Setelah dirasa kakinya baik-baik saja. Intan memilih untuk masuk kekamar, sungguh hari sangat melelahkan untuknya, bagaimana tidak? Seharian dia harus keliling untuk mencari pekerjaan. Intan seorang lulusan sarjana Akuntansi justru sulit mendapatkan pekerjaan dikota kelahirannya. Sedangkan dikota lain, Intan bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan itu.
"Ya, Allah. Mengapa sesulit ini mencari pekerjaan disini," lirih Intan dalam hatinya.
Intan menyesal. Seandainya saja dia tak pernah menuruti egonya, maka saat ini dia masih bekerja di kota dengan gaji yang tetap.
"Aku tidak boleh lemah, aku harus kuat! Demi Ayah dan Bunda, aku harus kuat! Ini semua belum berakhir," ujar Intan mantap meyakinkan dirinya sendiri.
Dia mengambil ponselnya dan mulai mencari info lowongan kerja disana, tapi sampai tengah malam belum ada satupun lowongan yang menarik minatnya. Dia meletakkan gawai nya dengan asal, dia mencoba memejamkan matanya, tapi tak bisa.
"Aaarrgggghhhh!"
Intan berteriak dengan kesal, untung saja Ayah dan Bundanya masih di bawah, jika tidak mereka akan mendengar teriakan Intan. Intan kembali mengambil ponselnya, kali ini dia tak akan menyerah, dia berjanji akan mendapatkan pekerjaan kembali.
*******
"Kalau kerja itu yang benar! Tuh, lihat! Lantai nya basah seperti itu. Kau sengaja, ingin membuatku jatuh, iya? Agar kau bisa menggantikan posisiku sebagai Nyonya Dirgantara," omel Aida pada Asisten rumah tangga nya.
Sari-- Asisten rumah tangga Aida, yang kini berusia 24 tahun itu, hanya diam saja tak menanggapi perkataan Aida. Dia memang seperti itu, selalu saja mencari-cari kesalahan dirinya, Sari sendiri tak tau apa yang Aida inginkan. Selama ini Sari selalu melakukan perintah Aida, dan tak ada niat sedikitpun untuk merebut suami Aida.
"Hey! Diajak ngomong itu jawab! Bukannya ngelamun. Lagi mikirin suami saya, iya? Awas saja kalau apa yang dibilang tetangga itu benar, kalau kamu dan Mas Ihsan ada main dibelakang. Maka, aku tidak segan-segan untuk membunuh mu disini," ujar Aida. Lalu, melangkah pergi dari sana.
"Sabar, Cah Ayu. Bu Aida kan memang seperti itu orangnya. Sudah, jangan diambil hati," ujar Mbok Darmi yang kebetulan lewat. Beliau mencoba menenangkan Sari yang terlihat terbawa emosi.
"Kenapa sih, Mbok? Dia selalu seperti itu sama Sari. Kan, Sari tidak punya hubungan dengan Pak Ihsan. Hubungan kami hanya sebatas majikan dan pembantu saja. Tidak lebih. Hanya karena waktu, saya pernah satu mobil dengan Pak Ihsan, tapi bukan berarti saya ada main kan, Mbok?" omel Sari, seraya tangannya terus saja mengepel lantai yang basah itu.
"Nduk, sudah. Lupakan saja semua yang diomongin Bu Aida. Lebih baik, kamu selesaikan pekerjaan mu. Mbok mau kebelakang mau menyiapkan makan malam," Mbok Darmi mengelus punggung Sari.
"Iya, Mbok."
*****
Aida sedang berada dikamarnya, dia terlihat sedang merias diri. Karena dia yakin, bahwa suaminya akan pulang malam ini. Karena sebelumnya, Aida meminta suaminya untuk tidak menginap disana. Aida yakin, Ihsan tak akan mampu menolak permintaan nya itu. Aida tak rela, jika Ihsan menghabiskan waktu dan uangnya untuk Ibunya.
"Enak saja, mau menikmati uang Mas Ihsan. Mereka pikir, mereka itu siapa?"
Aida meraih ponselnya, dan mengirimkan pesan untuk Ihsan.
[Mas, kamu dimana? Kenapa sampai sekarang belum sampai dirumah? Ingat ya, Mas. aku tidak mau kamu menginap disana, apalagi sampai memberikan uangmu pada mereka!] send.
Pesan itu bercentang dua, tak lama berwarna biru yang artinya sudah dibaca oleh Ihsan.
[Maaf, Aida. sepertinya aku akan menginap disini, besok pagi aku akan pulang. Disini sedang hujan deras, seluruh jalanan banjir, kemungkinan kemacetan juga terjadi di mana-mana.]
Aida membanting ponselnya hingga hancur, Aida sangat marah karena baru kali ini Ihsan menolak keinginannya.
*****
"Ada apa, Mas?" tanya Ara.
Dia membawa secangkir kopi untuk kakaknya, dan juga beberapa camilan. Dia melihat kakaknya tengah mengusap wajahnya gusar, Ara tau saat ini kakaknya tengah gelisah.
"Tidak apa-apa, Dek. Kau belum tidur? Dimana Mama?" tanya Ihsan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Mama sudah tidur."
"Kak! Apa Mas sedang memikirkan tentang Mbak Aida?" Ihsan hanya mengangguk saja. "Apa lagi ulahnya sekarang? Dia tidak memberikan Mas ijin untuk menginap disini?" tanya Ara dengan sorot mata tajam.
"Aida tidak mengatakan apapun. Hanya saja, Mas yakin saat ini pasti dia sedang marah." ujar Ihsan.
"Ceraikan saja dia, Mas!"
Deg ...
Ucapan Ara bagai petir yang menyambar hati Ihsan. Dia berpikir, bagaimana mungkin adiknya mengatakan hal seperti itu. Bagi Ihsan, pernikahan bukanlah untuk main-main saja, pernikahan hanya satu kali dalam seumur hidupnya.
Sementara Ara, gadis hanya menatap kakaknya dengan malas. Dia tahu dengan persis seperti apa kakaknya. Ini bukan kali pertama Ara mengatakan hal yang sama, tapi Ihsan tak mendengarkannya sama sekali. Terkadang Ara merasa heran, apa yang sudah kakak iparnya itu lakukan, sehingga membuat kakaknya mempertahankan nya hingga saat ini.
"Apa maksudmu, Ara? Kau ingin Kakakmu ini bercerai? Bagaimana bisa kau memberikan saran seperti itu?" tanya Ihsan dengan nafas memburu. Sungguh, Ara telah membuatnya sedikit kesal."Apa yang salah dari saran yang aku berikan, Mas? Apa yang ingin Mas pertahankan dari Mbak Aida? Dia sudah tidak pernah menghormati Mama, buktinya dia tidak pernah sekalipun menemui Mama, atau sekedar menelpon untuk menanyakan keadaan Mama.Baiklah, mungkin saja Mbak Aida sedang sibuk. Jika, Mbak Aida tak ingin menemui Mama, seharusnya dia tak menghalangi Mas untuk menemui Mama. Mbak Aida juga tak mau punya anak, kan Mas?" tanya Ara.Ihsan hanya terdiam. Karena, apa yang dikatakan Ara benar adanya. Berapa kali Ihsan mengutarakan keinginannya untuk punya anak, tapi Aida selalu menolak dengan alasan kalau dia hamil dia tak akan bisa jadi model lagi."Aida adalah seorang model. Kalau dia hamil, dia dikeluarkan dari dunia model," jawab Ihsan. Sementara Ara,
"Om Ridwan!" Pekik Intan.Dia langsung mendekati mereka, tak lupa Intan juga menyalami Om nya itu. Ridwan-- merupakan adik kandung dari ayahnya Intan. Pak Ridho juga mendekati Ridwan, mereka berpelukan untuk melepas rindu. Karena memang sudah hampir 5 tahun mereka tak bertemu."Kemana saja kau selama ini? Mengapa baru sekarang menemui kakakmu ini? Apa kau masih marah pada kakak?" tanya Pak Ridho."Aku malu padamu, Kak. Dulu aku sangat keras kepala, dan tak pernah mau mendengarkan nasehatmu. Uang investasi yang aku berikan pada temanku, dibawa lari olehnya. Dan sekarang, aku tidak punya apa-apa," ujar Ridwan dengan penuh penyesalan.Intan menyajikan minuman dan camilan untuk Om-nya itu, sementara Bu Irma hanya duduk dan menyimak saja. Setelah itu, Intan duduk disebelah Ibunya itu."Kita ini saudara, Wan. Jika bukan padaku, kemana lagi kau akan pergi?
"Apa yang terjadi?" tanya Mbok Darmi.Sari hanya bisa meringis kesakitan, niatnya untuk membunuh tikus yang ada dikamarnya, justru malah melukai tangan nya sendiri. Mbok Darmi mengambil air putih untuk Sari. Setelah merasa cukup tenang, Sari menceritakan segalanya pada Mbok Darmi."Tadi, ada tikus di kamar Sari, Mbok. Niatnya, tadi mau membunuh tikus itu. Tapi, malah tangan Sari yang terkena pisaunya," papar Sari."Sari, Sari. Lain kali, kalau ada apa-apa panggil Mbok, biar Mbok yang bantu. Kalau seperti ini, kau akan susah bekerja nanti. Kau tau sendiri, Nyonya Aida itu seperti apa? Dia tidak akan pernah suka, jika melihat seorang pembantu lelet dalam bekerja, kan?"Sari hanya diam, karena apa yang Mbok Darmi katakan itu memang benar adanya. Jika Aida melihatnya bekerja dengan lelet, dia pasti terkena omelan nya."Sari, kan tidak tahu kalau semuanya akan
Ihsan Pov ...Pernikahan ku dengan Aida tak pernah terasa bahagia, bagaimana tidak? Setiap hari, kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Kami hanya bertemu di waktu malam saja, itupun kalau Aida tak sibuk dengan pemotretan nya. Terkadang, dia harus pulang menjelang subuh, aku tak bisa menghalangi nya, karena memang itu semua menjadi kesepakatan kami.Tapi, setiap kali aku membahas perihal anak, Aida selalu mengatakan bahwa ia belum siap.'Jika aku sampai hamil, maka aku akan dikeluarkan dari dunia model, Mas. Dan, aku belum siap untuk keluar. Aku harap Mas Ihsan akan mengerti,'Mengalah!Hanya mengalah lah yang selalu aku lakukan. Hingga 4 tahun pernikahan, tapi Aida tetap tak berubah. Aku juga tak bisa melepaskan Aida begitu saja, karena aku menginginkan pernikahan satu kali dalam hidupku.Ara-- adik perempuan ku selalu
"Kenapa cuma segini, Mas? Biasanya kau memberiku lebih dari 10 juta setiap bulannya, kenapa sekarang hanya tinggal 5 juta. Oh, aku tau. Pasti kau memberikan nya pada Mama dan adik mu itu. Iya, hah?! Jawab aku mas!" Aida menatap Ihsan dengan tatapan nyalang."Kalau memang iya, kau mau apa? Bersyukurlah, karena aku masih memberikan mu nafkah bulan ini. Mengingat, perlakuanmu pada keluarga ku, jangankan untuk memberimu nafkah. Melihat wajahmu saja aku tak sudi," ujar Ihsan. Sungguh, ia tak mampu menahan kekesalannya pada Aida hari ini."Oh, melihat wajahku kau tak sudi. Jika begitu ceraikan aku!" ucap Aida lantang.Ihsan terdiam beberapa saat, kemudian dia menghela napas, "Aku tidak akan pernah menceraikan mu, karena bagiku pernikahan hanyalah satu kali dalam seumur hidup. Entah bagimu,"Ihsan memilih pergi, karena tak ingin memperpanjang masalah. Ihsan masuk ke ruang kerjanya, dia mem
Ara melangkahkan kakinya masuk kedalam minimarket, tangannya yang lincah mulai memasukkan beberapa bahan kebutuhan untuk sebulan. Saat akan membayar, Ara berpapasan dengan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Ara tak ingin berlama-lama, dia segera membayar barang belanjaan nya dan pergi."Ara, tunggu!" lelaki itu berlari mengejar Ara.Ara dengan secepatnya naik ke mobil, lelaki itu mengetuk kaca mobil, dia terus memohon agar Ara mau mendengarkan nya.Didalam mobil, Ara memukul stir mobil dengan geram. Airmata lolos begitu saja di pipinya, ingatan masa lalu benar-benar menyakitkan hatinya.'Maafkan aku, Ara. Aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini, aku tak mungkin menikahi wanita malam seperti mu,' ucap lelaki itu."Kenapa dia kembali? Disaat aku sudah melupakan nya, dia kembali lagi. Apa belum puas dia mengacaukan hidupku?!" teriak Ara dengan
Intan melangkahkan kaki masuk kedalam perusahaan itu, sebenarnya dia masih ingin mengambil cuti, karena dia merasa kasihan dengan Riska yang masih saja menangisi Ibunya. Tapi, Intan sadar. Dia tak bisa mengambil cuti terlalu lama, mengingat dia masih anak baru.Intan menekan tombol lift, bersamaan dengan seorang pria yang juga menekan. Intan menoleh, dia sekilas memperhatikan orang tersebut. Dia merasa seperti pernah melihat orang itu."Bapak yang nabrak saya malam itu, kan?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Intan."Eh," Intan langsung menutup mulutnya. Dia tau, tak seharusnya dia berkata seperti itu, karena bisa aja dia salah orang.Pria itu yang ternyata bernama Ihsan, mengamati gadis itu sebelum akhirnya mengangguk."Iya. Bagaimana dengan kakimu? Apa masih sakit?" tanya Ihsan dingin."Iya, tapi kalau dibawa jalan masih agak sedikit sakit," ujar Intan."Mau kerumah sakit?" tanya Ihsan,
"Kenapa, Mbak? Kenapa wajahmu itu berubah pucat? Tenang saja, karena Saya tak akan melakukan apapun kepadamu. Saya tidak ingin tangan saya yang indah ini ternodai karena menyentuh kulit mu Mbak. Silahkan Mbak pergi dari rumah saya!" ucap Ara dengan senyum mengejek.Ara menuntun mamanya masuk ke dalam rumah, setelah memastikan mamanya aman, Ara keluar menghampiri Aida yang masih mematung di tempat."Saya rasa selain pelit, Mbak juga tuli!" celetuk Ara."Ara!" Aida menatap tajam ke arah Ara. Tapi, yang ditatap hanya menampilkan senyuman mengejek."Tidak usah berteriak-teriak, Mbak! Atau suara Mbak akan habis nanti. Sudahlah, silahkan pergi dari rumah saya." usir Ara pada Aida seraya menarik tangan Aida kasar dan menghempaskan nya keluar pagar."Sudah aku katakan, aku tidak akan pernah pergi sebelum kau memberikan apa yang aku mau." Aida berkacak pinggang."Kau ini tuli atau apa Mbak?! Sudah saya katakan, uan
Hari ini Intan kembali bekerja, dia berharap hari ini dia tak bertemu dengan Ihsan. Jujur saja, dirinya masih dilanda rasa canggung. Dia berjalan masuk ke ruangannya, ternyata disana sudah ada Ihsan menunggu nya. Rasa canggung ada diantara mereka. Intan mendekati Ihsan dan menanyakan apa yang Ihsan inginkan.Ihsan hanya melihat sekilas pada Intan, lalu beralih pada map berwarna merah itu."Aku ingin kau merevisi lagi surat laporan itu. Sepertinya, Andika membuat kesalahan," titah Ihsan.Andika adalah anak baru, dia mendapatkan tugas dari Pak Ibra untuk membuat laporan. Tapi, sepertinya laporan itu sedikit ada kesalahan. Intan mengangguk dan mengambil map itu. Sementara itu, Ihsan pergi dari ruangan Intan."Surat laporan ini benar dan tidak ada kesalahan. Tapi, mengapa Pak Ihsan memintaku untuk merevisi nya?" tanya Intan dalam hati.Dia beranjak dari kursinya dengan membawa map itu. Dia mengetuk pintu ruangan Ihsan, tap
"Apa maksudmu? Video apa, Andra?" tanya Ara dengan suara bergetar.Rupanya, rencananya berjalan lebih cepat dari yang aku bayangkan. Ku lihat, wajah-wajah panik memenuhi wajah mereka. Aku meletakkan minuman dan camilan untuk tamu. Aku harus memainkan akting ku sekarang."Sudahlah, Ara! Kau tidak perlu membela diri lagi. Aku sudah tau semua kebusukanmu itu!" Andra menunjuk wajah Ara. Sedangkan, yang ditunjuk menunjukkan ekspresi kebingungan.Bagaimana, Bu? Permainan ini sangat seru 'kan? Ini baru permulaannya saja. Aku akan membuat api ini semakin besar."Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu," ujar Ara.Andra mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan video itu kesemua orang. Ibu menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat, sedangkan Mas Ihsan hanya terdiam.Andra terlihat sangat marah, dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Dia memandang wajah Ara dengan merah padam."
04 November 2018Hari ini adalah hari yang berarti untukku. Karena, kandungan ku sudah mencapai usia 7 bulan. Acara 7 bulanan pun dilakukan dengan sangat meriah, banyak tamu yang datang untuk memberikan ucapan selamat padaku dan Mas Ihsan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar.Tapi, kebahagiaanku tak bertahan lama. Karena, setelah aku meminum minuman yang diberikan oleh Ibu mertuaku, perutku terasa sangat panas. Aku berteriak karena aku tak bisa menahan rasa sakit ini yang kian menyiksa."Aida!" Mas Ihsan yang tadinya sedang bercengkrama dengan temannya berlari menghampiriku. "Apa yang terjadi? Aida!""Perutku sakit sekali, Mas."Dengan sigap Mas Ihsan mengangkat tubuh mungilku, dan segera membawa kerumah sakit. Mama dan Ara juga ikut. Sesampainya dirumah sakit, aku segera dilarikan keruang IGD, karena mengalami pendarahan yang hebat. Seorang suster menyuntikk
Ara menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Saat ini, suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa sang Mama memintanya untuk memaafkan Aida, seseorang yang sudah dengan teganya menghancurkan masa depannya itu. Sungguh, jika saja yang memintanya bukanlah sang mama, maka Ara pasti akan menolaknya mentah-mentah.Ara kembali teringat dengan permintaan maaf Andra, Ara kembali menangis. Jujur, dia masih mencintai Andra. Tapi, keputusan Andra yang memilih untuk meninggalkan dirinya karena desakan sang mama, membuat hatinya sangat terluka."Jangan mengujiku lagi, Ya Allah. Aku mohon! Biarkan aku bahagia," lirih Ara dalam hati."Maafkan aku, Ma. Untuk pertama kalinya aku menolak permintaan Mama. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama, tapi semua ini berat untukku. Sangat berat!" Air mata kembali mengalir di pipinya. "Tuduhan itu! Hinaan itu! Pengkhianatan itu! Tidak bisa Ara lupakan, Ma. Tidak bisa!"Ara menghapus air matanya de
Mobil yang dikendarai oleh Ihsan memasuki pekarangan rumah. Tepatnya, rumah yang ia dan Aida tempati selama 3 tahun itu. Ihsan memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Saat sampai dikamar, dia tak menemukan sosok Aida. Ihsan merasa bersalah, karena telah berpikir untuk mengkhianati Aida.Ihsan sadar! Perubahan Aida terjadi sejak kematian anak mereka dalam kandungan saat itu. Dimana, saat itu Aida benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Tapi, Ihsan dengan tega malah ikut menyalahkan nya atas kematian anaknya. Sejak saat itu, Aida berubah dingin. Dan, sejak saat itu pula, Aida memilih terjun ke dunia model."Jika Aida tau apa yang terjadi kantor. Maka, apa yang akan dia lakukan?" gumam Ihsan.Tok!Tok!Ihsan menoleh kearah pintu, "Masuk!"Mbok Darmi masuk kedalam untuk mengantarkan kopi. Mbok Darmi meletakkannya dimeja. Saat Mbok Darmi akan pergi, Ihsan mencegahnya. Selama ini dia selalu menceritakan masa
Intan dan Ihsan sama menuju kantin kantor dari arah yang berbeda. Intan berjalan sambil meminum cappucino nya tak menyadari Ihsan juga berjalan mendekatinya. Karena keduanya sama-sama tak menyadari, karena sama-sama sibuk. Pada akhirnya tabrakan diantara keduanya tak dapat dihindari. Ihsan dengan sigap menangkap tubuh Intan yang akan terjatuh. Tanpa sengaja, bib*r mereka saling menempel satu sama lain.Mereka saling pandang dalam waktu yang cukup lama, sampai tak menyadari ada begitu banyak pasang mata yang memperhatikan mereka."Ehem!"Derheman dari seseorang berhasil membuat mereka tersadar. Mereka segera memperbaiki posisi mereka. Tanpa mengatakan apapun, Ihsan pergi begitu saja, begitupun dengan Intan.Ihsan berbalik menuju ruangannya. Didalam ruangan itulah Ihsan terdiam, ingatannya kembali berputar tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Entah mengapa dia seperti menemukan kedamaian saat menatap mata Intan, kedamaian yang
Intan berjalan menuju ruangan Ihsan, dengan membawa berkas untuk meeting. Sebelum masuk dia terlebih dahulu mengetuk pintu. Ihsan yang sedang menandatangani berkas yang lain hanya meminta nya untuk masuk.Setelah dipersilahkan masuk oleh Ihsan, Intan segera memutar handel pintu. Setelah melihat siapa yang datang, Ihsan langsung menghentikan aktivitas nya dan langsung melihat kearah Intan."Bagaimana? Apa berkas yang saya minta sudah siap?" tanya Ihsan."Sudah, Pak." Intan menyerahkan map berwarna merah kepada Ihsan. "Silahkan bapak baca terlebih dahulu! Jika ada kesalahan silahkan beritahu saya!"Ihsan membuka map itu. Dia membaca lembaran demi lembaran, dan tersenyum puas melihat kinerja Intan."Bagus! Kinerja kamu memang tidak diragukan lagi! Terimakasih sudah membantu saya," ujar Ihsan."Sama-sama, Pak."
Ara mau tak mau harus membantu Aida membereskan meja makan. Ara masih curiga kepada Aida, karena tiba-tiba saja sikapnya berubah. Terlebih saat dia melihat Aida mencuci semua piring dan yang lainnya. Ara hanya berdiri mengamati disamping Aida. Dia hanya ingin tau sejauh mana kakak iparnya itu bersandiwara."Ara! Kenapa kamu berdiri disana saja? Apa kamu tidak mau membantuku?" tegur Aida pada Ara. Sedangkan, Ara dia berjalan mendekati Aida."Hentikan sandiwaramu, Mbak! Karena itu tidak berlaku bagi saya. Mungkin, Mbak bisa mengelabuhi Mas Ihsan dan Mama. Tapi, tidak dengan saya," ujar Ara, dia kembali memandangi Aida yang saat ini tengah sibuk dengan cuciannya itu. "Katakan apa yang kau inginkan, Mbak?"Aida menghentikan aktivitasnya dan menatap Ara, "Tidak ada!""Lagipula, aku tidak sedang bersandiwara, Ara. Aku ingin memperbaiki semuanya. Apa aku salah?" tanya Aida.
"Untuk apa kau datang kemari?" tanya Ihsan saat dia baru saja masuk kedalam rumah.Aida hanya diam saja. Hal itu, justru memancing amarah Ihsan. Jika saja, saat ini tidak ada mamanya, sudah pasti Ihsan sudah menyeretnya keluar. Tapi, dia terpaksa mengurungkan niatnya."Aida! Apa kau mendengarkanku?" tanya Ihsan. Dia menjatuhkan bobotnya ke sofa."Dengar. Apa aku perlu ijin untuk bertemu dengan Mama mertuaku?" tanya Aida.Pertanyaan Aida membuat Ihsan bungkam. Ihsan berpikir mengapa tiba-tiba Aida baik kepada mamanya? Bukankah selama ini Aida selalu membenci mamanya? Apakah ini adalah salah satu rencana Aida.Ihsan tak menjawabnya. Dia lebih memilih ke kamarnya, daripada menanggapi Aida. Tak lama Aida menyusul Ihsan kekamar. Aida memberikan dompet itu pada Ihsan. Aida juga menanyakan perihal gadis yang mengantar dompet itu."Bukan siapa-siapa." jawab Ihsan."Tapi ...."Tapi, apa? S