"Zelina, kenapa tidak bersama Vano, Sayang?" Zelina tersenyum lembut, lalu memeluk Sania pelan. "Vano tidak balas pesan aku, Tante. Jadinya aku ke sini sendiri." Sania bedecak, dia menuntun Zelina untuk duduk di sofa. "Anak Tante itu benar-benar, padahal ada acara keluaraga seperti ini. Bisa-bisanya dia acuh tak acuh, kebiasaan sekali memang. Nanti tante jewer kalau dia sudah datang." Zelina tertawa kecil. "Oh, iya. Tante, aku bawa brownies, kebetulan ada resep baru, jadi aku coba-coba deh." Sania berbinar kala melihat beberapa box brownies yang Zelina sodorkan."Astaga! Apa yang tidak kamu bisa lakukan, sih, Sayang? Mingggu depan kita masak bareng, yuk?" Seketika raut wajah Zelina berubah sendu, dia menatap Sania dengan pandangan bersalah. "Maaf, Tante. Untuk kedepannya aku ada pemotretan di luar kota. Atau gini aja, aku langsung ke sini setelah pulang. Bagaimana?" Bukannya menjawab, Sania justru memeluk Zelina erat. "Tidak apa-apa, Sayang. Bisa kapan-kapan. Andai Tante punya ana
Leana mengikuti langkah Elvano dalam diam, perempuan itu sama sekali tak membuka suara. Membuat Elvano sedikit bingung akan perubahan sikapnya. "Kamu langsung ke dalam saja, ada Mama sama Zelina. Saya menemui Papa dulu." Leana mengangguk singakat, lalu melangkah ke arah ruang tamu. "Mbak Leana!" Leana menoleh ke arah sumber suara, terlihat gadis cantik yang sedang tersenyum ke arahnya. "Maaf, kamu mengenal saya?" tanya Leana pelan. "Iya, Mbak, kebetulan Ibu ngasih tau kalau Mbak Leana akan datang ke sini." Leana terlihat masih bingung, membuat gadis cantik itu terkekeh pelan. "Saya Mera, anak dari Mbok Sumi" Leana terkesip, lalu menatap penampilan gadis muda di hadapannya. Tidak mungkin, bukan. Gadis manis ini bekerja di sini, dia terlihat masih remaja. "Maaf, saya tidak tahu," balas Leana canggung. "Tidak apa-apa, Mbak. Kita juga tidak pernah bertemu, karena waktu Mbak menikah saya sedang ujian sekolah." "Kamu kelas berapa?" tanya Leana refleks."Saya baru kelas sebelas, Mbak."
Setelah pembahasan mengenai anak saat mereka makan malam tadi, Leana menjadi lebih pendiam. "Jangan terlalu dipikirkan mengenai ucapan, Tante Denis,"kata Elvano pelan, "jika nanti kita kumpul keluarga lagi, dan kamu tetap diam tak membalas semua orang yang menyudutkanmu. Saya tidak akan membela kamu lagi." Leana terpaku, lalu menatap Elvano dengan tatapan tak terbaca."Hidup ini keras, Leana, Jika kamu tidak mampu berdiri di kaki kamu sendiri. Orang-orang akan dengan bebas menginjak harga dirimu." Elvano melanjutkan kalimatnya kala melihat Leana yang tetap bungkam."Terima kasih, Mas Elvano," Leana berujar lirih setelah lama terdiam, perempuan itu menghembuskan nafas pelan, dia tersenyum menatap Elvano yang sedang mengemudikan kendaraannya dengan tenang. "Terima kasih sudah membela saya malam ini, untuk kedepannya saya akan menghadapinya sendiri." Elvano mengangguk singkat. "Bagus, memang seharusnya seperti itu." Elvano membelokan mobilnya, dari kejauhan terlihat gerbang menjulang ti
Leana melangkahkan kakinya secara perlahan, suasana rumah tampak sepi. Maklum saja karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rapat yang dia duga hanya beberapa jam saja ternyata menyita banyak waktu, karena perdebatan yang sangat alot. Serta harus mendiskusikan berbagai hal, alhasil dia baru sampai rumah.Leana tersetak kaget kala melihat Elvano yang bersedekap dada di ujung tangga. "Maaf, saya kira bukan, Mas Elvano." Elvano terdiam, aura di sekelilingnya tampak mencekam, jangan lupakan ekspresi wajahnya yang tak bersahabat. "Pulang jam berapa ini, Leana?" Leana tertegun mendegar nada dingin itu. "Ja-jam sembilan, Mas," jawab Leana pelan, dia meremas tangannya pertanda gugup. "Bukankah saya pernah memberi tahu kamu mengenai peraturan di rumah ini, ingat Leana—jangan pernah melampaui batas," balas Elvano dengan raut dingin tak tersentuh. Setelahnya pria itu melenggang pergi, meninggalkan Leana yang masih terpaku. Padahal Elvano sendiri yang mengatakan jangan mencampuri u
Sepulangnya dari kantor, Leana dengan cepat menju ke rumahnya. Mengetuk pintu pelan, sembari menaruh barang-barang belanjaannya di depan pintu. "Kak Lea," ucap Arsen dan langsung memeluk singkat Kakak perempuannya itu. "Ayah sama ibu di dalam, 'kan?" Leana berujar lembut. "Ada Kak, Kebetulan lagi duduk di ruang tamu." Leana tersenyum singkat sebagai respon, tetapi atensinya terus mengamati wajah Arsen. Membuat lelaki remaja itu mengalihkan pandangannya. "Mata kamu sembab, kamu baik-baik aja?" tanya Leana seraya mengusap surai adiknya, sedangkan Arsen hanya mengangguk pelan. "Ayo Kak, udah ditunggu sama Ayah dan Ibu." Arsen mengambil tiga buah kantong plastik yang Leana bawa, lalu tangan yang satunya menuntun sang kakak ke dalam. "Lea, kamu sudah datang?" Bagus menghampiri putrinya dan mengecup singkat kening Leana. "Iya, Ayah." Leana mencium punggung tangan sang ayah, dan beralih mencium punggung tangan ibunya. Walaupun sempat ada penolakan dari wanita paruh baya itu. "Ayo du
Leana mengatur nafasnya perlahan, setelah menerima telepon dari Sania, perempuan itu bergegas pamit kepada keluarganya. Karena tak ingin membuat mama mertuanya semakin murka. "Bu Leana." Leana lagsung menoleh ke sumber suara, terlihat mbok Sumi yang sedang memegang bak kecil berisi air, yang Leana yankini bekas mengompres Elvano. "Malam, Mbok." Mbok Sumi tersenyum sebagai respon. "Bu Leana suka sekali lari -larian, apakah ada sesuatu yang urgent?" tanya mbok Sumi diselingi candaan ringan. "Mau cek keadaannya Mas Elvano, Mbok." Mbok Sumi terdiam sejenak, sebelum membuka suara. "Kebetulan ada Ibu Sania di kamar, Pak Elvano." Leana semakin meremas kedua tangannya. "Baik, Mbok. Saya ke atas dulu, ya." Mbok Sumi mengangguk ringan, lalu melangkah menuju dapur. Leana menghembuskan nafas berat, kali ini dia akan kembali menebalkan rasa sabarnya. Karena pasti Sania akan menyalahkannya. Terlepas dari rasa kesalnya yang masih menumpuk pada Elvano, dan mau seperti apapun Leana menjelaskan j
Pagi harinya, Leana beraktifitas seperti biasa. Karena ini hari minggu, perempuan itu sudah berada di dapur. Mempersiapkan sarapan untuk Elvano dan juga mama mertuanya. "Astaga, saya kira siapa!" Mbok Sumi memegang dadanya, dan Leana hanya tersenyum simpul melihat mbok Sumi serta beberapa asisten rumah tangganya."Pagi semuanya, maaf mengejutkan kalian. Untuk seharian ini saya yang akan menyiapkan menu makanan. Jadi, Mbok Sumi sama yang lainnya bisa kerjakan pekerjaan rumah yang lain." "Pagi, Bu Leana. Baik, Bu. Tetapi apakah tidak apa-apa?" Mbok Sumi kembali memastikan. Leana tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. "Kalau begitu kami permisi, Bu." Melihat anggukan singkat dari sang majikan, mbok Sumi serta beberapa asisiten rumah tangga yang lainnya langsung bergegas pergi. Sedangkan Leana kembali fokus pada hidangan yang dibuatanya. "Lagi apa?" "Eh!" Leana tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang punggunya, terlihat Elvano yang sedang bersedekap dengan wajah bantalnya
"Maksud Mas Elvano apa menanyakan hal seperti itu?" tanya Leana dengan wajah bersemu merah. "Jawab saja, Leana." Elvano menatap Leana serius. Mendengar nada tak sabaran dari pria di hadapannya itu, membuat Leana mengangguk malu. "Iya, Mas. Aku ... telat." "Saya keluar sebentar, kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!" Leana yang ingin bertanya langsung terdiam kala melihat Elvano sudah melangkah pergi.Leana yang masih bingung akan tingkah Elvano hanya mengangat bahu acuh tak acuh, lalu keluar dari kamar pria itu menuju kamarnya. Leana menguap, lalu merebahkan diri pada kasurnya. Aneh sekali memang, padahal masih pagi, dan tak biasanya dia seperti ini."Leana, Leana! Bangun, saya sudah bilang untuk jangan ke mana-mana." Leana yang melihat wajah panik Elvano menjadi terbangun. "Maaf, Mas. Saya mengantuk tadi," ucap perempuan itu serak. Padahal dia baru memejamkan mata, tapi Elvano langsung membangunkannya."Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu cepat pakai ini, jika kamu tidak bis
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan