(Bukan) Istri Pilihan - MenyerahAuthor's POV Mungkin ini sudah garis takdir, Bu Mega harus tetap menjadi pilar penopang bagi Pak Bastian. Setelah disakiti sekian lama, pada akhirnya harus tetap bertahan menjadi bagian dari hidup laki-laki itu.Kalau menoleh ke belakang, sungguh sangat sakit rasanya. Namun bertahan demi anak-anak, demi para cucu juga. Agar bisa menjalani masa pensiun bersama-sama. Berbagi kebahagiaan di usia senja.Selama di Mekkah, Bu Mega muhasabah diri dengan semua peristiwa dalam hidupnya. Memohon petunjuk, haruskah tetap melanjutkan pernikahan atau tetap pada keputusan untuk berpisah.Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua jika benar-benar sudah menyadari kekeliruannya dan mau bertaubat dan menunjukkan penyesalan yang dalam. Jika ia berani menyuruh Anastasya untuk memaafkan Yoshi, kenapa dirinya sendiri tidak berani memberikan peluang sekali lagi pada suaminya untuk kembali."Maafkan papa, Ma.""Kita saling memaafkan, Pa. Kita juga nggak tahu sampai k
"Hallo, Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah apa sedang ke luar?""Aku di rumah. Ibu, sehat-sehat saja, kan?""Alhamdulillah, Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana? Tiga hari ini nggak nelepon ibu.""Kan aku sudah bilang kalau ada pekerjaan di luar, Bu. Signal susah di sana, apalagi kalau sedang hujan. Kenapa suara Ibu terdengar serak?" tanya Fauzi."Mungkin radang, Zi," jawab Bu Eri berbohong. Sebab tidak mungkin jujur kalau habis menangis dan menceritakan apa yang tadi dilihatnya. Malu mengungkapkan rasa cemburunya pada sang anak. Fauzi sendiri tidak akan bersimpati terhadap perasaan ibunya."Kapan kamu longgar?""Maksud, Ibu?""Ibu, ingin nyusul kamu.""Beneran?" Suara Fauzi menunjukkan rasa keterkejutan."Iya. Biar ibu nyusul sendiri saja. Nanti kamu nunggu ibu di Bandara Sepinggan. Ibu berani kok berangkat sendiri.""Jangan, Bu. Nanti kujemput. Aku juga ingin bertemu Pak Bastian. Karena jika ibu ikut aku, entah kapan lagi aku pulang ke Jawa. Makanya aku mau silatura
(Bukan) Istri Pilihan - Golongan Darah Author's POV "Bagaimana perkembangan Ayun, Mas?" tanya Anastasya malam itu. Ketika mereka sudah berbaring di ranjang."Alhamdulillah. Miss Dita bilang, Ayun sudah banyak berubah. Mas sudah membuktikannya tadi siang. Akhir pekan ini, dia minta dijemput dan mau menginap di sini.""Syukurlah kalau gitu. Kasihan kalau terus-terusan diracuni pikirannya.""Sayang, kamu nggak apa-apa kan? Kalau tiap akhir pekan, mungkin Ayunda akan kembali menginap di sini lagi seperti beberapa bulan yang lalu.""Nggak apa-apa. Apa pernah aku mempermasalahkan tentang Ayunda, Mas? Sejak aku bersedia menikah denganmu, aku juga sudah menyiapkan mental untuk menjadi ibu sambung bagi putrimu."Yoshi menatap lekat wajah ayu yang hanya berjarak beberapa senti di depannya. Kemudian mengecup pelan bibirnya. "Makasih, Sayang.""Mas, yang nganterin Ayunda pulang sekolah?""Nggak. Tadi dijemput sama Mayang.""Oh.""Ayun ikut mamanya, Mas langsung kembali ke kantor. Kami nggak ng
"Alhamdulillah, saya mendapatkan tempat yang nyaman. Hanya beberapa menit perjalanan dari bandara. Mau ke mall, ke pasar, atau ke pantai juga dekat.""Syukurlah.""Udah punya pacar belum, Mas?"Fauzi hanya tersengih mendengar pertanyaan adik angkatnya."Udah mau setengah tahun di sana, masa iya belum punya gebetan," ledek Anastasya. Senyum Fauzi makin lebar. Dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Waktunya di sana habis untuk mengurusi pekerjaan."Bawalah mobilmu. Bisa untuk transportasi di sana. Walaupun ada inventaris dari kantor, tapi lebih enak kalau pakai kendaraan sendiri."Fauzi menolak, tapi Pak Bastian memaksa. Anastasya juga tidak protes apa-apa. Mamanya juga tidak pernah membahas harta yang diberikan sang papa pada Bu Eri. Kedua kakaknya juga tidak mempermasalahkan. Fauzi akhirnya mengangguk."Mumpung kamu di sini. Segera urusi untuk pengirimannya.""Ya, Pa.""Jaga ibu baik-baik di sana. Papa minta maaf untuk semua kesalahan yang papa lakukan pada kalian.""Papa, ngg
(Bukan) Istri Pilihan - Tes DNA Author's POVYoshi tidak tenang. Perasaannya tak karuan. Pantaskah ia menanyakan tentang keraguannya pada dokter Bumi. Ini permasalahan yang sungguh sensitif bahkan sebuah aib. Tapi ia yakin, dokter itu tipe orang yang bisa dipercaya. Bu Nana yang cemas karena tidak boleh masuk melihat sang cucu, kini tambah kebingungan melihat sikap Yoshi. Wanita itu menghampiri putranya. "Yosh, kenapa masih duduk di sini. Kamu kan harus donor buat Ayun.""Golongan darah kami beda, Ma," jawab Yoshi pelan."Beda bagaimana? Sama Mayang juga nggak sama." Bu Nana heran."Golongan darah Pak Yoshi apa?" tanya dokter Bumi."AB, Dok.""Terus golongan darah istri, Pak Yoshi?""Dia mantan istri, bukan istri.""Oh, sorry. Golongan darah mantan Pak Yoshi apa?""A. Sedangkan golongan darah anak saya O."Dokter Bumi terdiam sejenak. Dia paham betul kalau bisa saja golongan darah anak itu berbeda dengan golongan darah kedua orang tuanya. Tapi kalau ayah dan ibu golongan darahnya A
Prinsipnya, ia tidak mempermasalahkan masa lalu wanita itu, makanya tidak mendengar penolakan orang tuanya ketika memutuskan menikahi Mayang. Yoshi tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun, jadi tidak tahu seperti apa yang ori dan pernah terpakai.Setelah bersama Anastasya, ia baru tahu bedanya. Walaupun begitu, ia masih terus peduli pada Mayang yang seolah teraniaya dengan pernikahan mereka. Ah Yoshi, pengacara macam apa kamu ini. Kenapa nggak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus. Mana serigala mana domba. Parah kau, Yosh."Kita rahasiakan dulu, Ma. Nggak perlu cerita ke siapapun sebelum aku melakukan tes DNA. Sekarang kita bersikap seperti biasanya saja," pinta Yoshi."Iya." Bu Nana mengangguk paham. Sikap bijaksana diperlukan sekarang ini supaya mempermudah menguak kebenaran.Pintu ruang IGD terbuka dan muncul ibunya Mayang dari sana. Wajahnya tampak suram, antara sedih dan geram. Wanita itu menghampiri Yoshi dan ibunya yang masih duduk di depan ruang ICU. Ruan
(Bukan) Istri Pilihan - Hasil Tes DNA Author's POV"Adek, mari duduk sini!" teriak Ayunda sambil menepuk space kosong di sebelahnya. Wajahnya sungguh ceria bisa bertemu lagi dengan adik lelakinya.Sedangkan Mayang merasakan lemas seluruh persendian. Jangankan untuk berdiri menyambut mereka, untuk tersenyum saja sudah tidak punya kekuatan. Sebab ia yakin, Yoshi pasti sudah punya pemikiran tentang kecurangannya. Hanya belum mengajaknya bicara saja. "Assalamu'alaikum," ucap Anastasya lantas menyalami Mayang yang berwajah pias. Wanita itu sama sekali tidak berani menatap Yoshi."Wa'alaikumsalam."Sementara Yoshi yang menggendong Yusa, meletakkan bayi usia enam bulan itu di sebelah kakaknya. Dan ia menunggui di sebelah brankar. Anastasya menaruh oleh-oleh di atas meja."Mbak, sendirian?" tanya Anastasya."Iya. Mama barusan pulang mau mandi.""Kapan Ayun boleh pulang?""Mungkin besok sudah boleh pulang.""Alhamdulillah."Mayang kemudian diam menunduk dan serba salah. Anastasya menghampi
cemburu yang pernah bersemayam. Bumi yang sangat baik ini tidak mungkin punya pemikiran untuk merebut hak milik pria lain. Anastasya juga tidak mungkin akan mengkhianatinya. Toh mereka pun tidak pernah bertemu sekarang ini."Belum ada rencana menikah dalam waktu dekat, Dok?" Yoshi bertanya to the point sekali."Jangan lupa undang saya. Pasti saya akan ajak istri dan anak-anak menghadiri pernikahan dokter di Jogja."Bumi tersenyum sambil mengunyah nasi. "Doakan saya, Pak Yosh. Semoga PDKT saya nggak ditolak.""Hmm, udah ada gebetan kalau gitu.""Saya kenal dia belum lama. Baru sebulan sebenarnya. Cuman saya memang nggak ingin pacaran, kalau bisa langsung nikah. Usia saya sudah tiga puluh tiga tahun sekarang ini.""Cewek itu berprofesi dokter juga?""Ya. Dokter umum yang sekarang mengambil spesialis anak.""Cewek Surabaya?""Bukan. Dari Jogja juga.""Hmm, kebetulan sekali. Sama-sama dari Jogja. Kenal di mana?""Kenalnya waktu dia main di sebelah kosan saya. Kebetulan saya juga kenal bai
Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak
(Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny
Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t
(Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah
"Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un
(Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam
Sambil nyetir, Agung memperhatikan Lidia yang ketiduran bersandar pada jok. Wanita itu tidak bisa menahan kantuknya. Terbesit pula pikiran konyol ingin membawa Lidia pulang saja ke rumah mereka. Sampai mobil berhenti di depan pagar rumah, Lidia tidak terbangun. Akhirnya Agung pun bersedekap dan memejam, karena sudah ngantuk berat. Keduanya sama-sama tertidur hingga azan subuh berkumandang. Lidia yang terbangun lebih dulu, kaget dengan posisinya yang ternyata masih di dalam mobil. Di sebelahnya Agung masih lelap. Kenapa ia tidak dibangunkan ketika mereka sampai?"Mas." Lidia mengguncang pelan lengan mantannya.Dua kali panggilan, Agung membuka mata. Laki-laki itu menegakkan duduknya."Sudah subuh. Kenapa tadi malam mas nggak bangunin aku?""Kamu pules banget tidurnya."Lidia mengambil ponsel dari dalam tas, kemudian menelepon salah satu ART supaya membuka pintu pagar. Tak lama pintu pagar terbuka perlahan secara otomatis."Mas, aku turun dulu, ya. Hati-hati kalau nyetir," pesan Lidia
(Bukan) Istri Pilihan - Menikahlah Denganku Author's POVSuasana bahagia di restoran hotel sejam yang lalu berubah menjadi ketegangan di bangsal rumah sakit. Di akhir acara, Anastasya membisiki sang suami kalau perutnya terasa mulas tak tertahankan. Tanpa banyak bicara, Yoshi pamitan membawa Anastasya ke rumah sakit dan semua keluarga mengikuti. Sampai di rumah sakit sudah bukaan dua ketika diperiksa oleh bidan yang berjaga. Pak Bastian, Deny, Sinta, membawa anak-anak pulang. Sedangkan yang tinggal di rumah sakit, Yoshi, Bu Mega, Lidia, dan Agung. Jarak setengah jam kemudian Bu Nana dan Pak Yudi datang.Yoshi gelisah menemani Anastasya yang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Ia ingat saat sang istri melahirkan anak pertama mereka waktu itu. Begitu menegangkan karena keadaan Anastasya yang sedang down. Malah sempat berwasiat pula pada kakaknya yang nomer dua. Semoga kali ini tidak ada drama lagi. Sekarang ini Yoshi menyarankan cesar, tapi Anastasya memilih lahiran pervaginam.
Bu Mega meninggalkan ruangan putrinya. Dia tidak bisa memaksa Lidia harus mengubah keputusannya. Biar putri sulungnya itu membuat keputusan sendiri. Walaupun sebagai nenek, ia sangat kashian pada Lili. Sebab dulu ia bertahan dengan rasa sakit demi melihat anak-anaknya tetap memiliki keluarga yang utuh. Sosok ayah yang ada untuk mereka. Broken home efeknya sangat luar biasa untuk psikologi seorang anak.Setelah sang mama pergi, Lidia membuka map yang diletakkan asistennya di atas meja. Namun jujur saja, pikirannya tidak bisa berkonsentrasi. Adakalanya ia ingin bisa hidup seperti kedua adiknya atau wanita lain di luar sana. Lifestyle yang sangat balance dan no overwork. Tapi kesendirian membuatnya gila kerja untuk menghilangkan kesepian.Sepertinya dialah penerus jejak nasib mamanya. Karena perselingkuhan papanya, sejak awal Lidia sudah dipersiapkan sang mama untuk menjadi wanita kuat, tangguh, dan mandiri. Persis seperti masa muda sang mama. Hanya saja, mamanya hidup dalam keluarga tan