Samudera mengerjap untuk sesaat dan menatap sekelilingnya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati langit-langit putih dengan bau bayi dan obat yang saling bergantian menusuk hidungnya.
Ia langsung duduk begitu saja tanpa tahu efek sampingnya. Saat ia terduduk, kepalanya bagai di pukul palu godam. Ia mengerang sesaat sebelum akhirnya merasakan sentuhan yang membuatnya terbaring.
Saat Samudera mulai bisa membuka matanya, ia melihat Mamanya sedang memandangnya dengan raut wajah tak terbaca.
Tak disangka wanita paruh baya itu malah berdecak kesal melihat anaknya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus yang ternyata terpasang di salah satu tangan Samudera.
"Sam, perasaan mama nih, yang lahiran itu Diani. Bukan kamu. Kamu tuh ngapain coba pakai acara pingsan segala.
*Samudera’s POV*Kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani kedepannya. Entah susah atau senang. Entah bahagia atau duka. Tapi, sepanjang yang aku tahu, Bumi akan tetap berputar walaupun kita kesakitan dan meminta berhenti dan semuanya tetap berada di garis edarnya masing-masing.Seperti aku yang tak menganggap hidup ini berharga setelah kepergian Tania dan juga putih. Aku yang gagal menjaga milikku selalu merasa bahwa aku manusia yang tidak akan pernah berhasil. Kini mulai membuka hatiku untuk merasakan nikmat yang sudah Tuhan berikan kepadaku.Bagi aku yang hidup setelah kecelakaan maut yang menewaskan anak dan istriku, aku tahu bahwa hidup akan tetap berjalan dan yang utama adalah mereka yang hidup. Kalian tahu bahwa cinta tidak akan begitu mudahnya padam jika sudah tertanam kuat dalam hati kita kan? Sama seperti
Aku memandangi ranjang besar yang dipesan khusus agar bisa tidur bersama-sama. Aku memandangi anak bungsuku, namanya Kai Alister Adnan. Kami memanggilnya Kai. Kai berarti laut dalam bahasa hawaii. Wajah Kai ini yang paling ramah di antara kedua Kakaknya. Dia bayi yang juga paling ceria di antara Kakak-kakaknya. Walaupun umurnya belum genap satu tahun, namun dia bisa mengerti dengan baik jika kami mengajaknya berkomunikasi. Selanjutnya aku memandangi anak keduaku, namanya Sagara Savero Adnan. Kami memanggilnya Aga. Aga yang lebih bandel dari semuanya. entah mengapa dia susah sekali untuk diberitahu. Seolah kekeraskepalaan ku menurun semuanya pada Aga. Dia cerdas, namun sikap jahil dan nakalnya sungguh diluar nalar anak umur delapan tahun. Membuatku dan Samudera seringkali geleng-geleng kepala melihat kelakuan Aga. Terakhir adalah putra kami yang pertama. Ocean Banyu Adnan. kami memanggilnya Banyu. Namun teman-temannya lebih suka memanggilnya Sean. Sekarang dia sudah berusia sepuluh t
Perjalanan panjang dari Jakarta menuju salah satu desa di Kabupaten Jawa Tengah membuatku kelelahan.Aku sudah lama tidak bepergian jauh menggunakan mobil. Terakhir seingatku waktu aku kabur dari suamiku. Itu artinya sudah hampir delapan tahun yang lalu. Aku harus naik bis dari Jakarta menuju Surabaya. Jaraknya tentu lebih jauh saat dulu aku kabur dibanding perjalanan menuju lokasi tanah yang dibeli oleh suamiku.Mungkin karena faktor umur dan tubuhku yang sudah lelah mengurus tiga jagoan kecilku. Aku jadi tidak bisa lagi merasakan asiknya perjalanan jauh menggunakan mobil, senyaman apapun mobil yang digunakan.Separuh perjalanan kali ini aku habiskan dengan tidur. Hingga akhirnya aku terbangun dan mendapati kami sudah sampai di sebuah jalanan antar kota - antar provinsi. Jalanan ini menghubungkan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.Sepanjang perjalanan aku meihat pepohonan tinggi menjulang dengan jalanan menanjak. Tak lama kemudian aku melihat bukit berjajar dengan hamparan kebun sel
10 Tahun KemudianBanyu sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Aku tak menyangka anak sulungku kini sudah berusia tujuh belas tahun. Wajahnya benar-benar menuruni keluarga Adnan.Wajah khas Timur Tengah dengan kulit putihnya, aku yakin ia cukup populer dikalangan teman-teman sekolahnya. Belum lagi kepintarannya memadupadankan pakaiannya dengan sepatu, tas, atau aksesoris lainnya. Itu pasti menuruni kepintaranku dalam berpakaian.Hal itu membuatku tersenyum pagi ini. apalagi melihat kedua anakku yang lain dan suamiku sudah siap untuk beraktifitas pagi ini. Suamiku dengan setelan kerjanya dan ketiga anakku dengan setelan sekolahnya masing-masing.Ketiga anakku memang terlihat menikmati sarapannya. Tapi tidak dengan suamiku, sejak kemarin ia pulang dari kantor, wajahnya terus di tekuk. Bukannya menjelaskan padaku apa yang terjadi, semalam ia malah memelukku erat lalu tertidur begitu saja. Membuatku bertanya-tanya apa yang membuatnya gusar."Kemarin Papa lihat kamu gak pakai motor dari Pap
Aku sedang memimpin rapat ketika Fatma menginterupsi diskusi kami siang itu. Wajahnya terlihat tegang saat mendekat ke arahku dengan ponsel di salah satu tangannya."Aga, kecelakaan Mbak," ucap Fatma di telingaku.Kakiku seketika lemas. Aku terduduk begitu saja dan melupakan rapat yang aku pimpin.Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya karena aku terlalu khawatir dengan keadaan Aga. Aku hanya mendengar Fatma mengambil alih rapat dan selanjutnya rapat itu di bubarkan.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku hanya bisa merapal doa agar bayi terjahil yang kumiliki tak memiliki luka serius seperti biasanya. Tapi, entah mengapa hatiku rasanya gelisah sekali."Aga ikut tawuran, Mbak. Lengan kirinya kena samurai buatan anak-anak sekolah lain," ucap Fatma menjelaskan padaku.Aku menghirup udara banyak-banyak. Memejamkan mataku sejenak untuk menenangkan diriku sendiri. Aku jelas panik dengan keadaan Sagara, tapi apa yang bisa kulakukan di tengah hiruk pikuk siang hari kota Jakarta. Ak
"Jadi siapa Meira, Nyu?" tanyaku menyelidik setelah sampai di ruang rawat Aga. "Teman." "Lho, Meira kesini? Mana dia?" tanya Aga yang terdengar bersemangat. Melihat Kakaknya yang enggan menemui Meira, aku pikir Aga juga tidak akan suka bertemu dengan Meira. Tapi, nyatanya raut muka Aga nampak bersemangat menyambut Meira. "Sebenarnya Meira ini siapa? Aga kenal juga sama Meira? Kalian gak lagi berebut Meira kan? Luka kalian gak karena berebut Meira kan?" "Ibu! Jangan sembarangan ah kalau ngomong, mana mungkin aku rebutan perempuan sama Abang Banyu. Seleraku sama Bang Banyu beda!" celetuk Aga. Wajahnya sudah menampilkan bibir yang mengerucut lucu. Saat aku ingin mengonfirmasi ucapan Aga, aku melihat Banyu nampak tak tertarik dengan pembicaraan soal Meira. Ia malah asyik mengeluarkan makanan dari tas ransel miliknya. "Jadi Meira itu siapa? Kenapa Meira harus minta maaf soal luka Aga? Meira ada di sana waktu itu?" tanyaku geram karena kedua anakku nampakya tak mau menjelaskan siapa
Ocean Banyu Adnan. Ibuku memanggilku Banyu, sedangkan banyak teman sekolahku disekolah saat SD dan SMP memanggilku Sean. Aku pelajar di sebuah sekolah menengah kejuruan. Aku memilih jurusan teknik mesin karena memang aku sangat suka dengan mesin.Aku menyukai otomotif sejak kecil, hingga aku bercita-cita memiliki bengkelku sendiri. Di umurku yag tepat ke tujuh beas tahun, aku akhirnya mendirikan sebuah bengkel kecil dengan izin usaha atas namaku sendiri. Tentunya dengan keajaiban nama Papa. Aku jadi bisa mengurusnya dengan mudah.Aku bukan tipe anak yang mau mandiri dengan tak mengandalkan relasi. Justru karena aku punya Papa, aku harus memanfaatkan itu dengan benar.Relasi juga bisa menyelamatkanku pada kehidupan percintaan, tapi aku tak mau membawa nama keluarga dalam hal ini. Dalam kehidupan percintaan, aku ingin di pandang sebagai diriku sendiri. Bukan siapa orang tuaku dan punya apa aku saat ini.Sayangnya, harapanku hanya tinggal harapan. Di zaman sekarang, rasanya diriku sendi
Aku sedang membereskan alat-alat bengkel saat suara bariton menyapa telingaku. Aku menghentikan aktifitas dan membalik badan. Terlihat pria paruh baya yang mungkin seumuran dengan Papa. Tubuhnya tambun dengan kumis yang menurutku tak cocok di era ini. Tapi aku seperti mengenalnya."Om Rahman?" tanyaku tak yakin.Pria itu hanya berdehem kecil, lalu melihat ke arah sepada motornya.Aku ikut melirik ke arah sepeda motor yang cukup tua itu. Mungkin body motor ini masih bagus, tapi umur motor ini sudah di pastikan lebih tua dari umurku."Motornya kenapa Om? Mogok?""Iya, coba kamu cek dulu."Aku hanya mengangguk dan mendekati motor milik Papa Meira. Ya, Om Rahman ini adalah Papa Meira. Salah satu orang yang tak menyukai kedekatanku dengan Meira.Aku bisa menyimpulkan itu karena di awal aku mengantar Meira pulang, Om Rahman menatapku sinis dan meminta Meira untk langsung masuk rumah. Tanpa mengatakan apapun, beliau bahkan langsung menutup pintu rumahnya.Padahal niatku adalah untuk menyapan
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap