Jantung Cindy seakan copot saat tangan seseorang menggapai pundaknya dari belakang, bahkan untuk menoleh pun ia tidak bisa memberanikan dirinya.
"Non Cindy apa yang sedang Anda lakukan disini?" ucap seorang wanita yang tak lain adalah Atik.
"Bu Atik bikin kaget saja," jawab Cindy dengan lembut.
"Apa aku mengizinkan kamu berkeliaran di sini?" ucap Margaretha. Seketika Cindy dan Atik menoleh kearah suara dan langsung membungkukkan badannya. "Atik, pergi dan segera bereskan pekerjaanmu. Dan kamu, ikut aku."
Atik langsung mengangguk dan berlalu ke dapur, sedangkan Cindy dengan jantung yang tengah berdebar kencang melangkahkan kakinya mengikuti Margaretha. Ia masuk kedalam sebuah ruangan di mana Brian dan Haris sudah ada di dalamnya. Brian melirik kearah Cindy dengan tajam.
"Siapa namamu?" tanya Margaretha.
"Cindy Carolina Nyonya."
"Hmmm. Hari ini kamu bisa kembali ke rumahmu, tapi Besok kamu akan di jemput oleh Haris dan saat itu juga kamu harus sudah bersiap dengan riasan sempurna. Aku tidak mau ada kesalahan sedikitpun di acara pernikahan kalian besok. Karena acara ini akan di liput awak media."
"Menikah…?" Cindy mendongakkan wajahnya menatap Margaretha. "Tapi Nyonya…,"
Braaakkk
Margaretha memukul meja menghentikan ucapan Cindy. "Tidak ada tapi-tapian."
Brian menatap Cindy yang tengah tertunduk dengan bibir yang bergetar menahan takut. Ia memegang dagu Cindy dan mendongakkan wajah Cindy ke arahnya. "Mom. Aku rasa, aku akan punya kucing yang menyenangkan," ucapnya sambil menyeringai dan melepaskan dagu Cindy.
"Terserah kamu. Yang penting kamu tahu batas Brian," jawab Margaretha sambil menyalakan cerutunya.
"Tenang saja."
Cindy hanya mampu bergumam dalam diamnya. "Apa maksud ucapan pria ini dengan menganggapku seekor kucing. Kenapa aku merasa setakut ini jika berada di dekatnya?"
"Haris, antar dia pulang dan beritahu keluarganya apa yang harus mereka lakukan."
"Baik Nyonya. Nona Cindy, silahkan ikuti saya."
Cindy mengangguk dan segera melangkah mengikuti Haris. Ia merasa lega saat sudah keluar dari ruangan tersebut, ia pun merasa sangat senang karena akhirnya dia bisa kembali. Namun ia pun tahu jika besok penderitaan baru akan di mulai.
Haris membawa Cindy pulang kerumahnya dengan cepat. Sesampai di rumah, tanpa menunggu perintah Haris, ia langsung membukanya pintu mobil dan berlari menghapus pagar rumah. Setelah suara bel berbunyi, Sonya terlihat membuka pintu dan Rudi yang tahu kepulangan Cindy pun bergegas lari keluar menghampiri.
"Cindy," ucap Rudi.
"Papah." Cindy langsung berlari ke arah ayahnya dan memeluknya. "Pah, aku takut. Aku merindukanmu."
"Nona Cindy, Anda seharusnya tidak lupa untuk acara besok. Aku sudah menyuruh para perias untuk datang kemari jam lima pagi, dan aku akan menjemput Anda jam tujuh pagi."
"Maaf pak Haris. Apa Cindy akan pergi lagi?" tanya Rudi.
"Tentu, karena besok adalah hari pernikahannya dengan tuan Brian."
"Menikah?" Rudi nampak terkejut mendengar pernyataan Haris. Dia benar-benar tidak rela jika anaknya harus menikah dengan orang yang terkenal dengan sifat buruknya.
"Pak Haris, apa yang harus kami siapkan?" tanya Sonya yang terlihat bahagia. Meski bukan Misyel yang menikah dengan Brian, setidaknya Cindy pun bisa menjadi jembatan harta untuk dia dari keluarga Adam pikirnya.
"Pastikan Nona Cindy terlihat sempurna untuk acara besok. Dan jika kalian mencoba merusak acara tersebut, maka bersiaplah jika besok adalah hari terakhir kalian melihat mentari."
"Saya mengerti Pak Haris. Akan saya pastikan semua sesuai perintah anda dan acara akan berjalan dengan sempurna." Sonya terlihat sangat bersemangat, beda jauh dengan Rudi yang nampak kegelisahan di wajahnya. Haris menatap Cindy yang hanya diam, kemudian ia berlalu tanpamu mengucapkan sepatah katapun.
Setelah yakin Haris telah pergi, Sonya langsung menghampiri Cindy. "Kamu benar-benar beruntung bisa menikah dengan keluarga kaya itu."
"Jika aku bisa memilih, aku tidak mau menikah dengannya mah."
"Jangan jadi wanita bodoh Cindy," ucap Sonya sinis.
"Diamlah Sonya." Rudi menatap istrinya. "Aku akan membawa Cindy pergi jauh dari kota ini daripada menyerahkannya pada keluarga yang kejam seperti mereka."
"Apa kamu sudah gila pah! jika kamu melakukannya, itu sama saja papah menaruh kita semua dalam bahaya. Papah tahu sendiri kekuatan keluarga Adam. Kemanapun kita bersembunyi, mereka pasti akan menemukan kita dan saat itu juga mereka akan membunuh kita semua. Jangan hanya karena satu anak manja papah mengorbankan semua orang," ucap Sonya menatap sinis ke arah Cindy.
" Tapi aku tidak bisa membiarkan Cindy menderita."
"Dia tidak akan menderita selama menurut pada keluarga Adam. Justru dia akan hidup dalam kemewahan."
"Sonya!"
"Pah," Cindy menghentikan ayahnya yang mulai tersulut amarah. "Cindy akan menikahi dengan tuan Brian. Cindy yakin semua akan baik-baik saja."
"Tapi Cindy."
"Percayalah pah."
"Kamu dengar sendiri, itu adalah keputusan anakmu. Dan bukan aku yang memaksanya. Aku rasa Cindy lebih tahu caranya berterima kasih pada orang yang telah membesarkannya."
Rudi hanya menghela nafasnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Disamping ketidak ikhlasan dirinya akan pernikahan Cindy dengan Brian, ia juga sadar apa yang dikatakan istrinya itu benar. Keluarga Brian Adam adalah keluarga terkaya di kotanya dengan kekuatan yang tak bisa diragukan. Luasnya jaringan yang mereka miliki tidak akan bisa membuat siapapun bersembunyi dari mereka. Namun kekejaman dan sifat buruk seorang Brian pun sudah menjadi rahasia umum. Bahkan dia pernah membunuh seseorang yang melawannya tapi dengan mudahnya ia bisa terbebas dari jeratan hukum.
"Lebih baik sekarang kamu cepat berangkat bekerja pah. Ingat Cindy belum menikah dengan Brian, itu artinya kami belum bisa bersantai untuk memenuhi kebutuhan keluargamu," ucap Sonya berlalu ke dapur.
Cindy menatap ayahnya dengan lembut. "Pah, percayalah semua akan baik-baik saja. Bukankan mamah juga bilang asal kita menurut pada mereka, maka mereka pun tidak akan menyakitimu kita. Cindy pasti bisa melakukannya."
Rudi menatap putri kandung semata wayangnya. "Baiklah Cindy. Papah berharap semua akan baik-baik saja."
"Sekarang papah bersiap untuk pergi ke kantor ya. Jangan samping terlambat," ucap Cindy dengan senyum yang membuat Rudi ikut tersenyum.
Cindy menatap ayahnya yang tengah melangkahkan kakinya ke kamar. "Seven aku takut jika harus menikah dengan tuan Brian dan tinggal bersama keluarganya. Tapi demi papah aku akan lakukan segalanya," batinnya.
Cindy melangkah ke ruang cuci baju, ia tahu cucian di rumah belum ada yang mencucinya ketika dia tidak ada. Misyel yang baru bangun tidur melihat Cindy sudah berada di rumah pun langsung menghampiri. Namun tanpa Cindy tahu, misyel menggapai rambutnya dari belakang dan langsung menariknya.
"Ahhh," rintih Cindy.
"Dasar gadis kotor, sialan. Kamu sudah pulang rupanya hah! gara-gara kamu Nyonya Margaretha memilihmu dan aku kehilangan kesempatan untuk menjadi istri dari tuan Brian."
"Misyel tolong lepaskan aku."
"Diam! Apa kamu akan membuat papah mendengar teriakanmu dan datang kemari menolongmu hah!" ucap Misyel. Rudi memang tidak pernah tahu perlakuan Misyel yang sebenarnya terhadap Cindy, karena Misyel sangat pandai memainkan dua peran yang berbeda saat berada di depan ayahnya. Ial melepaskan rambut Cindy dengan sedikit mendorong kepalanya. Lalu ia mendorong tubuh Cindy ketembok.
"Misyel?" ucap Rudi yang tengah berjalan ke arah mereka. Suara Rudi yang tiba-tiba terdengar, membuat Misyel sedikit takut. Ia takut jika apa yang barusan ia lakukan terhadap Cindy di lihat dan di dengar ayahnya.
Dengan cepat Misyel menarik Cindy kearahnya dan langsung memeluknya. "Ternyata kalian ada di sini," ucap Rudi saat mendapati kedua putrinya."Eh, papah lagi cari kita ya?" ucap Misyel lembut."Iya, tadinya papah mau kasih tahu ku jika Cindy sudah pulang, tapi kelihatannya papah telat kasih tahu kamu," ucap Rudi sambil tersenyum."Tadi Misyel dengar suara Mba Cindy jadi Misyel langsung bangun. Seneng deh pah akhirnya mba Cindy balik ke rumah," ucap Misyel. Sementara Cindy hanya diam."Baiklah kalau begitu papah akan sarapannya dulu. Kalian lanjutkan saja temukangennya," ucap Rudi sambil melempar senyum kepada kedua putrinya. Dan iapun meninggalkan mereka kembali.
Cindy menoleh kearah Sonya yang sudah berdiri di ambang pintu dapur sambil berkacak pinggang. "Maaf mah, Cindy nggak sengaja mecahin piring."Dengan muka memerah Sonya menghampiri Cindy. "Kamu tuh benar-benar anak pembawa sial ya. Belum juga satu hari balik kerumah ini, tapi piring sudah kami pecahin. Bisa-bisa nanti rumah ini juga kamu bakar.""Maafin Cindy mah.""Alaaah, bisanya cuma ngomong maaf saja," ucap Misyel menghampiri."Bagaimana kamu bisa jadi istri Brian anak dari Nyenyak Margaretha jika kamu teledor seperti ini. Yang ada kamu justru akan membahayakan keluarga ini," ucap Sonya."Cindy akan berusaha tidak membuat mereka kecewa mah.""Kamu pikir aku percaya hah! andai saja waktu itu kamu menuruti ucapanku, pasti besok Misyel lah yang akan menikah dengan Brian."Cindy tetap diam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Sonya. Karena dalam hati, sebentar ia ingin memberontak dan me
Bukankah kedatangan Margaretha seperti yang diinginkan, tapi kenapa ia justru merasa takut saat melihat wajah nyonya besar yang tak bersahabat saat ini?"Di mana gadis itu?" ucap Margaretha yang terdengar dingin."Cindy ada di dalam Nyonya.""Panggil dia secepatnya kemari.""Ba-baik."Sonya berlalu dan segera menemui Cindy yang tengah melipat pakaian. "Anak brengsek, segera temui Nyonya Margaretha dan katakan ini adalah ulahmu agar batal menikah dengan Brian. Jika kamu berani mengatakan aku yang melakukan, maka bersiaplah aku kirim ayahmu ke neraka." Cindy mengangguk, ia segera mengikuti langkah ibu tirinya untuk menemui Margar
Sonya dan Rudi menoleh kearah Margaretha yang tengah menatap mereka."Aku tidak peduli tentang siapa dan apa tujuannya luka pada pipi gadis ini dibuat. Tapi aku akan membunuh kalian semua jika acara pernikahan Brian besok sampai terjadi kegagalan," ucap Margaretha."Tapi siapa yang akan menikah dengan tuan Brian Nyonya?" tanya Misyel memberanikan diri.Margaretha tersenyum ke arah Misyel dan menjawab pertanyaannya. "Tentu saja dia," ucapnya menunjuk Cindy dengan matanya.Seketika semua merasa terkejut tak terkecuali Cindy yang langsung mendongakkan kepalanya. Sonya pun merasa geram mendengar jawaban Margaretha dan ia pun segera mendekati Nyonya besar Adam. "Tapi dia sudah melukai diriny
{Seorang pria dari keluarga terpandang yang terkenal ternyata sudah menikah secara diam-diam. Kekecewaan besar untuk kaum wanita yang mengidamkannya.}{Waah, Brian Adam sudah menikah dengan seorang bidadari.}Saat ini seluruh kota tengah membicarakan tentang pernikahan mereka. Namun di sisi lain, ada seorang ayah yang menatap foto anaknya dalam sebuah kabar sosial media dengan tatapan wajah yang sedih. Air mata yang menetes di pipinya seakan mewakili rasa kekecewaannya terhadap dirinya sendiri. "Cindy maafkan ayah nak," ucapnya.Di kediaman keluarga Adam, Margaretha tengah mengamati setiap isi berita di ruang kerjanya, ia pun menyunggingkan senyumannya lalu menoleh ke arah anaknya. "Brian, dua hari lagi kita akan mengadakan jumpa pers, kamu harus memastikan
"Apa kamu mengkhawatirkan anak manja itu?" ucap Sonya yang ikut terjaga."Perasaanku tidak enak," jawab Rudi."Itu hanya perasaanmu. Percayalah jika anak gadismu yang manja itu akan baik-baik saja." Rudi hanya menghela nafasnya, ia menoleh kearah Sonya yang sudah memejamkan matanya kembali.------"""""-----Cindy melangkah keluar kamar mandi, ia menatap Brian yang terlelap di ranjang. Ia pun melangkah mengambil pakaian untuk menutupi tubuhnya yang hanya tertutup handuk. Cindy enggan tidur seranjang dengan Brian, ia memutuskan untuk tidur di sofa ruang tamu, ia pun terlelap hingga pagi hari.Margaretha yang melihat Cindy t
Cindy memilih pakaian yang paling bagus menurutnya, sebuah dress peninggalan ibunya dulu yang selalu ia simpan. Ia mengepang rambut panjangnya. Sungguh Cindy terlihat seperti gadis cantik pada era sembilan puluhan. Ia melangkah keluar dan menunggu Margaretha di ruang tamu. Tentu saja dia berusaha untuk tepat waktu sesuai perintah Margaretha.Margaretha yang tengah menuruni anak tangga terkejut melihat penampilan Cindy, dengan langkah yang cepat ia menghampiriku Cindy. "Apa kamu sedang main-main denganku hah!" ucapnya Deny intonasi suara yang tinggi. "Lihatlah penampilan jelek mulai ini, kamu terlihat seperti seorang pembantu.""Tapi Nyonya, hanya ini pakaian yang paling bagus yang saya punya," ucap Cindy.Margaretha menatap tajam Cindy. Ia melihat dan mengg
"Saya akan membiasakannya Nyonya," jawab Cindy."Dan juga caramu menyebutku.""Baik Nyonya," jawab Cindy kembali yang langsung mendapat tatapan tajam. "Emm, maksud saya. Baik mah," ucap Cindy kembali."Bagus."Mobil melaju dengan pesat dan akhirnya sampai di sebuah restoran mewah. Grand Royal Restaurant, sebuah restoran mewah yang terkenal di kota tersebut. Dan tidak sembarang orang bisa masuk kedalamnya."Aku tidak peduli apapun yang kamu lakukan selama itu tidak menjadi hal yang buruk bagiku. Berperilakulah selayaknya istri orang berpandang dan jangan sampai membuatku malu di depan teman-temanku. Apa kamu mengerti?" ucap Margaretha
"Apa pak Haris yakin?" tanya Brian menyelidik."Kita bisa melihatnya langsung tuan."Brian nampak berfikir sejenak. "Kita pergi sekarang," ucapnya sambil berdiri lalu melangkah diikuti Haris. Langkah Brian terhenti kembali lalu menoleh ke arah Cindy yang saat ini bibirnya bisa di ikat. Brian menyunggingkan senyum dan kembali menghampiri Cindy.Cup…Kecupan di pipi mengagetkan Cindy. "Tunggu aku di rumah sayang," ucap Brian sambil mengacak rambut Cindy dan kembali melangkah meninggalkannya.Cindy melirik kepergian Brian sambil menggerutu. "Menyebalkan. Apa mungkin aku harus selamanya seperti ini? Menjadi istri tapi tidak di hargai." Cindy menarik nafasnya lalai membuangnya. "Ah, Cindy. Apa yang kamu harapan dalam pernikahan yang hanya terjadi karena maksud tertentu? Jika kamu di sepelwkan dan suamimu ingin menikah lagi, itu adalah hal yang sangat wajar. Karena kamu memang bukan orang yang di inginkan," gerutunya pada diri sendiri.Cind
Tanpa banyak pikir, cindy mencari bi Atik dan mengatakan apa yang Brian katakan. Ia naik ke kamar menemui Brian."Sudah kamu katakan sama bi Atik?" tanya Brian saat Cindy masuk kedalam kamar. Cindy hanya mengangguk, ia duduk di kursi depan meja riasnya sambil menatap ke arah Brian, yang tengah mengotak-atik ponselnya di tepi ranjang. "Jangan terus menatapku." Ia menoleh ke arah Cindy. "Jika ingin menciumku, datanglah mendekat," ucap Brian sambil mengangkat alisnya.Seketika Cindy membuang mukanya saat mendengar ucapan Brian. "Aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk hal itu."Brian menyeringai lalu ia duduk menghadap Cindy. "Cindy, apa kamu masih menganggapku sama seperti dulu?" tanyanya."Bukankah memang kamu masih sama seperti dulu?" Jawab Cindy.Brian mengerutkan dahinya. Ia melipat kedua tangannya sambil menatap Cindy. "Kamu benar-benar gadis yang tidak peka."Cindy melirik ke arah Brian. "Apa maksudmu?"Brian mendorong jidat Cindy.
"Lepaskan aku…!" teriak Misyel. Ia memberontak saat anak buah Brian menyeretnya."Kamu tidak apa-apa?" tanya Brian pada Cindy.Cindy menggelengkankepalanya, ia benar-benar tidak tahu kenapa ibu dan adik tirinya menjadi seperti itu. Cindy menatap Brian. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Aku hanya menyuruh mereka meninggalkan rumah ini, bukan kah itu yang kamu inginkan?" Jelas Brian."Aku tidak pernah menginginkannya hal itu.""Kamu menginginkannya, hanya saja kamu tidak tega untuk melakukannya sayang," ucap Brian pada Cindy. Itu adalah kenyataannya, tapi mana mungkin Cindy bisa mengusir mereka sedangkan hatinya tidak mungkin tega, meskipun mereka begitu jahat terhadapnya."Tapi kemana mereka akan pergi…?" Cindy menoleh ke arah Misyel yang masih memberontak. "Biarkan mereka tetap di sini.""Tidak. Mereka harus pergi dari rumahmu ini. Dan itu adalah keputusan. Tentang dimana mereka akan tinggal, kamu tidak p
Plaaak…. Plaaak….Tamparan melayang dengan cepat, mendarat di pipi masing-masing."Apa kalian sudah puas menghinanya?" ucap Brian sambil menatap tajam kearah Megi dan Mila."Tu-tuan, maafkan kami.""Haris…, pecat mereka berdua," ucap Brian."Tuan, tolong jangan pecat kami, kami mengaku salah, kami mohon maafkan kami," ucap Megi."Kalian pikir segampang itu aku memaafkan kalian?" ucap Brian sambil menyeringai.Mila mendekati Cindy. "Nona Cindy tolong maafkan kami. Aku sangat membutuh pekerjaan ini untuk biaya perawatan adikku. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini," rengeknya. Ia kemudian bersimpuh di hadapan Cindy dengan tangannya yang tetap mendengarnya tangan Cindy."Bangunlah," ucap Cindy. Ia berusaha melepaskan tangan Mila, namun mila dengan erat masih menggenggamnya."Jauhkan tanganmu darinya atau aku akan menyuruh Haris untuk memotongnya," ucap Brian. Mata Cindy terbelalak mendengarnya, begit
"Aku tidak menghinanya, bagaimanapun juga dia adalah ibu mertuaku, orang yang membuatku merasakan bagaimana bisa hidup dengan kemewahan," ucap Cindy. Ia mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Jangan membuat selera makanku hilang. Hari ini aku sengaja membawamu makan di tempat ini, agar kamu tidak merasa dilupakan.""Kamu melakukannya untukku?""Memang siapa lagi? bukankah di sini hanya ada kamu." Brian menatap cindy yang tengah menggigit bibirnya. "Cepatlah makan sebelum makanannya menjadi dingin," imbuh Brian.Mereka pun akhirnya menikmati makanan tanpa bersuara. Meski dengan rasa kesal, Cindy masih bisa menikmati makanannya."Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Brian."Aku ingin pulang.""Aku tidak bertanya, apa kamu ingin pulang atau tidak. Jika tidak ada tempat yang ingin kamu datangi, maka kita kembali ke kantor" ucap Brian."Aku tidak mau kembali ke kantor.""Kenapa?""
"Apa pedulimu? Bukankah, kamu juga suka menghinaku?" jawab Cindy.Brian menatap cindy. "Kau tahu, tidak ada yang boleh menghinamu selain aku. Jadi katakan saja siapa orangnya.""Lupakan saja, lagipula mereka menghinaku karena tidak tahu jika aku adalah istrimu." Brian melirik saat mendengar jawaban Cindy, lalu ia kembali ke pekerjaannya. "ada apa sebenarnya kamu memintaku datang kemari?" tanya Cindy."Aku sudah menjawabnya tadi." Cindy hanya memutar bola matanya. Brian menoleh ke arah Cindy yang nampak termenung. "Apa yang kamu pikirkan.""Tidak ada."Brian menutup semua berkas di mejanya, ia berdiri lalu melangkah mendekati Cindy. "Ayo," ucapnya."Kemana,""Ini sudah siang, apa kamu tidak lapar?""Sedikit."Brian mengulurkan tangannya, namun Cindy justru mengerutkan dahinya. "Kenapa malah diam? Cepatlah, aku masih banyak pekerjaan."Cindy pun akhirnya menerima uluran tangan Brian. "Kita ak
"Ada apa sih Meg, kayaknya serius banget," tanya seorang wanita yang tidak lain adalah Mila, rekan kerja Megi. Ia menghampiri Megi dan Cindy, Megi menjawab pertanyaan Mila hanya dengan menggerakkan ujung matang sambil menyeringai ke arah CindyMila pun menoleh ke arah Cindy dan mengamatinya sekejap. "Eh, bukankah dia istri tuan Brian?" ucap Mila menoleh ke arah Megi.""Apa maksudmu? apa kami sudah buta?" ucap Megi."Aku pernah melihat berita tentang istri tuan Brian. Dia terlihat sangat mirip.""Apa kamu tidak bisa melihat dengan baik, Mila? lihatlah, dia sangat jauh berbeda dengan istri tuan Brian. Gadis ini terlihat seperti seorang gembel," bantah Megi. Mila pun menatap Cindy yang saat ini hanya memakai celana jeans, dan kaos yang terlihat sangat biasa."Emm, mungkin kamu ada benarnya juga, aku melihat istri tuan Brian di berita dulu, dia terlihat sangat cantik. Apalagi saat pergi bersama Nyonya Margaretha, dia menantu yang penuh keme
Sonya terlihat sangat terkejut dengan ucapan pria di hadapannya."Dengar Sonya. Siapa yang tidak mengenal Brian Adam. Dia sangat berpengaruh di kota ini, dan kamu… hubungannya dengan istrinya terlihat sangat buruk. Hal yang mustahil, untuk aku bersamamu," jelas pria tersebut."Heh, jadi itu alasan bodohmu? asal kamu tahu, anak sialan itu hanya istri cadangan. Dia tidak diinginkan oleh Brian, karena Brian hanya akan menikah dengan pemegang saham terbesar perusahaan Hilton. Sedikitpun Brian tidak menyukainya, jadi tidak ada urusannya dengan anak itu.""Kamu terlalu bodoh. Jika Brian tidak menyukai istrinya, dia tidak akan meminta tangan kanannya datang kemari menemani anakmu itu."Sonya terdiam sejenak mendengar ucapan pria tersebut, namun dengan cepat dia tersenyum kembali. "Apa kamu pikir dia bisa melawanku? jangan jadikan alasan bodoh untuk menghindar, dari apa yang sudah jadi tanggung jawabmu.""Apa maksudmu?""Kamu harus membayar a
"Untuk apa Anda kesana?" Haris menatap Cindy penuh curiga."Jangan menatapku seperti itu pak Haris, aku hanya ingin melihat rumahku. Ibu tiriku berniat menjual satu-satunya peninggalan orang tuaku. Aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi," jelas Cindy."Baiklah, saya akan mengantarkan Anda kesana. Lagipula tuan Brian sudah mengizinkannya, asal Anda kembali sebelum dia pulang."Cindy tersenyum sumringah. "Terimakasih pak Haris."Sesuai permintaan Cindy, Haris mengantarnya ke rumah lama, dimana ibu dan adik tirinya tinggal."Kita sudah sampai Nona," ucap Haris. Cindy menatap ke arah rumahnya dari dalam mobil. "Apa kita akan turun?""Tentu pak," jawab Cindy. Ia membuka pintu mobil lalu mendekat ke arah gerbang. Ia menekan tombol bel berulang kali tapi tidak ada satu orangpun yang keluar."Mungkin mereka tidak ada di rumah nona," ucap Haris."Atau jangan-jangan mereka sudah menjual rumah ini pak?" ucap Cindy. Panda