“Jadi Alasan kamu untuk menerima permintaan Kak Diani karena kamu ingin bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Kak Riani, Mas?”
Samudera yang kini sudah berbaring di kasur sempit milik Diani memandangi istrinya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk membuang pemandangannya ke langit-langit kamar VVIP itu.
“Iya, kamu juga kan?”
Diani hanya mengiyakan pertanyaan itu hanya dalam hatinya. Situasinya memang sulit saat itu.
“Selain itu, aku juga sempat ngobrol sama Dokter kenalanku. Beliau bilang kalau harapan Riani hidup sedikit. Dibanding yang sudah pergi, aku sebenarnya lebih takut kamu nekat melakukan sesuatu setelah Riani gak ada. Apalagi hidup kamu yang kamu didedikasikan untuk Riani. Kamu hebat banget, Di. Aku gak mau kamu
Samudera terlihat tampan dengan kaos dan celana jeans, juga sneaker yang ia gunakan. Satu tangannya membawa tas dan satu tangan lainnya membawa tas jinjing Diani juga koper milik perempuan itu.“Kalian yakin gak mau menghabiskan beberapa hari lagi disini?” tanya Sita dengan wajah sedikit kecewa.“Tante sebenarnya banyak acara kan? Karena Diani disini, jadi Tante gak bisa dateng. Maafin Diani yang ngerepotin Tante. Diani– pulang dulu aja sama Mas,” ucap Diani wajah yang juga terlihat kecewa.“Kalau udah baikan lupa deh sama tante,” goda Sita.“Apa sih, Tante. Nanti Tante sering-sering main ke Jakarta ya, Diani seneng banget kalau Tante rajin-rajin nengokin Diani.”“Iy
Mereka sedang beristirahat di sebuah penthouse yang ditata dengan apik. Diani melihat desain dari ruangan itu seperti yang pernah ia gambar di buku sketsanya yang ada di apartemen. Apa mungkin suaminya menemukan buku sketsa miliknya? Diani tak mau ambil pusing tentang itu. Ia segera mengikuti langkah kaki Samudera.Sudah cukup sore saat mereka selesai membersihkan badan mereka setelah perjalanan yang cukup menyita waktu mereka. Ternate ke Jakarta yang ditempuh dalam waktu hampir empat jam membuat Diani cukup kelelahan.Hingga akhirnya Samudera berkata bahwa mereka akan singgah sebentar ke penthouse miliknya. Padahal pulang ke rumah orang tua Samudera pun tak masalah bagi Diani. Jaraknya tak begitu jauh.Samudera menikmati waktu senggangnya dengan secangkir kopi dan mengamati email masuk di tabletnya. Pemandang
Yang paling mengerikan dari hidup ini adalah lari dari rasa penerimaan. Lari dari fakta yang tak mau didengar. Lari dari rasa yang tak mau ditanggung. Mengelak dari kenyataan yang ada. Merasa bahwa apa yang akan terjadi di depan akan berat dan menyakitkan tanpa mau mencoba menjalaninya dulu.Mana ada hidup yang mudah? Kita melihat orang lain hidup tanpa tantangan dan selalu bahagia. Tapi, kenyataannya mungkin justru jauh lebih buruk dari apa yang kita lihat dan dengar.Bisa jadi, orang lain hanya menahannya sekuat tenaga dan merasa bahwa apa yang dia rasakan tak lebih menyakitkan dari apa yang dirasakan orang lain. Rasa syukur dan menerima membuatnya jadi lebih mudah. Walaupun kenyataannya tidak semudah yang dijalani.Seperti Diani yang memilih lari karena merasa tak tahan dengan semua kebahagiaan yang semu da
Samudera bergerak gelisah dalam tidurnya. Peluh nampak membanjiri keningnya. Nafasnya juga terlihat memburu. Seolah ingin meneriakkan sesuatu, namun semua katanya tercekat di tenggorokan.Saat ia berhasil membuka matanya, Samudera segera terduduk dan mengatur nafasnya. Ia menyeka keringatnya lalu melihat ke arah wanita yang tertidur di sebelahnya.“Tan,” ucap Samudera lirih sambil memeluk wanita yang tampaknya tidak terganggu oleh gerakan Samudera.Samudera membenamkan kepalanya di ceruk leher wanita itu.“Kenapa, Mas?”Deg!Astaga, kenapa gue bisa lupa?! Rutuk Samudera dalam hati.
Keduanya kini sudah sampai di butik milik Embun. beberapa mobil terlihat sudah terparkir dengan rapi menandakan bahwa sudah ada customer yang datang.“Wah, butik Mama habis diganti desainnya ya? bagus banget, Ma!” puji Diani yang terlihat tertarik dengan desain butik yang moderen seperti butik-butik kenamaan yang ia lihat di Amerika saat bulan madu.“Iya, bagus kan? Ini Mama samain sama kayak butik Mama di New York. Gimana kamu suka gak?”Diani mengangguk takjub. Ia bahkan baru tahu bahwa ibu mertuanya itu memiliki butik di negara favoritnya itu. Setahunya, hanya Kakak Iparnya yang memiliki bisnis furniture di negeri dengan julukan negeri paman sam itu.&l
Samudera berlari dengan penampilan berantakan. Ia tak peduli dengan bagaimana pandangan orang saat ini. Ia berkali-kali mengumpat dalam hatinya. Bagaimana bisa ia kecolongan dalam menjaga Diani?Perasaan bersalah dan berbagai pikiran jelek berkecamuk dalam otaknya. Lagi-lagi ia gagal menjaga istri dan anaknya. Ia begitu marah dengan dirinya sendiri.Setelah menemukan ruangan tempat Diani dirawat. Tubuhnya lemas. Seluruh anggota tubuhnya bergetar. Ia segera mencari sandaran untuk punggungnya karena kakinya yang melemas.Diani memakai masker oksigen dengan infus terpasang di tangannya. Jantung Samudera makin berdetak dengan kencang. Pikirannya tak bisa diajak berkompromi tentang bagaimana kondisi keduanya.Marah, kesal, sedih, rasanya bercampur menjadi satu.
Setelah dirawat beberapa hari, Diani diperkenankan untuk pulang. Samudera nampak sibuk menata barang-barang milik Diani, sedangkan Diani hanya duduk dan memandangi suaminya dengan tatapan memuja.Entah mengapa akhir-akhir ini Diani suka sekali memandangi suaminya sambil mengagumi ketampanan suaminya. Diani adalah wanita dengan gengsi yang tinggi, ia tak suka menunjukkan perasaannya terang-terangan. Namun kini, rasanya urat malunya telah putus semenjak kehamilannya.Pada awal Samudera mendapatkan tatapan memuja Diani, ia selalu dengan sifat narsisnya. Namun setelah beberapa saat Diani berulang kali melakukan hal itu, Samudera akhirnya merasa risih dan jengkel. Lama-kelamaan Samudera mulai terbiasa dan mengabaikan tatapan Diani itu.“Udah, semuanya udah. Kamu mau kemana sekarang?" tanya Samudera membalas t
“Aku kira Paklik Gun udah pindah. Bulik Semi masih disini?”“Saya dan Semi sengaja gak mau pindah, Mbak. Sesuai dengan janji kami ke almarhumah Mas Rian. Kami gak akan pindah, jadi kami minta sama yang membeli rumah ini dan saudara-saudara Mbak Diani, bahwa kalau rumah ini dijual, kami ingin tetap mengurus rumah ini. Kami berharap suatu saat kami bisa liat anak-anak Mas Rian lagi.”Diani tersenyum dengan air mata mengalir deras di pipinya.“Ini siapa, Mbak?” ucap Gun sambil menunjuk Samudera yang berdiam diri dengan jarak sangat dekat.“Ini suami Diani, Paklik. Namanya Samudera,” ucap Diani dengan senyuman mengembang di pipinya.Samudera mengulurkan tangannya terlebih dahu
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap