"Perutmu terlihat lebih gemuk sekarang, Tin!" bisik Gery di telingaku.
Gery benar-benar melampiaskan hasratnya, kejadian ini terulang lagi. Aku hanya bisa menangis saat dengan buasnya Gery menyetubuhi ku. Ia membuatku tidak berdaya. Memperlakukan aku seperti budak nafsunya.
Kepalaku benar-benar pusing, sensasi mual seketika datang begitu saja.
"Geryyy!!!" suara teriakan yang sangat keras dari seseorang yang tidak ku kenal. Sontak mengagetkan kami, terutama Gery.
"Mama! Papa!" ucap Gery terkejut.
Seketika Gery memakai celana boxernya, lalu menutupi tubuh polosku dengan bajuku yang sudah robek.
K
"Iya, sebentar lagi Bapak dan Ibu, akan memiliki momongan. Ibu sedang hamil muda, usia kandungannya sudah 4 minggu. Memang di usia kandungan yang masih muda, biasanya membuat Ibu cepat kelelahan, dan indera penciuman akan lebih sensitif. Itu semua normal 'ko, Bu! Yang penting Bapak harus terus menjaga Ibu dengan baik ya, jangan sampai stres!" papar dokter paru baya itu menjelaskan panjang lebar."Aku hamil? Aku akan memiliki anak dari Anto?" gumamku dalam hati. Anto pasti akan sangat bahagia mendengarnya, anak yang sudah lama kami tunggu-tunggu."Kring kring" dering ponsel Mas Dimas berbunyi."Halo, Gery! Ada apa?" ucap Mas Dimas menjawab telponnya.Mendengar nama Gery, seketika pikiran buruk kembali menghantuiku."Gimana jika Anto mengetahui apa yang telah Gery lakukan padaku, gimana jika Ayu memang sengaja ingin menghancurkan rumah tanggaku dengan Anto? tidak bisa kubayangkan jika Anto
"Kak Tina kenapa? Ko bengong mulu?" suara Alika lagi-lagi membangunkan lamunanku. "Siapa yang bengong sih, Al? Orang Kakak lagi berpikir," "Emang Kakak lagi mikirin apa?" tanya Alika penasaran. "Kepo kamu, Al. Mau tau aja urusan orang dewasa!" ucapku berlalu meninggalkan Alika. "Huh … dasar, gak jelas!" cetus Alika kesal. Di dalam kamar aku mulai membongkar satu persatu buku dan barang-barangku saat SMA dulu, aku memang menaruh semuanya di dalam kardus, dan masih tersimpan dengan rapi di lemari kayu. Hampir dua puluh menit aku mengecek semua barang-barang lamaku, tapi tak satupun petunjuk yang kutemukan. Namun, saat aku mengemas kembali barang-barangku, ada sebuah buku diary lamaku yang dulu sempat hilang. Ini adalah buku diary hadiah dari Mas Dimas saat ulang tahunku yang ke 17. Dulu
"Mama!" ucapku langsung memeluk wanita cantik berpenampilan modis ini."Tina, kamu disini? Mama kangen banget sama kamu, Tin" kita pun larut dalam rasa rindu, sudah enam bulan aku dan Mama tidak bertemu, semenjak Mama ikut ngurusin bisnis Papa di singapore, Mama hanya pulang dua kali dalam setahun."Tin, makin cantik saja kamu," ucap tante Lily yang dari tadi berdiri di samping Mama."Eh, tante, apa kabar?" jawabku lalu mencium pipi tante Lily seperti biasa."Kabar baik, Tin!" jawab tante Lily."Ya sudah, ayo masuk dulu!, kita ngobrolnya di dalam saja," sahut Mama, kita pun semua duduk di sofa. Seperti biasa, Mama langsung berteriak memanggil Bi Rum. Sama persis seperti Alika, segala hal harus dilayani oleh Bi Rum, padahal Papa sering mengingatkan Mama, agar lebih mandiri, tapi sepertinya Mama sudah kebiasaan di layani pembantu."Bi, Bi Rum!, air minumnya man
Butiran bening mulai menetes di pipiku, rasa sakit yang tidak bisa aku ungkapkan, kenyataan yang begitu pahit, yang baru aku ketahui, setelah sekian lama aku hanya menerka-nerka.Aku benar-benar tidak percaya, jika orang yang selama ini selalu ada disampingku, selalu mensupport ku, orang yang sudah sangat aku percaya, ternyata dia adalah dalang dari semua bencana dan petaka yang aku alami."Ya-tuhan, apa salahku pada Ayu, kenapa dia tega mengorbankan keperawanan sahabatnya sendiri," lirihku dalam hati.Melihatku terus menangis, Reo sangat panik, dia berusaha menenangkanku. Tangan Reo berusaha memelukku. Namun, dengan cepat aku menepisnya."Jangan sentuh aku, Re! Aku tidak sudi disentuh oleh penghianat seperti kamu!""Maafkan aku, Tin! Saat itu aku benar-benar tidak ada pilihan lain, aku juga khilaf, Tin! Ayu yang terus-terusan mempengaruhiku.""Ap
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan, Tin?" tanya Reo padaku. Aku tau, saat ini pasti Reo benar-benar ketakutan dengan ancamanku."Ceritakan padaku, semua kejahatan yang kalian lakukan selama ini. Aku mau tau semuanya!""Oke, aku akan ceritakan semua, tapi gak sekarang, Tin. Gak disini, nanti malam kita ketemuan di cafe, atau kalau perlu, aku jemput kamu kesini, aku yakin Mama kamu pasti ngijinin kita pergi!" ucap Reo.Aku tidak mungkin pergi ke cafe dengan Reo, aku harus segera pulang, lagian aku sudah janji pada Anto akan pulang hari ini."Gak bisa, Re! Aku gak bisa keluar nanti malam,""Terus, kapan kamu bisanya?"Belum sempat aku menjawab pertanyaan Reo, Tante Lily sudah memanggil dan mengajak Reo pulang."Re, ayo kita pulang!" teriak Tante Lily dari kejauhan."Iya, Ma. Sebentar!" sahut Re
"Terus, sekarang kamu di rumah sakit mana sayang?" tanya Mama pada seseorang di seberang sana dengan panik."Hening▪▪▪▪▪▪""Oke, oke, Mama segera kesana! Kamu tungguin Mama ya!" ucap Mama lalu mematikan sambungan teleponnya."Ada apa Ma? Siapa yang telpon?" tanyaku khawatir, melihat kepanikan Mama, sepertinya ada sesuatu yang buruk.Mama tidak menjawab pertanyaanku, ia pun bergegas meninggalkan meja makan, dan berlari ke kamar."Aneh sekali, sebenarnya apa ada? Siapa yang nelpon Mama, kenapa Mama begitu panik dan khawatir." gumamku dalam hati.Tidak lama kemudian, Mama keluar dari kamar, rupanya Mama pergi ke kamar hanya untuk mengambil tas, dia kembali dengan terburu-buru."Mama kenapa sih, Ma? Ko panik banget?" sahut Alika yang tengah mengunyah."Tin, ayo cepat antar Mama ke rumah sakit!" ajak Mama padak
"Re, aku harus segera balik ke rumah sakit, Mama pasti sudah menunggu! Aku tunggu kabar baik dari kamu!" ucapku berlalu meninggalkan Reo di cafe.☆☆Sesampainya di rumah sakit, aku langsung masuk ke kamar inap Bagas, dan benar saja, Mama sudah bertolak pinggang menyambutku."Dari mana aja' sih, Tin? Lama banget!" ucap Mama dengan wajah judesnya."Maaf, Ma, di jalan macet!""Lagian aneh banget, hari gini beli pulsa masih nyari konter, emang gak bisa pakai M-banking!" sahut Mama dengan tatapan sinis. Mama memang paling tidak suka menunggu, dia akan sangat marah kalau disuruh menunggu, walaupun itu cuma sebentar."Uda, Ma, jangan marah-marah, mungkin bensin mobil Tina abis, jadi mampir dulu ke pom bensin, iya kan, Tin?" ucap Ayu basa-basi. Sepertinya dia benar-benar cari muka di hadapan Mama. Aku sama sekali tidak menghiraukan ucapannya, setiap melih
"Apa-apaan ini? Kebohongan macam apa sampai melibatkan banyak pihak seperti ini?" gumamku dalam hati penuh emosi.Sebuah foto yang menunjukan Ayu, Anto dan Bagas. Mereka bertiga berjalan keluar dari rumah sakit. Dan yang membuat aku sangat terkejut adalah kondisi Bagas yang berbanding terbalik dengan yang kulihat tadi siang. Perban di kepala dan kakinya, sudah dilepas, tidak ada sedikitpun bekas luka yang menempel di tubuhnya. Dia berlari memainkan helikopternya seperti anak kecil pada umumnya, wajahnya begitu ceria, raut wajahnya sama sekali tidak menampakan rasa sakit.Ayu benar-benar keterlaluan, dia sudah membuat Mama panik, bahkan menangisi keadaan Bagas. Tapi ternyata semua itu hanya kebohongan, hanya sebuah rekayasa yang mereka buat untuk mengambil keuntungan dari Mama.Ingin rasanya aku tunjukkan video ini kepada Mama sekarang juga. Tapi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mama saat tau jika ia
Hari ini aku sudah boleh pulang, Gery mengantarku ke rumah, karena Papa ada urusan bisnis yang tidak bisa ditinggal. “Makasih ya, Ger! kamu sudah mau mengantar kami sampai rumah!” ucapku pada Gery yang sedang sibuk menurunkan barang-barangku dari bagasi mobilnya. Mama menyuruh Gery masuk, dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Sepertinya Gery dan Mama mulai akrab semenjak Gery menemani kami di rumah sakit. Selesai makan aku menemani Vino yang tertidur di dalam box bayi. “Tin, kamu disini?” ucap Gery menghampiriku. “Ger! sudah selesai makannya?” “Sudah, enak banget masakan asisten kamu!” “Syukurlah kalau kamu suka, Ger! oh ya Ger, makasih ya, kamu sudah mau nemenin aku selama dirumah sakit!” “Santai aja kali, Tin! Justru aku yang berterimakasi
Aku mulai mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, disana aku akan memulai semuanya dari awal. Membuka lembaran baru dan melupakan masa lalu. Hari ini aku akan bertemu dengan Reo untuk perpisahan. Dia pasti sudah menungguku di bawah, aku harus segera menemuinya. “Hai, Re! Maaf lama menunggu!” sapaku pada Reo yang sudah menunggu di taman belakang rumahku. “Gak ko, Tin! Santai saja. Aku tau kamu pasti repot, kan?” jawab Reo datar. “Re! Makasih ya, selama ini kamu uda banyak membantuku, kalau gak ada kamu, aku gak tau gimana nasibnya hidupku ini!” “Ngomong apa sih, Tin! Santai aja kali. Oh ya Tin, kamu tau gak berita baru tentang Ayu dan Anto?”
Dengan langkah gontai Anto pun terpaksa pergi dari sini, dia pergi bersama gundiknya. Terlihat penyesalan yang teramat dalam dari wajahnya. Namun, itu tidak akan merubah keputusanku. Sakit? Tentu! Ini benar-benar menyakitkan. Rumah tangga yang kubangun dengan penuh cinta kini hancur begitu saja karena kehadiran orang ketiga. Seandainya kamu tau, saat ini ada anakmu di dalam rahimku, aku yakin kamu pasti tidak akan mau bercerai denganku. Tapi itu tak mungkin terjadi. Karena kamu harus bertanggung jawab dengan anak yang ada di rahim Ayu. Ayu pergi dengan tatapan sinis, raut kebencian terlihat jelas di wajahnya. Begitu juga dengan Gery dan keluarganya, mereka pun berpamitan untuk pulang. Aku lelah, benar-benar lelah, aku ingin segera istirahat. **** Malam semakin larut, semua tamu undangan sudah pulang, begitu juga dengan Reo dan Beca, mereka berdua p
Kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh malam, aku harus segera turun ke bawah, kudorong tubuh Anto agar aku bisa terlepas darinya, dia benar-benar nafsu malam ini. “Uda sayang! Kita harus segera turun!” ucapku mengurai pelukan Anto. “Hmm, kalau malam ini bukan acara pesta ultahmu, aku mau kita bercinta malam ini! Kamu terlihat sempurna,” ucap Anto sambil membersihkan lipstik yang belepotan di bibirku. Aku segera merapikan penampilanku di depan cermin, dan memilih untuk tidak menanggapi ucapan Anto. Kami pun segera keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk menemui para tamu undangan. Semua orang dirumah ini sudah bersiap, Mama sudah terlihat cantik mengenakan baju couple dengan Papa,
Pagi hari>>>> Sebelum semua orang dirumah ini bangun, aku sudah terlebih dulu bangun, aku bergegas mandi dan sarapan sepotong roti gandum dengan selai stroberi. Aku juga telah mengirim pesan pada Gery agar menyuruh Ayu pulang, aku tidak ingin rencanaku gagal karena keberadaannya disini. “Selamat ulang tahun sayang!” ucap Mama yang baru turun dari kamar, ia memeluk dan menciumku, lalu menyodorkan sebuah paper bag berisi ponsel keluaran terbaru. “Makasih, Ma!” jawabku lalu mempererat pelukanku. Tak lama kemudian, Papa dan Alika turun membawa kue tart kecil di tangannya. “Selamat ulang tahun, Kak Tina!” ucap Alika memelukku.
“Lepasin, Ger! jangan macem-macem, jangan cari-cari kesempatan!” ucapku langsung menarik tangan yang sedang di sentuh Gery.Beberapa kali ponsel Gery berdering. Namun, Gery tidak menghiraukannya, dia pun tidak menjawab saat aku tanya panggilan itu dari siapa, dia terkesan acuh dan tak peduli.Hari semakin sore, aku harus segera pulang ke rumah Mama. Aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk acara besok malam.“Ger! aku pamit pulang dulu!” ucapku berpamitan pada Gery.“Biar aku antar kamu, Tin!” jawab Gery sambil beranjak dari kursinya dan berdiri tepat disampingku.“Gak usah, Ger! aku gak
Benar saja dugaanku, Ayu lah yang mencuri CCTV itu, ternyata dia bersekongkol dengan satpam dan pembantu di rumah Gery. Gery harus tau semua ini, aku harus segera memberi tahunya, jangan sampai Ayu berhasil menyebar video CCTV itu ke media social.“Tin! Ko malah main HP? Cepat habiskan makannya! kita harus segera ke dealer, Papa gak enak sama Om Surya jika sampai telat,” tegur Papa padaku yang sedang sibuk membaca setiap chat yang dikirim Ayu pada seseorang.“I-iya, Pah! ini uda hampir habis, ko!” jawabku sambil memasukan sushi ke dalam mulut.Selesai makan kita pun bergegas pergi ke dealer Om Surya untuk mengecek mobil baru yang akan aku beli. Anggap saja ini sebagai hadiah dari Papa untuk menyambut calon cucu yang ada di dalam peru
Ayu berlari menghampiri Papa, dia memeluk Papa lalu bersembunyi di belakang Papa seolah ketakutan dan meminta perlindungan. "Sial! Melihat Ayu terus menangis pasti Papa akan salah paham padaku." "Kamu kenapa sih, Tin? Ko' sampai nampar Ayu? Papa gak pernah ngajarin kamu untuk kasar sama orang lain! Apalagi sama sahabat sendiri!" bentak Papa padaku. "Jangan salah paham, Pah! Ini tidak seperti yang Papa liat, Tina bisa jelasin semuanya!" ucapku membela diri. "Aduh Pah, sakit Pah!" Teriak Ayu meringis memegangi pipinya. Aku yakin dia pasti hanya pura-pura kesakitan agar Papa bisa semakin iba padanya. Papa menelpon sekretarisnya dan menyuruhnya untuk membawakan alat kompres dan kotak P3K. Sepertinya Papa benar-benar khawatir dengan Ayu yang terus meringis kesakitan. &n
“Ya tuhan, Ger! Terus apa yang harus kita lakukan?” “Aku juga bingung, Tin! Tapi kamu jangan khawatir, aku sudah suruh orang untuk mencari siapa pencuri rekaman CCTV itu!” jawab Gery berusaha menenangkanku. Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa ini bisa terjadi disaat aku akan membongkar semua kejahatan si Ayu, gak bisa aku bayangkan bagaimana jika Papa dan Mama melihat video CCTV itu? apa yang harus aku katakan pada mereka? Walaupun pada akhirnya mereka akan tahu bahwa Ayu lah yang menjebak aku saat itu. Tapi—perusahaan mereka bisa hancur jika video itu tersebar di media. Bisnis yang suda Papa bangun dari nol bisa bangkrut. Dan Anto, dia pasti akan menjadikan video itu alasan sebagai pembelaannya nanti saat aku bongkar semua tentang perselingkuhannya dengan Ayu. Ya tuhan, aku benar-benar bingung harus berbuat apa?