Setelah dirawat beberapa hari, Diani diperkenankan untuk pulang. Samudera nampak sibuk menata barang-barang milik Diani, sedangkan Diani hanya duduk dan memandangi suaminya dengan tatapan memuja.
Entah mengapa akhir-akhir ini Diani suka sekali memandangi suaminya sambil mengagumi ketampanan suaminya. Diani adalah wanita dengan gengsi yang tinggi, ia tak suka menunjukkan perasaannya terang-terangan. Namun kini, rasanya urat malunya telah putus semenjak kehamilannya.
Pada awal Samudera mendapatkan tatapan memuja Diani, ia selalu dengan sifat narsisnya. Namun setelah beberapa saat Diani berulang kali melakukan hal itu, Samudera akhirnya merasa risih dan jengkel. Lama-kelamaan Samudera mulai terbiasa dan mengabaikan tatapan Diani itu.
“Udah, semuanya udah. Kamu mau kemana sekarang?" tanya Samudera membalas t
“Aku kira Paklik Gun udah pindah. Bulik Semi masih disini?”“Saya dan Semi sengaja gak mau pindah, Mbak. Sesuai dengan janji kami ke almarhumah Mas Rian. Kami gak akan pindah, jadi kami minta sama yang membeli rumah ini dan saudara-saudara Mbak Diani, bahwa kalau rumah ini dijual, kami ingin tetap mengurus rumah ini. Kami berharap suatu saat kami bisa liat anak-anak Mas Rian lagi.”Diani tersenyum dengan air mata mengalir deras di pipinya.“Ini siapa, Mbak?” ucap Gun sambil menunjuk Samudera yang berdiam diri dengan jarak sangat dekat.“Ini suami Diani, Paklik. Namanya Samudera,” ucap Diani dengan senyuman mengembang di pipinya.Samudera mengulurkan tangannya terlebih dahu
Gavin menatap sengit pemuda yang semenjak tadi menatap kosong ke lantai. Wajahnya penuh dengan luka lebam, namun rasanya tidak ada rasa sakit yang dirasakan. Bahkan berbagai pukulan yang mendarat di tubuhnya, tak membuat pria bertubuh kurus itu membalasnya.Baru saja pria paruh baya yang membawa anggur di tangannya itu akan mengeluarkan suara, tiba-tiba suara hantaman keras terdengar hingga membuat pria bertubuh kurus itu tersungkur.“Brengsek! Lo Brengsek! Kurang ajar lo! Mati aja lo!” teriak Samudera tak beraturan dengan tendangan bertubi-tubi. Membuat Gavin terbelalak.Gavin segera menyuruh anak buahnya untuk memisahkan Samudera. Jika tidak, ia yakin tak bisa membawa pria brengsek bernama Reval itu ke hadapan menantu kesayangannya.Badan Samudera yang tak
Beberapa hari setelah itu, Diani mendapatkan panggilan ke kantor polisi terkait insiden yang menyebabkan dia pendarahan beberapa waktu lalu.Diani didampingi oleh ibu dan ayah mertuanya. Samudera belum bisa mendampingi Diani karena memang ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda.Awalnya Samudera cukup enggan melepaskan Diani sendiri, namun karena bujukan maut Papa dan Mamanya yang mengatakan bahwa Diani akan mendapatkan pengawalan ekstra, membuat Samudera akhirnya melepaskan Diani untuk pergi bersama orang tuanya.Sesampainya di kantor polisi, nampak seorang gadis muda dengan tangisnya dalam dekapan ayahnya. Ibunya juga nampak menangis. Sedangkan calon ibu mertuanya hanya menatap nanar keluarga calon menantunya.Pandangan calon mertua yang merupakan ibu Reval itu,
Samudera menaruh tas yang sudah semenjak tadi di jinjingnya. Melepas kancing-kancing di tangannya dan melipat bagian lengannya hingga ke siku. Sambil menyingsingkan lengannya, ia memandangi wajah damai istrinya dengan perut yang nampak sedikit menyembul itu tertidur dengan pulas.Senyuman terbit dari wajah Samudera. Ia mengecup kening Diani lama sambil merapalkan doa. Kemudian ia berbaring tepat dibelakang Diani. Ia memeluk istrinya itu dan membau aroma rambut Diani yang wangi. Rambut hitam legam itu sangat halus dan beraroma mawar. Membuat Samudera enggan untuk beranjak dari posisi rebahannya.“I love you, Sayang.”Samudera membisikkan kata-kata itu dan setelahnya ikut memejamkan mata. Hingga tak Samudera sadari bahwa ia sudah jauh terlelap. Kesadarannya kembali setelah ia merasa ada yang sedang membela
Diani dan Samudera sedang menikmati pagi yang indah dengan berjalan kaki berkeliling komplek perumahan orang tua Samudera. Sesekali mereka berhenti jika melihat hal yang menarik. Seperti kucing yang sedang berduaan, tanaman tetangga yang terlihat indah karena sedang berbunga bersamaan, atau sekedar mengomentari para pengguna jalan lainnya.Setelah berjalan-jalan selama dua puluh menit, Diani menyerah karena melihat penjual bubur ayam langganannya sedang melayani pelanggan. Ia begitu tergiur melihat potongan cakue dan pelengkap lainnya yang ditabur di atas bubur ayam.Mereka pun duduk sambil melihat jalan yang nampak begitu ramai pagi itu. Termasuk pembeli bubur pagi ini."Tumben banget ini anak-anak Pak Gavin makan disini?" tanya penjual bubur yang nampak familiar dengan anggota keluarga Gavin.
Samudera mengerjap untuk sesaat dan menatap sekelilingnya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati langit-langit putih dengan bau bayi dan obat yang saling bergantian menusuk hidungnya.Ia langsung duduk begitu saja tanpa tahu efek sampingnya. Saat ia terduduk, kepalanya bagai di pukul palu godam. Ia mengerang sesaat sebelum akhirnya merasakan sentuhan yang membuatnya terbaring.Saat Samudera mulai bisa membuka matanya, ia melihat Mamanya sedang memandangnya dengan raut wajah tak terbaca.Tak disangka wanita paruh baya itu malah berdecak kesal melihat anaknya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus yang ternyata terpasang di salah satu tangan Samudera."Sam, perasaan mama nih, yang lahiran itu Diani. Bukan kamu. Kamu tuh ngapain coba pakai acara pingsan segala.
*Samudera’s POV*Kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani kedepannya. Entah susah atau senang. Entah bahagia atau duka. Tapi, sepanjang yang aku tahu, Bumi akan tetap berputar walaupun kita kesakitan dan meminta berhenti dan semuanya tetap berada di garis edarnya masing-masing.Seperti aku yang tak menganggap hidup ini berharga setelah kepergian Tania dan juga putih. Aku yang gagal menjaga milikku selalu merasa bahwa aku manusia yang tidak akan pernah berhasil. Kini mulai membuka hatiku untuk merasakan nikmat yang sudah Tuhan berikan kepadaku.Bagi aku yang hidup setelah kecelakaan maut yang menewaskan anak dan istriku, aku tahu bahwa hidup akan tetap berjalan dan yang utama adalah mereka yang hidup. Kalian tahu bahwa cinta tidak akan begitu mudahnya padam jika sudah tertanam kuat dalam hati kita kan? Sama seperti
Aku memandangi ranjang besar yang dipesan khusus agar bisa tidur bersama-sama. Aku memandangi anak bungsuku, namanya Kai Alister Adnan. Kami memanggilnya Kai. Kai berarti laut dalam bahasa hawaii. Wajah Kai ini yang paling ramah di antara kedua Kakaknya. Dia bayi yang juga paling ceria di antara Kakak-kakaknya. Walaupun umurnya belum genap satu tahun, namun dia bisa mengerti dengan baik jika kami mengajaknya berkomunikasi. Selanjutnya aku memandangi anak keduaku, namanya Sagara Savero Adnan. Kami memanggilnya Aga. Aga yang lebih bandel dari semuanya. entah mengapa dia susah sekali untuk diberitahu. Seolah kekeraskepalaan ku menurun semuanya pada Aga. Dia cerdas, namun sikap jahil dan nakalnya sungguh diluar nalar anak umur delapan tahun. Membuatku dan Samudera seringkali geleng-geleng kepala melihat kelakuan Aga. Terakhir adalah putra kami yang pertama. Ocean Banyu Adnan. kami memanggilnya Banyu. Namun teman-temannya lebih suka memanggilnya Sean. Sekarang dia sudah berusia sepuluh t
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap