Arga duduk di balkon apartemen sambil menghabiskan rokoknya. Dia tidak bisa tidur malam itu, makanya keluar untuk mencari udara segar. Citra sudah terlelap sejak pulang dari acara aqiqah anaknya Senja tadi.Jujur saja, rasa cemburu tetap ada melihat kebahagiaan Senja dan Sabda. Sebab ikhlas tak semudah diucapkan oleh bibir. Hati berperan penting untuk sebuah keikhlasan. Butuh waktu untuk itu. Yang bisa ia usahakan hanya berusaha tetap menjaga diri agar rasa iri tak membuatnya gelap hati.Kini dirinya pasrah andai Citra tak ingin lagi melanjutkan pernikahan mereka. Wanita itu berhak bahagia dan dia tak boleh memaksa untuk bertahan dengan dirinya. Jika memang Citra masih ingin bersamanya, tentu sudah mencabut berkas gugatan di pengadilan agama. Nyatanya sang istri masih berteka-teki hingga menjelang sidang kedua.Hampir empat puluh hari ini dia sudah berusaha memperbaiki diri dan merubah sikapnya. Mencoba menjadi suami yang baik untuk Citra. Mungkin bagi istrinya, semua itu belum cukup
Senja berbalik, tidak ingin bertanya lagi daripada membuat hati nyeri. Semua orang punya masa lalu. Itu saja yang harus ia sadari. Sabda yang paham kalau istrinya tengah kecewa, segera meraih lengan Senja. Membuat wanita itu ketarik dan jatuh dalam dekapannya. "Ini hanya masa lalu.""Iya, aku tahu." Senja mendongak, membuat netra mereka saling pandang. Sabda memeluk istrinya. Dia tidak ingin hal-hal tak sengaja begini akan jadi masalah besar dalam hubungan mereka."Mas, mau ganti baju sekarang. Biar kita bisa langsung pulang. Nanti Mbak Nur keburu datang dan nggak bisa masuk rumah."Sabda mengangguk sambil melepaskan pelukan. Lantas segera mengambil sweater di sofa dan membawanya keluar. Sedangkan Senja mengembalikan beberapa kemeja yang tadi sempat di keluarkan. Namun pandangannya kini tertuju pada laci yang ada di bawah gantungan baju. Ditariknya pegangan berwarna kuning keemasan itu. Ada tiga album tersimpan di sana. Iseng Senja mengambil satu dan membukanya. Ternyata album yang me
"Ada apa, Ma?" tanya Arga heran."Nggak ada apa-apa."Keduanya diam. Kemudian Bu Yola mengorek informasi mengenai alamat Senja. Bertanya tentang latar belakang keluarga yang diketahui Arga. Jelas saja, andai ada nama yang sama di dunia ini tapi kemungkinan nama pasangannya pun sama adalah kecil. Saif Ibrahim dan Hanum. Kenapa baru sekarang ia bertanya tentang latar belakang Senja, setelah semua terlambat dan waktu tidak akan pernah bisa kembali.Bu Yola berdiri dan meraih tas tangannya di atas meja. "Mama pulang dulu, ya. Jangan lupa, pikirkan baik-baik tentang perceraianmu dengan Citra." Selesai bicara Bu Yola melangkah ke luar ruangan.Wanita itu meminta sopir pribadinya untuk mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Beliau masuk sebuah kafe di lantai tiga, memesan minum, dan duduk terpekur sendirian menghadap angkasa lepas.Flashback OnBayangan kenangan kurang lebih tiga puluh enam tahun yang lalu menjelma segar dalam ingatan. Kenangan tentang zaman perkuliahan. Seorang pemuda telah
Cukup lama wanita itu menghabiskan waktunya duduk di kafe. Bayangan masa lalu terpampang jelas satu per satu. Saif, Senja. Dua insan yang kini memenuhi benaknya.Bu Yola bangkit setelah hatinya cukup tenang. Beliau melangkah ke arah toko perlengkapan bayi dan anak-anak. Di ambilnya keranjang dan memborong perlengkapan bayi. Tidak peduli seberapa banyak yang dibelinya untuk baby Radja. Kemudian di teleponnya Arga untuk bertanya alamat Sabda. Sebenarnya Arga enggan memberitahu karena sempat curiga kalau mamanya akan bertindak yang tidak-tidak. Tapi suara Bu Yola yang beda dari nada biasanya membuat Arga melunak.Seorang kurir dari sebuah ekspedisi di bayar mahal oleh Bu Yola untuk mengantarkan barang-barang yang telah dibelinya untuk Senja dan Baby Radja. Harus dikirim hari itu juga.* * *Sabda sampai rumah jam sembilan malam. Setelah melepaskan jam tangan, menaruh ponsel, dan meletakkan jasnya di sandaran kursi, pria itu langsung masuk kamar mandi setelah menerima handuk dari istriny
