"Apa-apaan ini? Kebohongan macam apa sampai melibatkan banyak pihak seperti ini?" gumamku dalam hati penuh emosi.
Sebuah foto yang menunjukan Ayu, Anto dan Bagas. Mereka bertiga berjalan keluar dari rumah sakit. Dan yang membuat aku sangat terkejut adalah kondisi Bagas yang berbanding terbalik dengan yang kulihat tadi siang. Perban di kepala dan kakinya, sudah dilepas, tidak ada sedikitpun bekas luka yang menempel di tubuhnya. Dia berlari memainkan helikopternya seperti anak kecil pada umumnya, wajahnya begitu ceria, raut wajahnya sama sekali tidak menampakan rasa sakit.
Ayu benar-benar keterlaluan, dia sudah membuat Mama panik, bahkan menangisi keadaan Bagas. Tapi ternyata semua itu hanya kebohongan, hanya sebuah rekayasa yang mereka buat untuk mengambil keuntungan dari Mama.
Ingin rasanya aku tunjukkan video ini kepada Mama sekarang juga. Tapi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mama saat tau jika ia
Sepertinya Anto benar-benar panik, matanya enggan menatapku. Dia selalu mengalihkan pandangannya dariku.Setelah beres-beres kamar dia langsung mengambil handuk yang menggantung di pintu, dan bergegas ke kamar mandi.'Ceroboh sekali dia, sampai melupakan benda menjijikan ini!' batinku. Sepertinya benda ini luput dari perhatian Anto.Sejenak aku berpikir, apa yang akan aku perbuat pada benda sakral yang menjijikkan ini. Akhirnya aku putuskan untuk menyimpan kondom ini di tempat aman, anggap saja ini sebagai bukti suatu saat nanti. Ku ambil sebuah toples kecil bekas cream makeup ku, lalu aku ambil kondom ini dengan tangan yang sudah di bungkus plastik. Menjijikan memang, tapi, tidak ada cara lain. Aku memang tidak memiliki alat untuk menyumpit benda ini. Segera ku simpan benda ini di tempat yang tidak akan mungkin ditemukan oleh Anto.“Sayang, kamu lagi apa?” tanya Anto tiba-tiba data
Setelah semua urusanku dan Gery selesai, aku memutuskan untuk segera keluar dari kantor Gery. Khawatir jika tiba-tiba Ayu datang dan melihatku dan Gery berduaan.“Ger, urusan kita sudah selesai! Aku pulang dulu” ucapku lalu berdiri dari sofa.“Kamu mau kemana Tin? Buru-buru banget! Aku antar kamu pulang yah!” ucap Gery menarik tanganku.“Gak usah, Ger! Aku bawa mobil sendiri, lagian aku masih banyak urusan yang harus aku selesaikan.” Aku pun berlalu meninggalkan Gery di ruangannya.Aku berjalan menuju lift yang letaknya tak jauh dari ruangan Gery. Saat aku keluar dari lift secara tidak sengaja aku bertemu dengan Mas Dimas, kami berpapasan, sepertinya Mas Dimas akan naik ke atas saat aku turun.“Tin! Kamu dari mana?” tanya Mas Dimas padaku.“Mas Dimas! A-aku baru dari ruangan Gery, Mas!” jawabku terba
Aku bergegas keluar dari ruangan Mas Dimas, mempercepat langkah kaki ku berjalan menuju parkiran mobil, aku harus segera bertemu dengan Reo.[Re, kamu dimana?” pesan singkat yang ku kirim pada Reo.[Aku, OTW Tin! Bentar lagi sampai][Oke Re! Jangan lupa bawa semua yang sudah aku bilang tadi.][Beres! Semuanya sudah siap.] jawaban Reo membuatku lega.Pasalnya aku menyuruh Reo untuk membawa kamera CCTV yang akan kita pasang di dalam kamar hotel yang dipesan Ayu. Aku ingin tau apa yang akan mereka lakukan di tempat peraduannya. Jika saatnya tiba, video itu akan menjadi bukti yang kuat untuk menghancurkan mereka berdua, walaupun membayangkannya saja sudah sangat menyakitkan untukku.Setelah satu jam perjalanan aku pun sampai di hotel X, tempat dimana Ayu memesan sebuah
“Eits ... sabar bro! Jangan emosi! Tuh liat orang-orang pada melihat kesini semua,” ucap Reo seketika setelah Gery menggebrak meja.“Iya, Ger! Please jangan bikin malu! Kamu gak mau kan, kita diusir dari cafe karena bikin keributan.” Mendengar ucapanku, Gery kembali duduk di kursinya.“Kita pindah tempat, jangan disini! Meja ini terlalu umum untuk mengawasi hal seperti ini," ucap Gery. Dia langsung memanggil salah satu pegawai untuk memesan ruang VIP di cafe ini. Dengan cepat pegawai cafe mengantar kita ke ruang VIP yang sudah dipesan Gery.Kami pun segera pindah tempat, Gery ingin meja yang lebih privasi, dia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui apa yang sedang kita lakukan.
Melihatku memelas dan memohon, Gery melepaskan cengkraman tangannya dari wajahku. Seketika ia berteriak frustasi, berkali-kali Gery memukul setir mobil. Melampiaskan kekesalan yang bersarang di hatinya.“Kenapa kamu gak pernah memberiku kesempatan, Tin? Kenapa harus selalu Dimas yang jadi nomor satu di dalam hatimu? Kurang apa aku sama kamu, Tin? Dari dulu sampai detik ini, kamu adalah satu-satunya wanita yang ada di hati aku! Tapi, kenapa kamu tidak pernah menganggapku ada?” celoteh Gery kesal.Sepertinya Gery cemburu pada Mas Dimas, aku berusaha menjelaskan, tapi Gery seolah tidak ingin mendengar penjelasanku, dia terus saja memukulkan tangannya pada setir mobil.“Sudah aku bilang, aku tidak memiliki perasaan apa-apa sama Mas Dimas, Ger! Kamu jangan egois dong! Aku capek Gery! Aku ingin segera istirahat, kepalaku pusing,” ucapku pada Gery.Gery melonggarkan dasinya, dia memb
“Tin, ko' malah bengong, sih? Ayo kita pulang!” ucap Papa yang sudah beranjak dari kursi.Aku segera bangkit dan berjalan ke kasir untuk membayar pesanan kopi barusan, kemudian bergegas menuju parkiran.“Tin, biar Papa aja yang nyetir! Kamu duduk di sebelah Papa saja. Lagian-Papa uda lama nggak nyetir di jalanan Ibu kota,” ucapnya lalu duduk di kursi kemudi. Dan aku duduk tepat di samping Papa. Mobilpun melaju meninggalkan bandara SOETTA.“Tin, Papa liat kamu gemukan 'ya?” ucap Papa sambil tetap fokus menyetir.“Owh-iya, Pah! Tina memang gemukan sekarang!” jawabku tersenyum.“Syukurlah, berarti kamu bahagia hidup dengan suamimu! Gimana kabar suamimu?” tanya Papa.“Anto baik, Pah, kerjaannya juga lancar!” jawabku seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan Anto.&ldquo
Untung saja Reo menyadap ponsel Ayu, jadi apapun yang Ayu rencanakan bisa aku ketahui.“Sabar, Tin! Jangan emosi, kita bisa lebih cerdik dari pada Ayu!” ucap Reo sedikit membuyarkan amarah yang sudah bersarang di benakku.Kring! … kring! sebuah panggilan masuk dari Anto. Aku pun segera mengambil ponsel yang tergeletak disampingku.“Halo!”“Halo, sayang! Kamu dimana? Ko dirumah kosong?” tanya Anto di seberang telpon.“Aku dirumah Mama, maaf tadi lupa memberi kabar!” jawabku pada Anto. Sebenarnya mendengar suaranya saja aku sangat malas, entah kenapa aku selalu terbayang desahannya saat bergum
Pov TinaSudah hampir tiga puluh menit kita mengobrol bersama. Tante Lily pun berpamitan untuk pulang.“Jeng, saya pamit pulang dulu, ya! Uda siang, nih. Bentar lagi Papa nya Reo pasti pulang! Jeng, kan' tau Papanya Reo gak pernah makan siang diluar, dia lebih senang makan siang dirumah, katanya gak cocok kalau harus makan siang diluar,” ucap Tante Lily pada Mama.“Iya, Jeng lagian, kan' kantornya juga dekat dengan rumah Jeng Lily, jadi walaupun tiap hari makan siang dirumah gak masalah,” jawab Mama menepuk pundak Tante Lily.“Oh, iya Re, sebentar!” ucapku pada Reo, lalu berlari ke dapur untuk menemui Bi Rum, ingat janjiku tadi pada Reo untuk membungkuskan lauk kesukaannya.Setelah selesai aku pun bergegas kembali ke ruang tamu untuk memberikan lauk pesanan Reo tadi.“Ini Re pesanannya!” ucapku sambil menyod
Hari ini aku sudah boleh pulang, Gery mengantarku ke rumah, karena Papa ada urusan bisnis yang tidak bisa ditinggal. “Makasih ya, Ger! kamu sudah mau mengantar kami sampai rumah!” ucapku pada Gery yang sedang sibuk menurunkan barang-barangku dari bagasi mobilnya. Mama menyuruh Gery masuk, dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Sepertinya Gery dan Mama mulai akrab semenjak Gery menemani kami di rumah sakit. Selesai makan aku menemani Vino yang tertidur di dalam box bayi. “Tin, kamu disini?” ucap Gery menghampiriku. “Ger! sudah selesai makannya?” “Sudah, enak banget masakan asisten kamu!” “Syukurlah kalau kamu suka, Ger! oh ya Ger, makasih ya, kamu sudah mau nemenin aku selama dirumah sakit!” “Santai aja kali, Tin! Justru aku yang berterimakasi
Aku mulai mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, disana aku akan memulai semuanya dari awal. Membuka lembaran baru dan melupakan masa lalu. Hari ini aku akan bertemu dengan Reo untuk perpisahan. Dia pasti sudah menungguku di bawah, aku harus segera menemuinya. “Hai, Re! Maaf lama menunggu!” sapaku pada Reo yang sudah menunggu di taman belakang rumahku. “Gak ko, Tin! Santai saja. Aku tau kamu pasti repot, kan?” jawab Reo datar. “Re! Makasih ya, selama ini kamu uda banyak membantuku, kalau gak ada kamu, aku gak tau gimana nasibnya hidupku ini!” “Ngomong apa sih, Tin! Santai aja kali. Oh ya Tin, kamu tau gak berita baru tentang Ayu dan Anto?”
Dengan langkah gontai Anto pun terpaksa pergi dari sini, dia pergi bersama gundiknya. Terlihat penyesalan yang teramat dalam dari wajahnya. Namun, itu tidak akan merubah keputusanku. Sakit? Tentu! Ini benar-benar menyakitkan. Rumah tangga yang kubangun dengan penuh cinta kini hancur begitu saja karena kehadiran orang ketiga. Seandainya kamu tau, saat ini ada anakmu di dalam rahimku, aku yakin kamu pasti tidak akan mau bercerai denganku. Tapi itu tak mungkin terjadi. Karena kamu harus bertanggung jawab dengan anak yang ada di rahim Ayu. Ayu pergi dengan tatapan sinis, raut kebencian terlihat jelas di wajahnya. Begitu juga dengan Gery dan keluarganya, mereka pun berpamitan untuk pulang. Aku lelah, benar-benar lelah, aku ingin segera istirahat. **** Malam semakin larut, semua tamu undangan sudah pulang, begitu juga dengan Reo dan Beca, mereka berdua p
Kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh malam, aku harus segera turun ke bawah, kudorong tubuh Anto agar aku bisa terlepas darinya, dia benar-benar nafsu malam ini. “Uda sayang! Kita harus segera turun!” ucapku mengurai pelukan Anto. “Hmm, kalau malam ini bukan acara pesta ultahmu, aku mau kita bercinta malam ini! Kamu terlihat sempurna,” ucap Anto sambil membersihkan lipstik yang belepotan di bibirku. Aku segera merapikan penampilanku di depan cermin, dan memilih untuk tidak menanggapi ucapan Anto. Kami pun segera keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk menemui para tamu undangan. Semua orang dirumah ini sudah bersiap, Mama sudah terlihat cantik mengenakan baju couple dengan Papa,
Pagi hari>>>> Sebelum semua orang dirumah ini bangun, aku sudah terlebih dulu bangun, aku bergegas mandi dan sarapan sepotong roti gandum dengan selai stroberi. Aku juga telah mengirim pesan pada Gery agar menyuruh Ayu pulang, aku tidak ingin rencanaku gagal karena keberadaannya disini. “Selamat ulang tahun sayang!” ucap Mama yang baru turun dari kamar, ia memeluk dan menciumku, lalu menyodorkan sebuah paper bag berisi ponsel keluaran terbaru. “Makasih, Ma!” jawabku lalu mempererat pelukanku. Tak lama kemudian, Papa dan Alika turun membawa kue tart kecil di tangannya. “Selamat ulang tahun, Kak Tina!” ucap Alika memelukku.
“Lepasin, Ger! jangan macem-macem, jangan cari-cari kesempatan!” ucapku langsung menarik tangan yang sedang di sentuh Gery.Beberapa kali ponsel Gery berdering. Namun, Gery tidak menghiraukannya, dia pun tidak menjawab saat aku tanya panggilan itu dari siapa, dia terkesan acuh dan tak peduli.Hari semakin sore, aku harus segera pulang ke rumah Mama. Aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk acara besok malam.“Ger! aku pamit pulang dulu!” ucapku berpamitan pada Gery.“Biar aku antar kamu, Tin!” jawab Gery sambil beranjak dari kursinya dan berdiri tepat disampingku.“Gak usah, Ger! aku gak
Benar saja dugaanku, Ayu lah yang mencuri CCTV itu, ternyata dia bersekongkol dengan satpam dan pembantu di rumah Gery. Gery harus tau semua ini, aku harus segera memberi tahunya, jangan sampai Ayu berhasil menyebar video CCTV itu ke media social.“Tin! Ko malah main HP? Cepat habiskan makannya! kita harus segera ke dealer, Papa gak enak sama Om Surya jika sampai telat,” tegur Papa padaku yang sedang sibuk membaca setiap chat yang dikirim Ayu pada seseorang.“I-iya, Pah! ini uda hampir habis, ko!” jawabku sambil memasukan sushi ke dalam mulut.Selesai makan kita pun bergegas pergi ke dealer Om Surya untuk mengecek mobil baru yang akan aku beli. Anggap saja ini sebagai hadiah dari Papa untuk menyambut calon cucu yang ada di dalam peru
Ayu berlari menghampiri Papa, dia memeluk Papa lalu bersembunyi di belakang Papa seolah ketakutan dan meminta perlindungan. "Sial! Melihat Ayu terus menangis pasti Papa akan salah paham padaku." "Kamu kenapa sih, Tin? Ko' sampai nampar Ayu? Papa gak pernah ngajarin kamu untuk kasar sama orang lain! Apalagi sama sahabat sendiri!" bentak Papa padaku. "Jangan salah paham, Pah! Ini tidak seperti yang Papa liat, Tina bisa jelasin semuanya!" ucapku membela diri. "Aduh Pah, sakit Pah!" Teriak Ayu meringis memegangi pipinya. Aku yakin dia pasti hanya pura-pura kesakitan agar Papa bisa semakin iba padanya. Papa menelpon sekretarisnya dan menyuruhnya untuk membawakan alat kompres dan kotak P3K. Sepertinya Papa benar-benar khawatir dengan Ayu yang terus meringis kesakitan. &n
“Ya tuhan, Ger! Terus apa yang harus kita lakukan?” “Aku juga bingung, Tin! Tapi kamu jangan khawatir, aku sudah suruh orang untuk mencari siapa pencuri rekaman CCTV itu!” jawab Gery berusaha menenangkanku. Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa ini bisa terjadi disaat aku akan membongkar semua kejahatan si Ayu, gak bisa aku bayangkan bagaimana jika Papa dan Mama melihat video CCTV itu? apa yang harus aku katakan pada mereka? Walaupun pada akhirnya mereka akan tahu bahwa Ayu lah yang menjebak aku saat itu. Tapi—perusahaan mereka bisa hancur jika video itu tersebar di media. Bisnis yang suda Papa bangun dari nol bisa bangkrut. Dan Anto, dia pasti akan menjadikan video itu alasan sebagai pembelaannya nanti saat aku bongkar semua tentang perselingkuhannya dengan Ayu. Ya tuhan, aku benar-benar bingung harus berbuat apa?