“Kak, apa kabar?” ucapku untuk menyedarkan Kak Riani dari lamunan.
“Oh, ha–hai, Di. Ya.. Eng.. Aku baik kok disini. Kamu gimana? Menikmati perjalanan kamu?”
Aku mengangguk pelan dengan senyuman malu-malu di wajahku. Lagi-lagi setelahnya aku melihat wajah Kak Riani yang tampak aneh, seolah ada kesedihan di dalamnya.
“Ada apa, Kak?”
“Ya? Kakak cuma mau telepon aja. Syukurlah kalau kalian baik-baik aja. kakak kangen kamu, maaf kalau kakak ganggu kalian.”
“Enggak kok, enggak ganggu. Gimana hasil terapinya? Gimana kata dokter?”
“Baik, semuanya baik. Kamu gak perlu khawatir, Di. Nikmatin aja li
Setelah mengelilingi kota New York dan mencoba menjalani hidup seolah warga asli kota itu dengan menikmati berbagai hiburan yang ada. Kini mereka berdua harus bersiap kembali ke negara asal mereka.Sebenarnya Diani enggan meninggalkan kota ini. Ia ingin sekali menetap di negara ini. Mengajak Samudera lari dari semua kenyataan yang ada di negara asal mereka.Hatinya seolah tak siap untuk kembali ke tempat itu, walaupun ada kakak yang menunggunya di sana. Untuk pertama kalinya, Diani merasa ingin bebas dari semua beban yang ada. Diani memejamkan matanya untuk sejenak. Berharap menemukan kesadarannya.Kesadaran tentang keberadaan Kakak yang ia harus urus. Bagaimanapun, keadaan ini ada karena Kakaknya. Jika bukan karena inisiatif Kakaknya, mungkin pernikahan ini tak pernah ada. Mungkin juga, ia akan memilih untuk
“Mami kenapa marah-marah Om Papa?” ucap Ruby dengan mata yang terlihat mengembun. Bibirnya sudah mencebik tanda siap untuk menangis.Samudera hanya bisa menghela nafas panjang karena kecerobohannya dan Kakaknya yang lupa akan keberadaan Ruby diantara mereka.“Gak apa-apa. mami tadi gak marah kok. Eh, Om Papa bawa baju princess buat Ruby. Mau lihat gak Ruby?”Ruby mengangguk pelan sambil menahan sesak di dadanya. Ia mengelap sendiri air mata yang hampir saja jatuh dari dua kelopak matanya. Samudera pun segera mencium pipi Ruby dengan senyum geli dengan tingkah lucu Ruby di matanya. Mereka beranjak menuju ke tempat semua orang berkumpul.Baru saja ia memasuki ruangan keluarga yang terlihat nyaman itu, mata Samudera sudah dikejutkan dengan keberadaan
Diani menyisir rambut Ruby dengan tangannya. Gadis kecil itu bahkan tak merasa keberatan dan masih saja asik berceloteh tentang teman-temannya di sekolah. Ia tak tahu, bahwa wanita dibelakangnya sedang melamun menatap helaian rambut Ruby yang terlihat indah. Entah ada dimana saat ini pikirannya berkelana.Saat Ruby menyebut nama Om Papa, kesadaran Diani kembali, tapi ia enggan untuk membahasnya. Percakapan antara Lian dan Samudera saat tadi ia berjalan beriringan dalam rengkuhan mertuanya, memang samar. Namun itu cukup bisa Diani dengar. Diani berpura-pura tak mendengarnya. Hanya demi perasaan semua orang yang ada disana. Berpura-pura segala sesuatunya baik-baik saja adalah keahliannya dari awal kan?“Iya kan Tante Mama?! Kasihan kan Om Papa?” tanya Ruby sambil menggoyang-goyangkan paha Diani dengan heboh.
Diani merapikan beberapa barangnya yang ada di meja kantornya. terhitung dari hari ini, dia tak lagi bekerja sebagai pegawai di kantor konsultan yang sudah sejak lima tahun terakhir mampu membiayai dirinya dan Kakaknya.Walaupun sudah bertekad untuk tetap bekerja, nyatanya ia tak tahan dengan desas desus yang makin menjadi. Apalagi gosip toilet yang bahkan bisa ia dengar secara terang-terangan.Seminggu yang lalu tepat setelah ia kembali bekerja. Sekumpulan perempuan yang tak menyukai dirinya sejak awal dan selalu saja menuduhnya menggunakan guna-guna, susuk, atau apapun itu untuk bisa menggoda laki-laki dan menaikkan jabatannya, bergosip tentang Diani yang hamil duluan sehingga pernikahan itu terkesan terburu. Belum lagi kabar soal Frans yang jelas-jelas menggodanya, berbalik menjadi gosip murahan yang menyebutkan Diani lah sang penggoda sesungguhnya.
*Diani POV*Disinilah aku, kembali menempati rumah mewah setelah ayah dan ibuku meninggal. Menjadi nyonya muda bagi mereka yang bekerja disini. Tapi bagiku, aku tetaplah Diani Abhimaya. Perempuan yang pernah menjadi keluarga kelas menengah atas, lalu berbalik menjadi gadis yatim piatu dengan aset yang tak bisa kami kelola. Semuanya habis. Aku dan Kakakku harus berjuang untuk bertahan hidup. Semua yang telah terjadi, membuat kami tak lagi silau dengan harta duniawi. Untuk apa semua ini jika kami tak bisa menikmatinya.Pertengkaran hebat antara ayah dan ibuku, membuat aku dan kakakku jadi hidup terlunta-lunta. Mereka kecelakaan di tengah pertengkaran soal perselingkuhan ayahku. Aku tak percaya pria! Lalu, kakakku Riani Abhimaya, berkata memutuskan akan menikah dengan pria pilihannya. Reaksiku, pesimis! Kenapa kakakku mau terjebak komitmen seumur hidup itu?! Tapi tak ada yang bisa aku
Aku melangkahkan kakiku menuju ke ruangan Kak Riani. Setelah Samudera pergi ke kantor dan aku berkilah akan berangkat bersama supir. Awalnya Samudera menolak dan memaksaku berangkat bersamanya, namun aku juga menolak dan berkata masih ingin bersantai.Setelah hampir setengah jam dari keberangkatannya, aku baru berangkat dengan alasan menuju kantor. Namun aku bersekongkol dengan sopirku untuk mengantarkanku ke rumah sakit ini. Aku berharap Supir pilihan Papa benar-benar bisa kupercaya dengan tidak mengatakan bahwa aku sudah tak bekerja. Walaupun aku sejujurnya sangat tak percaya karena bagaimanapun ia digaji oleh Papa, namun aku memaksanya berjanji untuk satu hal itu.Lalu disinilah aku, di depan ruangan VIP milik Kak Riani. Belum sempat aku buka pintunya, samar-samar aku mendengarkan suara lelaki di dalam sana. Aku menengok jam tanganku dan mendapati ini masih
Sepertinya beberapa saat lalu aku masih begitu jengkel dengan suamiku. Tapi di hadapan Kakakku, rasa jengkel itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa takut kehilangan Kakakku yang aku sayangi. Satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku masih kesulitan menahan laju air mataku, hingga aku tak sadar aku sudah sedikit sesegukan dihadapan wanita yang menemani hidupku seumur hidupku ini. “Jangan menangis, Di. Kakak gak akan tenang. Ada apa? Cerita?” “Nanti aku akan cari kerja lagi, Kak. Buat terus biayai Kakak. Kita gak bisa terus-terusan bergantung sama keluarga Samudera kan? Kita gak tahu kedepannya gimana? Iya kan?” “Hubunganmu bener-bener gak baik ya sama Samudera?” Aku memilih diam dan menunduk. Melihat ujung sepatuku.
Diani terdiam di salah satu sudut ruangan. Matanya menatap kosong lantai keramik rumah sakit itu. Suara berisik dari Dokter dan perawat tak membuat Diani terganggu. Ia benar-benar tak terusik dengan keadaan yang ada.Pikirannya berkelana pada ingatan-ingatan masa kecilnya. Beberapa ingatannya akhir-akhir ini bersama Kakaknya. Juga bagaimana Diani sempat membenci Kakaknya karena suaminya yang bahkan tak menganggapnya ada selama seminggu terakhir ini.Rasa bersalah dan kesedihan begitu menyesakkan dadanya. Begitu sesaknya hingga ia tak bisa mengeluarkan air matanya. Hingga Grace yang datang ke arahnya pun tak ia sadari.Grace memeluk Diani dengan mengusap punggung Diani pelan.“Riani udah gak sakit lagi, Di. Ini bagian lebih pentingnya. Dia udah bahagia. Lo uda
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap