"Lebih baik kuikuti saja."Tanpa pikir lagi, saat Mas Nata sudah berangkat, gegas aku bersiap untuk mengikutinya di belakang. Entah mengapa rasanya firasatku hari ini benar-benar membawaku pada langkah ini, aku takut sekali sesuatu akan terjadi pada suamiku."Aslan tolong antarkan anak-anak saat mereka selesai sarapan," titahku pada Aslan, sebelum akhirnya aku melaju menggunakan motor Pak Oman.Syukurlah aku tak sampai kehilangan mobil Mas Nata, aku jadi bisa mengikutinya dari jarak 3 meteran saja sampai mobil Mas Nata terparkir di sebuah cafe lumayan jauh dari resto.Saat masuk ke dalam cafe itu kulihat Niami sudah menunggu di sana, mungkin mereka adalah pengunjung pertama karena belum ada siapa-siapa di dalam.Selesai memarkirkan motor Pak Oman agak jauh dari parkiran cafe, kuintai lagi mereka dari kejauhan.Mereka terlihat sedang mengobrol serius, Niami juga tampak membuka laptopnya. Astagfirullah aku sampai merasa berdosa sekali karena aku telah mencurigai Niami sampai sejauh ini.
"Aslan, apa tadi dokter sudah keluar? Bagaimana katanya?""Non Yara kritis Nya, karena diduga sudah mencoba menyayat urat nadinya sejak satu jam yang lalu, dia kehilangam banyak darah.""Ya Allah."Air mataku lolos lagi, lemas sekali rasanya aku sekarang. Entah apa yang harus kulakukan sekarang, Mas Nata juga belum bisa dihubungi."Pak Aslan silakan ikut kami untuk mulai melakukan donor darah," ucap seorang perawat yang baru saja datang.Aslan mengangguk dan gegas mengekor perawat itu ke sebuah ruangan khusus.Sementara aku tetap menunggu di luar ruangan ICU karena Ayyara masih belum sadarkan diri, jadi dokter juga belum mengizinkan aku atau sipapaun masuk ke dalam, kecuali tim medis. Saat menunggu, mendadak aku ingat uang DP yang harus kumasukan ke rumah sakit ini.Bukankah biasanya kita harus membayar uang muka sebelum pasien ditindak dan mendapat perawatan?Ya Allah, jika memang begitu aku harus mulai berpikir untuk mencari uangnya, karena tentu tidak akan mudah mendapatkan uang
"Kita tangkap basah-basah Niami."Wisnu diam sebentar sebelum akhirnya dia mengangguk pelan."Baik," katanya.Setelah mengobrol dan meminta nomor ponsel Wisnu, aku gegas pamit."Anak saya dirawat di sini juga, kapan-kapan mungkin kita akan ketemu lagi.""Baik, Bu."-Sampai di ruang ICU kulihat Ayyara masih belum sadarkan diri, sementara entah sudah berapa kantong darah ditransfusi padanya. Di ruang sebelah Aslan juga masih istirahat lemas setelah dia mendonor. Gegas aku menghampirinya."Aslan, terimaksih sudah menolong anakku."Dia mengulum senyum, "tidak masalah Nyonya, ini sudah jadi kewajiban saya sesama manusia." Aku menarik napas berat, "saya pikir tidak ada orang yang akan berbuat baik seperti yang kamu lakukan setelah banyaknya masalah antara kita di masa lalu.""Yang lalu biarlah berlalu, sekarang kita buka lembaran baru saja, saya juga minta maaf karena kemarin sempat ...." "Sudahlah, kita lupakan semuanya." Aslan mengangguk."Oh ya Lan, soal uang DP rumah sakit nanti sa
"Mas ada apa?""Elia, Elia aku ... aku ....""Sudah lupakan persoalanmu Mas, ada hal yang lebih gawat," timpalku cepat.Mas Nata mengangkat wajahnya, "ada apa?""Ayyara di rumah sakit, Mas.""Apa? Kenapa? Kok bisa?" "Tadi pagi Ayyara mencoba mengakhiri hidupnya, Mas." Mulut Mas Nata refleks menganga, "astagfirullah, kok bisa Ayyara nekat begitu? Bukannya kemarin dia baik-baik saja?" cecarnya cemas."Itu dia yang membuat aku heran Mas, Yara selama ini tidak pernah bercerita atau mengeluh apa-apa lagi padaku tapi tadi pagi ibu menemukannya sudah tergeletak di lantai, Ayyara mencoba memotong urat nadinya, entah dia punya masalah apa aku juga tidak mengerti." "Ya Allah Yara ...."Mas Nata duduk di bibir ranjang dengan wajah yang sudah kacau."Mas, aku mau mandi sebentar, nanti mau ke rumah sakit lagi, Ayyara ada di rumah sakit pusat kota bersama Aslan sekarang," ucapku lagi sambil buru-buru mengambil handuk."Ya sudah cepetan, aku juga mau ikut ke sana nanti."Gegas aku mandi dan langs
Ayyara mendesah, "Mama, iiih." "Hayoo malu ya? Malu yaa?""Enggak," katanya sambil senyam-senyum.Aku pun duduk di bangku sebelah kasurnya sambil mengambil mangkuk yang tadi dipegang Aslan."Ayo lanjut makannya, biar cepet sembuh."Kusuapi dia lagi, untunglah Ayyara mau membuka mulut meski tak sesemangat tadi saat disuapi Aslan."Tadi Mama lihat loh Ayyara semangat banget makannya, kenapa sekarang mendadak males-malesan?" tanyaku sambil mengedikan mata."Ih apaa sih Mama, orang B aja," balasnya makin tersipu.Aku hanya menggeleng, Ayyara terlihat sangat malu-malu saat aku membahas Aslan, apa mungkin Ayyara benar-benar jatuh cinta pada lelaki itu?-Selesai menyuapi Ayyara makan, dan gadis itu kembali istirahat, aku menghampiri Mas Nata yang tengah duduk melamun di kursi tepat depan ruangan Ayyara."Mas, Ayyara sudah membaik, jangan terlalu dipikirkan nanti kamu sakit."Mas Nata menoleh sambil meremas wajahnya, "tidak Elia, aku tidak memikirkan soal itu.""Lalu?""Sebetulnya aku sedan
Pov NataAku berpikir sebentar, benar juga apa kata Elia, karena kesibukanku akhir-akhir ini aku jadi belum sempat mengurus uang yang da di bank, mungkin aja uang kami masih bisa diselamatkan."Oke, besok kita ke bank."Elia mengangguk.***Dengan hanya modal KTP hari ini aku dan Elia datang ke bank tempat aku biasa menyimpan uang.Besar harapanku, pengecekan bisa berjalan mulus sesuai yang kami harapkan.Meski jujur, semalaman aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan hal ini, bagaimana jika ternyata semua uangku sudah raib? Kemana aku bisa dapatkan uang?Tapi untunglah kekhawatiranku itu tidak terjadi, setelah diurus dengan proses yang cukup panjang dan teliti, pihak bank menyatakan uang kami masih aman di sana.Sontak saja aku dan Elia mengucap syukur karena uang kami bisa kembali meski emas, surat-surat berharga dan lainnya entah bisa kembali lagi atau tidak.Tapi kami tidak ingin banyak berpikir dulu soal emas dan lainnya itu, dengan uang yang baru saja kami ambil dari bank, k
Cih. Jangankan bahagia, bermimpi saja tidak. Entah mengapa di dunia ini harus ada wanita seperti Niami? Hanya membuat sempit dunia dan membuat keruh hati manusia saja."Oke kalau gitu aku transfer sekarang ya," katanya lagi.Niami cepat memijit layar ponselnya, tak lama masuk notifikasi ke dalam ponselku, uang sebesar 30 juta sudah ditambahkan. Hmm lumayan juga, tapi uang itu masih sebagian kecilnya saja, sisanya yang ia curi dari restoku tentu masih banyak."Sudah 'kan, Mas? Sisanya kuberikan bertahap sampai setelah kamu menikah denganku." Aku diam saja, malas sekali rasanya bicara dengan wanita siluman satu ini."Bagaimana, Mas?" Niami maksa."Ya ya ya atur saja," responku sekenanya.Niami tersenyum lebar sambil kembali menyantap makanannya, tampak bahagia dalam wajahnya tersirat jelas membuatku makin muak saja."Aku ke toilet dulu," ucapku sambil gegas bangkit."Ya, jangan lama-lama ya, Mas.""Hmm."Di toilet, aku menelepon Elia."Ya Mas, kenapa?" tanya Elia di jauh sana."Elia,
Pov Elia...Sudah 3 malam Mas Nata menginap di rumah Niami, sementara aku masih di rumah sakit menunggu Ayyara pulih, sedikit sedih sebetulnya karena Mas Nata tidak bersama denganku di saat-saat seperti ini, tapi untunglah pria itu selalu mengabariku apapun yang terjadi di sana.Sejauh ini semua aman, uang modal resto dari Niami sebesar 30 juta sudah masuk ke rekening Mas Nata, tapi perjalanan kami tentu masih panjang.30 juta bahkan belum mencapai setengah dari modal resto yang dicuri Niami, karena itulah aku dan Mas Nata harus sabar dulu untuk terus menjalankan rencana kami.Tring. Sebuah pesan masuk dari Mas Nata.[Istriku lagi apa?] Senyum aku membacanya, sengaja kubiarkan dulu, aku tidak buru-buru membalasnya, sebetulnya aku sedikit merasa kesal karena kemarin Mas Nata tidak mempercayai omonganku.Tring! Masuk lagi sebuah pesan.[Elia ... issh awas saja kalau aku pulang, aku akan cubit pipimu itu.][Elia ... balaaas.][Aku kangen kamu tolong.]Tak lama Mas Nata melakukan pan
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi