Aku mengirimkan makan siang untuk Mas Husein. Aku tahu dia tidak bisa telat makan. Telat satu jam saja, asam lambungnya bakalan kambuh. Cerita Bibi Sari masih terngiang-ngian di kepalaku. Kasihan sekali Mbak Maya. Selain karena dia dituntut untuk memberikan keturunan, dia juga harus merasakan rasa sakit yang dalam karena kecelakaan ini. Pantas saja Mas Husein begitu mencintainya. Dibandingkan aku, pengorbanan Mbak Maya sangat besar. Aku hanya duri yang datang di tengah-tengah mereka. Menghancurkan suasana romantis yang dibangun sejak dulu. Ya Allah, perasaan bersalah menyelimutiku sekarang. Dring!Ibu meneleponku. Alhamdulillah, ku pikir dia sudah melupakanku. Aku mengangkat panggilannya. “Asma, kamu nggak apa-apa kan? Ibu khawatir loh, ibu baru buka media sosial. Lihat wajahmu babak belur, ibu langsung gemeter,” serunya.Aku memutar bola mataku malas. Beruntung dia masih mengingatku. Apa ibu tidak tahu, aku menderita di sini sedangkan ibu sedang asik berpergian keluar negeri.
Aku berangkat ke rumah sakit bersama Bibi Sari. Sesampai di sana, aku melihat ibu Wati dengan beberapa sanak saudara dari Maya berkumpul di ruang ICU. Hanya ada dua orang yang bisa masuk ke dalam ruangan.Dari jauh, aku melihat Mas Husein duduk di samping Mbak Maya. Sesekali dia mengusap wajahnya. Sepertinya Mas Husein menangis. “Asma, kamu di sini juga?”Suara ibu Wati mengagetkanku. Aku spontan menatapnya. “Kata Bibi Sari, Asma harus ke rumah sakit. Alhamdulillah yah Bu, Mbak Maya sudah sadar,” seruku. Ibu Wati memelukku dari samping. Dia lalu menatap wajahku lebih dekat. “Ayo ikut dengan ibu,” pintanya. Aku mengikutinya. Kami menuju taman rumah sakit. Di sana, aku dan ibu Wati duduk di kursi panjang. Aku dan dirinya terdiam beberapa saat.“Saat Maya dan Husein bersama, ibu harap kamu tidak melihatnya. Ibu tahu ini berat, Asma. Apalagi menjadi istri kedua. Tapi, ibu juga nggak bisa kalo kamu nggak sama Husein.”“Kenapa bu?” tanyaku. Aku penasaran. Ibu menarik napas dalam-dala
Lima hari sudah Mas Husein tidak kembali ke rumah. Aku mengerti jika Mbak Maya butuh perhatian Mas Husein. Aku melirik ponselku sejenak. Pesan yang aku kirim lima hari lalu sama sekali belum dibalas. Apa dia tidak pernah peduli kepadaku?“Mbak Asma, Mas Husein ada di bawah. Lagi nunggu, Mbak!” ucap Bibi Sari dari luar. Aku bergegas membuka pintu. “Benaran Bi?” tanyaku tidak percaya. “Iya Mbak, cepat katanya.”Aku berjalan menuju ruang tamu. Benar juga, lelaki itu ada di sana. Dia menatapku. “Hari ini kita pergi belanja.”“Belanja pakaian?” seruku tidak percaya. Aku melebarkan mataku memandanginya. Mas Husein mengerutkan keningnya menatapku. “Kamu nggak mau yah?” tanyanya. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Mas Husein tampak kelelahan. Lingkaran hitam terlihat di bawah matanya. Mungkin selama di rumah sakit, Mas Husein jarang tidur. “Iya, aku mau, Mas,” seruku. Aku bergegas berganti pakaian. Selang satu jam kemudian, aku berjalan menghampiri Mas Husein yang sedang menung
