas dimana jam kuliah yang bagi mereka terasa membosankan. Kini, mungkin karena tak lagi bersama, atau mungkin cinta Selena telah hilang dan sirna dari hatinya, hingga lupa tentang isyarat mata yang sering mereka lakukan di kampus. "Baiklah, Boy! Malam ini kita istirahat dulu. Aku sudah mempersiapkan kepergian kita besok. Jadi bersiaplah. Dan jangan mengelabuhiku," ucap Arkanta yang menghentikan isyarat mata Alvaro pada Selena. Untung saja Arkanta tidak melihatnya. "Baiklah, Ayah! Aku sangat senang sekali dengan rencanamu. Sepertinya, malam ini aku akan mimpi indah karena mendapat kejutan darimu," sahut Alvaro yang diakhiri dengan tawa menggelegarnya berharap apa yang dilakukannya diperc