********"Setidaknya, kau hubungi Selena dulu, Al. Kasihan. Dia selalu.menunggu kabar darimu," ucap Rani melalu sambungan telepon. "Aku sudah bilang, Ran. Hanya dua bulan. Dua bulan lagi aku akan memberikan kejutan padanya. Dan saat itu, kau harus meyakinkan Selena bahwa aku masih sangat mencintai dan merindukannya. Dua bulan lagi aku akan memberikan kejutan padanya. Lihat saja," ucap Alvaro dengan sangat yakin. "Tapi, Al--,""Baiklah, Rani. Kuliahku segera dimulai. Tolong jaga Selena untukku.""Tapi, Selena akan menikah, Al! Dia sedang kesulitan sekarang!"Tut tut tut!"Halo, Al! Alvaro!" pekik Rani kesal karena Alvaro selalu memutuskan panggilan sepihak sebelum Rani selesai menjelaskan. Wanita itu menghela napas kasar. "Jangan salahkan aku, jika Selena tak lagi bisa menjadi milikmu, Al," gumam Rani kesal. Ia sangat ingin memberitahukan hal yang menimpa Selena. Berharap Alvaro bisa membantu Selena keluar dari masalah ini. Namun, sepertinya Alvaro tak mengindahkan semua yang ingin
Alvaro masih terngiang tentang berita dari Daniel yang memintanya untuk segera pulang, karena kakaknya akan menikah. Meski dalam hatinya penuh dengan tanda tanya pada kakaknya itu, tapi Alvaro malah senang karena ia bisa menggunakan kesempatan itu untuk bertemu Selena nanti. Ia berniat akan mengatakan segala hal tentang kebenarannya selama ini. Bahkan, ia berniat melamarnya dan mengikat Selena dalam sebuah ikatan yang serius, meski tidak dalam waktu dekat. Alvaro hanya ingin mengikat Selena. Lalu, saat ia selesai dengan studynya, ia akan benar-benar menikahi kekasih yang sangat ia cintai itu. Hingga Alvaro menghubungi Rani, untuk tetap menunggu Alvaro, karena ia akan membuat kejutan untuk Selena nanti. Tanpa ia tahu, bahwa Selena-lah yang akan menjadi calon istri dari Kakaknya. Sekarang ini, Alvaro sedang mengemasi barang-barangnya. Karena, semalam Daniel mengabari lagi untuk segera pulang. Karena ia takut, Alvaro tak sempat menyaksikan prosesi pernikahan kakaknya. "Selena, tung
"Kau?!" Karina membelalakkan mata ketika melihat sosok lelaki yang ada di depannya. "Hai, Sayang. Aku sangat merindukanmu, tapi maaf, kau jadi seperti ini," ucap laki-laki itu menyentuh pipi Karina dengan telunjuk jarinya. "Jadi, kau yang melakukan itu?!" tanya Karina dengan sorot mata yang tajam. Sedangkan laki-laki itu selalu menampilkan senyum evilnya."Pergi kau dari sini!" usir Karina marah. "Ayolah, Sayang, aku baru sampai di sini ingin melihatmu," ujarnya sok peduli. "Pergi!!!' teriak Karina mengundang para pengawal yang ada di luar. "Ada apa, Nyonya?!" tanya salah satu pengawal. Sedangkan perawat itu sudah kembali memakai maskernya. "Tidak apa-apa, Tuan. Ibu Karina hanya tidak mau minum obatnya," ujar perawat itu lalu berjalan keluar setelah sebelumnya menatap Karina tajam.******"Aku pernah membaca tentang psikologi yang mengatakan bahwa pria lebih cepat jatuh cinta dan segera menyatakan perasaannya daripada perempuan. Dan aku salut padamu, Daniel. Kau secepat ini memb
Sandy memalingkan wajahnya dan beranjak pergi meninggalkan Daniel dan Selena. Pria itu memberikan sedikit ruang dan waktu untuk berbicara. Selena terkesiap saat Daniel memeluknya erat. Saat kesadarannya kembali, ia memberontak meminta dilepaskan. "Tenanglah! Tenanglah, Selena," ucap Daniel memeluk Selena erat. Selena menitikkan air mata dan mulai terisak tangis. Berulang kali ia memukul-mukul punggung Daniel, tapi pria itu semakin mengeratkan pelukannya. "Maaf. Maafkan aku, Selena. Maaf, karena aku mencintaimu," ucap Daniel mengeratkan pelukannya pada Selena."Jangan bicara omong kosong, Daniel!!!" geram Selena seraya mendorong dan melepas pelukan Daniel dengan kasar. "This is not bullshit, Selena. I'm telling the truth," ucap Daniel berusaha meyakinkan Selena. Sedangkan gadis itu lebih memilih membuang muka dan tersenyum kecut menanggapi ucapan Daniel. "Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah percaya pada apapun yang kau katakan, Daniel!" kesal Selena memandang tajam pria itu.
"Sa... Saya sudah melakukan sesuai perintah, Tuan," ucap Sang Suster dibalik telepon. "Bagus! Pergi dari sana dan jangan sampai ada yang menyadari keberadaanmu!" ucap seseorang diseberang sana. "Baik!"***********Tepuk tangan yang meriah teriring setelah Daniel dan Selena resmi menjadi pasangan suami istri. Daniel selalu memasang senyum lebar di wajahnya, tapi tidak dengan Selena. Gadis itu selalu murung dan hanya terpaksa senyum jika dihadapkan kamera. Tapi, semua orang pasti akan menyadari, jika senyuman yang diberikan Selena adalah senyuman paksa. "Sepertinya, aku pernah melihat gadis itu. Di mana ya?" gumam Joshua sembari meneguk minumannya dan terus memandang ke arah Selena. "Selamat untukmu, Sepupu. Dengan begini, minggu depan kau resmi menyandang jabatan itu," ucap Joshua menyalami Daniel dengan senyum menyebalkannya. "Terima kasih, Jo. Semoga kau juga segera menyusul," sahut Daniel membuat tawa Joshua."Sepertinya aku akan mengikuti jejakmu, Sepupu. Aku akan menikah, saa
"Tapi, Pak Daniel. Terkadang hal itu memang biasa terjadi pada pasien yang akan meninggal, jadi...""Lakukan otopsi pada pasien. Agar lebih jelas, apa penyebab kematiannya," tukas Daniel tegas menatap Dokter. Sang Dokter gelagapan bertatap mata dengan Daniel. Membuat Daniel memasang curiga padanya. Seolah, sang Dokter sedang menutupi sesuatu. "Kalian berdua, kunjungi bagian informasi. Cari rekaman cctv di kamar Ibu Selena. Cepat!" perintah Daniel pada kedua anak buahnya. Sang Dokter terlihat sedikit gugup. "Bisa kan? Anda melakukan otopsi pada pasien?" tanya Daniel sekali lagi. Sang Dokter akhirnya menganggukkan kepala meski dengan sedikit gugup. Membuat Daniel terus menatap dan mengawasi gerak-gerik Dokter itu. "Rani? Saat Ibu Selena meninggal, kau selalu ada di sisinya, kan?" tanya Daniel pada Rani. Ia tak tega mendengar Selena menangis meraung meratapi Ibunya yang sudah meninggal. Tapi, ia juga harus bertindak cepat untuk mengatasi masalah ini."Tadi, Ibu Selena bangun. Dan di
"Kek? Begitukah kau menyambut cucumu setelah sebulan pergi? Apa kau tak menanyakan aku sudah makan atau belum?""Apa kau lupa tempatnya meja makan? Kalau kau lupa, aku akan menyuruh pengawal mengantarkanmu ke meja makan di luar negeri sana," ujar sang kakek tanpa menoleh padanya. Sedang Alvaro hanya melotot kaget dan tak percaya dengan ucapan kakeknya."Dasar orang tua. Selera humornya jelek sekali," gerutu Alvaro. Ia berdecak kesal lalu kembali menuju kamarnya yang sempat tertunda.Alvaro menghempaskan tubuhnya sejenak di atas ranjang. Ia memejamkan mata sebentar kemudian membukanya lagi menatap langit-langit kamarnya."Sebaiknya, waktu ini aku gunakan untuk bertemu Selena," gumam Alvaro sendiri yang langsung bangkit dari pembaringannya. Tanpa berganti pakaian ataupun mandi sekalipun, ia bergegas meraih jaketnya kembali dan segera menuruni anak tangga hendak menemui Selena. ********Hasil autopsi Ibu Selena telah keluar. Dan benar, pernyataan yang menunjuk bahwa Ibu Selena mengalami
Jantung Selena seakan berhenti berdetak. Seketika wajahnya menjadi pias. Air matanya menggantung di kelopak matanya. Namun, tatapannya tertegun menatap sang kekasih. Bagaimana Selena akan mengatakan hal yang sesungguhnya. Jika sebenarnya, dirinya sudah menikah. Ah, tidak. Sebenarnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, apakah Alvaro bisa menerimanya?"Al, aku...""Aku pastikan akan segera melamarmu, Selena," ucap Alvaro kembali memeluk kekasihnya. Ia ingin menebus kesalahan karena sudah mengabaikan Selena sebulan ini. Seharusnya, keberadaan Alvaro serta ajakan lamaran dari kekasihnya itu menjadi hal yang sangat ia harapkan. Namun, keadaan sudah berubah. Selena juga sangat menyayangkan kedatangan Alvaro yang terlambat menemuinya. Andaikan saja ia datang sebelum pernikahan itu terjadi, mungkin...Tangan Daniel mengepal erat. Dadanya bergemuruh mendengar penuturan Alvaro baru saja. Bagaimana mungkin Alvaro akan melamar Selena. Sedangkan wanita itu sudah menjadi istrinya. Jika Kakeknya
Apa?!" Begitulah jika Selena ada maunya. Ia akan memanggil Daniel dengan sebutan 'Sayang', karena tahu suaminya itu tidak akan menolak. "Ya, baiklah. Besok aku akan mengurus semuanya," jawab Daniel meski dalam otaknya sudah pusing memikirkan segalanya. Bahkan, pagi-pagi sekali Daniel menghubungi dokter kandungan yang biasa menangani Selena. Sebenarnya, saat check up sejak sebulan yang lalu, dokter sudah bisa memprediksi jenis kelamin bayi Selena dan Daniel. Namun, Selena mengatakan agar tidak mengatakannya. Ia bilang, agar menjadi surprise saat bayinya lahir. Namun, siapa yang menyangka, jika keinginan istri Daniel mendadak berubah?Dokter sudah menuliskan jenis kelamin anak Selena dan Daniel dalam sebuah kertas yang digulung pada sebuah tabung plastik. Lalu memasukkannya ke dalam sebuah balon besar. Karena acaranya begitu mendadak, jadi Daniel tak bisa berpikir untuk melakukan ide rencana yang lebih baik. Untuk itu, ia hanya mengadakan acara seperti pada umumnya. Jika saja Dani
Waktu terus berlalu. Bahkan musim telah berganti. Segala masalah yang mereka lewati pun telah menjadi hal yang hanya bisa diingat. Kita tak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi. Bahkan kesulitan yang kita alami juga datangnya dari Yang Maha Kuasa, semata hanya untuk memberi kemudahan setelah kita bisa melewatinya. Meninggalnya kedua orang tua Selena, pernikahan kontrak yang dilakukan Daniel dan Selena, bahkan harus rela berpisah dengan Alvaro yang notabene adalah kekasihnya. Kemudian meninggalnya sang kakek, kejadian Alvaro di luar negeri dengan Nick, atau kembalinya sang Mama yang membuat Alvaro dan Daniel menangis haru. Serta cinta yang perlahan tumbuh di hati Selena untuk Daniel ataupun sikap rela menerima Alvaro yang mau bertanggung jawab atas Jessica, semua sudah tak luput dari campur tangan Tuhan. Lalu, kini keluarga yang sedang berbahagia itu, sedang riuh menanti kelahiran seorang bayi yang sudah ditunggu sejak sembilan bulan lamanya. Alvaro menangis haru, saat per
Setelah drama sesenggukan Jessica di kamar rias, kini sepasang mempelai pengantin itu sedang berjalan menuju altar. Tentu saja Jessica sudah diperbaiki make upnya. Karena air matanya tentu membuat riasan Jessica sedikit rusak. Daniel mengundang semua rekan kerjanya, serta para karyawan di seluruh cabang Jaya Group. Membuat pesta pernikahan Alvaro terasa sangat meriah. "Kenapa kau memandangnya seperti itu?" tanya Daniel ketika Selena menyaksikan Alvaro dan Jessica sebagai raja dan ratu hari ini. Selena hanya memutar bola mata malas. Ia tahu, suaminya itu pasti dalam mode cemburu. "Sayang, aku punya mata. Dan kau sangat tahu apa gunanya mata, kan? Untuk apa punya mata, jika tak digunakan dengan baik?" jawab Selena sehalus mungkin. "Tapi, memandang seperti itu, apakah itu cara yang baik?" protes Daniel kembali membuat Selena menarik napas panjang. Apa salahnya melihat pasangan yang menikah itu sedang berbahagia? "Apa aku tak boleh melihatnya? Apa aku harus ke kamar saja?" kesal Sel
Selena mengeratkan pegangannya pada gelas. Ia sudah menduga bahwa Daniel akan berpikir demikian. Salahnya sendiri, kenapa ia menampilkan sikap yang aneh. "Daniel... Aku tidak...""Aku tidak apa-apa, Selena. Aku sangat tahu hatimu. Wajar saja jika kau...""Aku tidak cemburu, Daniel. Aku hanya heran saja, mereka,... Alvaro sangat cepat dekat dengan Jessica. Juga, Jessica..."Selena menggantungkan ucapannya. Ia menyadari jika maksud dari ucapannya juga masih mengandung maksud yang dikatakan Daniel. Daniel segera menangkap kegelisahan istrinya itu. Ia menghampiri Selena, dan meletakkan gelas yang dibawa olehnya. "Tak perlu kau menjelaskan, aku sudah paham. Aku tahu. Sangat tahu. Memang tidak mudah melupakan seseorang yang pernah mengisi hati kita. Namun, harus selalu kau ingat, bahwa ada aku, di sisimu," ujar Daniel meletakkan sebelah tangan Selena di dadanya. Selena tersenyum lega. Sebelumnya ia takut, jika Daniel akan salah sangka padanya. Namun, siapa yang menyangka jika suaminya s
"Daniel?! Kau?! Bagaimana kau bisa ada di sini?" pekik Alvaro yang segera beranjak dan berhadapan dengan Daniel. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Al?!""Kau pun tak menghiraukan pertanyaanku, Niel!" kesal Alvaro kemudian. Keduanya mendengkus kesal bersamaan. Membuat Daniel tersenyum geli melihatnya. Ia sadar, dirinya dan adiknya adalah dua orang yang hampir sama memiliki sifat. Yaitu tidak sabaran, dan mungkin mau menang sendiri. "Oke, fine! Tadi aku mengikutimu dari belakang karena...""Dasar penguntit!" kesal Alvaro dan Daniel tercengang mendengarnya. "Dengarkan aku dulu, Adik laknat!" maki Daniel yang terpancing kesal. Alvaro hanya mendengus kasar dan membuang muka. Ia enggan bertatap muka dengan kakaknya itu. "Aku hanya menghawatirkanmu. Jadi aku mengikutimu. Apa aku salah?" "Salah! Karena kau plin plan dengan ucapanmu!" ketus Alvaro beranjak keluar dari kamarnya. Ia tak ingin istirahat Jessica terganggu. "Plin plan? Apa maksudmu?" tanya Daniel heran. Ia mengikuti langkah a
Sejak kepergian Alvaro saat mereka berpisah di Bandara, sejak itu pula Jessica merasakan kegelisahan. Gelisah karena sepertinya perutnya mulai mengalami rasa tidak nyaman seperti beberapa terakhir yang ia alami. Namun, kembali Jessica mengingat apa yang diucapkan Alvaro tadi, ia memejamkan mata dan mengingat pelukan Alvaro serta mengingat aroma tubuh calon Ayah dari anaknya itu. Sungguh, dia bukan wanita mesum selama ini. Namun, entah kenapa pikirannya tentang Alvaro sedikit membantu mengusir rasa tidak nyaman seperti mual yang ia alami. "Huufftt. Bagus, seperti itu Jessica. Kau pasti bisa," gumam Jessica terus menerus mensugesti dirinya sendiri agar tak menuruti rasa mualnya. Setibanya di apartemen Alvaro, Jessica menemukan kamar Alvaro dengan khas aroma laki-laki itu. Membuatnya merasa senang karena sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Alvaro di sini. "Aku akan tidur di kamar ini, Anna. Bolehkah?" tanya Jessica sedikit takut. "Tentu saja, Nona. Tuan Alvaro memberiku pesan unt
Daniel memutar tubuhnya dan memeluk erat tubuh Selena. Ia seakan siap membiarkan pisau yang dipegang Angel untuk menusuk tubuhnya. Namun, sepersekian detik, ia masih tak merasakan apapun juga."Alvaro!" histeris Selena. Sontak membuat Daniel menoleh ke belakang.Ia terkejut melihat adiknya terkulai lemas dan melihat darah dari punggungnya. Daniel tercengang. Ia masih tidak percaya bahwa Alvaro menggantikan dirinya ditikam oleh Angel. Segera ia menghampiri tubuh Alvaro dan menopangnya. "Tidak! Boy? Kau tidak apa-apa, kan?" ucap Arkanta yang juga segera menghampiri Alvaro. Darah yang terlihat di tangan Daniel membuat amarahnya mencuat. "Brengsek!" Daniel menarik kerah baju Arkanta dan...Bug"Lihat ulahmu, Brengsek!" Arkanta jatuh tersungkur akibat pukulan keras dari Daniel. Bahkan, laki-laki itu lupa akan status Arkanta yang sebagai Ayahnya. Namun, Daniel sudah tidak peduli. Bahkan, bertahun-tahun lalu ia sudah tak menganggapnya sebagai seorang Ayah.Setelah melukai dan mengurung
Dua insan yang sedang dimabuk gairah itu sedang berada dalam ruangan dan tengah memadu kasih layaknya pasangan suami istri. Lenguhan, desahan terdengar hebat menggema di ruangan yang cukup besar milik Arkanta. Untung saja, Arkanta membuat ruangan itu kedap suara, karena memang itulah tujuannya ia mendirikan kamar itu. Kegiatan panas Arkanta dan Angel terhenti ketika ketukan pintu terdengar keras dan menuntut untuk segera dibuka. Bahkan, Arkanta menggeram marah dan berjanji akan membunuh siapa saja yang mengganggu aktifitasnya. "Brengsek! Apa yang kalian lakukan!" marah Arkanta saat telah membuka pintu kamarnya. Bahkan, ia tak sempat memakai pakaiannya, hanya sehelai handuk yang menutupi bagian bawah. Arkanta benar-benar marah. Bagaimana tidak, gairahnya sedang diubun-ubun, tapi semua harus terhenti karena pengawalnya datang."Bos! Ada yang datang menyerbu markas kita!" seru salah seorang pengawal membuat Arkanta mendelikkan mata tidak percaya."Apa?!" Deru napas Arkanta makin membur
Dulu, saat Selena dan Alvaro masih menjadi sepasang kekasih, hanya dengan isyarat mata saja mereka seolah mengerti maksudnya. Seperti saat ada kuliah yang terasa membosankan, Alvaro hanya mengisyaratkan mata pada Selena dengan maksud keluar dari kelas. Mereka sangat terpingkal setelah keluar dari kelas dimana jam kuliah yang bagi mereka terasa membosankan. Kini, mungkin karena tak lagi bersama, atau mungkin cinta Selena telah hilang dan sirna dari hatinya, hingga lupa tentang isyarat mata yang sering mereka lakukan di kampus. "Baiklah, Boy! Malam ini kita istirahat dulu. Aku sudah mempersiapkan kepergian kita besok. Jadi bersiaplah. Dan jangan mengelabuhiku," ucap Arkanta yang menghentikan isyarat mata Alvaro pada Selena. Untung saja Arkanta tidak melihatnya. "Baiklah, Ayah! Aku sangat senang sekali dengan rencanamu. Sepertinya, malam ini aku akan mimpi indah karena mendapat kejutan darimu," sahut Alvaro yang diakhiri dengan tawa menggelegarnya berharap apa yang dilakukannya diperc