“Permisi …! Ini ruangan rawat putra Pak Aldo?” Bagas mengetuk halus pintu ruangan, menekan handel dan mendorong halus daun pintu itu. Seorang wanita yang tengah menunggui sang pasien, sontak berbalik. Dia merasa seperti mengenal pemilik suara itu. “Iya ben ….” sahutnya dengan suara bergetar. Spontan kalimat itu menggantung begitu mendapati seorang pria yang sangat ia kenal. “Mas Bagas! Ka-kamu?” sergahnya tak percaya. Kedua netranya memicing, degup jantung di dalam dada berpacu tidak normal. Khawatir, gelisah mengaduk perasaan. “Rinay? Ini kamu?” Bagas melangkah masuk, memindai penampilan Rinay dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh indah ideal yang biasanya hanya berbalut kaos oblong lengan panjang dan dipadukan dengan rok lebar sepanjang tumit kaki, kini terlihat sangat berbeda saat mengenakan gaun indah meski sederhana sebatas lutut. Tubuh proporsional itu tampak makin seksi dengan dada yang kian membusung pengaruh hamil muda. Apalagi saat menatap wajah cantik tanpa
“Sayang, jujur, aku sangat rindu,” bisik Bagas sembari meremas penuh kerinduan bokong Rinay. Segera Rinay menepisnya dengan kasar. Betapa dia ingin berbuat lebih kasar, tetapi Deo masih belum lelap betul tidurnya. Dia tak ingin tidur Deo kembali terganggu. Wanita itu masih harus berjuang menahan sabar. “Kau juga pasti sudah sangat merindukaan permainan panas kita, bukan? Nanti malam aku datang, ya, Sayang! Tapi ingat satu hal, kita harus sembunyi-sembunyi untuk sementara ini. Tidak boleh ada yang tahu. Perlu kamu tahu, sebenarnya aku tidak mencintai Tatiana. Aku terpaksa menikahinya, Sayang! Kelak aku akan menjelaskan semua ini padamu.” Bagas berusaha merayu Rinay. “Percayalah, Sayang! Aku janji, pelan-pelan akan mencari cara untuk menceraikan Tatiana. Setelah itu, aku akan menikahimu secara sah. Kamu setuju kan, Sayang? Enggak apa-apa meski sekarang kamu bekerja sebagai babu dulu di sini, untuk menutupi hubungan kita. Aku janji akan menjadikanmu Nyonya nantinya, kamu mau, ya? K
“Pak Aldo, Bapak, maaf!” repleks Bagas melepas cengkraman dan kungkungannya di tubuh Rinay. Rinay mengibas-ngibaskan kedua pergelangan tangannya. Kebas, dan sedikit membiru. “Ada apa ini?” tanya Aldo sambil berjalan masuk. Netranya meneliti wajah putranya yang masih tertidur lelap di atas ranjang pasien. Pria itu meras sangta lega, putranya baik-baik saja. Lalu segera dia alihkan tatapan memindai wajah Bagas dan wajah Rinay secara bergantian. Netranya memicing seolah sedang mencari kejelasan. “Maaf, Pak Aldo, saya … saya ke sini hanya ingin menjenguk putra Bapak, tapi … pembantu Bapak ini bersikap tidak sopan pada saya. Itu sebab saya emosi, sekali lagi maaf, Pak!” Bagas menundukkan kepala di hadapan Aldo. “Sebentar, wajah Anda, sepertinya tidak asing, Anda … Anda … bukankah Anda menantu Om Hendrawan? Suami Tatiana?” Aldo mengernyitkan kening. “I-iya, Pak Aldo. Saya Bagas, Bagaskara. Suami Tatiana. Terima kasih masih ingat pada saya.” Aldo tersenyum lebar, merasa bangga kare
“Apanya yang tidak mungkin, Pak?” selidik Aldo sengaja membuat Bagas makin tersudut. “Em, ini, perempuan ini, kan, cuma babu. Masa iya, dia calon istri seorang pengusaha property nomor satu seperti Anda? Ah, Pak Aldo pasti bercanda …! Ini pasti hanya canda, kan, Ah, Pak Aldo … bisa aja candanya! Bisa membuat orang spot jantung ini namanya. Hehehe ….” tawa dibuat-buat itu tak mengurangi ketegangan di wajah Bagas. “Saya tidak bercanda! Bahkan sekarang saya sedang ingin membicarakan tanggal lamaran dan resepsi pernikahan sebelum saya datangi orang tuanya di kampung nanti. Jadi, kalau Anda tidak keberatan, tolong tinggalkan kami!” tegas Aldo lugas. “Oh!” Bagas tercekat. Kedua cahaya netranya meredup. Masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Rasa takut kehilangan Rinay mulai mengaduk perasaan. Haruskah dia katakan sekarang kepada Aldo kalau Rinay adalah istri sirinya? “Tunggu apa lagi, Pak Bagas? Haruskah saya meminta bodyguard saya untuk menunjukkan jalan keluar buat Anda!” Al
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aldo saat Rinay sudah keluar dari toilet. Netranya memindai wajah wanita itu. “Saya baik, Pak. Maaf, saya sempat membuat masalah. Maaf juga karena saya telah lancang mengaku kalau saya adalah ….” Kalimat Rinay terjeda. Wajah pucatnya menunduk dalam. Ketakutan kembali mendera. Kedua mata sayunya menekuri lantai. “Kenapa kau mengaku sebagai calon istriku?” Aldo melanjutkan kalimat Rinay. “I-iya, saya lancang, Pak. Maaf!” Rinay terbata-bata. “Saya tidak bilang kamu lancang! Saya hanya bertanya, kenapa kau mengaku seperti itu?” Suara Aldo meninggi, dia memang typekal orang yang tak bisa bertele-tele. Emosinya bisa tersulut kalau disuruh berpikir apalagi menerka nerka. “Sa-saya terpaksa, Pak. Soalnya dia … dia … dia mau ngusir saya dari ruangan ini. Katanya saya enggak pantas. Jadi, saya nekat aja bilang kalau saya calon istri Bapak,” terang Rinay masih terbata-bata. “Lalu, kenapa dia mau menampar kamu?” cecar Aldo lagi makin membuat Rinay gugup. “Itu
“Ya, kenapa ada Tatiana? Heri, putar balik!” perintah Aldo mengagetkan Rinay dan sang supir. “Kenapa Pak Aldo seolah paham kalau aku tak ingin bertemu Tatiana?” batin Rinay bertanya-tanya. Namun, dia bersyukur, kali ini dia lepas lagi dari pergokan Tatiana. “Putar balik, ini, Pak?” tanya Heri, sang supir kebingungan. “Iya, putar balik!” Mobil itu segera berputar arah dengan pelan. Tatiana dan Reni yang sudah menyambut di teras depan melongo kebingungan. Tatiana bahkan langsung mengejar ke halaman. “Tunggu! Mas! Mas Aldo!” teriaknya seraya mengetuk-ngetuk jendela samping kanan, tepat di sebelah Aldo. Heri menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Repleks Rinay menoleh ke samping kiri. Berharap Tatiana tak melihat wajahnya dengan jelas. “Kenapa kalian gak jadi turun, mau ke mana lagi, Mas?” tanya Tatiana, saat kaca jendela mobil diturunkn sedikit oleh Aldo. “Ada yang ketinggalan, maaf, kami buru buru! Heri, jalan!” jawab Aldo dan langsung memberi perintah kepda Heri. “Kenapa ka
Mobil melaju perlahan, jalanan desa yang berlubang dan banyak air tergenang karena musim hujan, membuat Heri harus mengemudikan mobil dengan hati hati. “Eeeemmmh .…” Rinay menggeliat. Kedua matanya mengerjab. Mobil yang berguncang karena jalanan berlubang membuatnya terjaga. “Eh, aku ketiduran. Den Deo di mana?” tanyanya panik seraya menoleh ke samping. “Oh … dia sama Bapak? Maaf, saya benar-benar teledor, Pak,” ucapnya merasa bersalah. “Tidak apa-apa, kamu kurang tidur selama berjaga di rumah sakit!” Aldo menenangkan hatinya. “Sini Den Deonya, Pak!” kata Rinay meraih tubuh Deo kembali. “Tidak usah, biar saya gendong saja!” Rinay mengangguk. “Bentar lagi kita sampai di makam Mama. Setelah dari makam Mama, kita ke rumah nenek dan kakek. Pasti mereka senang sekali bertemu kamu.” Aldo berucap di dekat telinga Deo yang masih saja terlelap. Rinay menatap ayah dan anak itu dengan penuh haru. Seorang ayah yang membesarkan anaknya sendirian. Repleks dia merba perutnya. Terasa pe
Racauan itu semakin meyakinkan Aldo. Itu ciri khas Maya bila sudah meracau kala mereka bersama. Dulu, saat Maya masih ada. Ini tidak benar. Aku sudah gila! Ini tidak benar. Ini hanya halusinasiku! Tidak ada Maya di dalam sana! Tidak mungkin ada! Aldo tiba-tiba berjalan cepat ke arah pintu masuk rumah, menggenggam handel pintu dengan kencang, lalu sekali sentak, dia dorong dengan kuat. Nanar, Aldo terbelalak kaget. Netranya menemukan pemandangan yang teramat menyakitkan di sofa panjang, di ruang tamu rumah panggung itu. Sepasang manusia tak berbusana sedang menyatu dengan begitu eratnya. Nuansa asmara membalut keduanya. “Maya …,” lirih Aldo menyebut nama itu. Lututnya tiba-tiba lemas, dia terduduk di lantai papan berlapis karpet rumah itu. “Mas!” Perempuan di sofa panjang repleks mendorong kasar dada pria yang masih menindihnya. Kaget, membuat pria pasangannya itu mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Untung si perempuan masih memiliki kesadaran. Meski kaget setengah mati
*****“Rindi … Rin … Rindi ….” Rinay memanggil. Bocah dua tahun itu tak ada di kamarnya. Harusnya dia tidur siang di jam seperti ini. Di kamar anak-anak hanya ada Deo sedang tertidur pulas.“Ning, Rindi mana?” teriak Rinay sambil berjalan menuju dapur.“Enggak ada di kamarnya, ya, Bu? Palingan main di halaman depan, seperti biasa,” jawab Ningrung sambil mencuci piring di samping meja kompor.“Loh, kan ini jam tidur siang anak-anak, Ning? Kenapa dibiarin main?”“Non Rindi selalu terbangun di jam seperti ini, Bu! Dia udah kenyang tidur siang, kok!”“Terus, dia main sendiri di halaman depan, begitu? Enggak ada yang mengawasi?”“Biasanya juga enggak lama, Bu. Bentar lagi juga balik. Dia marah kalau saya ikutin. Katanya dia mau main sendiri. Lagian di depan kan ada penjaga dan satpam.”“Lain kali, tolong jangan biarkan anak anak main sendiri! Meskipun ada penjaga di depan!”“Baik, Bu! Saya akan susul Non Rindi!”“Enggak usah, biar saya susulin sendiri!”***“Ooom …. Oooom …!” Seorang
*****“Bapak … saya … saya tidak percaya ini?” lirih Rinay kembali menundukkan wajah basahnya.Aldo kembali meraih dagu wanita itu, membawanya tengadah, lalu mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas keduanya saling menerpa wajah masing masing. Betapa Rinay ingin menunduk, namun tak bisa lagi karena Aldo menahannya.Tak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata, saat wajah Aldo kian mendekat, hingga tak ada lagi jarak. Sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Sentuhan paling lembut yang pernah dia terima. Bahkan Bagas tak pernah seperti ini caranya. Sentuhan sang manta suami selama ini teramat brutal, selalu membabi buta mengacak acak setiap senti kulit wajahnya.“Aku mencintaimu, Rinay! Tolong terima aku dan anakku! Kumohon,” pinta Aldo berbisik lembut di dekat telinganya.Tak ada penolakan, tak ada gelengan kepala. Namun, Rinay juga tak sanggup meski sekedar untuk mengangguk. Aldo telah menyatukan mulut dan bibir mereka.Wanita yang tengah hamil tiga belas mingg
*****Aldo pulang lebih awal sore ini. Keputusan Hendrawan yang akan memecat Bagas dan memaksa pria itu menceraikan Tatiana sangat mengganggu pikirannya. Bagas pasti akan marah dan bis saja melampiaskannya kepada Rinay. Tatiana juga sama. Dengan status jandanya dia pasti akan datang mengacau kehidupan Aldo selanjutnya. Semua itu akan berdampak pada Rinay. Wanita itulah yang akan menjadi sasaran mereka selanjutnya.“Rinay di mana?” tanyanya begitu memasuki rumah, Bik Yuni yang menyambutnya.“Di kamar Den Deo, Pak,” jawab Bik Yuni seraya meraih tas kerja sang majikan.“Ya, saya akan langsung menemuinya!” Aldo menuju tangga. Itu membuat Bik Yuni gelisah.“Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” pamit seraya berjalan cepat menapaki anak tangga. Sikapnya yang gelisah dan buru-buru sempat membuat Aldo curiga, namun dia urung menegurnya. Dengan langkah tenang dia mengikuti Bik Yuni. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar putranya.“Nay …! Bangun! Bapak Datang! Nay …! Nanti Bapak marah, kalau nge
“Anda … pasti berbohong!” Hendrawan menatap Aldo dengan tajam.“Saya tidak bohong, sebenarnya saya tak ingin mengatakan hal ini kepada Om. Saya berharap Om akan mengetahui sendiri nanti, tapi tidak dari mulut saya. Nyatanya Om membuat saya emosi. Maaf, Om harus mendengar informai tak enak ini,” tutur Aldo dengan nada rendah. Betapa dia khawatir sekarang, dia takut Hendrawan kenapa-napa.“Jadi, perempuan kampung itu ada di kota ini? Peremupan licik, murahan, tak tau malu! Buat apa dia mengejar Bagas ke sini? Baik, aku akan mengembalikannya ke kampung sana dengan caraku! Tapi, kenapa Bagas dan Tatiana merahasiakan ini dariku?” Hendrawan yang awalnya emosi, berubah sayu. Dengan tatapan menerawang dia lalu mendesah berat.“Om mengenal Rinay?” tanya Aldo kebingungan.“Bagaimana dia bisa hamil, bukankah Bagas sudah menalak dia begitu proyek irigasi itu selesai waktu itu? Lalu, Bagas meninggalkannya di kampung sana. Bagas juga berjanji tak akan pernah tidur dengan perempuan itu. Tapi, ke
“Masuk, Om!” sapa Aldo langsung bangkit dan keluar dari mejanya. Pria itu berjalan menyongsong Hendrawan.“Apa kabar, Om?” tanya Aldo lalu mengulurkan tangan hendak menyalam pria yang sebaya dengan papanya itu. Namun, tangannya mengambang di udara. Hendrawan tak mau menerima uluran tangannya.“Nih, Lihat!” Hendrawan melemparkan dua lembar kertas foto di lantai, tepat di kaki Aldo.“Ini hasil perbuatan Anda, bukan? Anda puas?” bentaknya menunjuk wajah Aldo.“I-ini, ini apa, Om?” Aldo terkejut. Pelan dia berjongkok, lalu meraih kedua foto itu. Gambar sebuah mobil yang sudah remuk terlihat di foto itu. Sesaat Aldo berfikir dn mencoba mengingat, dia seperti mengenal mobil itu. Tetapi lupa, di mana dan mobil siapa.“Oh, ini … mobil Pak Bagas. Ya, saya ingat sekarang, ini mobil Pak Bagas,” ucap Aldo kemudian. Kini dia paham, apa maksud kedatangan Hendrawan. Pasti untuk menuntut dirinya, karena anak buah Aldo yang telah menghancurkan mobil itu.“Apa maksud Anda melakukan ini, Pak
“Lepaskan saya, Pak?” kata Rinay setelah semua penyerang bar-bar itu diusir paksa oleh anggota Aldo.“Oh, iya, maaf! Kamu baik-baik saja?” Aldo spontan melepas pelukannya.“Hem, terima kasih. Untung Bapak datang, dari tadi saya mengetuk pintu kamar, tapi Bapak tidak bukakan,” lirih Rinay mengusap pergelangan tanganya yang memar karena bekas cekalan paman Maya tadi.“Aku tidak mendengar, bukan tidak mau membukakan. Aku terbangun justru karena mendengar tangis Deo. Astaga, itu artinya Deo yang menyelamatkanmu, Rinay!” Aldo bagai tersadar.“Begitukah? Bapak terbangun karena mendnegar tangisnya, itu artinya ikatan batin di antar kalian begitu kuat, Pak.”“Sepertinya dia sengaja membangunkanku, karena pengasuh yang sangat dia sayangi dalam bahaya.”“Oh.”“Hem. Kamu mungkin tidak sadar, ikatan batin justru terjalin antara kau dan Deo. Bukan dengan Maya.” Aldo menatap Rinay dengan lekat.Rinay menunduk. “Maaf, saya pamit ke kamar Den Deo. Permisi, Pak!” pamitnya merasa jengah.“Ya, Bik Yuni
“Permisi, Pak, maaf, Bapak udah bangun kah?” ulang Rinay mengetuk pintu dengan lebih keras. Dadanya berdebaran, menanti reaksi dari sang majikan. Dia juga mencoba menajamkan pendengaran, berharap ada gerakan dari dalam yang mendekat ke arah pintu kamar.“Hem, sepertinya Pak Aldo masih lelap banget, Nay! Bagaimana ini, ya, tamu dari kampung itu sudah tak sabar.“ Bik Yuni makin gelisah.“Lalu, aku harus bagaimana, Bik? Kalau aku turun, aku takut mereka mengeroyok aku. Kalau aku enggak hamil, aku enggak takut. Tapi, kalau hamil begini, aku takut mereka menyakiti perutku.” Rinay tak kalah.“Eh, ini orangnya, Paman! Ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Seret dia keluar dari rumah ini, Paman!”Rinay dan Bik Yuni terperanjat kaget. Maya tiba-tiba sudah berdiri di ujung tangga. Tiga orang pria dewasa mendampinginya. Mereka menatap Rinay penuh kebencian dan amarah yang berkobar.“Seret PELAKOR itu Paman! Campakkan saja ke bawah tangga itu!” perintah Maya menunjuk Rinay.Ketiga pria i
“Kamu …!” Aldo berdiri kaku melihat Maya di kamar utama. Netranya membulat sempurna. Sedikitpun tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Tangannya meraba di kening, memijit dengan kencang. Sakit karena kantuk belum hilaang dengan sempurna. Sakit karena hasrat sempat melanda, namun tak tuntas pelampiasannya.“Mas, masuklah! Kenapa mematung di situ? Deo sudah tak bersuara, kan? Dia sudah tenang. Kita lanjutkan permainan, ya? Msih tanggung yang tadi,” sambut Maya seraya mengukir senyum di bibirnya. Perempuan yang belum tak berbusana itu, masih menunggunya.“Kau …!” Aldo tercekat. Dia telan saliva dengan susah payah. Sedikitpun dia tak percaya apa yang Maya perbuat.“Sayang, masuk … sini!” kata Maya datang mendekat. Tubuh polosnya melangkah anggun di depan Aldo. Tubuh yang dulu sangat dikagumi oleh pria itu. Yang dia impi dan rindui setiap detik. Ciptakan dahaga namun tak pernah ada puas-puasnya. Bahkan teramat sering dia sengaja pulang dari kantor hanya untuk mengobati daha
“Nay, kenapa kamu turun? Udah selesai makannya?” Bik Yuni terkejut saat Rinay berjlan lemas ke arah dapur. Bik Yuni tengah membersihkan bekas memask bubur untuk Rinay tadi. Sementara Ningrum sudah masuk ke kamarnya.“Anu, Bik! Saya belum selesai makan sebenarnya. Baru juga beberapa sendok. Tapi, Bu Maya mengusir saya lagi.” Rinay menghenyakkan bokong di kursi kecil di dekat meja kompor.“Bu Maya? Dia naik lagi ke lantai atas?” Bik Yuni mengernyitkan dahinya dengan kencang.Bik Yuni tak habis pikir, kenapa sang Nyonya sebegitu bencinya kepada Rinay. Rinay salah apa, coba? Cemburu? Bukankah harusnya dia lebih cemburu kepada Ningrum? Jelas-jelas Ningrum masih gadis. Kenapa dia malah cemburu kepada Rinay?“Iya, Bik. Saya diusir. Saya tidak boleh tidur di kamar Den Deo. Bagaimana ini, ya? Bagaimana kalau tiba-tiba Den deo terbangun dan nyariin saya? Den Deo bisa mengamuk lagi. Pak Aldo bisa marah. Saya khawatir sekali, Bik.” Rinay meremas jari jemarinya sendiri. Mata cantik yang biasa b