“Malam Ma.” David menyapa Bu Tina usai dipersilakan masuk ke kamarnya. David melihat ibunya sedang duduk di depan meja rias.
“Belum tidur, Nak?” tanya Bu Tina menatap putranya dari pantulan cermin sambil mengoleskan krim wajah.“Belum. Papa kemana?” David menjawab sambil memegang kedua pundak ibunya.“Biasa, di ruang kerja.”“Ma, sekali lagi makasih ya, udah mau bujuk Papa buat nunda perjodohan itu.” ucap David tersenyum lalu mencium ujung kepala ibunya.“Iya, sama-sama. Tapi bukan berarti kamu bisa ingkar janji sama kita, ya.” Bu Tina membalasnya dengan mengelus tangan putra kesayangannya itu yang masih memegang bahunya dengan hangat.“Iya, Ma.” David berjalan menuju ranjang yang begitu mewah dan besar lalu duduk di sana. “Ma, makasih juga buat acara makan malam minggu yang lalu.”“Justru Mama yang makasih. Berkat ide kamu, pegawai di rumah yang selama ini kerja sama kita bisa seneng-seneng bareng sama kita.” sahut Bu Tina dengan wajah yang sDavid memang sangat berambisi ingin menjadi Pewaris Tunggal menggantikan ayahnya di perusahaan. Namun perjalanan itu tak berjalan mulus begitu saja. Saat ini ia merasa semua berjalan tak seperti yang ia harapkan. Perjodohan dari orang tuanya dan kekecewaan atas hubungannya dengan Sandra telah memenuhi memori dalam otaknya. Bagaimana kini semua hal yang ia inginkan tak bisa dengan mudah ia dapatkan seperti dulu. Putus asa dan frustasi benar-benar membuatnya tak bisa bekerja dengan baik. Ia lelah dan penat.Solusi instan dan sesaat untuk perasaannya yang penat saat ini ialah pergi sejenak entah ke mana kaki melangkah. Melihat café yang jarang ia kunjungi padahal tempat itu terletak di kantornya sendiri menjadi daya tariknya saat ini. Dengan santai ia berjalan sambil melihat ke dalam balik kaca café yang tak terlalu luas itu. Banyak karyawan-karyawannya yang sedang rehat dan berbincang di sana.“Maaf.”Seorang wanita hampir saja menabrak David ketika ia hendak masuk ke c
Gilang benar-benar tak menyangka bahwa David akan berpikiran segila itu. Ia merasa lebih baik David bermain-main saja dengan wanita yang dia mau seperti dulu, daripada harus melakukan ide gila itu. Gilang memijat kedua keningnya usai mendengarkan semua kisah yang tidak sengaja terjadi dan dialami oleh David di café waktu itu. “Dia butuh uang dan gue bisa ngasih itu. Tapi dengan syarat, dia harus mau jadi istri gue dalam waktu dekat ini. Daripada gue buang-buang uang gue buat cewek yang nggak jelas.” ucap David mengulangi pembicaraan mengenai ide gila itu dengan menambahkan alasan agar Gilang mau membantunya. “Udah sakit lo, Vid. Sakit!” hujat Gilang dengan ketus, “Berani-beraninya lo mau maenin yang namanya pernikahan. Pernikahan itu sakral, Vid. Kenapa lo nggak milih cewek yang mau dijodohin sama lo itu?” “Gue nggak mau.” sahut David sama ketusnya, "Kalau gue milih salah satu diantara mereka, berarti gue akan terjebak dalam status pernikahan yang gue nggak mau dari awal. Lo ngerti
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 20.47 WIB. Perasaan Wenda tiba-tiba menjadi gelisah dan jantungnya berdegub lumayan kencang. Sesaat ketika tiga menit yang lalu ada sebuah pesan masuk. Pesan dari pria yang bernama David. Ia mengirim pesan bahwa ia sudah tiba di rumah sakit dan sedang menunggunya di basement. Pria itu sudah menggelitik hatinya karena hatinya sudah terlalu lama kosong.Kebohongan yang dilakukan David kembali terngiang di pikirannya. Mungkinkah ia dengan sengaja ingin mendekati Wenda karena merasa tertarik dengannya? Makanya alasan itu dibuat dengan sengaja. Agar mereka bisa menjadi dekat. Karena memang tidak ada alasan yang tepat, yang bisa membuat mereka tiba-tiba menjadi akrab. Atau mungkinkah David punya maksud terselubung? Ia sadar dirinya siapa, latar belakangnya apa, meskipun profesinya sekarang merupakan profesi yang membanggakan dan terhormat. Namun tetap saja tak mampu menutupi jati diri yang sesungguhnya bahwa ia adalah anak dari seorang supir. Lihat, bagaim
David terkejut mendengar kalimat yang ia ucapkan sendiri. Kebingungan yang dialaminya telah membuat lidahnya kelu lalu menjadi gugup dibuatnya. Sehingga kalimat itulah yang justru keluar dari mulutnya dengan sangat lancar. Payah! Kalimat ini akan membuat Wenda menjadi salah paham.David melihat Wenda sudah membelalakkan matanya sangat lebar. Itu menjadi bukti bahwa ia sedang terkejut tak terperi. David segera mempekerjakan otaknya lebih keras lagi untuk merangkai kata dengan baik dan benar. Ia harus meluruskan kesalahpahaman ini segera."Wenda, sorry. Maksud aku bukan begitu." Wenda melepaskan tangannya yang tergenggam di kedua tangan David secara perlahan. Mimik wajah itu seketika berubah menjadi tanya, alisnya berkerut dan matanya menatap tajam."Lalu maksud Mas apa?" tanya Wenda yang masih dengan alis berkerut.David masih terlalu gugup untuk memulainya harus dari mana. Ia menutup wajahnya sebagian dengan telapak tangan kanannya dan menghela napas perlahan. Ia berusaha menenangkan d
Wenda melajukan kendaraannya dengan cepat. Suasana larut yang hampir menjemput membuat jalanan terlihat lebih lengang. Hal ini membuat Wenda semakin terpicu untuk menginjal pedal gas lebih dalam. Ia berharap perasaan amarahnya dapat terlampiaskan. Tak ingin rasanya membawa rasa ini masuk ke dalam gubuknya.Pada akhirnya, emosi tak mampu Wenda redakan sesampainya di rumah. Ia lumayan kasar menutup segala bentuk pintu, mulai dari pintu gerbang, pintu mobil, pintu rumah dan pintu kamar mandi. Pak Agus dan Bu Tiwi yang saat itu masih belum terlelap hanya bisa terheran-heran melihat tingkah laku putri sulungnya."Wenda kenapa ya, Yah?" tanya Bu Tiwi khawatit karena Wenda hanya menyapa mereka yang sedang menonton acara televisi dengan singkat dan dingin. Bu Tiwi melihat sosok Wenda menghilang masuk ke dalam ruang dapur."Ayah nggak tau, Bu. Mungkin sedang ada masalah di rumah sakit. Besok Ayah tanyakan sama Wenda." jawab Pak Agus mencoba menenangkan istrinya."Wenda nggak bilang apa-apa wakt
"Terima kasih sudah mau meluangkan waktu, Pak." ucap David sambil menjabat tangan seorang pria paruh baya bersetelan jas seperti dirinya."Justru saya yang terima kasih kepada Mas David karena masih mempercayai tim kami untuk berkonsultasi mengenai kasus seperti ini." balas pria itu tersenyum sambil memandang bergantian kepada dua orang di sebelahnya. Logat bataknya kentara sekali ketika beliau sedang berbicara. "Jika Mas David menginginkan kasus ini dilanjutkan, bisa langsung hubungi kami." lanjut pria yang bernama Pak Tigor. Ia berprofesi sebagai pengacara handal dan profesional. Tigor dan anak buahnya memang sudah dipercaya oleh Pak Johan sejak lama untuk menjadi penasihat hukum di perusahan. Itulah mengapa, David tidak perlu ambil pusing lagi mencari pengacara terbaik untuk menangani kasus yang saat ini ingin ia selidiki."Satu hal lagi, Pak. Saya mohon hal sepele seperti ini jangan sampai terdengar oleh Ayah saya. Saya hanya tidak mau membebani pikiran Beliau." pinta David sambil
"Gilang, segera lalukan apa yang aku bilang kemarin!" ucap David setelah Gilang mengangkat ponselnya yang berdering dari saku celanyanya. Gilang pun menjawab 'Oke' dan segera menutup panggilan itu. Ia langsung mengerti apa yang sedang diperintahkan kepadanya. Sejujurnya, Gilang setengah hati ingin melakukan perintah itu. Tetapi David mengancam akan memecat dan tidak akan pernah menganggap dia seorang teman lagi. Gilang sudah terlanjur nyaman dengan materi yang berkelimpahan selama ia bekerja bersama David. Ia pun menurut saja apa yang bosnya perintahkan agar semua berjalan dengan baik dan lancar.David saat itu menyuruh Gilang untuk mencari cara. Bagaimana agar Pak Agus mau menceritakan tentang kasus penipuan itu. Rencana ini harus dilakukan sealami mungkin supaya Pak Agus tidak curiga dalam hal apapun. Gilang akhirnya memutuskan untuk mencari info tentang investasi dimaksud. Dan berpura-pura menceritakan kepada Pak Agus. Alhasil Pak Agus masuk ke dalam perangkapnya. Awalny
Wenda menutup pintu kamar perlahan agar ibunya tidak merasa terganggu. Ia menemani Bu Tiwi yang sudah tenang hingga tertidur. Tak lupa ia mengecek tekanan darah tinggi ibunya. Wenda pun mampu bernapas lega karena semua normal dan baik-baik saja."Wen, gimana keadaan ibumu?" tanya Pak Agus yang sudah berdiri di ruang keluarga begitu mendengar Wenda keluar dari kamar utama."Sudah tenang, Yah. Sekarang baru istirahat." jawab Wenda berjalan mendekati ayahnya. "Dimas di mana?""Dimas sudah ke kamarnya." jawab Pak Agus. Wenda membimbing ayahnya untuk duduk ke sofa yang ada di depan televisi. Ada hal yang harus mereka bicarakan berdua saja, mumpung tidak ada adik-adiknya. Monic belum pulang karena masih ada bimbingan belajar, sedangkan Santi sudah pasti dia sedang pergi bermain bersama temannya di komplek ini.Wenda ingin tahu siapa dan berasal dari mana pengacara yang disebutkan ayahnya tadi. Ia curiga ini adalah ulah Si Tuan Muda. Ia teringat ancaman David yang ditu
David baru saja memasuki area parkir di rumah sakit tempat Wenda bekerja. Di saat ia sibuk berkeliling mencari lahan kosong untuk parkir, ia melihat Wenda masuk ke dalam sebuah mobil. Mobil yang tak asing baginya."Nicho?" gumam David. Ia pun segera mengambil ponsel dan menelepon Wenda. Panggilannya ditolak."Sial! Kenapa ditolak?" geram David sambil meletakkan ponselnya dengan kasar. Bukan perselingkuhan yang dikhawatirkan David. Sesuatu hal lain terkait keselamatan istrinya. David merasa, jika Pak Johan saja bisa sampai turun tangan mengawasi Nicho secara diam-diam, berarti ada sesuatu yang Nicho sembunyikan atau rencanakan.Ponsel David berdering. Gilang meneleponnya."Halo, Bos. Sorry baru ngabarin, ini gue ngikutin Nicho tapi kok masuk ke area rumah sakitnya Wenda ya?" ucap Gilang di telepon."Iya, gue tau. Ini gue lagi jemput Wenda. Tapi dia sekarang lagi sama Nicho." jelas David singkat karena ia sibuk mengemudi untuk membuntuti Nicho yang baru saja keluar
Cukup lama Kirana menanti wanita di depannya ini sadar dari pingsannya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kirana menatap Wenda lekat-lekat dengan gelisah. Wajahnya cantik meskipun tubuhnya terlampau mungil jika dibanding dengan tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dan berisi. Wenda duduk disebuah kursi. Kepalanya tertunduk lemas, tubuhnya terikat pada sandaran kursi, begitu juga kedua tangan terikat di belakang dan kakinya."Heh bangun!" Kirana sudah tak sabar. Ia menepuk-nepuk pipi Wenda dengan kasar. Tak lama, Wenda mengerang lemah. Ia membuka matanya yang masih kabur. Kirana yang tahu bahwa Wenda sudah sadar, mulai memegang dagu Wenda dengan kasar dan mendongakkan kepalanya. Wajah mereka begitu dekat.Kirana menatap tajam ke wajah Wenda. Wenda yang masih lemah hanya bisa meringis kesakitan karena Kirana mencengkram dagunya sangat kencang."Jangan kasar-kasar, Kirana."Wenda yang pandangannya masih kabur, melihat sosok perempuan yang tidak ia kenal berada
Poli kandungan siang ini tak begitu ramai. Wenda segaja memilih hari ini karena kebetulan ia berdinas pagi. Ia ingin segera mengecek kandungannya karena sudah telalu lama ia terlambat haid."Selamat ya, Wenda, atas kehamilanmu. Perkembangan janinmu bagus." Dokter Pandu menyelamati Wenda selagi alat USG tertempel di perutnya."Terima kasih, Dok." ucap Wenda sedikit tegang. Ia melihat layar monitor yang tergantung di dinding. Sebuah kantong kehamilan beserta janin di dalamnya tergambar jelas di sana. Haruskah ia merasa bahagia atas kehidupan yang tak diduga ini? Memang sudah sewajarnya, kehidupan ini mungkin akan hadir setelah apa yang ia dan David lakukan selayaknya suami istri pada umumnya."Kita kontrol lagi bulan depan ya, Wen."Dokter Pandu melepaskan alat USG dan perawat membersihkan gel yang masih tersisa di perut Wenda."Saya beri vitamin-vitamin, diminum satu kali sehari saja." lanjut Dokter Pandu sambil berjalan ke mejanya dan mengetikkan sesuatu di kompu
Widya menghela napas panjangnya, sedangkan Wina terus menggenggam kedua tangan Wenda dengan mimik wajah sendu. Wenda telah menceritakan kisah 'cinta' antara dirinya dengan David."Gue tau, gue salah menaruh harapan ke laki-laki ini. Yang gue kira bakal balas perasaan cinta gue. Gue tau, gue cuma dimanfaatin karena situasi yang keluarga gue alami." Wenda menarik napasnya sejenak, "Tapi perasaan gue nggak bisa bohong, kalau gue suka.. cinta.. sama dia sejak pertama kali gue ketemu lagi setelah dewasa.""Kalau boleh gue saranin. Menurut gue, lo jangan lepasin David gitu aja sih. Lo mau anak lo ini nggak punya bapak? Lo harus perjuangin apa yang jadi hak lo dan si jabang bayi ini, Wen." ucap Wina dengan tatapan mata dari yang muram dan sendu berubah menjadi berkilat-kilat penuh amarah."Kalau menurut gue, gue sih setuju sama sebagian saran Wina, Wen. Lo emang harus perjuangin hak lo dan anak lo ini. David emang harus tanggung jawab sepenuhnya atas anak lo ini. Tapi, lo juga
David menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Dilihatnya Wenda juga sudah siap dengan sabuk pengaman di tubuhnya. Wenda duduk terdiam dan menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong."Are you okey, Wen?" tanya David khawatir. Bukan tanpa sebab, itu karena Wenda hanya menyantap sarapannya dengan porsi yang sedikit sekali. Berbeda dari hari biasanya."Aku nggak papa." jawab Wenda datar.Santi dan Monic menyusul masuk ke mobil kemudian. Mereka sangat berisik khas anak-anak yang sedang bersenda gurau. Hari ini David berinisiatif mengantar Wenda, Santi dan Monic karena ia bingung harus mengisi waktunya dengan kegiatan apa."Kalian sudah siap?" tanya David menoleh ke belakang."Siap, Mas." ucap Santi dan Monic bersamaan. Mereka juga telah memasang sabuk pengamannya."Ayo kita berangkat!" seru David dan disambut dengan riang oleh Santi serta Monic.David memutar lagu anak-anak di dalam mobil. Santi dan Monic pun bernyanyi dengan riang hingga sampai di s
Wenda masih duduk di tepi ranjang ayahnya. Ia begitu bingung dan canggung bagaimana harus menghadapi pria yang sedang mengambil koper dari bagasi mobil. Mengapa pria itu tiba-tiba datang ke rumahnya hampir tengah malam? Padahal sudah berulang kali ia menolak untuk bertemu bahkan pernah suatu kali ia mengusir pria itu saat datang ke rumahnya pagi hari. Waktu itu ayahnya tidak ada di rumah dan Wenda hanya sendirian karena usai dinas malam. Jadi, tidak ada yang bisa menghalagi Wenda untuk mengusir pria ini.Jadi, percuma rasanya jika Wenda mengusirnya di kedatangannya malam ini, ayahnya pasti akan curiga karena tak tahu apa-apa mengenai permasalahan mereka yang sebenarnya. Sungguh pintar pria ini memanfaatkan situasi. Dia datang di tengah malam saat orang yang bisa mempersilakan dia masuk ke dalam ada di rumah. Wenda berdecak kesal.Suara berisik terdengar di luar, membuat Wenda penasaran. Ia mengintip dari ambang pintu dan dilihatnya David sedang menarik sebuah koper sangat be
Gilang baru saja memasukkan mobil yang ia kendarai ke dalam garasi di kediaman Pramono. Dilihatnya mobil milik Pak Johan tidak ada di sana."Bokap lo pergi, Vid?""Hm?" David yang sedari tadi membaca proposal dalam perjalanan pulang dari berbagai rekanan perusahaannya di tabletnya, mulai mendongakkan kepalanya. Memandang sekeliling garasi. Hanya tertinggal mobil miliknya, ibunya, dan 2 mobil cadangan lainnya."Nah, tuh bokap lo pulang." tunjuk Gilang ke arah pagar rumah yang tertutup rapat. Garasi itu terbuka otomatis dan mobil Pak Johan mulai memasuki area kediamannya. David pun keluar dari mobil dan membereskan barang-barang miliknya di jok penumpang belakang."Papa sama Mama abis dari mana? Tumben nggak ngabarin David kalau pergi." tanya David setelah kedua orang tuanya keluar dari mobil."Kamu sendiri kenapa baru pulang?" tanya Pak Johan tak menjawab pertanyaan David. Ia heran mengapa anaknya itu pulang larut, padahal tadi siang baru saja mendapatkan sanksi s
Wenda berjalan memasuki sebuah restoran yang mewah. Ia merasa rendah diri memasuki restoran itu dengan pakaian casual yang saat ini ia kenakan. Blouse biru muda dengan aksen rumbai di bagian dada dan celana kain berwarna krem. Ia sama sekali tak tahu jika restoran ini termasuk dalam golongan restoran yang sangat mewah.Sebenarnya, Wenda memiliki gaun indah hasil pemberian dari calon mantan mertuanya. Namun, tak ia bawa saat kepergian di hari keributan itu karena ia merasa itu bukan miliknya."Selamat malam. Sudah pesan tempat, Bu?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya."Mmm.. sudah." Wenda berpikir sejenak, "Atas nama Kristina.""Baik, mari silakan di sebelah sini, Bu."Wenda mengikuti pelayan itu ke sebuah ruangan yang lumayan jauh masuk ke dalam restoran itu. Pelayan membuka pintu dan Wenda melihat Bu Tina sudah berada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan tersenyum sumringah saat menatap Wenda. Di sebelah Bu Tina, ada Pak Johan yang juga ikut berdiri dan
"Nicholas ada di ruangannya?" tanya David kepada Tasya-sekretaris Nicho-begitu sampai di depan ruangan Nicho."Ada, Pak David. Tapi sedang ada-Pak David.. tunggu, Pak.."David langsung melangkah masuk ke ruangan itu tanpa mempedulikan Tasya yang berusaha menghalanginya. David melihat ada dua orang pria tak dikenalnya sedang duduk berhadapan dengan Nicho di meja kerjanya. Penampilan mereka rapi, berstelan jas hitam, namun raut wajahnya nampak seperti preman."Mas David.." gumam Nicho."Maaf, Pak Nicho. Tapi Pak David-" Kalimat Tasya terhenti saat Nicho mengangkat tangan kanannya dan mengangguk. Tasya pun langsung paham dengan isyarat Nicho. Ia keluar ruangan dalam diam."Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya David sambil menatap lekat ke arah dua orang pria itu, "Ini penting."Nicho mengalihkan pandangannya ke dua pria di depannya dan tersenyum, "Kita lanjutkan besok lagi. Terima kasih atas bantuannya.""Sama-sama, Mas. Kami undur diri dulu." Mereka pun salin