Wajah Niami makin meruncing, dadanya naik turun tak beraturan."Kamu siapa berani mengaturku di sini, hah? Ini rumahku, rumah yang dibangun bersama Mas Nata, meski sekarang ia sudah menjadi mantan suamiku tapi aku masih berhak atas rumah ini, kamu tidak perlu macam-macam atau mengaturku seperti ini jika kamu masih ingin tinggal di sini!" semburnya kemudian. Niami bertelunjuk jari tepat di depan hidungku.Napasku mulai tersengal, tapi aku tak takut sedikitpun dengan wanita tinggi putih ini, aku tahu aku tindakanku ini memang sudah benar."Ada apa ini ribut-ribut?" Kami menoleh saat Mas Nata keluar dari kamar.Keningku spontan mengerut, tumben siang-siang begini Mas Nata ada di rumah? "Mas, tolong ajari istrimu ini agar dia bersikap sopan padaku, berani sekali dia atur-atur hidupku, dia pikir dia siapa? Jangan mentang-mentang dia udah jadi istrimu lalu dia merasa punya hak sepenuhnya atas rumah ini, ingat ya Mas, rumah ini adalah rumahku juga dan aku berhak melakukan apapun di sini!"
"Sepertinya saya sudah harus kembali ke klinik, kalau begitu saya permisi ya Bu Elia," pamit Dokter Fauzan kemudian. Aku mengangguk, syukurlah Dokter Fauzan buru-buru pamit, kalau enggak, bisa-bisa dia lihat lagi si pria dingin itu marah-marah di sini. Setelah Dokter Fauzan pergi aku duduk sebentar di sofa, kuregangkan otot-ototku yang lelah, dari pagi sampai detik ini tak terasa ternyata aku belum istirahat barang sebentar pun.Huhhhffhhh. Banyak sekali drama yang harus kulalui hari ini, ditambah cuacanya juga panas sekali, tentu bukan hal yang mudah bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.Blaak. Mas Nata datang lagi, ia membuka pintu dengan kencang. Aku refleks bangkit."Mas, bisa tidak kamu buka itu pintu pelan-pelan aja? Kenapa sih suka sekali membuat rusuh?" protesku."Mulai sekarang kamu tidak boleh lagi bertemu dengan kekasihmu, lebih-lebih saat di dekat anak-anakku, kamu denger ya? Jangan mentang-mentang Alvin sekarang sedang tidak sadarkan diri, jadi kamu bisa seen
Mas Nata kembali, kulihat ia datang membawa dua box pizza di tangannya. Tapi aku memilih diam saja, malas sekali kalau aku harus bicara padanya, buang-buang energi.Selesai memotong buah dan memakannya beberapa potong, aku juga membawanya ke dekat Alvin."Alvin, mau Tante suapin buah?"Alvin memasang wajah ketus, tapi karena ada papanya dia tak berani macam-macam atau menolakku lagi. Dia terima suapan buah dariku meski dengan wajah dan kunyahan amat malas."Itu pizza buat kamu, makan saja dulu, biarkan Alvin," kata Mas Nata kemudian.Kuhiraukan saja dia dan melanjutkan pekerjaanku."Makan." Terkejut bukan main saat tiba-tiba Mas Nata sudah berdiri di samping sambil menyodorkan sepotong pizza ke dekat mulutku."Ayo makan, cepat," paksanya."Tidak usah, aku sudah makan buah," tolakku kecut."Makan tidak?" paksanya lagi.Dadaku kembali kembang kempis, kesal, akhirnya kubuka juga mulutku ini dan melahap pizza dari tangannya dengan perasaan tak karuan.Gondok sekali, antara kesal dan ingi
Aku berhenti menguyah sebentar."Memangnya kenapa? Perutku ini yang merasakan, lagipula selama ini tidak pernah tuh ada orang yang overdosis karena kebanyakan makan gorengan setiap hari," ketusku."Tapi lemaknya akan tertimbun dalam perutmu menjadi tumpukan penyakit, kamu mau saat kamu tua nanti kamu jadi sakit-sakitan? Diabetes, gula dan lainnya."Aku menjebik, dasar pria angkuh dan tukang ngatur. Rese sekali emang dia tuh."Ya sudah biarkan saja, aku ini yang akan sakit bukan kamu," balasku ketus."Ya tapi kalau nanti kamu sakit siapa yang akan jagain ak ...." Mas Nata tak melanjutkan ucapannya."Apa?" "Ah sudahlah lupakan," tandasnya seraya mengibas tangan lalu bangkit dari kursi.Aku menjebik dan lanjut makan gorengan."Buruan makannya, kamu belum salat Isya 'kan?" ucapnya lagi.Alisku menaut, gak salah ini orang nanya begini? "Aku nanya, kamu belum salat Isya atau sudah?" tanyanya lagi."Belum," ketusku."Habis ini berjamaah, percepat makan gorengannya.""Hm," balasku pendek sa
Kreeet.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Nata datang. Setelah mengucek mata kutengok jam dinding menunjukan pukul 11 siang."Dari mana, Mas?" tanyaku kemudian."Tuh pakai," katanya sambil melempar papper bag berwarna coklat ke atas sofa. Keningku mengerut, dan cepat bangkit mengambil papper bag itu."Jilbab, Mas? Buat aku?" tanyaku lagi setelah aku membuka papper bag itu."Hmmm."Aku bergeming, mendadak benakku juga menerka, entah dalam rangka apa tiba-tiba si pria angkuh itu membelikanku jilbab? "Mulai sekarang kamu harus pakai jilbab dan pakai baju panjang," katanya lagi. Alisku menaut."Kenapa? tidak suka?" "Tidak," ketusku."Punya baju panjang, 'kan?" Mas Nata bertanya lagi."Punyalah, banyak dari Niami," jawabku seadanya.Mas Nata melirik tak suka."Mulai besok jangan pernah lagi pakai baju atau apapun bekas wanita itu," tegasnya."Loh memangnya kenapa, Mas? Daripada aku harus beli 'kan sayang uangnya, lagipula baju-baju dari Niami itu juga masih bagus-bagus dan layak p
"Sudah berapakali aku tegaskan, dia itu bukan kekasihku, bukan Mas bukan, dia itu dokter yang membantuku selama ini," imbuhku lagi. Aku benar-benar makin geram saja sekarang, pasalnya omongan Mas Nata itu makin hari makin ngaco. Dan tuduhannya itu benar-benar tak bisa kuterima.Enak saja dia mengira aku punya kekasih, dia pikir aku wanita apa?"Ya ya terserah kau saja," balasnya sambil bangkit lalu kembali membanting bobot ke atas kasur.Dasar pria keras kepala, daripada kepalaku lama-lama pecah, aku memilih pergi saja ke kamar Ayyara."Yaraaa." Aku celingukan memindai setiap sudut kamar gadis yang sepertinya kosong itu. Entah kemana Ayyara pergi, atau apa mungkin dia sekolah? Ya Tuhan, padahal dokter sudah bilang dia harus bed rest.Brukk. Sesuatu terjatuh saat aku tak sengaja menyenggol plastik kecil, cepat kupungut, ternyata obat-obat yang diceritakan Dokter Fauzan.Aku mengulum senyum, syukurlah ternyata Ayyara sudah benar-benar mengurungkan niatnya untuknya menggugurkan kandun
"ah sudahlah," tandasnya lalu pergi ke kamar mandi.Aku meremas wajah lalu membanting bobot ke atas kasur, kesal, marah, malu dan bingung jadi satu. Gara-gara alat kontrasepsi ini harga diriku sekarang jatuh. Bukan hanya ibu mertua yang kini berpikir jauh, si pria dingin itu juga pasti mengira aku mau menghabiskan malam dengannya sebagai pasangan suami istri, padahal tidak, itu sama sekali tidak benar, jangankan menghabiskan malam bersama, satu kasur pun aku tak sudi."Gara-gara kamu aku jadi malu," hadrikku pada barang itu.Saking kesalnya kulemparkan barang itu ke lantai, biarlah, aku sudah tidak peduli lagi pada barang pembawa sial itu, gara-gara barang terkutuk itu aku jadi malu sampai ke ubun-ubun."Aaaaa Ibuuuu."***Esok hari setelah subuh dan melakukan ritual bersih-bersih aku membuka papper bag yang masih berserakan di atas kasur.Kemarin aku belum sempat membereskannya karena terlanjur kesal dengan insiden salah paham memalukan itu."Isssshh, masih di sana kau rupanya ya?"
"Iya, emang kenapa?!" semburnya kemudian.Mulutku menganga, aku benar-benar tak menyangka anak ini sudah sangat bermasalah hidupnya, kemarin ketahuan ngelem, dan sekarang ketahuan merokok, ya Tuhan, apa dia tidak berpikir apa dampaknya bagi kesehatan dirinya sendiri?Oke, tahaan, sabaar. Aku pasti bisa, aku pasti bisa.Aku melakukan latihan tarik ulur napas sampai aku benar-benar siap bicara lagi dengan Alvin."Alvin, lihat Tante, kenapa Alvin harus merokok? Alvin tahu tidak kalau merokok itu bahaya untuk anak di bawah umur? Jangankan untuk anak di bawah umur, untuk yang sudah dewasapun tidak dianjurkan."Alvin memutar liar bola matanya."Kenapa kamu sangat bawel heii Ibu tiri? Kenapa kamu harus mengurusiku jika nantinya kamu akan memukulku terus-terusan, hah? Asal kamu tahu ya, jika kamu berpikir aku, Adira dan Kak Yara adalah anak yang bisa kau siksa dan kau singkirkan dari rumah ini kau salah, salah besar!" semburnya tajam.Kepalaku refleks menggeleng, "tidak, tidak begitu Al, kali
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi