"Aduh, maaf. Maaf ya, saya tak sengaja." Aira meminta maaf berulang kali saat menabrak seseorang. Kepalanya tertunduk ke bawah hingga dia tak mengenali sosok yang bertabrakan dengannya. Aira fokus membereskan barang yang terjatuh. "Tidak apa. Aku pun tak sengaja. Kita sama-sama tak sengaja kok," jawab laki-laki yang melempar senyum semringah saat kedua bola matanya bersirobok dengan wanita yang berada di depannya. "Kamu …."Aira terkejut karena ternyata yang bertabrakan dengannya adalah laki-laki yang pernah ditemuinya di pesta salah satu rekan Xabiru. Ia masih ingat, namanya Ruli. "Hai," balas Ruli masih tak lepas dari senyumnya. Dia senang bisa bertemu dengan Aira. Bukan ketidaksengajaan, tapi memang disengaja karena ia mendapatkan informasi kalau Aira sedang berada di minimarket tak jauh dari rumahnya. Ia ingin sekali bertemu dengan Aira. Sebab itu segera tancap gas mendatanginya. "Kok bisa ada di sini?" tanya Aira sedikit canggung bertemu kembali dengan Ruli. Bingung juga kenap
Perut Aira mual dan dia ingin sekali muntah. Tangannya menutup mulut menahan agar yang di dalam perut tak keluar. "Kamu kenapa?" Ruli tampak cemas. Tangannya ingin sekali menyentuh bahu Aira tapi dia ingat hal tersebut tak boleh dilakukannya. Aira menggeleng. "Aku duluan ya," ucap Aira ingin beranjak pergi. Rasanya sudah tidak kuat. Entah apa penyebabnya. Sepertinya bau dari minuman Ruli menyengat penciumannya."Tunggu! Aku punya hijab, mungkin bisa kamu kenakan dulu." Ruli dengan cepat berlari ke mobilnya untuk mengambil benda tersebut. Aira yang menolak tak sempat mencegah karena Ruli sudah berlalu pergi. "Astaga, ini kenapa sih? Kok bisa begini," keluh Aira dalam hati sembari melangkah pelan. Tangannya tak henti mengelap bekas minuman di hijabnya setelah mampu menahan gejolak di perut. Meskipun sebenarnya itu sia-sia saja karena tak mungkin bisa kering dalam sekejap. "Tunggu! Kenapa main pergi, ini!" Langkah Aira terhenti. Panggilan Ruli memaksanya menoleh ke arah laki-laki te
Senyum seringai Jasmin membuat perasaan Ruli makin tak karuan. Ia tahu ini bukan sesuatu yang baik. Ada hal buruk bakal menimpanya. Melihat Ruli hanya diam terpaku, tawa Jasmin pecah. Ia yakin kalau dugaannya benar. "Diammu sudah menjawab semuanya, kamu memang menyukai Aira. Jadi sudah paham kan kemana arah pembicaraan ini?" Jasmin meletakkan kembali satu foto yang telah dipegangnya ke atas meja. Mengumpulkannya jadi satu bersama foto yang lainnya. "Kerja sama apa?" Ruli membuka suaranya to the point bertanya. Menatap lekat Jasmin yang duduk menyender. Bukan tertarik, hanya ingin tahu saja apa yang bakal dikatakan Jasmin mengenai rencana kerja samanya tersebut. "Gampang. Kita menyukai orang yang telah menikah. Aku suka suaminya dan kamu suka istrinya. Jadi kerjasama kita adalah untuk memisahkan mereka dan mendapatkan orang yang kita sukainya. Bagaimana, tertarik bukan?" Jasmin menaikan alisnya menanyakan kepastian Ruli. Ruli tersenyum. "Ekhem." Ia berdeham dulu sebelum menguta
"Kerja sama kita ternyata tidak terjalin dengan baik alias gagal total, maka kedatanganku hari ini anggap saja hanya kunjungan kerja biasa untuk mengeratkan silaturahmi antar dua perusahaan yang saling berteman baik, bisa kan?" Jasmin berharap Ruli setuju. Intinya ia tidak ingin kedatangannya ini diungkapkan pada orang luar, terutama Xabiru. Itu inginnya. Kalau tidak, rencana bersama Kesya bakal ikutan gagal juga. Apalagi dia diam-diam merencanakan kerja sama ini, tapi sayang laki-laki itu menolak mentah-mentah. Tak ada jawaban. Ruli hanya melebarkan senyumnya dengan bibir mengatup. Jasmin yang melihatnya jadi tambah kesal. Senyum itu tidak menyiratkan setuju dan lebih ingin menantangnya. Pintu ruang kerja Ruli dibanting Jasmin dengan keras setelah keluar dari sana. Membuat para pekerja di bawah kepemimpinan Ruli tersentak kaget dan mendongak menatap ke arah Jasmin yang barusan keluar dari ruangan atasan mereka. "Kurang ajar! Aku salah mengajak orang kerja sama. Bodoh!" Jasmin m
Xabiru terkejut mendengar jawaban Dr. Riana. Ia tak menyangka secepat itu Aira hamil. Mukanya masih menunjukkan ketidakpercayaan. "Hamil? Dokter yakin?" imbuh Xabiru meminta kepastian. Aira yang awalnya tersenyum gembira berubah keruh raut mukanya mendengar pertanyaan Xabiru yang seperti tidak yakin dengan wajah datar. Malah terkesan tak suka mendengar berita tersebut. "Sudah telat berapa minggu?" tanya Dr. Riana pada Aira tanpa menggubris pertanyaan Xabiru. Wanita itu ingin meyakinkan dugaannya dulu. "Telat?" Aira menggumam dalam hati. "Iya betul. Aku sampai tak sadar sudah telat datang bulan selama …." Aira mencoba mengingat kapan terakhir dia menstruasi. Raut wajahnya menunjukkan sedang berpikir. "Dua minggu," sebut Aira memastikan. Iya, Aira yakin rasanya selama itu. "Kenapa tidak sadar ya? Aku sampai melupakannya. Aneh," ujar Aira masih bicara dalam hati. Dr. Riana tersenyum mendengar jawaban Aira. "Dari pengalaman saya memeriksa ibu hamil, memang begitu, Pak. Hanya de
"Ini garis dua, kok. Walaupun ada satu garis yang terlihat buram, tetap saja hasilnya dianggap dua. Kehamilan dini memang kadang warnanya tidak sejelas kalau tes saat kehamilan diatas enam minggu. InsyaAllah hasilnya tetap sama. Mau lebih akurat segera periksa ke klinik atau rumah sakit. Namun saya yakin istri bapak hamil. Selamat ya, Bu, Pak, alhamdulillah kalian akan jadi calon orangtua. Bu Aira hamil." Aira menatap lekat Xabiru, ingin tahu reaksinya. Laki-laki yang ditatap itu juga menoleh ke arah istrinya dengan sudut bibir membentuk bulan sabit ke atas. Tangannya meraih jemari Aira dan menautkannya hingga tergenggam erat. Membuat hati Aira lega. Ia yakin Xabiru senang mendengar berita kehamilannya."Kalau kondisi Bu Aira sudah mendingan, bisa diajak pergi ke klinik atau dokter kandungan, biar dilakukan pemeriksaan lebih jelas. Untuk saat ini saya belum berani memberikan obat apa pun, biar nanti bidan atau dokter kandungan yang lebih tepat melakukannya." Xabiru mengangguk dan me
"Selamat, Bu, mantunya hamil kan?" Bu Riska menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat setelah melihat Bu Laila meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Bu Laila gelagapan dan jadi canggung akan ucapan selamat tersebut karena dia belum cerita apa pun tentang keadaan mantunya. Namun dia menanggapi dengan ramah dan tersenyum merekah menyambut uluran tangan Bu Riska. Apalagi hatinya sedang berbunga-bunga mendapatkan kabar baik dari Xabiru. "Wah, selamat Bu, nggak nyangka ya secepat ini. Perasaan baru kemarin ya, Xabiru nikah, eh sekarang sudah mau jadi ayah saja." Bu Echi tidak mau kalah. Dia ikut mengucapkan selamat setelah Bu Riska karena tempat duduknya paling dekat. Di sebelah kanan Bu Laila. Kemudian diikuti oleh teman dan rekan bisnis Bu Laila yang lainnya yang tak tinggal diam ikut mengucapkan selamat secara bergantian. "Selamat ya, Bu, mantunya hamil. Ikut senang dengarnya." Bu Mita menjadi orang terakhir yang menyalami Bu Laila. Tampak kecanggungan mewarna suasana saat
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"
"Mas, kopinya." Aira masuk ke kamar membawakan secangkir kopi untuk Xabiru. "Terima kasih ya, maaf merepotkan." Segera meraih cangkir tersebut dari tangan Aira. "Masih sibuk, Mas?" Aira mengamati suaminya yang masih fokus ke layar laptop. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hubungan keduanya makin baik pasca kecelakaan yang menimpa Xabiru. Sesuai dengan janji yang disepakati, Xabiru ingin memulai hubungan layaknya suami-istri pada umumnya. Surat perjanjiannya bersama Aira sudah dimusnahkannya. "Iya, banyak yang harus diselesaikan, besok ada meeting." Xabiru menjawab tanpa menoleh ke Aira. Ia terlalu fokus ke layar laptop. "Oh, tapi besok sidang 'kan, Mas? Mas nggak datang?" Aira mencoba mengingatkan. Xabiru menoleh sebentar. "Datang, kok. Masih bisa. Meetingnya sore. Kalau pun sidangnya lama, biar Pak Burhan saja yang urus."Aira manggut-manggut mendengarkan."Menurut Mas, gimana? Apa Mbak Jasmin bakal di penjara atau?" Aira membuka obrolan tentang sidang Jasmin yang a
Semalaman Aira dan Bu Laila di rumah sakit menjaga keadaan Xabiru. Sebenarnya Bu Laila tak tega pada Aira karena menantunya itu dalam keadaan hamil muda. Kesehatannya juga tak baik. Bu Laila sempat meminta Aira untuk pulang saja, tapi Aira menolak. Ia ingin menemani suaminya sampai sadar. Pulang tak kan membuat perasaannya tenang. Justru membuatnya tak bisa tidur dan kepikiran terus. ***"Ra, Aira," lirih Xabiru memanggil istrinya. Ingin mengusap kepala Aira, tapi tak bisa. Tenaganya tak kuat. Ia merasa sangat lemah. Saat matanya mengerjap, orang yang pertama dilihatnya adalah Aira yang duduk tertidur sambil merebahkan kepalanya di ranjang yang ditempatinya. Ia merasa bersalah. "Ra.""Mas! Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Tunggu! Biar Aira panggilkan dokter dulu." Aira terkesiap melihat Xabiru yang telah sadarkan diri. Aira bangkit dari duduknya dan tampak kebingungan. Namun ia akhirnya ingat harus memanggil dokter segera. Xabiru tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Meno
Pantas saja perasaan Aira tak enak sejak kepergian suaminya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi tak tahu apa itu, ternyata Mas Xabiru. Suaminya itu mengalami kecelakaan. Bergegas Aira menyiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berganti pakaian dulu, baru setelah itu mengambil beberapa baju buat suaminya. Ia tak tahu seberapa parah keadaan Xabiru, tapi pasti akan membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti untuk berada di sana. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Hanya luka ringan saja. Aira masuk ke dalam kamar putrinya, Jingga. Memeriksa keadaan putrinya itu sebelum ditinggal pergi. Nanti ada Bi Siti yang akan menemani Jingga sementara ia pergi ke rumah sakit. Jingga tertidur pulas. Rasanya enggan kalau membangunkan anaknya itu apalagi memberitahukan keadaan ayahnya. Memang lebih baik, Jingga tak perlu tahu dulu dan tetap berada di rumah. Hampir setengah jam Aira menunggu, baru Mang Diman dan Bi Siti tiba di rumahnya. Bergegas Aira menghampiri dengan setengah ber
"Nikahi aku, Mas. Jadi kedua pun tak masalah asal bisa bersamamu." Jasmin tampak pasrah. Apa pun akan dilakukannya meskipun harus tersakiti. Xabiru menghela napasnya. Terasa berat memenuhi keinginan wanita di sampingnya ini. "Aku tak bisa, Jas. Aku sudah membuat keputusan untuk menjalankan pernikahanku bersama Aira. Apalagi sekarang dia sedang mengandung anakku."Brug! Xabiru tersentak kaget mendapati serangan tak terduga. Jasmin memukulkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu kesal karena Xabiru tak bisa menepati janjinya. Katanya dulu tidak akan tergoda atau meniduri istrinya, tapi sekarang, wanita itu malah hamil juga. "Dasar lelaki! Omongannya tidak bisa dipercaya!""Ya, memang laki-laki itu egois. Seperti yang dulu kulakukan padamu. Aku tahu kamu menyukaiku, Jas. Namun sayangnya aku lebih menyukai kakakmu."Jasmin mendelik tak suka. Kembali bantal di tangannya, dihantamkan ke tubuh Xabiru. "Sudah, Jas. Hentikan!" Xabiru meminta Jasmin berhenti, karena rasanya tak enak dipuku
Xabiru akhirnya pergi. Terpaksa karena ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu Jasmin. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin juga mengakhiri dengan benar hubungan mereka yang sempat terjalin meskipun ia telah menikah. Ia ingin membatalkan janjinya untuk menikahi wanita tersebut. meski terdengar egois, tapi itu adalah jalan terbaik. Daripada tetap bersama dengan perasaan yang telah berubah. Bagaimanapun juga Xabiru sadar ia telah mencintai Aira, bukan Jasmin. Bahkan nama wanita tersebut sulit untuk ia masukkan ke dalam hatinya. ***Xabiru sekarang sudah berada di depan pintu unit apartemen Jasmin. Ia menunggu dibukakan pintu oleh wanita tersebut. "Masuk, Mas." Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa terlihat sosok Jasmin di depan pintu. Hanya suaranya yang terdengar mempersilakan masuk. Xabiru sedikit heran tapi dia tetap masuk ke dalam. Baru berjalan beberapa langkah, Tiba-tiba dia tersentak kaget mendengar pintu apartemen tertutup. Ia berbalik dan melihat Jasmi
Xabiru tertegun membaca pesan yang baru saja dikirim Jasmin. Dia baru tahu kalau Jasmin ingin pergi keluar negeri, tapi dalam rangka apa? Setahu Xabiru, tidak ada kunjungan ke luar negeri dari kantor dan kalaupun urusan pribadi, kenapa terkesan mendadak? "Mas.""Mas Xabiru." "Mas ....""Ya, a--apa?" jawab Xabiru tergagap baru tersadar karena panggilan Aira. Ia sedang memikirkan Jasmin. "Mas kenapa? Dari tadi kupanggil nggak jawab. Mas kayak mikirin sesuatu." Aira heran dan mulai berpikir negatif kalau suaminya tersebut tidak begitu senang dengan kehamilannya ini. Xabiru seperti banyak pikiran. Banyak termenung sedari tadi diperhatikannya. Wanita itu ingat kalau Xabiru berharap pernikahan mereka hanya berumur setahun dan akan segera berpisah secepatnya. apa itu pemicunya? apa suaminya kebingungan untuk mengakhiri semuanya setelah tahu ia hamil? "Tidak. Tidak apa," jawab Xabiru datar. Menambah kepiluan hati Aira. "Kalau begitu, habiskan makanan Mas, biar secepatnya kubereskan." Ai
Yusi menggeleng lemah. "Maaf, Bu, saya tidak tahu.""Hm … apa Ibu perlu sesuatu? Apa Ibu mau minum? Biar saya ambilkan." Dengan takut-takut Yusi menawarkannya. Ia merasa tak enak pada majikannya tersebut karena perintah untuk menahan Jasmin tak mampu dilakukannya. Jangankan untuk menahan, bertanya Jasmin mau kemana saja tak mampu keluar dari mulutnya. Ia sudah gemetaran saat melihat raut wajah tak bersahabat yang ditunjukkan Jasmin padanya saat keluar dari kamarnya. Bu Mita menggeleng. "Saya mau ke kamar saja." Wanita tersebut mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu kemudian beranjak bangun ingin menuju ke kamar. Bu Mita merasa perlu istirahat sebentar karena kepalanya sungguh terasa pusing. Entah tensinya naik mendengar kelakuan Jasmin atau kondisi badannya yang memang sejak kemarin sudah tidak sehat. "Baik, Bu."***"Tunggu, Bu! Jangan masuk!" Lola–sekretaris Xabiru melonjak terkejut dari tempat duduknya melihat Jasmin tiba-tiba berjalan menuju ruangan atasannya–Xabiru dengan
"Aaargh!" Jasmin mengamuk kembali. Kamarnya seperti kapal pecah hingga kalau ada yang masuk ke dalamnya, harus hati-hati melangkah karena banyak serpihan kaca pecah berserakan di lantai. Yusi dan Anggi saling tatap kala mendengar suara keributan dari lantai atas rumah Bu Mita. "Non Jasmin kenapa lagi, Mbak Yus? Aku takut ke atas," ujar Anggi seraya menatap ke atas tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Dadanya berdegup kencang seiring terdengar suara benda-benda berbunyi tak enak di telinganya. Apalagi saat ini Bu Mita–majikannya lagi di luar, tidak ada di rumah. "Huuussst! Kalau nggak penting, nggak usah ke atas. Kamu nyari mati kalau pergi ke sana terus masuk ke kamarnya Non Jasmin. Itu sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Seram," balas Yusi sambil bergidik ngeri membayangkannya. "Mbak enak sudah terbiasa karena sudah lama tinggal di sini. Lah, saya baru hitungan bulan sudah spot jantung saja tiap dengar suara prang-prang kedubrak dari kamar Non Jasmin." Anggi y
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"