Isi dalam perut ini keluar semua, aku merasa mual sekali, kepalaku pusing mencium aroma sambal tadi.
Bu Sarti menghampiri dan memapahku ke sofa di bantu oleh Mbok Darmi"Kamu kenapa, Nak?" Bu Sarti menatapku dengan ekspresi prihatin."Tidak tahu, Bu, tiba-tiba aku mual mencium bau sambal tadi, biasanya tidak pernah seperti ini, Bu.”Aku memijit pelan kepala yang terasa pusing.Mbok Darmi membuatkan teh, lalu memijat kaki ini.Diperlakukan sangat istimewa seperti itu, membuat aku merasa sungkan padahal keadaanku saat ini memang butuh pertolongan."Atau jangan-jangan, Yati hamil," ucap Mbok Darmi.Degh.Ada perasaan yang menjalar di hati saat Mbok Darmi berkata seperti itu. Entahlah perasaan apa, aku juga masih meraba."Nanti siang kita coba ke klinik dokter.Ibu juga khawatir kemarin kamu pingsan dan sekarang muntah-muntah," ucap Bu Sarti.Walaupun khawatir dengan kondisi diri sendiri, tapi melihat kepedulian keluarga ini, terasa damai.Hangat sekali keluarga ini, aku begitu nyaman di antara orang-orang baik yang sangat perhatian padaku.Pikiranku kembali lagi saat diri ini masih di rumah mertua. Dalam keadaan demam sekalipun, tak ada satu orang yang peduli dengan keadaanku yang membutuhkan pertolongan. Bu Anik dan Kak Mila malah pergi berbelanja.Aku ditinggal seorang diri di rumah. Kondisi badan yang panas, kepala berat, tetapi perut lapar, memaksaku untuk berjibaku.Dengan langkah terseok, aku berjalan ke dapur untuk memasak mi instan yang tersimpan di lemari. Hati ini menangis. Namun, sekuat tenaga aku harus bertahan demi suami yang tidak pernah peduli sedikitpun kepadaku.Mi yang sudah jadi, segera aku santap. Kemudian masih dengan badan yang lemas, aku membuat teh hangat, lalu minum obat penurun panas. Setelah itu, kupaksakan tetap beraktivitas walaupun badan ini memberi kode untuk istirahat.Pada waktu itu, aku sungguh takut saat mertua dan kakak ipar jika pulang dari mal, sementara pekerjaanku belum selesai, mereka pasti marah besar. Cacian dan makian sudah pasti dilontarkan secara bertubi-tubi padaku, makanya walaupun dengan tubuh yang gemetar, aku tetap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.Kadang Hidup ini harus banyak bersyukur, di saat suami dan keluarganya begitu kejam terhadapku, tetapi Allah mengirim Bu Sarti dan keluarganya untuk menolongku. Pertolongan Allah akan datang pada orang yang bersabar.****Bu Sarti memesan taksi online untuk pergi ke klinik. Saat perjalanan, kami melewati rumah mertua. Aku bergidik ngeri bagaikan melihat rumah hantu, karena begitu banyak pengalaman pahit yang aku alami di sana.Melihat rumahnya saja sudah membuatku merinding.Tidak butuh waktu lama bagi kami menempuh perjalanan ke klinik. Kini, mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan pintu masuk. Bu Sarti mengajakku turun.Setelah mengisi daftar isi dan data pasien, kami menunggu duduk di ruang tunggu, sampai namaku dipanggil dan kami segera memasuki ruangan dokter.Seorang wanita yang kutaksiri berusia tak jauh dariku, menyambut kedatangan kami dengan senyum ramah. Wanita dengan setelah jas putih itu berhasil membuat diri ini jadi insecure. Entah kenapa, satu pikiran melintas di benakku, mungkin beruntung sekali wanita ini bisa menjadi dokter pasti berasal dari keluarga berada, dan pasti wanita ini disayang suami dan mertuanya."Silakan duduk, Bu.” Dokter muda itu berdiri menyalamiku, lalu mempersilakan duduk.Setelah bertanya, aku pun menceritakan kondisi kesehatanku. Dokter cantik itu menyuruh berbaring di kasur klinik untuk diperiksa, lalu aku disuruh buang air kecil sambil membawa benda pipih berwarna putih di tanganku.“Selamat, Ibu positif hamil, diperkirakan usia kandungan Ibu sudah empat minggu." Wanita dengan pakaian serba putih itu menjelaskan dengan detail.Aku terdiam cukup lama, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan dokter tersebut. Rasanya tidak percaya, sudah lima tahun menikah, tetapi baru sekarang Allah memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi seorang ibu.Perasaan bahagia bercampur sedih bersatu dalam hati ini.Apakah bayi ini nanti tumbuh besar tanpa sosok seorang ayah di sampingnya. Karena perceraian ini sudah nenjadi keputusanku yang sangat bulat. Tidak boleh Berubah lagi. Aku mengkhawatirkan kondisiku jika harus kembali lagi ke rumah Arjuna. Tanpa aku sadari, tangan ini mengelus perut yang masih rata."Selamat, Nak," ucap Bu Sarti sambil memeluk tubuh ini.Rasa yang bercampur ini, membuat pikiranku melayang entah ke mana. Aku takut jika Mas Arjuna mengetahui kehamilanku, dia akan membatalkan perkataannya tempo hari. Pengadilan agama pun pasti akan menolak pengajuan perceraian, selama diriku masih berbadan dua. Keadaan ini membuatku dilema.Bayangan rumah yang telah berubah jadi neraka itu kembali terbayang di pelupuk mata. Aku tahu persis tabiat mertua, setelah kembali lagi ke rumah itu, aku pasti diperlakukan seperti budak mereka lagi.Apalagi Kak Mila yang licik dan pemalas itu. Berbagai alasan pasti dibuatnya agar tidak perlu membantu mengerjakan pekerjaan rumah.Sepanjang perjalanan dari klinik ke rumah, aku memilih untuk diam, pikiranku entah ke mana. Aku dilanda rasa cemas, Bu Sarti seperti menyadari ini. Sedari tadi aku meremas-remas ujung jilbab, mataku berembun, aku memikirkan nasib ini dan nasib anakku kelak."Yati ... serahkan semua kepada Allah, Nak, berdoa terus minta yang terbaik kepada-Nya," ucap Bu Sarti lembut, dan kubalas dengan anggukan, aku memaksa untuk tersenyum walaupun di dalam hati ini sedang kalut.Sesampai di rumah, Bu Sarti menyarankan aku untuk beristirahat. Akan tetapi, aku tidak mau hanya sekadar bersantai di sana. Tak kupedulikan rasa capek, aku segera mencuci piring dan apa saja yang bisa dikerjakan. Bu Sarti dan Mbok Darmi hanya bisa menggelengkan kepala melihatku padahal mereka sudah melarang.Biarlah kubawa bekerja untuk menghilangkan rasa cemasku. Aku berkata sendiri dalam hati.***Setelah makan malam kami duduk santai di depan TV sambil menikmati acara di televisi. Tiba-tiba suara pintu diketuk"Assalamualaikum!""Waalaikumsalam," ucap kami serentak.Nadya berlari mengintip dari jendela, siapakah gerangan tamu yang datang malam ini. Aku mematung, tak tahu apa yang aku lakukan, saat Nadya menyebutkan sebuah nama. Bu Anik. Apakah wanita yang sering msnyiksaku itu tau kalau aku sedang hamil, tidak, sampai kapanpun aku tidak akan mau balik lagi sama Mas Arjuna, tidak akan.Bu Sarti menggenggam tanganku untuk menguatkan, lalu dia berjalan menuju pintu dan membukanya. “Silakan masuk, Bu Anik,” ucap wanita yang telah banyak berjasa padaku.Bu Anik pun memasuki ruang tamu diikuti oleh Kak Mila.“Ada apa datang ke sini, Bu?" Dengan sedikit rasa takut, aku memberanikan diri untuk bertanya terlebih dahulu.“Ini rumah Bu Sarti, tidak seharusnya kau bertanya, Buluk!” bentaknya.“Eh, Yati, baru sebentar saja di sini sudah seperti tuan rumah gayamu, ya,” sambung kak Mila.“Hati-hati, Bu Sarti, mending anak ini diusir saja daripada bikin beban di rumah ini.” Sepertinya tidak puas mungkin rasanya, kalau kedua orang itu tidak menyakiti perasaanku.Astagfirullah, apalagi mau mereka. Tidak bisakah aku lepas dari mereka dan hidup dengan tenang? batinku menggerutu.“Sudah, jangan ribut di sini!” sentak Bu Sarti menghentikan ejekan mereka terhadapku."Ayo, duduk dulu, Bu Anik, ada apa gerangan datang ke rumah saya malam-malam begini?” tanya Bu Sarti setelah keduanya dudu
Aku bersiap pulang ke kampung halaman, Bu Sarti sudah memesan travel menuju kampung ku, butuh waktu tujuh jam perjalanan."Yati sebelum travelnya datang, sebaiknya kita makan dulu," ajak Bu SartiSetelah sarapan dan meminum vitamin penguat kandungan kami menunggu mobil yang akan membawaku ke kampung halaman, datang.Tin. Tin. Suara klakson berbunyi, aku mengintip dari jendela, mobil travel sudah parkir di halaman rumah Bu Sarti, kami segera menaiki minibus tersebut."Hei, tunggu!" teriak Bu Anik dia menyambar tanganku dan menariknya. Aku hampir terjatuh untung saja tangan ini dengan cepat berpegangan pada besi dekat pintu travel tersebut."Apa-apaan, sih, Bu!" teriakku kesal. "Pokoknya kamu tidak boleh pulang," ucapnya sambil memegangi pergelangan tanganku."Bu ... tolonglah, apalagi yang Ibu inginkan, izinkan aku pergi, Bu," ucapku memelas."Setelah melahirkan baru kamu boleh pulang dan bayimu tidak boleh kau bawa ke kampung," ucapnya lagi. "Bu, aku tidak ingin berdebat, travel i
Saat aku melihat sekeliling, posisi tempat yang dulu, ternyata rumah orang tuaku yang dulu sudah tidak ada. Kini, berubah menjadi bangunan yang di depannya tertulis Rumah Potong Ayam.Kaki ini melangkah mendekati rumah tersebut, Bu Sarti mengikuti dari belakang. Terlihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas pekerjaan dan terlihat ada mesin pembersih ayam dan yang lainnya. "Permisi, Mas ... maaf mau bertanya, yang punya rumah ini dulu ke mana, ya? Pak Darminto," ucapku dengan sopan pada salah seorang pria yang berada di tempat itu."Maaf. Saya tidak tahu," jawab pria itu sekenanya, sepertinya, terganggu akan kedatanganku, mereka terus fokus bekerja.Aku mencoba keliling. Seribu pertanyaan bersarang di hati ini, tetapi entah kenapa, perasaanku mengatakan ada sesuatu yang terjadi.Ya Allah ke mana orang tuaku. Dan, ke mana rumah dimasa kecilku? Pertanyaan itu seperti bergema di hati ini."Ayo, Yati, coba kita tanya beberapa tetangga sekitar sini, tidak mungkin mereka tidak tahu. Pas
Bu Sarti Dan Bu Isur memapah tubuh ringkih ini untuk duduk di kursi yang berada dalam ruang tamu rumah ini.Dengan tergesa Bu Isur pergi ke arah dapur dan kembali lagi dengan memegang segelas teh hangat lalu diberikan padaku. "Bu, di mana makam Bapak dan Ibu," ucapku lemah setelah meminum sedikit, teh hangat yang diberikan Bu Isur tadi. "Setelah makan siang, Ibu akan mengantarkan kamu ke sana, sekarang kamu istirahat dulu," ucap Bu Isur sambil menatapku iba dan penuh kasih sayang. "Iya Yati, kamu istirahat dulu, apalagi kamu sedang mengandung, perhatikan juga kesehatan kamu dan janin yang sedang kamu kandung," timpal Bu Sarti. Rasanya kaki ini ingin segera pergi melangkah ke tempat peristirahatan Bapak dan Ibu yang terakhir. Namun, apa yang dikatakan Bu Sarti dan Bu Isur ada benarnya, aku tidak boleh egois, ada janin yang sedang kukandung dan harus diperhatikan kondisinya. Sejak tadi, tegang dan sakit yang kurasai pada perut dan bagian punggung ini, mungkin ini alarm tubuh untuk
Terima-kasih buat kalian yang sudah mau membuka kunci, semoga Allah memberikan rezeki berlimpah buat kamu ya, sehat selalu dan sukses selalu buat kita semua. Selamat Membaca. Malam itu aku bertamu ke rumah Pak Salman. Ingin menanyakan perihal rumah kedua orang tuaku yang dibelinya melalui Mas Arjuna.Aku berangkat ditemani Pak Darwin dan Bu Isur, sedangkan Bu Sarti atas saranku beliau istirahat dulu karena besok pagi kembali ke kota. Aku tidak ingin orang yang sudah kuanggap ibu bagiku jatuh sakit karena terlalu capek."Assalamualaikum, Pak," ucap Darwin."Waalaikumsalam, silakan masuk, Pak Darwin. Ada apa, nih malam-malam bertamu ke rumah bersama istri dan––“ Dia menghentikan ucapannya saat melihatku. "Yati? Kamu, Yati, ‘kan, anak almarhum Pak Darminto?”"Iya, Pak" jawabku sopan sambil membungkukkan badan tanda hormat kepada beliau."Ayo. Ayo, silakan duduk ...," ucapnya.“Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya ingin bertanya kepada Bapak, perihal rumah almarhum kedua orang tua
Setelah siuman aku menangis sejadi-jadinya di depan Pak Hakim agar gugatanku diterima. Bu Sarti juga memberikan saksi dan kubongkar semua kedok Mas Arjuna dan aku siap memberikan bukti kalau dia sudah menipuku.Saat itu aku mengingat Pak Salman yang akan memenjarakan Mas Arjuna.Pasangan ibu dan anak itu kaget saat kubongkar penipuan yang dilakukan Mas Arjuna terhadap peninggalan almarhum kedua orang tuaku. Akhirnya hakim memutuskan sidang tahap dua akan dilakukan.Di luar pengadilan entah setan apa yang merasuki Bu Anik, wanita separuh baya itu meludahi wajah Bu Sarti dan didorongnya hingga jatuh tersungkur. Usia yang tidak muda lagi, membuat wanita berhati emas itu tidak bisa menyeimbangkan tubuh saat diserang secara membabi buta."Kamu sudah naik haji, tapi kelakuanmu seperti Dajal, ya. Tidak usah ikut campur urusan keluarga kami!" ucapnya" Hei, sekali lagi kamu berbuat kasar pada Bu Sarti, awas kamu ya, wanita iblis! Bu Sarti sekarang menjadi keluarga saya, dan ibu, kita sudah ti
Pov: ArjunaYati si gadis kampung. Aku pertama kali melihatnya saat tugas pekerjaan di kampung halamannya. Dia begitu sederhana dan bersahaja.Saat itu, aku baru saja putus dengan kekasihku yang sudah lima tahun terjalin. Tiara, gadis kota yang cantik dan memesona, berasal dari keluarga berada.Hubungan kami kandas saat kedua orang tuanya tidak merestui, dan Tiara akhirnya dijodohkan dengan anak Walikota pada saat itu dan Tiara menyetujuinya, dan aku ditinggalkan.Aku frustrasi dan meminta kepada perusahaan kalau ada pekerjaan ke luar kota biar aku saja yang ditugaskan.Kembali lagi Ke Yati. Wanita ini sungguh menarik perhatianku dengan keluguan dan kepolosannya.Setiap berjalan selalu menunduk dan saat disapa tubuhnya gemetaran grogi, geli sekali aku melihatnya.Berbeda dengan gadis kota pada umumnya yang selama ini kukenal. Namun, di balik sikap polosnya, ada daya tarik tersendiri yang mampu membuatku terpana.Pernah suatu hari ketika aku mencuri kesempatan untuk mengajaknya makan d
Gawaiku berdering, kulihat dari layar nama Pak Salman yang sedang menghubungi."Assalamualaikum, Pak," jawabku sopan."Waalaikumsalam, Yati. Kamu apa kabar, Nak?” tanyanya dari seberang telepon."Alhamdulillah, baik, Pak.""Begini, Nak, Bapak sudah memasukkan surat laporan penipuan Arjuna. Jadi Bapak butuh kerja sama denganmu, Nak. Bapak butuh surat pernyataan kamu." Beliau menceritakan semua prosesnya."Baik, Pak, apa yang harus saya lakukan?” tanyaku setelah mendengar penjelasan dari lelaki yang telah membeli rumah peninggalan orang tuaku itu."Besok kamu datang ke kantor pengacara Bapak di kota. Nanti alamatnya Bapak SMS kamu, ya.""Baik, Pak." Telepon pun terputus, dan SMS datang sesaat setelah perbincangan melalui telepon itu berakhir, berisikan sebuah alamat. ***Pagi itu aku berangkat menuju kantor pengacara ditemani oleh Bu Sarti mengendarai taksi online, karena aku masih belum hafal betul dengan kota ini. Bu Sarti menemaniku, agar wanita itu tidak bosan juga di rumah. Itu a
Sepanjang perjalanan ke kantor, Nadya tidak hentinya mengulum senyum, rencana yang telah dia buat sepertinya berhasil, dia sengaja mengcopy sepenggal bait puisi milik sang pujangga yang ternama, lalu di akhir puisi Nadya sengaja memberi inisial nama I M, agar Atun mengira itu Ibrahim, dan sengaja juga dia menyuruh Atun ke kamarnya untuk mengambil flashdisk agar Atun melihat puisi tersebut seolah-olah tanpa sengaja, semua sudah Nadya atur sedemikian rupa. Sudah berulang kali Nadya menangkap basah Atun sedang menatap dalam pada Ibrahim, awalnya dia merasakan ada yang aneh pada diri Atun, perasaan Nadya tidak enak jika melihat gelagat Atun, sampai pada akhirnya Nadya melihat sendiri Atun memandang Ibrahim cukup lama, sengaja dia tidak menegur karena belum memiliki bukti yang cukup kuat. Pernah suatu malam, Atun sengaja membuatkan Ibrahim teh dan hendak mengantarkan ke ruangan kerja Ibrahim, tapi karena kemunculan Yati secara tiba-tiba, Atun berkilah jika ingin membuatkan Yati teh, deng
Pak Long berjalan pilu meninggalkan ruang keluarga, begitu juga dengan Ibrahim masuk ke dalam kamarnya setelah Pak Long pergi. Tinggallah Yati dan Atun di ruangan keluarga ini, Yati masih menatap tidak percaya dengan segala ucapan Atun yang menurutnya begitu pedas. "Yati, maafkan aku, aku juga punya perasaan, aku juga punya hati, semua diluar kendaliku, maafkan aku, tidak bermaksud membuat kamu kecewa dengan semua ucapanku," Atun memeluk Yati, berharap sahabatnya itu mengerti. "Minta maaflah sama Pak Long, Atun. Ucapanmu sungguh membuatnya sangat terluka, kamu boleh menolak, tapi tidak menghina seperti itu, ingat Atun, sebelum dihargai orang, belajarlah menghargai orang lain.""Baik Yati, aku akan minta maaf, lagian pria tua itu sungguh tidak tau diri, kalau suka sama orang ya lihat dulu siapa orangnya, kalau Juli, Rima atau Leni sih wajar, sederajat mereka." "Apa maksudmu, Atun?" Yati semakin tidak mengerti dengan sikap sahabatnya ini, semakin tinggi hati saja. "Aku kan teman se
Saat Atun lagi bersantai dan memainkan ponselnya di atas kasur, sebuah pesan masuk melalui benda pipih yang sedang Atun mainkan, dengan tidak sabaran wanita itu melihat isi pesan yang masuk. "Atun sayang, coba kirimkan foto Yati, dan besok jam tiga sore kamu saya tunggu di cafe kemarin, kamu ceritakan jadwal dan kegiatan Yati, biar saya bisa atur rencana untuk membunuhnya, setelah itu, besok saya ingin lagi kita melakukan seperti tadi, siapkan stamina." Antara senang dan benci Atun menerima pesan dari Nazil, senang karena ada yang ingin membantunya melenyapkan Yati, dan benci karena pria itu ingin kembali mencicipi tubuhnya. Bukankah untuk mencapai sesuatu, harus ada perjuangan dan pengorbanan. Atun kembali tersenyum, karena dia merasa ini bagian dari tugas, biar saja pria bejat itu mencicipi tubuhnya sesuka hatinya, yang penting tujuannya tercapai, setelah berhasil menjadi istri Ibrahim, cukup mudah bagi Atun melenyapkan Nazil, karena telah mempunyai uang yang banyak, Atun memili
"Sebelumnya kenalan dulu, nama saya Nazil." "Kalau saya, Rahman." Kedua pria asing itu memperkenalkan diri pada Atun, begitu juga dengan Atun, walaupun merasa sedikit jijik, Atun menyambut uluran tangan kedua pria itu. "Sepertinya anda punya masalah," ucap Nazil, sorot matanya masih tajam memandang Atun, kadang pandangan itu berhenti di bagian aset Atun di bagian depan, rasa tidak nyaman menghampiri, tapi karena saat ini dia butuh partner untuk membantunya melenyapkan Yati, dia berusaha setenang mungkin. "Jika kalian berhasil melenyapkan wanita ini, imbalan begitu besar, dia istri dari pengusaha sukses, aku ingin kalian melenyapkan nyawa wanita itu." "Perkara yang mudah bagi kami untuk melenyapkan nyawa orang, tapi, semua itu tidak gratis dan butuh strategi yang matang, agar kita semua bisa lolos dari hukum." ucap Nazil, sepertinya pria berkulit tambun itu yang lebih dominan dari pada Rahman."Saya sudah bilang, akan ada imbalan yang gede, 50 juta ringgit? 100 juta ringgit? Semua
"Hari yang cerah, sedap betul jika berenang," ucap Atun sambil berjalan ke arah Yati dan Nadya."Yati, mari kita berenang, masih ingat tidak saat di kampung dulu, waktu kita masih sekolah dasar, berenang di empang milik Pak Salman, orang tua kita pasti marah saat itu," ucap Atun lagi mengenal masa kecil mereka. Nadya masih merasa kesal dengan sikap Atun yang suka seenaknya sendiri, sekarang malah santai, seolah tidak merasa bersalah. QAtun ini sedikit mengerti watak Yati, jika dia melakukan hal yang semena-mena, dia pasti mengingatkan kembali kisah mereka saat masih di kampung dulu, Yati orangnya tidak enakan, jadi, pasti mengurungkan niatnya untuk menegur Atun, sedangkan Nadya sudah sedikit muak melihat kelakuan Atun. Nadya merasa ada hal yang aneh pada diri Atun, tapi dia tidak tahu, tapi yang Pasti beberapa waktu terakhir ini, Nadya sudah merasakan kejanggalan pada sahabat kakaknya tersebut. "Kak Atun, tadi kamu kenapa membentak Leni? Padahal kamu yang salah, jangan seperti it
"Tuan!""Tuan!"Atun berusaha mengejar Ibrahim sambil berusaha memanggilnya, tapi karena Ibrahim memakai headset tidak mendengar panggilan Atun. Atun berusaha berlari beriringan dengan Ibrahim, dengan begini saja dia sudah merasa bahagia, karena merasa seperti pasangan suami istri yang sedang berlari bersama. "Dik Atun, Abang datang," ucap Pa Long, Atun menoleh, sudah ada Pak Long yang berlari beriringan juga dengannya."Pak Long, ngapain kesini!" Atun memperlambat langkah kakinya. "Abang hendak menemani Dik Atun olahraga biar kita sama-sama sehat." Dasar lelaki tua yang genit, sok-sokan menyebut dirinya Abang. "Pak Long, tadi Tuan Ibrahim berpesan kalau Pak Long harus mencuci mobil kerjanya." "Oh, tenang Dik, semua mobil sudah bersih termasuk mobil Nyonya Yati, jadi, kita bisa lari bersama mencoba merajut kasih." Mata Pak Long berkedip sebelah ke arah Atun, kumisnya yang tebal membentuk sebuah lengkungan. Semakin sebal dan merasa jijik saja Atun melihat Pak Long ini. "Ya udah
"Yati, mana mungkin Pak Long yang mengangkat tubuh saya, mana kuat dia, sudah tua," ucap Atun sambil matanya mendelik ke arah Pak Long, saat pria jelita (jelang lima puluh tahun) itu berjalan ke arah Atun. "Kuat, mana mungkin tidak kuat." Pak Long dengan entengnya mengangkat tubuh Atun. "Kamarnya sebelah sana, Pak!" ucal Juli menunjukkan kamar Atun. "Cieee Kakek Long sama Bu Atun, cieee ... cieee," sorak Zayn dan Zahra. "Sssttt Zayn, Zahra, tidak boleh seperti itu." Yati menegur kedua buah hatinya, sedangkan Atun wajahnya merah padam. Juli, Rima dan Leni senyum-senyum tidak jelas lebih ke arah mengejek. Heh, awas ya kalian pembantu, setelah aku jadi Nyonya, akan ku usir kalian. "Sudah, sudah Pak. Turunkan saya, saya masih sanggup berjalan," ucap Atun seraya berontak agar terlepas dari gendongan Pak Long. "Tadi katanya ga sanggup jalan, padahal sudah serasi Pak Long dan Atun," ledek Juli."Ah, Atun ini shy shy cat," ucap Pak Long tersenyum genit ke arah Atun.Setelah itu Atun ja
Ibrahim masih berada di kantor, ia segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa segera pulang. Semenjak memiliki si kembar Zayn dan Zahra, Ibrahim pasti menyempatkan waktu bersama kedua buah hatinya, salah satunya dengan pulang lebih cepat agat bisa bermain bersama mereka. Saat Ibrahim sedang menganalisa laporan, ponselnya nya berbunyi, sebuah video masuk, hatinya bertanya, video apakah ini, jarang-jarang, ada yang mengirim video seperti ini. Jantung Ibrahim berdebar saat melihat video yang terkirim ke ponselnya wanita yang sangat dicintainya sedang dipeluk oleh pria, hati pria keturunan Pakistan Melayu ini merasa panas, tapi, dia mengenal betul istrinya, tidak mungkin Yati berbuat serendah itu, pasti ada fitnah di balik video ini. Ibrahim segera membereskan pekerjaannya dan pergi ke toko roti milik Yati. Saat Ibrahim sampai, ternyata sudah tutup, seperti dugaan Ibrahim tadi, tapi itu lebih baik, karena Ibrahim ingin mengecek cctv toko roti ini, Ibrahim mengambil kunci duplikat mil
"Lepaskan, Raka!" Yati mendorong pria bertubuh atletis itu dengan sekuat tenaga, Raka terjatuh, wajahnya kaget melihat sikap Yati yang begitu kasar. "Maaf Yati, aku tidak bermaksud jelek sama kamu, tidak ada niat jahat, aku cuma ingin menenangkan kamu," ucap Raka lembut. "Raka, sebaiknya pergi dari sini, engkau telah menyampaikan semua pesan kamu, itu sudah cukup, sekarang pergilah, aku sudah bersuami, pantang bagiku disentuh oleh pria lain, apalagi pria asing seperti kamu, pergilah Raka," ucap Yati tegas. "Baik, tapi boleh kita berjum--" "Tidak, tidak, tidak! Jangan lagi menampakkan diri di hadapan saya!" teriak Yati memotong ucapan Arjuna. "Cik Yati, ada masalah?" ucap Eva salah satu pegawai Yati, yang berlari keluar setelah melihat Yati bertikai dengan seorang pria. "Tidak ada masalah Eva, sebaiknya kita mulai kerja, sebentar lagi pasti banyak pelanggan yang ingin membeli cake kita." ujar Yati pada pegawainya tersebut. Raka menatap Yati dengan pandangan yang sulit diartikan