Setelah bertemu dengan Mbak Maya, aku segera pulang. Mas Husein memilih menetap di rumah sakit. Katanya dia akan pulang nanti untuk makan malam. Sebelum keluar dari ruangan, Mas Husein dengan cepat mengeluarkan satu cincin berlian dan satu gelang berlian dari saku. Berlian itu akan diberikan kepada Mbak Maya. Jadi perhiasan kami kembar. Aku diantar oleh Pak Soni kembali ke rumah. “Insyallah, Mbak Maya akan sembuh. Mbak Asna nggak cemburu yah?” ucap Pak Soni. Dia menatapku dari balik kaca spion. “Nggak Pak, buat apa?" tanyaku“Susah loh Mbak jadi istri kedua. Ya, harus tahan banting,” kekehnya. Aku tidak tertawa. Ini bukan lelucon. Mobil kemudian berjalan keluar dari area rumah sakit. “Saya baru bekerja di sini Mbak. Tapi saya sering dengar dari Sari kalo Mas Husein dan Mbak Maya sangat romantis. Saya juga pernah lihat ceritanya di media sosial. Ah, mereka benar-benar pasangan ideal. Sayang saja saat ini Mas Husein dan Mbak Maya dapat ujian,” ucap Pak Soni mulai bercerita. “Maksu
Setelah sarapan, aku menemui Mas Husein di kamar. Aku bertanya, apakah dia marah kepadaku? Karena sejak tadi, wajahnya sangat dingin. Aku takut melakukan kesalahan dan membuat hatinya terluka. Mas Husein mengatakan jika dia sedang pusing. Beberapa klien membatalkan kerja samanya karena gossip yang menyebar. Maka dari itu Mas Husein sedikit sensitive. “Kita berangkat ke rumah sakit,” ucapnya. “Sekarang?” tanyaku. “Iya Asma, memangnya kapan lagi?” serunya ketus. “Saya mau kamu menemani Maya sebentar. Saya pulang jam empat sore, jadi kasihan kalo Maya sendiri. Kamu paham kan, Asma?” Mas Husein lalu mengambil jacket dan berjalan keluar dari dalam kamar. Dia meninggalkanku seperti biasa. Aku buruh-buruh berganti pakaian dan mengejarnya menuju parkiran. Di dalam mobil, kami saling terdiam. Sesampai di rumah sakit, dia turun dari mobil dan berjalan menuju loby. Aku spontan turun dan sedikit berlari karena Mas Husein melangkah dengan cepat. “Mbak Asma yah?” Seorang suster menghampi
“Asma, kamu nggak apa-apa kan? Kok kayak gelisah begitu sih?”“Mas dari tadi perhatikan kamu loh,” sahut Mas Aldo. Dia menatapku dengan ekspresi bingung. Aku spontan menggelengkan kepala. “Nggak apa-apa Mas, Asma baik-baik aja,” jawabku. Mungkin ini hanya firasatku saja. Mana mungkin ada yang mengambil gambarku. Bodoh! Mengapa aku jadi paranoid seperti ini?Setelah makan, Mas Aldo mengajakku ke taman. Di sana, dia membiarkanku sendiri.Saat Mas Aldo pergi, entah mengapa perlahan air mataku perlahan terjatuh. Aku menangis di taman itu. Aku berteriak sekeras mungkin. Ya Allah, mengapa hidupku seperti ini?Puas menangis, Mas Aldo menjemputku dan membawahku kembali ke dalam mobil. Aku tersenyum saat Mas Aldo membukankan pintu. “Makasih yah Mas. Pasti mas tahu yah kalo aku lagi stress,” kekehku. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk dengan perasaan yang tenang. “Saya tahu kamu Asma. Kita sudah kenal lama. Apa sih yang nggak saya tahu dari kamu,” seru Mas Aldo. Mas Aldo mengantarku pula
Aku menatap Mas Husein yang sedang berdiri di depan cermin. Berkali-kali dia menghela napas panjang. Saat Mas Husein melirik ke belakang, aku spontan menarik selimut dan menutupi wajahku. Aku tidak ingin dia melihatku, malu. Aku membayangkan apa yang terjadi tadi malam. Dia melakukannya? Apa dia sadar telah melakukannya denganku? Jika tidak salah, aku mendengarkan Mas Husein terus menyebut namaku. Ciuman itu masih membekas di bibir. “Asma, kamu sudah bangun?”Aku spontan menyibakan selimutku. Dengan pelan, aku mengambil bajuku dan segera berjalan menuju kamar mandi. “Aku mau mandi, sudah pukul tiga subuh Mas. Kita mau sholat kan?” tanyaku. Mas Husein sepertinya baru saja selesai mandi. “Iya, cepatlah,” ucapnya. Aku membersihkan tubuhku. Di dalam kamar mandi, aku merenung sejenak. Apa dia mencintaiku? Apa dia serius ingin mencintaiku? Banyak pertanyaan yang ada di dalam benakku saat ini. Setelah mandi, aku segera berganti pakaian. Mengambil mukena dan bersiap untuk sholat sunnah
Aku menemui Hana di kedai ice cream. Hana segera menarik tanganku masuk ke dalam ruangan privat. Sebuah ruangan khusus yang berada di kedai itu. Ruangan khusus ini biasanya digunakan beberapa mahasiswa yang ingin interview dan membutuhkan suasana yang sepi. “Kamu tahu dari mana, Han?” tanyaku dengan cepat. Hana mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukan sebuah gambar dimana seorang lelaki berada di kursi roda. Gambar itu terlihat dari belakang. Jadi, lelaki itu tidak menunjukan wajahnya. “Ini Galih, Mas Aldo yang katakan kepadaku kalo ini Galih. Kasihan yah, jadi lumpu,” ucap Hana. Aku mengambil ponsel itu dan melihatnya secara dekat. Dari bentu bahu dan juga tangan, ya lelaki ini terlihat sangat mirip dengan Galih. Jika Galih kecelakaan dan lumpuh di Spanyol, mengapa dia tidak memberitahukan kepadaku? Mengapa dia tidak berbicara kepadaku?Aku duduk di sofa sambil menghela napas kasar di udara. “Mungkin karena itu, Asma. Galih nggak mau jujur sama kamu. Dia takut kamu marah atau ta
Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh
Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.
POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal
Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert
Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d
Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da
Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban
Orang-orang mengatakan jika kematian Mbak Maya sebentar lagi. Saat aku berada di ruangan itu, ku lihat ibu Wati dan beberapa orang menangis di hadapanku.Mas Husein tidak terlihat dimana pun. Tadi dia mengatakan ingin berbicara dengan dokter. Namun sampai sekarang Mas Husein tidak kembali. Aku berusaha mencarinya. Dia harus ada di tempat ini sekarang.Aku melangkah menuju taman rumah sakit, rupanya dia ada di sana. Mas Husein menundukan wajahnya, sesekali dia terlihat menghela napas panjang. Jika kematian itu terjadi, betapa hancurnya dirinya.Aku tahu, dia sangat mencintai Maya. Aku tahu, tidak ada perempuan di dunia ini yang mampu mengantikan Mbak Maya di hatinya.Aku rela diceraikan olehnya saat Mbak Maya telah sehat kembali. Seharusnya aku tidak mengambil kebahagian mereka. Seharusnya aku tidak ada di sini dan menganggu hubungan mereka.“Mas dicari sama Ibu,” ucapku.Dia perlahan menongakan wajahnya ke atas dan melihatku. Dia tersenyum, aku membalas senyumannya. Bola matanya berka
Asma POVHana menemaniku di Bogor selama dua minggu. Aku bahagia di sini. Aku tidak pulang ke rumah Mas Husein. Entahlah, aku sedang memikirkan rencana perceraian kami. “Apa nggak sebaiknya bertemu Mas Husein yah, biar hubungan kalian jelas. Kalo seperti ini kan, nggak baik,” ucap Hana tiba-tiba. “Maksudnya gimana, Han? Kamu suruh aku balik lagi ke rumah itu?” tanyaku. Hana menunjukan ponselnya kepadaku. “Tadi aku baca berita kalo Mbak Maya kambuh lagi. Dia dilarikan ke rumah sakit pukul dua malam. Entahlah, katanya dia punya asam lambung yang cukup parah,” jelas Hana. “Iya, dia punya riwayat asam lambung yang cukup parah, kasihan juga sih,” sahutku. Aku memasukan beberapa barang ke koper. Rencananya, Mas Aldo akan menjemput kami di Bogor dan akan mengajak aku dan Hana jalan-jalan ke Jogja. Hana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya tampak sedih. Dari tadi dia terlihat gelisah. “Jujur Asma, aku kasihan sama Mbak Maya. Suaminya menikah lagi saat dia sakit, p