"Tahu ah, Pusing gue Yon, pagi ini Kania ada acara di sekolahnya, gue diminta Kania datang, tapi lu kan tahu kalau hari ini ada rapat jajaran komisaris."
"Lah yang rapat kan pak bos, kenapa loe yang pusing." Sekilas menoleh ke arah pria jangkung yang tiba-tiba hadir tanpa di undang. Begini nih kalau punya teman otaknya pindah ke dengkul, bikin tambah enggak semangat kerja saja. Batinku dalam hati.
"Loe enggak ingat kalau Pak Bos beserta keluarganya lagi ada perjalanan bisnis ke Luar Negeri. Jadi beliau mengutus gue buat jadi perwakilannya." Jelasku dengan sedikit tidak santai, sedangkan Dion yang mendengar nada suaraku malah hanya tertawa saja. Dikiranya gue badut apa. Memang antara aku dan Dion pemikiran berbeda seratus delapan puluh derajat mungkin. Ya iyalah kalau dia segenius Alfan sudah pasti dirinya yang menempati posisi Alfan saat ini, bukan seperti ini, dia bahkan menjadi bawahan dari orang yang masih setia berada di lift bersama dirinya ini.
"Oh iya, si bos kan lagi liburan ke Dubai ya. Enak banget ya jadi bos, dia bisa asyik jalan-jalan sama keluarganya, sementara kantor masih ada yang menghandle." cerocosnya lagi, sedangkan aku hanya melirik malas ke arahnya sebentar. Kulihat jarum jam yang bertengger manis di pergelangan tanganku, rupanya masih terlalu pagi, hingga suasana kantor tak begitu ramai. Biasanya pegawai lain akan sampai sepuluh menit sebelum jam kantor dimulai, sedangkan saat ini masih ada sekitar setengah jam dari waktu masuk yang ditetapkan. Pintu lift terbuka, pertanda akan ada penghuni lain selain Alfan dan Dion.
“Selamat pagi, pak Alfan.” Sapa dua orang wanita yang baru masuk. Wanita yang tak diketahui namanya oleh Alfan itu tersenyum seraya menundukkan sedikit kepalanya sebagai bentuk penghormatan. Tak ada lagi pembicaraan antara Alfan dan Dion. Keduanya memilih diam tanpa kata.Denting suara lift berbunyi, dua wanita tersebut keluar dari lift setalah memberi hormat kepada Alfan. Lift kembali membawa keduanya menaiki lantai atas. “Pak bos berapa hari liburan, Al?” tanya Dion. “Seminggu.” Singkat , padat dan jelas. “Enak ya jadi pak bos, gue kapan bisa liburan ke luar negeri.” "Namanya juga bos ya pasti enak lah Yon, makanya loe kalau pengen enak jadi bos."Jawabku seraya berjalan keluar dari lift, diikuti oleh Dion yang berada di sampingku."Mau saja sih gue jadi bos, masalahnya bawahan gue bisa demo kalau gue yang jadi bos mereka hahahaha....." Tawa Dion menggelegar hingga membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan apa saja, atau mungkin ingin sekalian kutenggelamkan ke dasar samudera saja.
"Woi Arga, Nita, tungguin dong." Teriak Dion ketika melihat Arga dan Nita yang sedang berjalan tak jauh dari kita. Dion bahkan hingga berjalan dengan langkah lebar untuk menyamai langkah Arga dan Nita. Namun karena langkahnya yang tergesa mengakibatkan jidatnya mencium tembok. Seketika tawa pecah di sekitar ruangan tersebut."Pelan-pelan saja, Yon. Nggak bakal kita tinggal juga." Ucap Arga dengan senyum jenaka."Pelan dikit kek kalau bicara, jangan bawa-bawa habitat loe kesini." Ucap Nita saat Aku dan Dion sudah berada tak jauh dari mereka. Sudahkah aku bilang kalau Nita contoh perempuan yang ceplas ceplos dalam bicara, meskipun dari wajahnya yang memang terlihat kalem. Hampir semua orang yang tak kenal baik dengannya akan mengira Nita sosok perempuan yang lemah lembut,baik,sopan santun, tidak neko-neko kalau bahasa orang Jawa, apalagi bar-bar, ya semua yang baik-baik pastinya. Namun bisa dipastikan jika mereka sudah kenal dekat dengan Nita semua pemikiran itu pasti akan musnah."Habitat gue yang mana sih, Nita?" tanya Dion dengan tampang bodohnya, dan selalu ekspresi seperti itu yang berhasil membuat teman- temannya yang lain tertawa. Dion tidak bodoh-bodoh banget sebenarnya, nyatanya dia bisa diterima bekerja di kantor yang bahkan dalam memilih karyawan sangat selektif. Hanya yang terbaik yang diterima bekerja di sana, tapi jika dibandingkan dengan teman-teman dekatnya tentu Dion kalah saing. Namun dirinya harus bersyukur karena kantor tempatnya bekerja tak pandang bulu untuk urusan berteman, semuanya bebas memilih dengan siapa saja, bayangkan jika kantor mereka memandang jabatan tak akan ada namanya yang mau berteman denganku karena jabatan yang kupegang ditambah partner kerjaku yang lebih seringnya bertemu dengan orang-orang dari luar kantor.
"Ya habitat loe kan yang biasanya gue kunjungi di daerah Jakarta Selatan itu lah, Ragunan kan, Yang." Ucap Nita seraya menoleh ke arah Arga yang berada di samping dirinya dengan satu tangan menggandeng tangan Nita.
"Loe pikir gue apaan?, Sun Go Kong?" Tanyanya dengan wajah yang dibuat seakan marah tersebut. Aku dan Arga hanya geleng-geleng kepala menyaksikan interaksi antara Nita dan Dion. Memang seperti ini lah mereka jika berkumpul. Tak pernah akur dan saling mengejek.
"Gue mah enggak ngomong, loe sendiri yang bilang, Yon." Kata Nita dengan nada mengejek. Nita masih terus tertawa hingga baru berhenti saat tubuh Arga mendekat ke arahnya.
"Loe ya Ta, untung sahabat gue, kalau gak sudah gue telan hidup-hidup loe."
"Wihhh takut gue, Dion." Kata Nita dengan wajah yang menunjukkan seakan-akan dirinya takut dengan ucapan sang sahabat.
"Berani loe sentuh cewek gue, gue patahin tangan loe, Yon." Kini Arga ikut berbicara, setelah sedari tadi hanya diam memperhatikan tingkah pacar dan sahabatnya. Ya memang seperti inilah mereka saat sedang bertemu selalu buat heboh dengan tingkah mereka. Tapi mungkin momen seperti inilah yang akan mereka rindukan jika sudah tak bersama lagi.
"Ye... hadapin tuh mas yayang gue kalau mau nelan gue. Palingan juga lho yang di telen cowok gue duluan". Ucapnya seraya bergelayut manja di lengan sang pacar. Dion yang mendengar penuturan Nita hanya berdecak sebal sedangkan mulutnya yang tak berhenti mengomel, walaupun dengan suara yang bahkan tidak terdengar. Sedangkan Nita sudah tertawa karena melihat tingkah Dion yang dianggap lucu tersebut.
"Ehhh bebeb Abang, baru datang beib?" Tanyanya kepada Dara, yang entah sudah sejak kapan berada di tengah-tengah mereka.
"Gak, sudah setahun di sini gue." Balas Dara ketus seraya berjalan melewati dirinya.
"Yaelah beib judes banget jawabannya beib. Terus kenapa wajahnya juga lecek gitu kaya baju gak disetrika aja."
"Berisik loe ah Yon, kaya petasan.” Jawabnya seraya berjalan di samping Arga dan Nita, dan meninggalkan Dion dan Alfan yang berada di belakang mereka.
Bagaimana acaranya tadi Princess?" Tanyaku kepada gadis kecil yang saat ini duduk di sampingku."Bagus banget pi, tadi ada yang bernyanyi, menari, baca puisi, pokoknya tadi aku suka banget pi." Ceritanya kepada sosok lelaki yang saat ini berada di samping sang putri dengan senyum yang tak lepas dari kedua sudut bibirnya."Princess sendiri tadi dapat bagian apa, sayang?" Masih dengan tatapan yang fokus kepada gadis kecil berbando pink dengan gaun warna putih yang menambah kesan cantik di wajah sang gadis belia tersebut."Kelas aku menampilkan drama Pih, jadi tadi aku sama teman-temanku jadi artis. Kalau sudah besar nanti Kania mau jadi artis beneran yah pi, biar terkenal dan membanggakan buat papi. Pokoknya tadi Kania seneng banget, pi." Gadis kecil yang bernama Kania tersebut menjawab pertanyaan ayahnya yang tak lain adalah Alfan seraya mulutnya memakan makanan, sedangkan sang ayah yang melihat bagaimana Kania bercerita ikut tersenyum. Kadang Alfan juga in
Mata ini masih menatap komputer di depan namun pikiranku berkelana entah ke dunia mana. Sedari tadi aku hanya memandangi layar tersebut tanpa melakukan tugas-tugasku. Kubiarkan saja tugas-tugas tersebut tergeletak di atas meja, barangkali nanti mungkin akan ada orang baik hati yang membantu mengerjakan tugas tersebut.Sudah seminggu ini aku tak fokus pada pekerjaan, hingga mengakibatkan diriku yang mendapat teguran langsung dari atasan yang tak lain adalah Alfan, ya dan kalian tahu karena pria itu pula yang membuatku tak fokus pada pekerjaanku akhir-akhir ini.Kupikir dia hanya bercanda saat memintaku menjadi mami Kania, tapi ternyata aku salah. Karena pada malam dia mengantarku pulang Alfan kembali berbicara seperti itu."Aku serius Ra, sama ucapan aku tadi. Dan aku harap kamu bisa mempertimbangkannya. Aku akan menerima apapun keputusan kamu."Ya seperti itulah yang Alfan ucapkan malam itu saat kami berada di dalam mobil dengan Kania ya
Pagi ini aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku."Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana."Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir."Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendin
Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut.Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini.“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti.“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya.“Biasa ngasih orang seperti tadi?” Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau.“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi sep
“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, bahkan kepalanya menempel sempurna di dada bidangku.“Dara kamu....” Lidahku terlalu kelu untuk berbicara, bahkan mataku pun yakin sudah melotot sempurna.“Aku mencintaimu, suamiku.” Ucapnya lagi dengan tersenyum. Bahkan genggaman tangannya terasa hangat menyentuh kulitku. Dara memperpendek jarak antara kita, matanya lekat menatap ke arahku hingga dapat kurasakan embusan nafasnya yang hangat. Mata kami saling pandang pada satu garis lurus yang sama hingga tanpa kusadari jarak antara kita semakin terkikis. Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, kupejamkan kedua mataku yang juga di ikuti oleh Dara, bibir kami hampir saja bersentuhan jika saja tak kurasakan sebuah tepukan di wajahku.“Papi bangun.” Mataku seketika membeliak setelah mendengar suara Kania. Kutoleh sekitar ruangan dan aku baru menyadari rupanya aku telah tertidur di sofa ruang tamu. Ja
“Ini gulingnya nggak bisa di singkirkan, Ra?, barangkali kali butuh kehangatan dari tubuhku.” Ucap Alfan berbisik di dekat telinga Dara. Tengkuk leher Dara meremang merasakan nafas Alfan yang terasa sangat dekat dengan dengannya, Dara seketika berbalik, keduanya bertatap pada satu garis pandang yang sama. Alfan menyangga kepalanya dengan salah satu tangannya, tersenyum yang menampilkan barisan gigi rapi dan putihnya. Melihat reaksi spontan dari Dara yang melotot ke arahnya semakin memperlebar senyum di wajah Alfan.“Aduh sakit, Ra.” Memang pukulan dari tangan Dara tak begitu keras tapi Alfan hanya ingin menjahili istrinya. Bahkan pukulan tersebut tak ubahnya pukulan manja dari sang istri. Tak puas hanya dengan pukulan, Dara mengambil guling yang berada di tengah- tengah keduanya. Tak puas hanya dengan guling Dara kembali mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Alfan hingga bantal yang menjadi alas kepalanya di bekapkan ke wajah Alfan.
Waktu jam istirahat sudah terlewat beberapa menit yang lalu, tapi Dara sepertinya masih asyik berkutat dengan pekerjaannya. Dara mengalihkan pandangan dari komputer setelah mendengar gawai pintarnya berdering pertanda ada telepon masuk. Nita menjadi nama yang tertera di layar utama.“Hal...”“Kenapa belum turun ke bawah?, sengaja mau di jemput suami?” bahkan Dara belum sempat menyelesaikan ucapannya namun Nita sudah memutus kata – katanya.“Sorry, pekerjaan gue banyak banget. Jadi kayaknya nanti titip mas Arga saja buat bawakan camilan saja.”“Sibuk banget sih sepertinya, Ra. Alfan yang pekerjaannya seabrek saja bisa meluangkan waktunya buat istirahat. Lagian aku nggak kasih ijin Arga buat bawain kamu makanan, enak aja minta di bawakan camilan sama pacar gue.” Cerocos Nita yang membuat makhluk lain yang berada satu meja dengannya geleng – geleng kepala.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan. Seperti itulah siklus waktu hingga tak ku sadari pernikahan yang ku jalani dengan Dara sudah memasuki bulan ketiga. hubungan kami pun semakin hari semakin menunjukkan kemajuan. Kania menjadi satu dari orang terpenting yang membuat hubungan kami semakin dekat. Jika dulu setiap akhir pekan mama selalu datang ke rumah untuk mengajak Kania sekedar jalan – jalan ke taman atau pusat perbelanjaan, kini sudah beberapa minggu rutinitas itu aku dan Dara yang menjalankan. Lebih sering kita bertiga pergi ke taman sekedar mencari udara sejuk atau jalan- jalan seraya bergandeng tangan layaknya keluarga yang sempurna.Seperti pagi ini kami akan mengunjungi sebuah taman yang berada tak jauh dari perumahan dekat rumahku. Kania sibuk bersenda gurau dengan Dara saat kami berjalan menuju taman. “Pagi Kania, duh cantiknya.” Sapa seorang perempuan yang ku ketahui bernama Raisa, dia
“A-aku.....” lidahku kelu, tenggorokan juga terasa serat hanya untuk menelan ludah. Pikiranku buntu, pandanganku berlari ke mana saja agar tak berserobok dengan pandangan tajam pria di depanku. Jantung... oh jangan tanyakan bagaimana detak jantungku yang jedag-jedug tak karuan sekarang. Yang mungkin saja bisa mengalahkan musik di clup malam. Duh hiperbola banget sih, Ra. Rutukku kepada diri sendiri.“Bagaimana kalau kita mencoba malam ini, Ra?” duh gusti, aku harus jawab apa?, kalau menolak takutnya dia kecewa dan tak akan meminta hal itu lagi, juga bukannya menolak suami tanpa alasan dosa, tapi kalau aku mengiyakan bisa saja Alfan menganggap aku wanita gampangan yang bisa di ajak berhubungan meski tanpa cinta. Cinta?, mungkin saja aku sudah cinta hanya saja aku tak yakin dengan Alfan. Pria itu terkenal dingin dan tertutup. Layaknya kutup utara. Bahkan selama menikah tak banyak cerita yang dia bagi kepadaku.“A...aku.”
Dara sedang duduk dengan bersandar kepala ranjang. Di tangannya terdapat gawai kesayangan. Gawai dengan lambang apel di gigit. Matanya tak lepas mengawasi gambar Kania yang ada di dalamnya. Pikirannya terus berkelana kepada wanita yang sempat dia temui beberapa kali namun tak pernah tahu siapa namanya. Siapa yang menduga jika dia akan berkenalan langsung dengan seseorang ingin dia temui itu.“Embun.” Iya Dara masih ingat betul siapa nama perempuan yang tadi siang dia temui. Perempuan dengan kulit putih dan rambut hitam panjang sebatas punggung. Entah mengapa dia merasa mengenal Embun. Mata indah dan lesung pipi jika perempuan itu tersenyum seakan sering Dara lihat. Dara tak merasa asing dengan ekspresi tersebut. Sekilas Kania seperti kemiripan dengan Embun. Tapi bagaimana mungkin?, mungkin hanya pikirannya saja.“Aku pikir kamu belum pulang.” Dara terlonjak dari lamunannya. Tanpa memandang-pun Dara jelas tahu siapa pemilik suara itu. Dar
Butuh waktu lebih dari empat puluh menit bagi Dara untuk sampai ke tempat tujuan. Hujan yang turun tanpa aba-aba otomatis membuat perjalanannya lebih lama. Cuaca akhir-akhir ini memang seperti tidak bersahabat. Jika pagi cerah bisa saja siang hujan turun dengan derasnya. Sama seperti hari ini. Dara tadi sempat memberi kabar kepada Gladis jika dirinya akan telat nanti dan meminta sang adik memesan beberapa makanan selagi menunggu dirinya yang masih terjebak macet. Meski siang ini kendaraan tak terlalu ramai, namun air yang menggenangi jalanan membuat Dara melajukan kendaraannya di bawah rata-rata. Dara ingin mengumpat merasakan jalanan yang tergenang air, namun dia tak ingin gadis kecil yang sedang duduk manis di kursi samping kemudinya tak nyaman. Bagaimanapun Dara ingin menjadi sosok ibu yang baik untuk Kania. Bukan karena dia ingin menunjukkan ke Alfan kalau dirinya bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk sang putri semata wayang, melainkan memang hatinya yang seperti sudah bertaut
Harusnya saat ini aku sudah mendapat jawaban tentang sosok Reyhan, namun sepertinya tuhan sedang ingin menguji kesabaranku dan memainkan teka-teki tentang siapa Reyhan. Kania yang tiba-tiba muncul dan mengatakan ingin tidur kami menjadi tersangka utamanya. Marah?, tidak mungkin bisa. Setiap langkah kecilnya memasuki pintu seakan mengundangku untuk menariknya ke dalam pelukan. Gadis kecil yang memakai baju tidur berwarna pink tersebut tak segera naik ke ranjang kami. Dirinya masih berdiri tegak di depan ranjang di mana aku dan Dara sedang duduk dan menatapnya bingung. Aku dan Dara saling pandang penuh tanya.“Hei, kenapa masih berdiri di sana, Princess?” tanyaku segera turun dari ranjang dan menghampirinya. Kania menatap bergantian antara aku dan Dara yang membuat kami semakin bingung. Kania menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan penuh tanyaku. Jemari-jemarinya saling bertautan. Kurentangkan kedua telapak tanganku guna memeluknya. Tubuhku yang lebih tin
Dara yang sedang duduk di meja rias seketika menoleh ke arah Pintu begitu telinganya mendengar derit pintu yang terbuka, menampilkan sang suami yang berjalan menuju tempat tidur mereka. Alfan memilih duduk dengan bersandar pada kepala ranjang dengan tangan yang sibuk dengan gawai pintarnya. Dara sesekali mencuri pandang lewat pantulan cermin.Dara melangkahkan kakinya menuju tempat tidur begitu ritual Skin care malamnya telah selesai. Dia segera duduk di tepi ranjang , mengambil ponsel yang terletak di nakas yang berada tepat di samping ranjangnya. Dirinya menata bantal sebelum ikut duduk dengan bersandar pada kepala ranjang mengikuti posisi sang suami. Beberapa menit keduanya sibuk dengan gawai masing-masing. Denting jam dinding menjadi satu-satunya bunyi yang tercipta di ruangan tersebut.“Besok sepertinya aku ijin tidak berangkat kerja dulu.” Ucap Dara begitu meletakkan ponselnya ke nakas. Alfan menautkan kedua alisnya seakan bertanya alasan apa yang m
“Di mana sih mereka?” monolog Dara pada dirinya sendiri. Matanya mengedar sekeliling kantin perusahaan yang memang selalu ramai seperti biasa. Dara telat sepuluh menit karena harus mengerjakan tugas yang tanggung untuk tinggalkan jadilah seperti sekarang. Sebenarnya Dara tidak begitu lapar, hanya saja sejak tadi Nita terus menghubunginya yang mengatakan ingin makan siang bersama dan dirinya tidak menerima penolakan. Dara mengambil ponselnya berniat menghubungi Nita namun tiba-tiba tangannya terlebih dahulu di tarik seseorang. Dara berniat melawan namun kembali dia urungkan begitu pandangannya menangkap sosok yang menarik tangannya adalah pria yang sangat di kenalnya.“Mereka duduk di meja ujung. Kalau kamu lihatnya dari sini ya tidak akan terlihat.” Alfan menarik tangan Dara, keduanya berjalan menuju meja ujung. Di sana sudah ada Nita, Arga, dan Dion. Dara duduk di antara Alfan dan Dion, sementara di depan mereka ada Nita dan Arga yang di dep
Cuaca pagi hari ini terasa hangat karena matahari telah menyapa bumi dengan sempurna, namun berbanding terbalik dengan situasi di dalam sebuah mobil yang sedang di kemudikan oleh Alfan. Dua makhluk yang mengisi di dalamnya masih belum ada yang mencoba mencairkan suasana beku yang tercipta. Dara merasakan jika akhir-akhir jantungnya tak normal karena setiap berdekatan dengan Alfan jantungnya seakan berdetak lebih cepat di banding biasanya. Dara duduk di kursi penumpang dengan gelisah, beberapa kali Dara mengalihkan pandangan ke arah luar jendela lalu kembali sibuk dengan gawai pintarnya. Alfan tahu jika beberapa kali Dara mencuri pandang ke arah dirinya lewat kaca spion yang ada di dalam mobil namun dia memilih pura-pura tidak tahu dan fokus dengan stir bundarnya. Bukan karena Alfan tak ingin mencairkan suasana namun dirinya juga merasa bingung harus memulai pembicaraan tentang apa. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang tinggal bersama hingga untuk memulai pembicaraan saja terasa s
Pagi telah tiba, cahaya matahari yang masuk melewati celah gorden kamar mengusik tidur Dara. Dara menggeliat sebelum kemudian menyembunyikan wajah di dada bidang sang suami, hingga dapat di rasakan jelas hembusan nafas hangatnya oleh Dara. Dara merasakan bagian perutnya terasa berat, dirinya mengerjapkan matanya berulang, masih mencoba membiasakan dengan cahaya yang sedikit menyilaukan matanya. Pandangannya turun ke bawah hingga menampakkan tangan kekar yang melingkar erat di bagian perutnya. Meski dirasa berat, toh nyatanya Dara tak ingin menyingkirkan tangan sang pria yang sekarang mulai mengisi hatinya itu. Posisi tidur yang saling berhadapan memudahkan Dara memandangi wajah teduh sang suami. Dara merapikan bagian depan rambut Alfan yang terlihat acak-acakan tersebut dengan tangannya. Perlahan tangannya turun meraba wajah tegas namun penuh kasih sayang dan turun ke rahang kokohnya. Dara mengecup sekilas kening sang suami, sebelum sebelah tangannya menurunkan tangan po
Tuhan apakah aku sudah jatuh cinta kepada Alfan dengan begitu mudahnya. Seseorang yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi salah satu sosok yang mengambil alih duniaku. Meskipun begitu, aku masih terlalu meragu untuk mengatakan jika perasaan yang kumiliki saat ini adalah bentuk cinta dan bukan rasa kagum semata. Tuhan semoga saja aku tak salah melabuhkan hati pada pelabuhan yang semestinya.Tuhan apakah aku sudah salah karena selama ini mempermainkan ikatan yang begitu sakral?, meskipun pernikahanku yang kita jalani bukan pernikahan atas dasar saling mencintai, tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin menurut sang kuasa?, lalu bagaimana jika aku dan Alfan di takdirkan berjodoh?. Bukankah seharusnya aku berusaha membuat Alfan mencintaiku? Dan juga sebaliknya.Jika dulu aku pernah berdoa kepadamu agar kelak di jodohkan dengan Reyhan, maka mulai sekarang aku akan mengubahku doaku, memintamu agar melunakkan hatiku, agar lebih ikhlas menerima pria lain sebagai imamku.