Udah satu minggu, Mila dan anak-anak belum pulang juga. Aku mulai kalang kabut. Kondisi rumah tanpa Mila sudah seperti kapal tanpa nahkoda. Padahal ada Riska, tapi sepertinya ia tak cakap untuk mengurus rumah. Rumah dibiarkan kotor berdebu, berantakan disana-sini, bahkan bekas tidur pun masih berantakan, selimut di bawah, sprei yang asal-asalan serta letak bantal yang tak beraturan. Baju kotor masih teronggok manis di keranjang baju kotor.
Aaarrrggh! Kerjanya ngapain aja sih dia, masa beresin rumah sendiri aja gak becus!
"Riska, kenapa baju gak dicuci-cuci. Itu udah numpuk lho, kotor, bau! Harusnya dicuci disetrika! Baju kantorku dah gak ada gantinya lagi kalau dibiarkan tanpa dicuci seperti itu, bisa jadi sarang tikus dan nyamuk!"
"Aku capek!" sahut Riska dengan enteng.
"Capek? Memangnya ngapain aja sampe capek begitu?"
"Tadi kan ada kuliah, Mas! Udahlah sini aku minta uang! Biar baju-baj
Tidak, ini tidak mungkin kan? Aku tak percaya ini.Dari mana ia mendapatkan uangnya? Nekat sekali Mila! Ini tidak akan kubiarkan! Aku harus ketemu dengan Mila dan membicarakan masalah ini. Aku tak ingin berpisah dengan Mila dan juga anak-anak."Mas, kamu mau kemana? Baru juga balik dah mau pergi lagi?" tegur Riska."Aku cari Mila dulu.""Hhhh, dia lagi dia lagi! Kapan sih kamu bosen ngurusin dia, Mas? Dia terus yang kamu pikirin!""Riska, kamu tahu ini apa? Ini surat panggilan sidang! Mila menggugatku cerai! Ini tak bisa dibiarkan, aku tak ingin kehilangan anak-anak.""Kenapa risau begitu mas? Kau kan akan punya anak dari aku.""Aku tahu, tapi dia belum lahir kan? Sudahlah, aku cari Mila dulu. Aku ingin bicara baik-baik dengannya. Aku pergi.'"Aku ikut, Mas.""Tidak usah, kau disini saja.""Lho kenapa Mas?
Sidang kedua, Mila datang ditemani oleh Denny serta pengacaranya. Pembacaan surat gugatan dibacakan oleh majelis hakim.Aku melihatnya dengan tatapan nanar, perempuan yang dulu membahagiakanku, sekarang justru balik menyerang seperti sayatan sembilu. Ia bergeming saat berpapasan denganku, seolah-olah dia tak mengenalku. Wajahnya begitu tenang, bahkan tak ada raut kesedihan secuil pun disana. Apakah hatinya sudah mati rasa?Patut diacungi jempol, Mila dan pengacaranya sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Dia benar-benar ingin berpisah denganku. Berkas-berkas, foto saat aku bermalam bersama Riska, lalu rekaman saat aku marah-marah pada Mila dan mengancamnya. Entah kenapa aku tak menyadari kalau Mila ternyata merekam pembicaraanku saat itu. Rupanya Mila sudah menyiapkan dari awal. Hingga aku tak bisa membantahnya lagi. Aku tak punya bukti kuat untuk menyanggahnya karena semua itu benar.Sidang ketiga, kembali dilanjutkan
Setelah mengatakan hal itu, aku pergi. Melajukan mobilku tak tentu arah. Sepanjang perjalanan hanya terlintas bayangan Mila dan anak-anak yang tengah tersenyum.Ah kenapa setelah kepergiannya, justru mereka begitu penting dalam hidupku.Tiiiinnn ... Tiiiiiiiiiiiiinnnn ....Suara klakson mobil dari belakang membuyarkan lamunanku. Ternyata lampu lalulintas sudah menyala warna hijau, mobil-mobil sudah mengantri di belakang.Memikirkan ini semua membuatku tak fokus. Hal ini benar-benar membuatku gila!Aku mampir di cafe, tempatku nongkrong seperti biasa, memesan makanan favorit. Tapi sayangnya, rasanya begitu hambar. Aku kehilangan selera makan.Beberapa kali ponselku berdering, panggilan dari Riska tapi aku tak menggubrisnya. Saat ini hatiku sedang kalut. Rasa benci dan kesal bercampur jadi satu.[Mas, kamu pergi kemana? Kenapa gak angkat teleponku? Pulang se
Pukul 14.00 WIBDisaat aku tengah sibuk bekerja, ponselku terus saja bergetar, kulihat empat panggilan tak terjawab dari ibu."Halo, ya Bu, ada apa? Aku lagi sibuk," ujarku malas."Haikal cepat pulang sekarang!""Tidak bisa, Bu. Aku lagi sibuk.""Cepat pulang, Haikal. Ini istrimu perutnya kesakitan.""Bu, aku minta tolong sama ibu. Ibu saja yang bawa Riska ke rumah sakit ya. Aku gak bisa ninggalin pekerjaan, Bu.""Duh, kamu gimana sih jadi suami! Harusnya siap siaga dong, istri lagi hamil kamu cuek begini!""Haish! Aku pulang juga percuma, gak bisa ngubah apa-apa, Bu. Aku kan bukan dokter. Ibu bawa aja Riska ke Rumah Sakit. Udah dulu ya, Bu. Aku tutup teleponnya.""Haikal, tunggu Haikal! Ibu belum selesai bicara. Istrimu gak mau pergi sama ibu, maunya sama kamu. Apa kamu gak bisa izin sebentar saja?""Gak
"Udah gak usah bawel, pokoknya bikinin aku makanan sekarang. Aku lapar. Jangan pesan online, aku ingin makan masakanmu," tukasku lagi. "Ya sudah, aku bikinin mie instan aja deh!" celetuknya kemudian berlalu ke belakang. Benar saja, yang ia hidangkan mie instan diatas meja. Apa boleh buat, akhirnya kusantap juga. Padahal aku lebih kangen masakan Mila, biarpun sederhana tapi dia pintar sekali mengolahnya. "Ris, mulai sekarang biasakan masak. Jangan beli terus. Kalau masak sendiri kan lebih hemat." "Hemat-hemat terus sih mas, itu mah namanya pelit!" "Kalau ada suami ngomong malah ngeyel!" "Iya, iya. Harusnya kamu juga ngertiin aku dong mas, aku kan lagi hamil. Aku kan ingin dimanja juga sama kamu." Jawabannya itu terus yang dijadikan alasan kemalasannya. * Aku tersenyum saat mengambil uang yang ada di ATM, syu
"Mbak, kau tidak apa-apa?" tanya Mas Denny membuyarkan lamunanku.Sekuat hati menahan rasa sakit dan penghinaan yang mereka torehkan. Aku menoleh, dan mengangguk pelan. Mas Denny tampak memandangku lekat Sedangkan anak-anakku dan Bu Wandi sudah masuk ke dalam saat Riska mengomel tak jelas padaku."Tarik nafas dalam-dalam, Mbak. Coba tenangkan hatimu dulu," ucapnya kemudian.Aku kembali terduduk di teras. Aku tahu tujuan Mas Denny dan Bu Wandi kesini adalah untuk mengambil pesanannya. Mas Denny memesan aneka aksesoris dengan ciri khas Indonesia, batik. Rencananya, ia akan mengadakan bazar dan pameran untuk memperkenalkan produknya serta hasil karya handmade dengan tema Cintai Produk Indonesia. Sementara Bu Wandi juga memesan beberapa aksesoris hijab untuk teman-teman arisannya."Nih minumlah dulu," ucap Mas Denny sembari menyodorkan sebotol air mineral. Ia membuka tutup botolnya lalu
"Oh, jadi kamu masih belain dia ya? Oke!! Awas saja! Jangan salahkan, kalau aku nekat!""Apa maksudmu, Ris?"Riska terdiam dengan sorot mata penuh kebencian.Haikal menghela nafasnya dalam-dalam. "Aku takkan biarkan kamu bertindak nekat, Ris. Sama saja kamu telah mempermalukanku di depan Mila. Terlebih ada laki-laki sok jagoan itu di sampingnya. Benar-benar memuakkan!" Haikal menggeram kesal. Sementara Riska masih bergeming. Kebenciannya terhadap Mila semakin memuncak.'Masa iya aku kalah sama wanita kampungan itu! Aku yakin anak-anaknya lah yang dijadikan tameng untuk kedekatan mereka kembali. Apalagi Mas Haikal terlihat masih mengharapkannya. Takkan kubiarkan dia berbuat lebih lanjut. Aku akan buat perhitungan. Tunggu saja.' Batin Riska mulai meracau sendiri.Riska membanting pintu kamarnya. Wanita itu merasa kesal dengan sang suami karena ia telah membela mantan istrinya itu dari
"Halo Assalamualaikum.""Waalaikum salam, Mas. Apa sudah ada kabar tentang si kembar?""Iya. Saya mau pergi ke tempat si kembar berada.""Benarkah?""Iya. Tadi saya dapat kabar dari asisten saya. Mereka disandera di Gudang pabrik kosong.""Apa mereka baik-baik saja?" Netra Mila mulai berkaca-kaca."Ya, saya akan menyusulmu sekarang dan sudah melaporkan kejadian ini ke polisi. Sebentar lagi pelaku sebenarnya akan segera tertangkap.""Alhamdulillah beneran kan, Mas?""Iya. Saya tutup dulu teleponnya dan segera ke rumahmu.""Terima kasih, Mas."Semalam, setelah mengantarkan makanan untuk Mila, Denny terus gencar mencari keberadaan si kembar. Ia menambah personel untuk misi pencarian ini. Bahkan dia sendiri pun berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga ia menemukan titik
Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe
Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama
Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"
Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 
Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c
Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.
Season 2 Part 26"Bundamu dulu wanita yang sangat kreatif. Bisa mengolah barang sampah menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Ayah salut padanya. Dia benar-benar wanita hebat dan mandiri, walau banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya, tapi buktinya ia mampu melewati ini semua," ucap ayah sembari mengenang bunda. Ia tampak berdecak kagum saat mengingat memorinya dulu.Aku tersenyum, menyetujui ucapan ayah. Bunda memang hebat.Ayah melihat-lihat sampai ke dalam dan memandang beberapa sertifikat yang terpajang di dinding. Beberapa sertifikat yang berhasil diraih oleh Bunda yang dinobatkan dalam UKM kreatif dalam bidang usaha dan perindustrian. Ada juga foto bunda yang tengah memegang hasil karya terbaiknya yang memenangkan lomba kreasi. Kulihat ayah memotret foto itu dengan ponselnya. Sekilas kupandangi wajah ayah yang menyimpan banyak kesedihan dan kerinduan yang begitu dalam."Ayah?" panggilku.Dia menoleh dan tersenyum. "Nak, a
Season 2 Part 25Aku merasa sangat bersyukur. Keluargaku kini telah kembali, merasakan kedamaian dan cinta kasih. Ayah Haikal, Kak Daffa, Tante Wulan dan juga aku.Kulihat dua orang lelaki itu saling menitikkan air mata. Pertemuan yang mengharukan, kenangan yang takkan bisa terlupakan. Tapi sayang semua momen penuh haru ini harus berakhir karena ayah di telepon oleh majikannya. Ya, memang sudah tiga hari ayah izin untuk menungguiku di Rumah Sakit.Hari-hari berlalu dengan baik. Kak Daffa dan istrinya menginap di rumah selama beberapa hari. Rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup kembali, apalagi si kecil Sekar sedang aktif-aktifnya. Kehadiran mereka mampu mengobati luka kehilangan bayiku."Suamimu benar-benar tega ya! Dia sama sekali tidak datang saat kamu sakit!" Kak Daffa meninggikan suaranya. Emosi mendengar perlakuan suamiku.Aku menghela nafas dalam-dalam. "Jangan sebut dia lagi Kak, aku muak mendengarnya.""Jadi kamu mau cerai?"
Season 2 Part 24_Aku menggedor pintu kontrakan cukup kencang. Setelah bersusah payah berjalan menahan rasa perih dan lara, akhirnya sampai juga di rumah kontrakan."Sandrina, buka pintunya ...!"Tak butuh waktu lama, Sandrina membukakan pintu. "Ya ampun Mas, kamu kenapa?"Aku disambut kekhawatirannya. Dia menutup kembali pintu dan menguncinya."Mas, kok kamu bisa babak belur begini?" tanya Sandrina. Dia membantuku melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu melepaskan kemeja."Aku dijegal rampok tadi di jalan, Sandrina," sahutku sembari memegangi bagian tubuh yang terasa begitu sakit dan ngilu."Semua uangku hilang, raib dirampas perampok. Untung saja ponselku dan dompet tidak ikut dibawa."Sandrina hanya menatapku iba. Dia berlalu ke dapur, mengambilkan air hangat lalu membersihkan luka di wajahku."Memangnya tadi kamu jalan sendirian, Mas?""Ya. Kupikir akan lebih efektif kalau mengambil mobil di caf