Arga membuka amplop di atas meja. Pria itu terpaku membaca isinya. Surat pencabutan gugatan perceraian yang dikirim oleh pengacaranya Citra. Ada senyum haru sekaligus bahagia terukir di bibir Arga. Di ujung rasa pasrahnya, ada titik terang mengenai hubungannya dengan Citra.Diambilnya ponsel dan segera menghubungi sang istri. "Halo," suara Citra di seberang."Aku sudah menerima surat dari pengacaramu. Terima kasih, kamu memberiku kesempatan sekali lagi. Bisakah kita bertemu untuk makan siang bersama?""Pada dasarnya aku juga sedang memberikan kesempatan pada diriku sendiri sekali lagi, Mas. Mari kita bersama-sama memperbaiki diri.""Terima kasih," jawab Arga sambil menunduk. Netranya memanas. "Aku akan menjemputmu sebentar lagi. Kita lunch.""Oke."Mereka mengakhiri percakapan. Arga meletakkan kembali ponselnya dan menekan kedua netranya dengan ujung jemari. Sesak kali ini berbeda dengan rasa sesak beberapa saat yang lalu. Sekarang rasa sesak karena kelegaan yang luar biasa.Arga kem
Melihat keluarganya telah datang berkumpul, Pak Tedjo segera mengajak mereka untuk segera makan. Meja kayu besar yang berada di tengah ruang makan telah penuh oleh berbagai menu masakan. Aroma sedapnya menguar, membangkitkan selera makan yang hadir malam itu. Kecuali Bu Yola. Dia kehilangan selera makan sejak beberapa hari yang lalu setelah tahu kenyataan tentang Senja.Bu Yola sering mencuri pandang pada Senja yang duduk di sebelah Sabda. Setelah memandang Senja, beliau ganti memandang putranya. Perasaan bersalah membuncah dalam dada. Dia dan Nindy menjadi tokoh utama yang menentang hubungan Arga dan Senja. Perasaannya kian sesak ketika melihat putranya diam menikmati makan tanpa berdampingan dengan istrinya. Sebab Citra duduk di dekatnya Nindy dan anak perempuannya. Sementara Senja dengan telaten tanpa canggung melayani makan suaminya. Senja dan keponakannya tampak bahagia dan harmonis. Rasa bersalahnya pada sang putra kian dalam. Untuk mengurangi resahnya, berulang kali beliau min
Tak terdengar keributan lagi, yang masih ada isak lirih suara perempuan. Tapi bukan di kamar yang di maksud Senja tadi. Wanita itu menatap suaminya. Kenapa sekarang suara isak itu berasal dari kamar sebelahnya. Sabda menarik tangan istrinya pelan dan mengajaknya kembali masuk kamar."Siapa yang menempati kamar itu, Mas?" tanya Senja setelah duduk di ranjang."Mas nggak dengar percakapan mereka, jadi nggak tahu siapa yang ada di kamar itu. Ayo, tidur. Biarakan saja, wajar kalau ada keributan di antara suami istri." Sabda menarik Senja agar rebah di bahunya. Sementara putra mereka tidur di box bayi yang terbuat dari kayu yang berukiran klasik dan masih terjaga warnanya. Terlihat sekali kalau benda itu sangat di rawat dan diperbarui pliturnya. Itu box bayi turun temurun dari Pak Prabu masih bayi dulu. Siapa saja pernah menggunakannya jika tidur di rumah besar Pak Tedjo. Kini generasi ketiga yang memakainya."Mas sebenarnya heran dengan sikap Tante Yola tadi. Berubah banget sama kamu dan
"Ada apa dengan istrinya Candra?" tanya Bu Tedjo pada menantunya, Bu Airin."Saya nggak tahu, Ma," jawab Bu Airin tampak kebingungan juga. Putri yang terpaksa di bangunkan sepagi itu pun rewel. Namun Tata tetap memaksa mengajaknya pulang.Bu Airin melangkah masuk ke kamar dan mendekati Tata yang sedang mengganti diapernya Putri. "Tata, ada apa ini?"Tata tidak sanggup menjawabnya karena menahan tangis. Wajah wanita itu tampak sembab dan sayu. Bu Airin yang menyadari telah terjadi sesuatu dengan anak dan menantunya, hanya bisa berusaha menenangkan cucunya.Di pandangnya Candra yang diam menunggu istrinya selesai mengganti popok dan memakaikan jaket pada Putri."Kami pulang dulu, Ma," pamit Tata menyalami mertuanya. Wanita itu menggendong Putri melangkah melewati pintu belakang, agar kerabat lain yang ada di dalam tidak mengetahui keributan mereka.Sebuah taksi online telah menunggu di luar pintu pagar tinggi itu. Rupanya Tata sudah menelepon taksi tanpa sepengetahuan suaminya. "Aku ak
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba