Intan melangkahkan kaki masuk kedalam perusahaan itu, sebenarnya dia masih ingin mengambil cuti, karena dia merasa kasihan dengan Riska yang masih saja menangisi Ibunya. Tapi, Intan sadar. Dia tak bisa mengambil cuti terlalu lama, mengingat dia masih anak baru.
Intan menekan tombol lift, bersamaan dengan seorang pria yang juga menekan. Intan menoleh, dia sekilas memperhatikan orang tersebut. Dia merasa seperti pernah melihat orang itu.
"Bapak yang nabrak saya malam itu, kan?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Intan.
"Eh," Intan langsung menutup mulutnya. Dia tau, tak seharusnya dia berkata seperti itu, karena bisa aja dia salah orang.
Pria itu yang ternyata bernama Ihsan, mengamati gadis itu sebelum akhirnya mengangguk.
"Iya. Bagaimana dengan kakimu? Apa masih sakit?" tanya Ihsan dingin.
"Iya, tapi kalau dibawa jalan masih agak sedikit sakit," ujar Intan.
"Mau kerumah sakit?" tanya Ihsan,
"Kenapa, Mbak? Kenapa wajahmu itu berubah pucat? Tenang saja, karena Saya tak akan melakukan apapun kepadamu. Saya tidak ingin tangan saya yang indah ini ternodai karena menyentuh kulit mu Mbak. Silahkan Mbak pergi dari rumah saya!" ucap Ara dengan senyum mengejek.Ara menuntun mamanya masuk ke dalam rumah, setelah memastikan mamanya aman, Ara keluar menghampiri Aida yang masih mematung di tempat."Saya rasa selain pelit, Mbak juga tuli!" celetuk Ara."Ara!" Aida menatap tajam ke arah Ara. Tapi, yang ditatap hanya menampilkan senyuman mengejek."Tidak usah berteriak-teriak, Mbak! Atau suara Mbak akan habis nanti. Sudahlah, silahkan pergi dari rumah saya." usir Ara pada Aida seraya menarik tangan Aida kasar dan menghempaskan nya keluar pagar."Sudah aku katakan, aku tidak akan pernah pergi sebelum kau memberikan apa yang aku mau." Aida berkacak pinggang."Kau ini tuli atau apa Mbak?! Sudah saya katakan, uan
Sari memegang kepalanya yang terasa sakit karena tarikan Aida tadi. Kedua mata Sari mengembun. Gadis itu benar-benar tak tau dimana letak kesalahannya, sampai Aida begitu sangat membencinya. Apa mungkin Aida salah paham, saat dia dan Ihsan berada satu mobil pada malam hari. Sebenarnya, itu bukanlah sebuah kesengajaan. Saat itu Aida meminta Sari untuk ke minimarket membelikan camilan kesukaannya, ditengah jalan dia bertemu Ihsan, dan mengajaknya untuk pulang bersama."Mbok! Sari tuh salah apa sih, mbok? Kenapa Nyonya Aida sangat membenci Sari? Padahal, selama ini Sari selalu melakukan yang terbaik untuk nyonya," isak Sari. Saat ini dia tengah diobati oleh Mbok Darmi"Nduk, ngk salah apa-apa. Mungkin nyonya Aida sedang banyak pikiran," ujar Mbok Darmi mencoba menenangkan Sari."Mbok! Sari mau berhenti kerja aja, Mbok. Sari ngk betah disini. Sari mau cari pekerjaan lain saja," ujar Sari.
Ihsan pulang kerumah dan langsung masuk ke kamarnya. Dia melihat Aida sedang menelpon seseorang, dia menunggu Aida sampai selesai menelpon. Tak lama kemudian, Aida telah menyelesaikan panggilan telpon nya. Ihsan langsung menghampiri nya."Aida! Apa benar kau datang kerumah? Dan kau juga mengambil uang yang aku berikan pada Mama dan Ara?" tanya Ihsan dengan nada menggebu-gebu."Iya. Memangnya kenapa? Itu 'kan juga hak ku," jawab Aida santai."Keterlaluan kau! Bukankah aku sudah memberikan hakmu. Uang segitu saja kau permasalahkan!""Kau itu yang keterlaluan! Kau memberikan mamamu lebih banyak dari punyaku. Apakah itu adil? Tidak.""Jika uang itu memang kurang, seharusnya kau mengatakan nya padaku. Aku pasti akan memberikan nya. Tapi, bukan dengan cara mengambil uang dari Mama dan Ara," sungut Ihsan kesal."Aku hanya mengambil uang Mama bukan Ara. Ini hanyalah masalah kecil, jangan memperbesar."Aida duduk
Hari ini adalah hari pertama Ara kembali bekerja. Sebenarnya, dia tak tega untuk meninggalkan mamanya seorang diri. Tapi, tuntutan pekerjaan memaksanya untuk meninggalkan mamanya. Meskipun Bi Siti sudah berada dirumah sedari pagi untuk menemani sang mama, tetap saja Ara merasa sangat khawatir.Walaupun demikan, Ara tetap melakukan tanggungjawab nya, yaitu dengan melayani pembeli dengan baik. Pernah saat itu, Ihsan menawarkan pada Ara pekerjaan di kantornya. Tapi, Ara menolak nya, karena dia tak ingin memancing keributan antara dirinya dan kakak iparnya itu."Ara!"Ara menghentikan aktivitasnya, dan menoleh kearah sumber suara. Terlihat seorang Ibu-Ibu mendekat kearahnya."Iya, Tan. Tante butuh sesuatu?" tanya Ara dengan nada lembut. Sedangkan yang ditanya hanya menampilkan senyuman manis."Tante tidak ingin apa-apa. Oh iya, bagaimana kabar Mamamu?" tanyany
Disore hari yang cerah ini aku dan Riska memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Sebenarnya, aku sangat lelah. Tapi, melihat wajah Riska yang sangat ingin jalan-jalan membuatku tak tega untuk menolaknya. Saat tengah mengawasi Riska bermain, tanpa sengaja aku melihat Pak Ihsan sedang berdiri sembari menerima telpon. Apakah Pak Ihsan tinggal disini?Setelah memastikan Riska bermain dengan aman, aku berjalan menghampiri Pak Ihsan, bagaimanapun juga dia adalah bos ku, rasanya tak pantas kalau aku tak menyapanya. Aku menunggunya sampai selesai menelpon."Bapak, tinggal disini?" Pak Ihsan memasang wajah terkejut. Ah, bagaimana aku bisa lupa, tentu saja dia terkejut, karena aku langsung menyapanya."Jangan panggil saya Bapak! Memangnya saya sudah tua," gerutu Pak Ihsan dengan kesal.Aku langsung tertawa saat melihat ekspresi Pak Ihsan, "Maaf, Pak. Kalau saya tidak memanggil dengan sebutan Bapak. Lalu, saya harus memanggil apa?
"Untuk apa kau datang kemari?" tanya Ihsan saat dia baru saja masuk kedalam rumah.Aida hanya diam saja. Hal itu, justru memancing amarah Ihsan. Jika saja, saat ini tidak ada mamanya, sudah pasti Ihsan sudah menyeretnya keluar. Tapi, dia terpaksa mengurungkan niatnya."Aida! Apa kau mendengarkanku?" tanya Ihsan. Dia menjatuhkan bobotnya ke sofa."Dengar. Apa aku perlu ijin untuk bertemu dengan Mama mertuaku?" tanya Aida.Pertanyaan Aida membuat Ihsan bungkam. Ihsan berpikir mengapa tiba-tiba Aida baik kepada mamanya? Bukankah selama ini Aida selalu membenci mamanya? Apakah ini adalah salah satu rencana Aida.Ihsan tak menjawabnya. Dia lebih memilih ke kamarnya, daripada menanggapi Aida. Tak lama Aida menyusul Ihsan kekamar. Aida memberikan dompet itu pada Ihsan. Aida juga menanyakan perihal gadis yang mengantar dompet itu."Bukan siapa-siapa." jawab Ihsan."Tapi ...."Tapi, apa? S
Ara mau tak mau harus membantu Aida membereskan meja makan. Ara masih curiga kepada Aida, karena tiba-tiba saja sikapnya berubah. Terlebih saat dia melihat Aida mencuci semua piring dan yang lainnya. Ara hanya berdiri mengamati disamping Aida. Dia hanya ingin tau sejauh mana kakak iparnya itu bersandiwara."Ara! Kenapa kamu berdiri disana saja? Apa kamu tidak mau membantuku?" tegur Aida pada Ara. Sedangkan, Ara dia berjalan mendekati Aida."Hentikan sandiwaramu, Mbak! Karena itu tidak berlaku bagi saya. Mungkin, Mbak bisa mengelabuhi Mas Ihsan dan Mama. Tapi, tidak dengan saya," ujar Ara, dia kembali memandangi Aida yang saat ini tengah sibuk dengan cuciannya itu. "Katakan apa yang kau inginkan, Mbak?"Aida menghentikan aktivitasnya dan menatap Ara, "Tidak ada!""Lagipula, aku tidak sedang bersandiwara, Ara. Aku ingin memperbaiki semuanya. Apa aku salah?" tanya Aida.
Intan berjalan menuju ruangan Ihsan, dengan membawa berkas untuk meeting. Sebelum masuk dia terlebih dahulu mengetuk pintu. Ihsan yang sedang menandatangani berkas yang lain hanya meminta nya untuk masuk.Setelah dipersilahkan masuk oleh Ihsan, Intan segera memutar handel pintu. Setelah melihat siapa yang datang, Ihsan langsung menghentikan aktivitas nya dan langsung melihat kearah Intan."Bagaimana? Apa berkas yang saya minta sudah siap?" tanya Ihsan."Sudah, Pak." Intan menyerahkan map berwarna merah kepada Ihsan. "Silahkan bapak baca terlebih dahulu! Jika ada kesalahan silahkan beritahu saya!"Ihsan membuka map itu. Dia membaca lembaran demi lembaran, dan tersenyum puas melihat kinerja Intan."Bagus! Kinerja kamu memang tidak diragukan lagi! Terimakasih sudah membantu saya," ujar Ihsan."Sama-sama, Pak."
Hari ini Intan kembali bekerja, dia berharap hari ini dia tak bertemu dengan Ihsan. Jujur saja, dirinya masih dilanda rasa canggung. Dia berjalan masuk ke ruangannya, ternyata disana sudah ada Ihsan menunggu nya. Rasa canggung ada diantara mereka. Intan mendekati Ihsan dan menanyakan apa yang Ihsan inginkan.Ihsan hanya melihat sekilas pada Intan, lalu beralih pada map berwarna merah itu."Aku ingin kau merevisi lagi surat laporan itu. Sepertinya, Andika membuat kesalahan," titah Ihsan.Andika adalah anak baru, dia mendapatkan tugas dari Pak Ibra untuk membuat laporan. Tapi, sepertinya laporan itu sedikit ada kesalahan. Intan mengangguk dan mengambil map itu. Sementara itu, Ihsan pergi dari ruangan Intan."Surat laporan ini benar dan tidak ada kesalahan. Tapi, mengapa Pak Ihsan memintaku untuk merevisi nya?" tanya Intan dalam hati.Dia beranjak dari kursinya dengan membawa map itu. Dia mengetuk pintu ruangan Ihsan, tap
"Apa maksudmu? Video apa, Andra?" tanya Ara dengan suara bergetar.Rupanya, rencananya berjalan lebih cepat dari yang aku bayangkan. Ku lihat, wajah-wajah panik memenuhi wajah mereka. Aku meletakkan minuman dan camilan untuk tamu. Aku harus memainkan akting ku sekarang."Sudahlah, Ara! Kau tidak perlu membela diri lagi. Aku sudah tau semua kebusukanmu itu!" Andra menunjuk wajah Ara. Sedangkan, yang ditunjuk menunjukkan ekspresi kebingungan.Bagaimana, Bu? Permainan ini sangat seru 'kan? Ini baru permulaannya saja. Aku akan membuat api ini semakin besar."Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu," ujar Ara.Andra mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan video itu kesemua orang. Ibu menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat, sedangkan Mas Ihsan hanya terdiam.Andra terlihat sangat marah, dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Dia memandang wajah Ara dengan merah padam."
04 November 2018Hari ini adalah hari yang berarti untukku. Karena, kandungan ku sudah mencapai usia 7 bulan. Acara 7 bulanan pun dilakukan dengan sangat meriah, banyak tamu yang datang untuk memberikan ucapan selamat padaku dan Mas Ihsan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar.Tapi, kebahagiaanku tak bertahan lama. Karena, setelah aku meminum minuman yang diberikan oleh Ibu mertuaku, perutku terasa sangat panas. Aku berteriak karena aku tak bisa menahan rasa sakit ini yang kian menyiksa."Aida!" Mas Ihsan yang tadinya sedang bercengkrama dengan temannya berlari menghampiriku. "Apa yang terjadi? Aida!""Perutku sakit sekali, Mas."Dengan sigap Mas Ihsan mengangkat tubuh mungilku, dan segera membawa kerumah sakit. Mama dan Ara juga ikut. Sesampainya dirumah sakit, aku segera dilarikan keruang IGD, karena mengalami pendarahan yang hebat. Seorang suster menyuntikk
Ara menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Saat ini, suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa sang Mama memintanya untuk memaafkan Aida, seseorang yang sudah dengan teganya menghancurkan masa depannya itu. Sungguh, jika saja yang memintanya bukanlah sang mama, maka Ara pasti akan menolaknya mentah-mentah.Ara kembali teringat dengan permintaan maaf Andra, Ara kembali menangis. Jujur, dia masih mencintai Andra. Tapi, keputusan Andra yang memilih untuk meninggalkan dirinya karena desakan sang mama, membuat hatinya sangat terluka."Jangan mengujiku lagi, Ya Allah. Aku mohon! Biarkan aku bahagia," lirih Ara dalam hati."Maafkan aku, Ma. Untuk pertama kalinya aku menolak permintaan Mama. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama, tapi semua ini berat untukku. Sangat berat!" Air mata kembali mengalir di pipinya. "Tuduhan itu! Hinaan itu! Pengkhianatan itu! Tidak bisa Ara lupakan, Ma. Tidak bisa!"Ara menghapus air matanya de
Mobil yang dikendarai oleh Ihsan memasuki pekarangan rumah. Tepatnya, rumah yang ia dan Aida tempati selama 3 tahun itu. Ihsan memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Saat sampai dikamar, dia tak menemukan sosok Aida. Ihsan merasa bersalah, karena telah berpikir untuk mengkhianati Aida.Ihsan sadar! Perubahan Aida terjadi sejak kematian anak mereka dalam kandungan saat itu. Dimana, saat itu Aida benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Tapi, Ihsan dengan tega malah ikut menyalahkan nya atas kematian anaknya. Sejak saat itu, Aida berubah dingin. Dan, sejak saat itu pula, Aida memilih terjun ke dunia model."Jika Aida tau apa yang terjadi kantor. Maka, apa yang akan dia lakukan?" gumam Ihsan.Tok!Tok!Ihsan menoleh kearah pintu, "Masuk!"Mbok Darmi masuk kedalam untuk mengantarkan kopi. Mbok Darmi meletakkannya dimeja. Saat Mbok Darmi akan pergi, Ihsan mencegahnya. Selama ini dia selalu menceritakan masa
Intan dan Ihsan sama menuju kantin kantor dari arah yang berbeda. Intan berjalan sambil meminum cappucino nya tak menyadari Ihsan juga berjalan mendekatinya. Karena keduanya sama-sama tak menyadari, karena sama-sama sibuk. Pada akhirnya tabrakan diantara keduanya tak dapat dihindari. Ihsan dengan sigap menangkap tubuh Intan yang akan terjatuh. Tanpa sengaja, bib*r mereka saling menempel satu sama lain.Mereka saling pandang dalam waktu yang cukup lama, sampai tak menyadari ada begitu banyak pasang mata yang memperhatikan mereka."Ehem!"Derheman dari seseorang berhasil membuat mereka tersadar. Mereka segera memperbaiki posisi mereka. Tanpa mengatakan apapun, Ihsan pergi begitu saja, begitupun dengan Intan.Ihsan berbalik menuju ruangannya. Didalam ruangan itulah Ihsan terdiam, ingatannya kembali berputar tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Entah mengapa dia seperti menemukan kedamaian saat menatap mata Intan, kedamaian yang
Intan berjalan menuju ruangan Ihsan, dengan membawa berkas untuk meeting. Sebelum masuk dia terlebih dahulu mengetuk pintu. Ihsan yang sedang menandatangani berkas yang lain hanya meminta nya untuk masuk.Setelah dipersilahkan masuk oleh Ihsan, Intan segera memutar handel pintu. Setelah melihat siapa yang datang, Ihsan langsung menghentikan aktivitas nya dan langsung melihat kearah Intan."Bagaimana? Apa berkas yang saya minta sudah siap?" tanya Ihsan."Sudah, Pak." Intan menyerahkan map berwarna merah kepada Ihsan. "Silahkan bapak baca terlebih dahulu! Jika ada kesalahan silahkan beritahu saya!"Ihsan membuka map itu. Dia membaca lembaran demi lembaran, dan tersenyum puas melihat kinerja Intan."Bagus! Kinerja kamu memang tidak diragukan lagi! Terimakasih sudah membantu saya," ujar Ihsan."Sama-sama, Pak."
Ara mau tak mau harus membantu Aida membereskan meja makan. Ara masih curiga kepada Aida, karena tiba-tiba saja sikapnya berubah. Terlebih saat dia melihat Aida mencuci semua piring dan yang lainnya. Ara hanya berdiri mengamati disamping Aida. Dia hanya ingin tau sejauh mana kakak iparnya itu bersandiwara."Ara! Kenapa kamu berdiri disana saja? Apa kamu tidak mau membantuku?" tegur Aida pada Ara. Sedangkan, Ara dia berjalan mendekati Aida."Hentikan sandiwaramu, Mbak! Karena itu tidak berlaku bagi saya. Mungkin, Mbak bisa mengelabuhi Mas Ihsan dan Mama. Tapi, tidak dengan saya," ujar Ara, dia kembali memandangi Aida yang saat ini tengah sibuk dengan cuciannya itu. "Katakan apa yang kau inginkan, Mbak?"Aida menghentikan aktivitasnya dan menatap Ara, "Tidak ada!""Lagipula, aku tidak sedang bersandiwara, Ara. Aku ingin memperbaiki semuanya. Apa aku salah?" tanya Aida.
"Untuk apa kau datang kemari?" tanya Ihsan saat dia baru saja masuk kedalam rumah.Aida hanya diam saja. Hal itu, justru memancing amarah Ihsan. Jika saja, saat ini tidak ada mamanya, sudah pasti Ihsan sudah menyeretnya keluar. Tapi, dia terpaksa mengurungkan niatnya."Aida! Apa kau mendengarkanku?" tanya Ihsan. Dia menjatuhkan bobotnya ke sofa."Dengar. Apa aku perlu ijin untuk bertemu dengan Mama mertuaku?" tanya Aida.Pertanyaan Aida membuat Ihsan bungkam. Ihsan berpikir mengapa tiba-tiba Aida baik kepada mamanya? Bukankah selama ini Aida selalu membenci mamanya? Apakah ini adalah salah satu rencana Aida.Ihsan tak menjawabnya. Dia lebih memilih ke kamarnya, daripada menanggapi Aida. Tak lama Aida menyusul Ihsan kekamar. Aida memberikan dompet itu pada Ihsan. Aida juga menanyakan perihal gadis yang mengantar dompet itu."Bukan siapa-siapa." jawab Ihsan."Tapi ...."Tapi, apa? S