Syifa tengah bersiap untuk pergi ke kampung halaman Furqon. Ingin menyatakan langsung pada kedua orang tua lelaki itu untuk membatalkan pernikahan yang akan terlaksana seminggu lagi.
"Bismillah, aku ikhlas untuk membatalkan pernikahan ini. Semoga ini yang terbaik. Ya Allah, mudahkanlah," monolog Syifa yang tengah mematut dirinya di cermin.
Hari ini adalah hari senin. Dan di hari ini pulalah, Syifa telah memiliki jadwal dengan dosen pembimbingnya untuk bimbingan skripsi. Namun, segera dia izin untuk membatalkannya dengan alasan sakit. Beruntung dosen itu menyetujuinya. Kediaman keluarga Wais Al-Furqon ialah di Pariaman. Dengan bermodalkan motor yang dia pinjam dari teman kosnya, Syifa akan menemui calon mertuanya. Melihat dengan jelas rumah megah yang ada di depannya, Syifa mendadak gugup. "Kok aku jadi gugup begini yah!" gumamnya pelan, lalu memegang dadanya. Di mana jantungnya berdegup begitu kencang.Memberanikan diri, Syifa pun menekan bel rumah tersebut. Tidak beberapa lama, Mansyur, security rumah tersebut membukakan gerbang untuknya. Tok! Tok! Tok! Syifa mengetuk pintu setinggi 2 meter itu dengan pelan. Tidak beberapa lama, Nani, ART di rumah itu membukakan pintu untuknya. Dengan senyuman lebarnya, Nani mempersilahkan calon istri tuan mudanya untuk masuk. "Tunggu sebentar ya non, saya panggilkan tuan muda dulu." Nani hendak pergi, tetapi ditahan Syifa. "Jangan panggil bang Furqon. Tolong panggilkan tante Gusnita sama om Arman saja, saya ada keperluan sama tante dan om saja," jelas Syifa kikuk. Nani mengangguk pelan, lalu menuju kamar kedua majikannya. Sedangkan Syifa, dengan gugup duduk di sofa di ruang tersebut, sembari menunggu kedatangan kedua calon mertuanya yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan calon mertuanya.Sementara itu, sepulang dari mesjid melaksanakan sholat subuh, Furqon tidak banyak melakukan aktivitas seperti biasanya. Dia yang semenjak kembali tinggal di kota Pariaman, setiap pagi selalu joging keliling kompleks perumahannya, tetapi sekarang dia hanya diam di kamarnya. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Aku nggak mau ayah sama bunda tahu masalah aku dengan Syifa," ucapnya. Furqon pun memilih keluar kamar, dan dia melihat bi Nani, tengah berjalan ke arah kamar kedua orang tuanya. "Bibi cari ayah sama bunda?" tanyanya kemudian. "Iya tuan, ada non Syifa di depan cariin tuan besar dan nyonya," jelas bi Nani. Furqon pun mencegah bi Nani untuk memanggil orang tuanya, dan meminta wanita berusia 40 tahunan itu kembali ke dapur setelah menawarkan diri untuk dirinya saja yang memanggilkan kedua orang tuanya."Syifa," panggil Furqon yang telah berada di ruang tamu. "Kenapa kamu yang kemari, saya nggak ada urusan dengan anda," tegas Syifa yang bahkan telah muak melihat wajah lelaki itu. Furqon duduk di samping Syifa, tetapi gadis itu mengelak dan menjauh dari lelaki itu. Sekali lagi, Furqon mendekat, dan Syifa menjauh. Setelah beberapa kali seperti itu, Syifa pun risih dan menoleh pada seniornya itu. "Kamu ngapain sih, mana tante sama om. Saya ada urusan dengan mereka, bukan dengan kamu," ucap Syifa dengan sedikit meninggi. "Syif, kamu serius ingin membatalkan pernikahan kita?" Furqon mengalihkan topik pembicaraan. "Ya, aku serius dan sekarang mana orang tua kamu. Saya akan bicara pada mereka tentang pembatalan ini," jawabnya tegas.Furqon tersenyum sinis. Dia pun menatap manik mata Syifa yang terus mengalihkan pandangan darinya. "Kalau kamu siap membatalkan pernikahan ini, maka kamu harus siap untuk kedamaian di panti asuhan kamu," ucap Furqon singkat tetapi sukses membuat Syifa melihat dirinya. "Maksud kamu apa?" tanya Syifa dengan sedikit khawatir. "Kamu tahu kan kalau saya adalah donatur tetap di panti asuhan dharma jiwa." Syifa mengangguk. "Andai kamu batalkan pernikahan ini, bunda dan ayah akan sangat malu dengan ulah kamu. Dan asal kamu tahu, andai itu terjadi ayah saya pasti akan berhenti menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat kamu tinggal. Dan otomatis pendidikan kamu dan beberapa anak panti lainnya juga akan berhenti setelah ini. Artinya beasiswa kamu akan dicabut," tegas Furqon yang penuh ancaman.Syifa terdiam beberapa saat. Benar apa yang diucapkan oleh Furqon, keluarga Arman adalah donatur terbesar di panti asuhan tempat dia dibesarkan saat ini. Bahkan, karena sumbangan dari merekalah dia tetap bisa mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.Furqon tersenyum sinis, dia terpaksa bersikap sedikit kejam kepada Syifa demi menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak mungkin juga keluarganya akan berhenti memberikan dana pada panti asuhan tersebut, terutama sang bunda. Karena ibunya dahulu merupakan salah satu anak yatim piatu yang juga dibesarkan di sana, hingga bisa merasakan pendidikan ke perguruan tinggi. "Bagaimana, Syif? Masih berniat untuk membatalkan pernikahan ini?"Syifa menelan salivanya susah payah. Kepalanya yang semula tertunduk, perlahan terangkat. Dia pun menatap manik Furqon yang tersenyum lebar padanya. Yang membuat mentalnya menciut seketika."Loh Syifa," sapa Gusnita yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan Arman yang mengekor di belakangnya. Syifa menoleh pada sumber suara. Jantungnya berdegup kencang melihat dua orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. "Tumben pagi begini kamu main ke sini?" Wanita yang berusia 55 tahun itu tersenyum lebar mendapati calon menantunya berada di rumahnya pagi itu. Syifa yang tidak lagi bisa berkata apa-apa setelah mendengar ancaman Furqon, hanya membalas wanita itu dengan senyuman canggung."Iya, Bun. Pengen main ke sini aja. Bunda apa kabar?" tanya Syifa sedikit kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah menyalami kedua calon mertuanya. Syifa mendadak salah tingkah. Niatnya untuk membatalkan pernikahan, seketika harus terhalang mendengar ancaman dari Furqon, calon suaminya sendiri."Alhamdulillah, bunda baik. Ayo ke belakang, kita sarapan dulu yuk sayang. Kamu tadi berangkat ke sini pasti belum makan kan!" Tanpa jawaban dari Syifa, Gusnita menarik pela
Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat
"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem
Arsyil masih betah di dalam mobilnya yang terparkir rapi di parkiran gedung. Dia memainkan ponselnya, melihat foto-fotonya bersama Syifa ketika mereka masih bernaung di organisasi yang sama. Senyum mengembang di wajah tampan itu. "Aku bodoh ya, Syif. Kenapa bukan aku yang nikahi kamu? Kenapa harus aku serahkan kamu pada Furqon," ucapnya pada layar ponsel yang menampakkan foto Syifa yang tersenyum lebar."Arggh, lama-lama bisa gila aku." Arsyil mengacak kepalanya. "Hah, sebaiknya ngopi dulu deh." Arsyil pun hendak mengendarai mobilnya ke tempat tongkrongannya. Namun, sorot matanya mendapati dua pemuda yang berada dalam satu motor dan berboncengan mesra. "Furqon, Nada. Ngapain mereka?" Kening Arsyil berkerut, mengamati keduanya yang semakin tidak terlihat.Arsyil yang tahu mereka memang dekat semenjak di perkuliahan, pun hanya mendiamkan saja. Dia pun mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan.***Sesampainya di perpustakaan, Nada sengaja memperlambat Furqon dengan mengajaknya me
Syifa mengetuk pintu rumahnya, tidak lama, seorang ART membukakannya pintu. Dia tercengang mendapati Gusnita dan Arman tengah duduk di ruang tamu, beserta suaminya. "Baru pulang sayang?" ucap Gusnita yang langsung memeluk Syifa. "Iya, Bun. Loh, bunda sama ayah kapan datangnya? Kok Syifa tidak diberitahu sih!" tanyanya lalu duduk di samping sang suami.Furqon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia pun hanya tersenyum singkat pada sang istri yang berwajah masam padanya. "Bunda sama ayah kalian tipu yah. Katanya mau tinggal di rumah kontrakan dengan 2 kamar. Tapi, ini lihat," omel Gusnita lalu membawa menantu cantiknya duduk di sofa sebelahnya. Furqon kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu adalah sindiran untuknya, karena Syifa sendiri tidak tahu mereka akan tinggal di rumah luas dan megah seperti ini. "Furqon, jadi setelah 3 bulan, kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan studi kamu? Terus balik lagi kan ke Padang?""Enggak, Bun. Furqon dan Syifa sudah memutuskan kalau Fu
Syifa menarik nafas panjang, lalu berbalik arah mengejar Nada. Dia pun berdiri tepat di depan seniornya itu. "Asal kakak tahu yah. Alasan apapun pernikahan aku dengan bang Furqon, itu bukan urusan kak Nada. Dan, satu hal lagi. Lebih beruntung aku dibanding kakak, kenapa? Karena walaupun hanya sebatas pelarian saja, tetapi bang Furqon tetap menikahi aku. Bukan seperti kak Nada, iya kan."Syifa mengeluarkan unek-unek di dalam dadanya. Tidak sanggup lagi menahan amarah yang tertahan. Apalagi mendengar kata istri pelarian, membuat pikirannya kembali ke masa di mana dia hancur dan terpuruk, menyesali keinginannya untuk menikah dengan lelaki yang dia cinta.Nada pun tidak kalah naik pitam, dia ingin membalas ucapan Syifa. Tetapi, keduanya segera di lerai oleh penjaga Pustaka. Hingga mereka pun harus mengakhiri sesi sindir menyindirnya.Nada berbelok menuruni tangga, dan memilih keluar dari gedung. Sementara Syifa tetap melanjutkan mencari buku referensinya. "Sial!! Kenapa juga aku harus k
Tidak lama berselang, ponsel Nayya kembali berbunyi."Astaghfirullah." Nayya seketika terkejut melihat panggilan masuk. Sang ibu ternyata menghubungi dirinya, ketika tahu ponsel Nayya telah aktif. Dengan berat hati, Nayya menjawab panggilan itu. ***Malam harinya, Nayya yang baru menyelesaikan agendanya di mesjid, lekas keluar setelah pamit pada ustadzah dan juga teman-teman nya. Dia gegas masuk ke dalam kamar dan mengurung diri di sana. "Ya Allah, kenapa ujian hamba begitu berat," ucapnya dan terduduk di lantai. "Andai ayah masih hidup, andai ayah masih ada di dunia ini, aku pasti tidak akan sesusah ini. Ya Allah, kenapa kau ambil ayahku? Kenapa bukan ibuku saja yang kau hilangkan dari bumi ini." Nayya meraung meratapi hidupnya. Siang tadi, ketika ponselnya yang telah lama dia non aktifkan, lantas mendapat panggilan dari sang ibu. Nayya kembali menyendiri, kembali menjadi gadis yang pendiam dan penuh beban.Nayya pun mengambil tas ranselnya, lalu keluar asrama untuk mencari usta
"Papi tahu itu. Obati segera trauma kamu tentang wanita, dan secepatnya bawa dia yang kamu inginkan untuk menjadi menantu kami. Biar papi yang akan bujuk Mami kamu untuk memberi kamu waktu," jawab sang ayah yang mengerti kondisi putranya. ***Malam semakin larut, Nayya terdiam di kamar rawatnya seorang diri. Malam ini, dia tidak lagi ditemani Zakwan."Ya Allah, aku harus ke mana setelah ini," ucapnya yang merasa bingung. Nayya yang besok sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah lebih membaik, meskipun kakinya masih sedikit luka yang belum terlalu sembuh. Merasa bingung untuk pulang ke mana. Jika Nayya memilih kembali ke rumahnya, dia tidak yakin jika ibunya akan menerima lagi kehadiran dirinya. Terlebih, dia pergi dari rumah secara diam-diam, demi menghindari perjodohan dengan lelaki tua pilihan sang ibu."Assalamu'alaikum," ucap Hisyam, membuyarkan lamunan Nayya.Gadis itu sedikit terkejut melihat kehadiran pria itu."Wa'alaykumussalam, Pak," jawabnya tertunduk. Nayya m
Gilang mengintip dari balik tirai jendela, memastikan keadaan di luar apakah sudah aman dan benar-benar tidak ada lagi Alan beserta anak buahnya. Dan merasa semua telah aman, Gilang pun memberi kode untuk mereka segera keluar dari rumah kecil itu. Clara dan Hermawan mengangguk, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari rumahnya sembari kepala yang terus menengok ke kiri dan kanan, berhati-hati dengan keadaan sekitarnya. "Ayo cepat!" titah Gilang dan terus melangkah ke arah simpang 3 di mana mobil hitamnya terparkir. Clara yang tidak tahu akan di bawa ke mana, hanya mengekor kedua lelaki di depannya. "Cepat, naik!" perintah Gilang lalu membukakan pintu untuk Clara dan Hermawan masuk, barulah dia duduk di bangku stir, memajukan kendaraannya segera. Clara clingak clinguk, memperhatikan keadaan sekitar, penasaran ke manakah dia di bawa oleh para penculik itu. Karena, dia tidak sadarkan diri ketika di bawa oleh mereka. "Mm, sebenarnya, kita mau ke mana?" tanya Clara kemudian. Gilang ya
Menarik nafas panjang, Syifa berusaha membesarkan hatinya untuk tetap baikan dengan Furqon. Dia tidak ingin, pertengkaran dalam rumah tangganya menjadi penyebab Viana, pelakor itu semakin mudah merusak pernikahannya. Membuka gagang pintu kamarnya pelan, Syifa melihat Furqon di ujung balkon tengah telponan. Dia yang semula hendak berbaikan dengan suaminya, justru sekarang mencurigai Furqon. "Siapa yang telponan dengan Bang Furqon? Kok sampai menjauh gitu?" pikir Syifa melangkah mendekat. Sadar ada langkah yang semakin mendekat, Furqon menoleh ke belakang. "Sayang," panggil Furqon dan tersenyum lebar. "Ri, besok lagi disambung pembicaraan kita. Oke." Furqon mematikan sambungan telponnya, melangkah dengan cepat ke arah Syifa dan memeluk istrinya. "Sayang, maafkan abang yah. Abang salah," ucap Furqon dengan terus mendekap Syifa. "Minta maaf untuk apa?" tanya Syifa memancing. Dia tahu suaminya pasti akan merasa bersalah karena dia mengambek tadi."Untuk semuanya, terutama karena Via
"Calon suami?" ulang Syifa. Keningnya berkerut mendengar Viana yang berucap demikian, ada rasa takut dalam dadanya ketika mendengar wanita itu bicara demikian. Takut jika suaminya akan kembali condong pada masa lalunya itu. Namun, Syifa lekas membuang pemikiran buruknya itu dan menatap kepada Viana yang juga menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa? Calon istri? Kamu calon istri Bang Furqon?" ulang Syifa, Viana mengangguk. Furqon hendak bicara, takut jika istrinya marah. Tetapi, Syifa justru memajukan langkahnya mendekati Viana. "Kamu hanya calon istri. Oh, bukan, bukan. Lebih tepatnya, mantan calon istri. Sedangkan aku, aku adalah istri sahnya. Kenalkan, aku Syifa, istri sahnya Bang Furqon," jelas Syifa tersenyum lebar. Mendadak Viana emosi melihatnya, dia berulang kali menatap wajah Furqon dan Syifa. Merasa jika istri dari lelaki yang dicintainya itu tidak terpancing olehnya, Viana pun juga tertawa. "Oh, istri. Tapi, jangan bangga dulu dong, walaupun kamu dijadikan istri oleh Fu
Furqon telah sampai di kampus. Syifa beruntung bertemu dengan profesor Akhdan, hingga dia yang tadinya berniat pulang dengan ojek online, ternyata suaminya sendiri yang menawarkan untuk menjemputnya. "Maaf sayang, lama ya nunggunya?" tanya Furqon ketika Syifa telah di dalam mobilnya. "Nggak kok, Bang, baru juga nunggu. Mm, bang, boleh nggak sekali-kali abang jemput Syifa pakai motor yang kemarin abang pakai untuk antar Kak Nada," ucap Syifa me request pada suaminya.Namun, Furqon merasa itu bagai sindiran. "Sayang nyindir yah?" Furqon menatap dingin istrinya. "Bukan, Bang. Syifa cuma pengen coba naik motor berdua dengan abang," jawab Syifa dengan tersenyum lebar. Furqon pun mengangguk paham. Dia merasa dirinya sedikit sensitif semenjak bertemu dengan Viana tadi. "Ya besok abang antar pakai motor yah." Syifa tersenyum senang mendengarnya. ***Viana berteriak ketika memasuki rumah kontrakannya. Dia membanting tas jinjingnya di sofa, lalu bersender, memejamkan mata. Air mata kemba
Furqon terkejut bukan main. Mengira Syifa yang datang untuk memberi kejutan padanya setelah kemarin hingga pagi tadi hanya ada perdebatan diantara mereka, dan berharap dengan kejutan ini mereka akan semakin mempererat tali cinta keduanya. Nyatanya, bukan sosok yang dia harapkan. "Viana, ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan nada tinggi. Furqon seketika memanas melihat wajah gadis yang telah menyakitinya, dan sudah dia buang jauh-jauh dari kehidupannya benih cintanya pada Syifa muncul. "Sstt, Furqon. Kamu kenapa marah gitu? Nggak senang dengan kedatangan aku ke sini," jawab Viana santai. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, betapa luas dan kerennya ruangan Furqon. Dia tidak menyangka, lelaki yang mencintai dirinya itu akan sekaya ini."Sekali lagi aku tanya, mau apa kamu datang ke sini? Aku tidak ada urusan dengan kamu, dan sekarang keluar," tegasnya. Viana merasakan sakit di hatinya ketika Furqon menolaknya dengan mentah. Akan tetapi, dia berusaha tersenyum, menyemb
Viana terdiam, terduduk di tempatnya. Air matanya tumpah ketika belati tajam kembali menggores hatinya. Panggilan yang tadi dia lakukan, berharap Furqon menjawabnya, nyatanya, istri lelaki itu yang menjawab. Pedih, sakit. Itu yang tengah dirasakannya. Viana membanting ponselnya, merasa frustasi dengan hidupnya. "Jahat kamu Furqon, jahat!" teriak Viana di rumah kontrakannya. Ya, Viana saat ini telah berada di Padang. Dia sudah mantap menyusul Furqon ke negeri asal lelaki itu, demi mewujudkan keinginannya untuk menikah dengannya. Dengan menyewa rumah, gadis itu berniat menetap di sana, melanjutkan kuliahnya di sana.Padahal, Sarah melarang keras keinginan anaknya untuk menetap ke Padang, dan melarang keras untuk tidak menjadi wanita yang merusak rumah tangga orang. Tetapi, Viana tidak mempedulikan hal itu, baginya, dia harus mendapatkan Furqon kembali. Viana pun melihat secarik kertas, di mana alamat Furqon tertera di sana. Dia berniat akan menyusul lelaki itu ke rumahnya. Kalau pe
Syifa terdiam setelah pasrah mendengar amukan Furqon. Dia terduduk di lantai balkon, menatap langit malam penuh bintang. Rasa sesak mulai menjalar di dadanya, bagaimana Furqon membentaknya.Sengaja Furqon menahan emosi untuk tidak melawan suaminya, mengingat Furqon tampak begitu lelah pulang kantor. Tetapi, dia rasanya juga tidak sanggup harus dikasari sedemikian pedas dengan kata-katanya.Menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Syifa bangkit dan berjalan menuju kamar. Dia hendak meluruskan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Arsyil."Abang," panggilnya melihat Furqon tengah sibuk berkutat dengan laptopnya."Saya sibuk sekarang. Jangan ganggu," jawabnya.Syifa pun menarik nafas lalu menoleh ke arah jam dinding di kamar itu.Melihat jam sudah tengah malam. Syifa pun pasrah, pasrah jika malam ini mereka masih dalam pemikiran masing-masing yang penuh dengan kesalahpahaman."Okey, bes